Anda di halaman 1dari 11

Profil dr Soetomo – dr Sutomo

Nama: dr Soetomo (dr Sutomo)

Nama kecil: Subroto

Tanggal Lahir: 30 Juli 1888

Tempat Lahir: desa Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur,

Meninggal: 30 Mei 1938 (umur 49) di Surabaya, Jawa Timur, Indosesia (Hindia Belanda)

Kebangsaan: Indonesia (Hindia Belanda nama negara saat itu)

Pendidikan: STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), Batavia.-Sekolah dokter untuk anak-
anak pribumi Hindia Belanda 1903-1911). Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi
kedokteran di Belanda.

Pekerjaan: dokter sejak tahun 1911 bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan
Sumatra.

Keluarga: tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda.

Organisasi: pendiri Budi Utomo tahun 1908, sebuah organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.

tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie
Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa Indonesia
dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya).

Organisasi Budi Utomo

Budi Utomo adalah organisasi pergerakan yang pertama berdiri di Indonesia. Didirikan tanggal 20 Mei
1908 oleh para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia, yaitu sekolah
dokter untuk anak-anak pribumi Hindia Belanda, sebagai ketua yang pertama adalah dr Sutomo.

Berdirinya Budi Utomo tak lepas dari anjuran dr. Wahidin Sudiro Husodo yang datang ke Batavia, untuk
menemui para pelajar STOVIA dan memberikan ceramah yang inti isinya menggugah para pemuda untuk
memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Cara yang akan
ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah dengan mendirikan Studie Fond (Dana Bea Siswa).
Selain Sutomo, para pelajar STOVIA yang aktif dalam organisasi BU diantaranya: Gunawan, Suraji
dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain.

Tujuan perkumpulan Budi Utomo adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan,
mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Pada tanggal 05 Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan Kongres Pertama BU di Yogjakarta. Dalam
kongres ini memutuskan Susunan Pengurus Besar Budi Utomo sbb.

Ketua : Tirtokusumo (bupati Karanganyar)

Wakil ketua : Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa)

Penulis : Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool),

Bendahara : Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman)

Komisaris: : Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta),


dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak)

Pengambil alihan kepengurusan Budi Utomo oleh kaum tua ini malah berdampak positif, karena dana
Studie Fond yang dirancang sedari semula lebih lancar mengalir dalam tujuan pemberian beasiswa
untuk memajukan pendidikan pemuda Indonesia.

dr Sutomo sendiri itu saat lebih fokus pada pelajarannya/pendidikannya, hingga akhirnya berhasil lulus
dari STOVIA tahun 1911, Kemudian setelah itu dr Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang.
Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.

Tahun 1919 – 1923 dr Sutomo memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan melanjutkan


sekolah dokter di negeri Belanda.

Sekembalinya di tanah air, pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit,
koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.
Sejak tahun 1930-an KebijakanPemerintah Kolonial Belanda semakin keras tekanan terhadap
pergerakan nasional di Indonesia.

Pada tahun 1934 ada upaya menggabungkan (fusi) antara BU dan PBI, tepat di bulan Januari tahun itu
dibentuklah Komisi BU-PBI. Upaya ini mendapat tanggapan positif dan disetujui oleh kedua Pengurus
Besar BU dan PBI pada tahun 1935.

Di tahun akhir tahun 1935 tepatnya berlangsung tanggal 24-26 Desember diselenggarakan Kongres
Peresmian Penggabungan (fusi) BU-PBI, juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai
Indonesia Raya (PARINDRA), dengan dr Sutomo secara aklamasi diangkat menjadi ketua PARINDRA.

Kali ini tujuan organisasi sangat jelas dan tegas, Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

dr Sutomo selain sebagai dokter, dr Sutomo juga aktif di bidang politik dan kewartawanan dengan
mendirikan surat kabar & majalah Panyebar Semangat di Surabaya sebagai media sarana
perjuangannya. Begitulah hingga dr Sutomo tutup usia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

Hari kelahiran BU tanggal 20 Mei, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

 Siapakah Sutomo itu?


