Meninggal: 30 Mei 1938 (umur 49) di Surabaya, Jawa Timur, Indosesia (Hindia Belanda)
Pendidikan: STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), Batavia.-Sekolah dokter untuk anak-
anak pribumi Hindia Belanda 1903-1911). Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi
kedokteran di Belanda.
Pekerjaan: dokter sejak tahun 1911 bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan
Sumatra.
Organisasi: pendiri Budi Utomo tahun 1908, sebuah organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.
tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie
Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa Indonesia
dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya).
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan yang pertama berdiri di Indonesia. Didirikan tanggal 20 Mei
1908 oleh para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Batavia, yaitu sekolah
dokter untuk anak-anak pribumi Hindia Belanda, sebagai ketua yang pertama adalah dr Sutomo.
Berdirinya Budi Utomo tak lepas dari anjuran dr. Wahidin Sudiro Husodo yang datang ke Batavia, untuk
menemui para pelajar STOVIA dan memberikan ceramah yang inti isinya menggugah para pemuda untuk
memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Cara yang akan
ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah dengan mendirikan Studie Fond (Dana Bea Siswa).
Selain Sutomo, para pelajar STOVIA yang aktif dalam organisasi BU diantaranya: Gunawan, Suraji
dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain.
Tujuan perkumpulan Budi Utomo adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan,
mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.
Pada tanggal 05 Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan Kongres Pertama BU di Yogjakarta. Dalam
kongres ini memutuskan Susunan Pengurus Besar Budi Utomo sbb.
Pengambil alihan kepengurusan Budi Utomo oleh kaum tua ini malah berdampak positif, karena dana
Studie Fond yang dirancang sedari semula lebih lancar mengalir dalam tujuan pemberian beasiswa
untuk memajukan pendidikan pemuda Indonesia.
dr Sutomo sendiri itu saat lebih fokus pada pelajarannya/pendidikannya, hingga akhirnya berhasil lulus
dari STOVIA tahun 1911, Kemudian setelah itu dr Sutomo bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang.
Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.
Sekembalinya di tanah air, pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit,
koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia
(PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.
Sejak tahun 1930-an KebijakanPemerintah Kolonial Belanda semakin keras tekanan terhadap
pergerakan nasional di Indonesia.
Pada tahun 1934 ada upaya menggabungkan (fusi) antara BU dan PBI, tepat di bulan Januari tahun itu
dibentuklah Komisi BU-PBI. Upaya ini mendapat tanggapan positif dan disetujui oleh kedua Pengurus
Besar BU dan PBI pada tahun 1935.
Di tahun akhir tahun 1935 tepatnya berlangsung tanggal 24-26 Desember diselenggarakan Kongres
Peresmian Penggabungan (fusi) BU-PBI, juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai
Indonesia Raya (PARINDRA), dengan dr Sutomo secara aklamasi diangkat menjadi ketua PARINDRA.
Kali ini tujuan organisasi sangat jelas dan tegas, Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
dr Sutomo selain sebagai dokter, dr Sutomo juga aktif di bidang politik dan kewartawanan dengan
mendirikan surat kabar & majalah Panyebar Semangat di Surabaya sebagai media sarana
perjuangannya. Begitulah hingga dr Sutomo tutup usia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
Hari kelahiran BU tanggal 20 Mei, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sejak kecil Soebroto telah diasuh oleh kakek dan neneknya.Kakeknya yang bernama Raden
Ngabehi Singowijoyo sangat sayang kepadanya begitu pula dengan neneknya.Meskipun begitu,Soebroto
tidak terlalu memanjakan dirinya kepada kakek dan neneknya.Saat usia kecil Soebroto memiliki sifat
yang baik dan sopan kepada masyarakat terutama kepada orang tuanya.Pada usia yang menginjak masa
anak-anak Soebroto dititipkan kepada pamannya yang bernama Arjodipuro di Bangil.Ditempat ini
Soebroto didaftarkan sekolah oleh pamannya di sekolah dasar Belanda,yaitu Europeesche Lagere
School (ELS).Namun pada saat itu Soebroto tidak diterima di sekolah.Pada keesokan harinya pamannya
kembali membawa Soebroto untuk menemui kepala sekolah untuk menyampaikan keinginannya yaitu
untuk memasukkan keponakannya tersebut namun dengan nama Sutomo.Dengan nama tersebut
Soebroto berhasil diterima di Europeesche Lagere School (ELS).Sejak saat itu pula(1896),Soebroto
berganti nama menjadi Sutomo yang sekarang dikenal sebagai pahlawan nasional.Sutomo dan orang
tuanya pun tidak keberatan dengan nama itu.Disekolah,Sutomo termasuk siswa yang pandai sehingga
disegani oleh temannya baik anak Indonesia maupun anak-anak Belanda.Bahkan guru-guru Belanda juga
sayang kepadanya.Selain pintar di pelajaran akademik,beliau juga gemar berolahraga.