        Sutomo atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo atau Pak Tom,beliau lahir pada 30 Juli 1888
di Desa Ngepah,Kabupaten Nganjuk,Jawa Timur.Ia terlahir dengan nama Soebroto.Soebroto adalah
anak dari Raden Suwaji seorang bangsawan yang menjabat sebagai wedana atau camat di
Maospati,Madiun.

 Masa Kecil Sutomo

        Sejak kecil Soebroto telah diasuh oleh kakek dan neneknya.Kakeknya yang bernama Raden
Ngabehi Singowijoyo sangat sayang kepadanya begitu pula dengan neneknya.Meskipun begitu,Soebroto
tidak terlalu memanjakan dirinya kepada kakek dan neneknya.Saat usia kecil Soebroto memiliki sifat
yang baik dan sopan kepada masyarakat terutama kepada orang tuanya.Pada usia yang menginjak masa
anak-anak Soebroto dititipkan kepada pamannya yang bernama Arjodipuro di Bangil.Ditempat ini
Soebroto didaftarkan sekolah oleh pamannya di sekolah dasar Belanda,yaitu Europeesche Lagere
School (ELS).Namun pada saat itu Soebroto tidak diterima di sekolah.Pada keesokan harinya pamannya
kembali membawa Soebroto untuk menemui kepala sekolah untuk menyampaikan keinginannya yaitu
untuk memasukkan keponakannya tersebut namun dengan nama Sutomo.Dengan nama tersebut
Soebroto berhasil diterima di Europeesche Lagere School (ELS).Sejak saat itu pula(1896),Soebroto
berganti nama menjadi Sutomo yang sekarang dikenal sebagai pahlawan nasional.Sutomo dan orang
tuanya pun tidak keberatan dengan nama itu.Disekolah,Sutomo termasuk siswa yang pandai sehingga
disegani oleh temannya baik anak Indonesia maupun anak-anak Belanda.Bahkan guru-guru Belanda juga
sayang kepadanya.Selain pintar di pelajaran akademik,beliau juga gemar berolahraga.

 Masa Muda Sutomo


        Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah dasar,Sutomo
bermaksud untuk melanjutkan sekolah dokter di Jakarta(STOVIA).Keinginan Sutomo pun mendapat
dukungan penuh oleh orangtuanya.Saat usia 15 tahun,pada 10 Januari 1903, Sutomo dengan 13 teman
lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia mendaftarkan dirinya di STOVIA.Di antara teman
dekatnya terdapat nama Gunawan Mangunkusumo,Gumbreg,Soeradji,Mohammad 
Saleh dan M.Sulaiman.Saat menuntut ilmu di STOVIA ,Sutomo mendapatkan cobaan yang berat,pada 28
juli 1907 ia mendapat telegram yang memberitakan bahwa ayahnya meninggal dunia.Kejadian ini
membawa perubahan yang besar pada sikap dan pemikiran di kemudian hari,sehingga Sutomo bertemu
dengan dr Wahidin Sudirohusodo.Beliau seorang pensiunan dokter yang memiliki cita-cita untuk
mendirikan suatu badan yang menyelenggarakan dana pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu.

 Bertemunya Sutomo dengan Tokoh Pergerakan Nasional 

        Pada tahun 1907,dr Wahidin pergi ke Banten.Dalam perjalanannya beliau sempat singgah dan
menemui siswa-siswa STOVIA di Jakarta.Di tempat ini ia bertemu dengan Sutomo,lalu beliau
mesnceritakan cita-cita yang mulia itu.Bagi Sutomo pribadi pertemuannya ini membawa pengaruh yang
sangat besar terhadap sikap ,pemikirannyadan memantapkan cita-citanya untuk membela rakyat
kecil.Selain mendapat pengaruh yang besar dari dr.Wahidin,Sutomo juga mendapat pengaruh besar dari
dr Douwes Dekker,seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia.Dr
Douwes Dekker pernah mendirikan Indische Partij bersama dengan dr Tjipto Mangunkoesoemo dan
Suwardi Suryaningrat atau yang sering dikenal dengan 3 serangkai.Berbagai tulisan-tulisan Douwes
Dekker sangat berpengaruh kepada bangsa Indonesia,yaitu mempercepat dan mendorong timbulnya
pergerakan nasional.Berkat pengaruh dari dua tokoh tersebut,Sutomo semakin matang dan mantap
untuk melaksanakan cita-citanya.

 Mendirikan Budi Utomo


        Setelah bertemu dengan dr Wahidin,para pelajar STOVIA sepakat bahwa ''cita-cita yang luhur tidak
mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan''.Akhirnya dengan gagasan tersebut
para pelajar STOVIA mendirikan suatu perkumpulan yang dinamakan Budi Utomo(budi yang utama).Budi
Utomo didirikan pada hari Rabu,20 Mei 1908.Nama ini lahir dari kata-kata dr Wahidin ketika hendak
perpisahan dengan Sutomo,yaitu punika satunggaling pedamelan sae serta nelakaken budi utami(itu
suatu perbuatan yang baik dan budi utama).Setelah nama Budi Utomo diterima oleh semua peserta
rapat yang diantaranya Sutomo,Gumbreg,Soeradji,Gunawan Mangunkusumo,Mohammad
Saleh,M.Sulaiman,Suwarno dan Angka maka disusunlah pemilihan pengurus sebagai berikut.
Ketua             : Sutomo
Wakil Ketua   : Sulaiman
Sekretaris I     : Suwarno
Sekretaris II    : Gunawan Mangunkusumo
Bendahara      : Angka
Komisaris       :Suwarno dan Muhammad Saleh
Dalam waktu yang singkat,Budi Utomo mendapat pendukung dan anggota yang banyak.Namun
perkembangan ini mendapat respon yang negatif terutama guru-guru STOVIA yang merasa khawatir
Budi Utomo akan melawan pemerintah Hindia Belanda.Bahkan,Sutomo hendak diancam akan
dikeluarkan dari STOVIA.Namun Sutomo dan teman-temannya mendapat dukungan besar dari kepala
sekolah yaitu dr.H.F.Roll,bahkan beliau memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres Budi
Utomo yang pertama kali di Yogyakarta.Pada tanggal 3 Oktober 1908 pukul 21.00 kongres Budi Utomo
dibuka secara resmi.Kongres ini berlangsung sampai 5 Oktober 1908.Kongres yang dipimpin oleh dr
Wahidin ini berhasil menetapkan serta mengesahkan anggaran dasar.Organisasi Budi Utomo ini memiliki
tujuan yang paling utama yaitu memajukan dan membina rakyat untuk mencapai kemerdekaan,hingga
pada akhir tahun 1909 Budi Utomo memiliki 40 cabang dengan anggota 10.000 anggota.Sutomo tetap
memimpin Budi Utomo cabang Jakarta sampi beliau lulus menjadi dokter di tahun 1911.

 Pengabdian Seorang Dokter dan Meninggalnya Nyonya Sutomo

    S
etelah lulus dari STOVIA,Sutomo ditempatkan di Semarang,di sin ia melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya rakyat Indonesia.Di
Semarang dr Sutomo hanya bertugas selama satu tahun,kemudian beliau
dipindahkan di Tuban,sama halnya dengan di Semarang beliau hanya bertugas selama satu tahun dan
setelah satu tahun lamanya,dr Sutomo dipindahkan kembali ke Lubuk Pakam-Sumatera
Barat.Kepindahannya merupakan pertama kali perjalanan ke luar jawa.Selama bertugas,Sutomo selalu
dipindahkandi berbagai kota di Indonesia,hingga beliau dipindahkan di Baturaja pada tahun 1917 dan
Sutomo bertemu dengan Ny E.Burning.Di tahun 1919 dr.Sutomo memperoleh kesempatan untuk belajar
di Universitas Amsterdam,Belanda.Akhirnya dr Sutomo dan istrinya pindah ke negeri kincir angin
tersebut . Kehidupan keluarga dr Sutomo di negeri Belanda
dapat dikatakan prihatin.Sebagian besar waktunya digunakan untuk menambah pengetahuan,nafkah
yang diterima hanya cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari.Selain belajar, kesibukan dr Sutomo
di Belanda bertambah karena ia juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI).Organisasi ini adalah
perkumpulan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda.Pertemuan dengan tokoh-tokoh PI lainnya seperti
Mohammad Hata,Ahmad Soebarjo,Ali Sastroamijoyo,Sunario,Iwa Kusuma,Sumantri,dan Nazir Pamuncak
di Negara Belandasemakin mempertebal keyakinan dr Sutomo bahwa Budi Utomo harus menanggalkan
baju jawanya dan bersifat nasional serta dengan  tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.4
tahun lamanya dr Sutomo menambah pengetahuannya di Universitas Amsterdam,Belanda dan pada
bulan Juni 1923 beliau pulang ke Indonesia.