Pada tahun 1907,dr Wahidin pergi ke Banten.Dalam perjalanannya beliau sempat singgah dan
menemui siswa-siswa STOVIA di Jakarta.Di tempat ini ia bertemu dengan Sutomo,lalu beliau
mesnceritakan cita-cita yang mulia itu.Bagi Sutomo pribadi pertemuannya ini membawa pengaruh yang
sangat besar terhadap sikap ,pemikirannyadan memantapkan cita-citanya untuk membela rakyat
kecil.Selain mendapat pengaruh yang besar dari dr.Wahidin,Sutomo juga mendapat pengaruh besar dari
dr Douwes Dekker,seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia.Dr
Douwes Dekker pernah mendirikan Indische Partij bersama dengan dr Tjipto Mangunkoesoemo dan
Suwardi Suryaningrat atau yang sering dikenal dengan 3 serangkai.Berbagai tulisan-tulisan Douwes
Dekker sangat berpengaruh kepada bangsa Indonesia,yaitu mempercepat dan mendorong timbulnya
pergerakan nasional.Berkat pengaruh dari dua tokoh tersebut,Sutomo semakin matang dan mantap
untuk melaksanakan cita-citanya.
S
etelah lulus dari STOVIA,Sutomo ditempatkan di Semarang,di sin ia melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya rakyat Indonesia.Di
Semarang dr Sutomo hanya bertugas selama satu tahun,kemudian beliau
dipindahkan di Tuban,sama halnya dengan di Semarang beliau hanya bertugas selama satu tahun dan
setelah satu tahun lamanya,dr Sutomo dipindahkan kembali ke Lubuk Pakam-Sumatera
Barat.Kepindahannya merupakan pertama kali perjalanan ke luar jawa.Selama bertugas,Sutomo selalu
dipindahkandi berbagai kota di Indonesia,hingga beliau dipindahkan di Baturaja pada tahun 1917 dan
Sutomo bertemu dengan Ny E.Burning.Di tahun 1919 dr.Sutomo memperoleh kesempatan untuk belajar
di Universitas Amsterdam,Belanda.Akhirnya dr Sutomo dan istrinya pindah ke negeri kincir angin
tersebut . Kehidupan keluarga dr Sutomo di negeri Belanda
dapat dikatakan prihatin.Sebagian besar waktunya digunakan untuk menambah pengetahuan,nafkah
yang diterima hanya cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari.Selain belajar, kesibukan dr Sutomo
di Belanda bertambah karena ia juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI).Organisasi ini adalah
perkumpulan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda.Pertemuan dengan tokoh-tokoh PI lainnya seperti
Mohammad Hata,Ahmad Soebarjo,Ali Sastroamijoyo,Sunario,Iwa Kusuma,Sumantri,dan Nazir Pamuncak
di Negara Belandasemakin mempertebal keyakinan dr Sutomo bahwa Budi Utomo harus menanggalkan
baju jawanya dan bersifat nasional serta dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.4
tahun lamanya dr Sutomo menambah pengetahuannya di Universitas Amsterdam,Belanda dan pada
bulan Juni 1923 beliau pulang ke Indonesia.