Sebelum meninggalkan negeri Belanda,beliau berpesan kepada teman-temannya agar berjuang untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.Setibanya di Indonesia dr Sutomo ditugaskan menjadi
guru sekolah dokter NIAS(Nederlandse Indische Artsen Schoool) di Surabaya.Dr Sutomo juga pernah
menjadi anggota dewan kota (Gemeenteraad) di Surabaya.Keanggotaanya dalam dewan ini didorong
oleh keyakinannya bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat didengar.Namun harapan dr
Sutomo tersebut ternyata tidak terwujud karena kedudukannya di dewan dalam pelaksanaannya tidak
menguntungkan rakyat banyak.Oleh karena itu,Sutomo dengan kawan-kawannya keluar dari dewan
kota.Dalam kedudukannya sebagai guru di sekolah dokter NIAS di Surabaya,keluarga Sutomo memiliki
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena pada
tanggal 17 Februari 1934,Nyonya E.Burning meninggal dunia dikarenakan sering sakit-sakitan Karena
tidak cocok dengan udara di kota Surabaya.

 Mendirikan Perkumpulan Baru 

        Pada tahun 1924 dr Sutomo beranggapan


bahwa perkumpulan Budi Utomo perlu mengalami perubahan.Mementingkan pengajaran dan
kebudayaan saja tidak cukup dalam pergerakan nasional,oleh karena itu pada tanggal 11 Juli 1924 dr
Sutomo mendirikan perkumpulan lain,perkumpulan ini diberi nama Indonesische
Studieclub(IS).Perkumpulan ini berjuang untuk membangkitkan semangat kaum terpelajar supaya
memiliki keinsyafan dan kewajiban terhadap masyarakat.Perasaan persatuan di kalangan pemimpin
Indonesia makin lama makin kuat.Sesudah dicetuskan  Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928,jiwa
persatuan Indonesia makin mantap.Hingga pada tanggal 16 Oktober 1930 Indonesische Studieclub (IS)
berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia(PBI),anggotanya tidak hanya terbatas pada kaum
terpelajar,tetapi terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia.PBI berusaha menyempurnakan derajat
bangsa dan tanah air,berdasarkan kebangsaan Indonesia.Pada tahun 1913 PBI telah memiliki 15
cabang ,pengurus besarnya terdiri atas dr Sutomo dan Mr Soebroto.Setahun kemudian cabang-cabang
PBI sudah berjumlah 30 dengan 2500 orang anggota hingga pada tanggal 28 Maret sampai 2 April
1934.PBI mengadakan kongres ketiga di Malang,waktu itu PBI telah memiliki 38 cabang .Pada kongres
1935 di Surabaya ,disetujui adanya fusi antara Budi Utomo dan PBI.Keputusan ini kemudian ditindak
lanjuti dengan adanya penyelenggaraan kongres fusi PBI dan Budi Utomo pada 24-26 Desember 1935 di
Solo.Partai baru hasil fusi itu diberi nama Partai Indonesia Raya. Tujuan Parindra antara lain sebagai
berikut .
a.Memperkukuh semangat kebangsaan Indonesia.
b.Menjalankan aksi politik untuk memperoleh hak dalam politik dan pemerintahan
berdasarkan  demokrasi dan nasionalisme.
c.Memajukan kehidupan rakyat dalam hal ekonomi dan sosial.
Dalam waktu yang singkat partai ini telah memiliki 53 cabang dengan anggota 2.425 orang di seluruh
Indonesia.Pada Maret 1936,dr Sutomo mengadakan perjalanan ke luar negeri.Negeri-negeri yang
dikunjungi adalah Jepang,Malaka,India,Sailan,Mesir,Belanda,Inggris,Turki,dan Palestina.Perjalanan ini
bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat dijadikan contoh bagi kemajuan
Indonesia.Perjalanan dr Sutomo ini memakan waktu kurang lebih satu tahun lamanya.Setelah dr
Sutomo kembali ke Indonesia,pada saat itu juga Parindra mengadakan kongres pertamnya di Jakarta
pada 15 Mei 1937.Dalam kongres itu  dr Sutomo dipilih kembali menjadi ketua umum Parindra.Bersama
beberapa pengurus pusat,dr Sutomo kemudian mengadakan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia
untuk kepentingan partai dan kepentingan umum. 

  Wafatnya Seorang Pahlawan Nasional

       Dr Sutomo yang menjadi ketua umum di berbagai partai,memiliki kesibukan dan pekerjaaan yang
terlampau berat,akibatnya beliau sering jatuh sakit.Sakitnya semakin lama semakin parah,hingga pada
tanggal 3 Mei 1938 sakit yang diderita oleh dr Sutomo tidak bisa diobati lagi dan beliau meninggal
dunia.Jenazahnya dimakamkan di halaman Gedung Nasional Surabaya.         

Mengupas jejak hidup Brigjen KH. Syam’un atau lebih akrab dikenal
dengan sebutan Ki Syam’un seperti sedang menyantap lembaran buku
tua yang sarat dengan inspirasi dan kejutan. Ki Syam’un secara umum
dikenal sebagai salah satu pelopor pendidikan di Banten satas jasanya
mendirikan pesantren Al-Khairiyah Citangkil, yang selanjutnya menjadi
sekolah umum Hollandsche Inlandsche School (HIS) Al–Khairiyah
yang menggunakan 60 persen bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantarya. Sebuah terobosan luar biasa pada zamannya. Tidak
hanya dalam dunia pendidikan, kiprah Ki Syam’un juga merambah pada
bidang militer dengan menjadi Komandan Divisi I Siliwangi. Meski Ki
Syam’un bukan seorang politisi, ia diaulat sebagai Bupati Serang
pertama tahun 1946-1947.
Upaya untuk mengenal secara utuh tentang Ki Syam’un kini tengah
serius dilakukan oleh Bantenologi IAIN Banten, sebua lembaga kajian
kebantenan. Tujuannya untuk membukukan biografi lengkap Ki
Syam’un, dari mulai kelahiran, kiprah, hingga wafatnya. Seperti
dungkapkan Mufti Ali, Ketua Bantenologi IAIN Banten, penyusunan
naskah akademik tersebut salah satu penguat bagi pengajuan gelar
pahlawan nasional bagi Ki Syam’un. “Kami melakukan wawancara
pada beberapa murid, keluarga (keturunan), hingga masyarakat untuk
mendapatkan sumber mengenai sosok Ki Syam’un. Kami membagi
biografi Ki Syam’un dalam delapan bab (termasuk simpulan),” kata
Mufit Ali saat menjadi pembicara dalam seminar Perjuangan Brigjen
KH. Syam’un, Mei lalu. Poin-poin yang dibahas di delapan bab tersebut
di antaranya pendahuluan, geneologi, masa belajar Ki Syam’un,
kepeloporan santri dan ulama, perjuangan, peninggalan, tanda
jasa/prestasi, kesan dan kenangan dari keluarga dan satntri, terakhir
simpulan.