Sebelum meninggalkan negeri Belanda,beliau berpesan kepada teman-temannya agar berjuang untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.Setibanya di Indonesia dr Sutomo ditugaskan menjadi
guru sekolah dokter NIAS(Nederlandse Indische Artsen Schoool) di Surabaya.Dr Sutomo juga pernah
menjadi anggota dewan kota (Gemeenteraad) di Surabaya.Keanggotaanya dalam dewan ini didorong
oleh keyakinannya bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat didengar.Namun harapan dr
Sutomo tersebut ternyata tidak terwujud karena kedudukannya di dewan dalam pelaksanaannya tidak
menguntungkan rakyat banyak.Oleh karena itu,Sutomo dengan kawan-kawannya keluar dari dewan
kota.Dalam kedudukannya sebagai guru di sekolah dokter NIAS di Surabaya,keluarga Sutomo memiliki
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena pada
tanggal 17 Februari 1934,Nyonya E.Burning meninggal dunia dikarenakan sering sakit-sakitan Karena
tidak cocok dengan udara di kota Surabaya.
Dr Sutomo yang menjadi ketua umum di berbagai partai,memiliki kesibukan dan pekerjaaan yang
terlampau berat,akibatnya beliau sering jatuh sakit.Sakitnya semakin lama semakin parah,hingga pada
tanggal 3 Mei 1938 sakit yang diderita oleh dr Sutomo tidak bisa diobati lagi dan beliau meninggal
dunia.Jenazahnya dimakamkan di halaman Gedung Nasional Surabaya.
Mengupas jejak hidup Brigjen KH. Syam’un atau lebih akrab dikenal
dengan sebutan Ki Syam’un seperti sedang menyantap lembaran buku
tua yang sarat dengan inspirasi dan kejutan. Ki Syam’un secara umum
dikenal sebagai salah satu pelopor pendidikan di Banten satas jasanya
mendirikan pesantren Al-Khairiyah Citangkil, yang selanjutnya menjadi
sekolah umum Hollandsche Inlandsche School (HIS) Al–Khairiyah
yang menggunakan 60 persen bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantarya. Sebuah terobosan luar biasa pada zamannya. Tidak
hanya dalam dunia pendidikan, kiprah Ki Syam’un juga merambah pada
bidang militer dengan menjadi Komandan Divisi I Siliwangi. Meski Ki
Syam’un bukan seorang politisi, ia diaulat sebagai Bupati Serang
pertama tahun 1946-1947.
Upaya untuk mengenal secara utuh tentang Ki Syam’un kini tengah
serius dilakukan oleh Bantenologi IAIN Banten, sebua lembaga kajian
kebantenan. Tujuannya untuk membukukan biografi lengkap Ki
Syam’un, dari mulai kelahiran, kiprah, hingga wafatnya. Seperti
dungkapkan Mufti Ali, Ketua Bantenologi IAIN Banten, penyusunan
naskah akademik tersebut salah satu penguat bagi pengajuan gelar
pahlawan nasional bagi Ki Syam’un. “Kami melakukan wawancara
pada beberapa murid, keluarga (keturunan), hingga masyarakat untuk
mendapatkan sumber mengenai sosok Ki Syam’un. Kami membagi
biografi Ki Syam’un dalam delapan bab (termasuk simpulan),” kata
Mufit Ali saat menjadi pembicara dalam seminar Perjuangan Brigjen
KH. Syam’un, Mei lalu. Poin-poin yang dibahas di delapan bab tersebut
di antaranya pendahuluan, geneologi, masa belajar Ki Syam’un,
kepeloporan santri dan ulama, perjuangan, peninggalan, tanda
jasa/prestasi, kesan dan kenangan dari keluarga dan satntri, terakhir
simpulan.