  Mufti Ali, P.HD, Ketua Bantenologi IAIN Banten

Untuk mengerjakan naskah akademik tentang Ki Syam’un, Mufti Ali


dibantu oleh beberapa rekannya dari Bantenologi, di antaranya Helmi
Ulumi, Yanwar Pribadi,  A. Humaeni, Yadi Ahyadi, Maftuh, Ade Jaya
Suryani, dan Arif Bahtiar. Mufit menuturkan, Bantenologi harus bekerja
keras dalam pengumpulan data yang berkaitan dengan Ki Syam’un,
sebab tidak semua informasi yang berkembang di masyarakat valid.
Semisal, isu yang mengatakan bahwa Ki Syam’un adalah belajar
langsung dari Syekh Nawawi Al-Bantani. Setelah dikroscek dan
berdasarkan fakta sejarah, keduanya memiliki rentang sejarah yang
berbeda. “Ki Syam’un hanya mewarisi tradisi pengajarannya saat
menuntut ilmu di Hijaz, Mekah,” ujar Mufti.

Penelusan jejak Ki Syam’un bagi Bantenologi memiliki kesan yang


cukup mendalam dan emosional, di anataranya fakta keberadaan Al-
Khairiyah di Bangka Belitung. Menurut hasil penelitian, alumni Ki
Syam’un yang sudah merasa cukup dan tegugah akan semangat
kelimuannya mendirikan Al-Khairiyah di daerah itu. Tidak hanya itu,
perkembangan Al-Khairiyah yang pesat di zamannya bagi Mufti Ali
merupakan sebuah kemajuan yang melesat lebih cepat, sehingga tidak
berlebihan jika Al-Khairiyah disebut sebagai Al-Azharnya Asia
Tenggara. Hal tersebut lantaran metode pengajaran dan kurikulum
yang diajarakan di Al-Khairiyah sama persis dengan metode dan
pelajaran di Al-Azhar, Cairo, Mesir. “Ini disebabkan karena selain Ki
Syam’un alumnus Al-Azhar, banyak santrinya yang juga belajar di sana
(Al-Azhar) yang kemudian setelah kembali ke tanah air mengabdkan
diri di almamater,” terang Mufti.

Tidak banyak yang tahu jika Ki Syam’un pandai membuat syiir  dan


mars (lagu) yang sarat dengan semangat kejuangan dan ketauhidan.
Salah satu Murid Ki Syam’un yang bernama Ki Sibro Malisi penah
menulis sebuah nyanyian Arab. “Kami menemui anak Ki Sibro, dan
betul bapaknya (Ki Sibro) pernah menyanyikan mars dan puisi
tersebut. Anehnya puisi dan lagu yang ditulis dalam bahasa Arab
tersebut begitu indah dan apik, seperti ditulis oleh orang Arab asli.
Padahal Ki Sibro tidak pernah belajar ke Arab. Ini pembutkian, bahwa
sang guru (Ki Syam’un) yang mewarisi ilmu tersebut pada muridnya,”
kata Mufti dengan nada haru.

Kesulitan dalam mengakses sumber-sumber yang berkaitan dengan Ki


Syam’un dirasakan Mufti dan rekannya sebagai kendala dalam
penggalian sosok Ki Syam’un. Beberapa data diri tantang Ki Syam’un
tersimpan di perpustkaan Den Hag, Belanda, dan Tokyo, Jepang.
“Kami ingin sekali ke sana, namun lantaran keterbatasan dana, belum
bias terlaksana,” ungkapnya. Selain arsip di Belanda dan Jepang,
masih ada ganjalan besar yang belum terkuak, yakni menemukan
ketiga karya Ki Syam’un di antaranya Al-Jami’ah fi ‘aqaid al-muslimin
wal muslimat,  Risalah ‘Aqida li ‘l-Mubtadi’in,  dan Mujma al-Sirat al-
Muhammadiyah.  Ketiga karya tersebut dinilai penting guna
kelengkapan naskah akademik yang sebentar lagi akan rampung.
“Kami memohon, siapapun yang tahu keberadaan ketiga karya
tersebut harap bisa menyerahkan pada kami guna kelengkapan naskah
akademik ini (Bantenologi),” kata Mufti.[]
 

Anda mungkin juga menyukai