Anda di halaman 1dari 6

BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA,

BAPAK PENDIDIKAN INDONESIA

Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Pakualaman. Pssst, kamu


langsung ngeh dong, kalau hari lahir beliau kini diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional?
Kala itu, nama lahirnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Nama kecil beliau adalah
Sowardi.
Lahir di dalam sebuah keluarga Keraton Yogyakarta. Beliau adalah anak dari Gusti Pangeran
Harya Soerjaningrat dan cucu dari Pakualam III. Beliau mengganti namanya menjadi ‘Ki Hajar
Dewantara’ dan melepas gelar bangsawan yang dimilikinya pada tahun 1922.
Dengan status keluarganya tersebut, beliau mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan
di Sekolah Dasar Belanda, Europeesche Lagere School (ELS). Lalu melanjutkan pendidikan ke
sekolah dokter Bumiputera, STOVIA, namun tidak menamatkan pendidikan tersebut karena
jatuh sakit.
Masa Aktif di Dunia Jurnalis
Tidak menamatkan studi di STOVIA, Ki Hajar Dewantara mulai bekerja sebagai wartawan dan
penulis di sejumlah surat kabar, di antaranya Midden Java, De Express, Kaoem Moeda, dan
Tjahaja Timoer.
Dalam kariernya, Beliau menghasilkan tulisan-tulisan komunikatif, tajam, dan patriotik yang
penuh dengan semangat anti penjajahan.
Tidak hanya aktif di dunia jurnalis, Ki Hajar Dewantara juga mulai aktif dalam organisasi sosial
dan politik, salah satunya Budi Oetomo. Dalam organisasi ini, beliau berperan aktif pada bagian
propaganda dalam rangka membangun kesadaran rakyat Indonesia akan pentingnya persatuan
dan kesatuan.
Ia juga mendirikan Indische Partij bersama dengan Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo pada tahun 1912. Ketiga pendirinya dikenal dengan sebutan ‘Tiga
Serangkai’.
Pada 1913, warga pribumi diberatkan dengan permintaan sumbangan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari
Prancis. Kebijakan Hindia Belanda ini sangat menyinggung perasaan rakyat Indonesia karena
mereka merayakan kemerdekaan di atas tanah bangsa yang mereka rebut kemerdekaannya
dengan meminta dana oleh rakyat yang kemerdekaannya terebut itu.
Hal ini juga memicu reaksi kritis dari Ki Hajar Dewantara. Ia menuangkan kritik terhadap
pemerintah Hindia Belanda lewat dua tulisan: Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Saya
Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu).
Tulisan pertamanya ini membuatnya ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan diasingkan ke
Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo memprotes hal ini. Akibatnya,
Tiga Serangkai diasingkan ke Belanda.
ERNEST DOUWES DEKKER

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes


Dekker atau Danudirja Setiabudi; 8 Oktober 1879 – 28 Agustus 1950) adalah seorang pejuang
kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta
penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi
adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana
yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913.
Ayahnya, Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas
kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari
ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu,
ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-
Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-
pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius (1878)
terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester
Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga
Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]
Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter
campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya
meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan.
Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.
Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978),
seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu
kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari
perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada
tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan
Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur
Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah Douwes Dekker mengetahui
pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia
menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel,
seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker
yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda.
Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian
menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja
Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh
Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun
1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Walaupun mencintai anak-anaknya, Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada
perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata
kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa
depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua
anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula
semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

CIPTO MANGUNKUSUMO

 Cipto Mangunkusumo merupakan seorang dokter sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan


Indonesia. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh dari Tiga Serangkai bersama Ernest Douwes
Dekker dan Ki Hajar Dewantara.  Bersama kedua tokoh tersebut, Cipto banyak menyebarluaskan
ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.  Cipto
Mangunkusumo juga merupakan tokoh dalam Indische Partij, organisasi politik yang pertama
kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri. Berbeda dengan kedua tokoh lain yang mengambil
jalur pendidikan, Cipto Mangunkusumo tetap berjalan di jalur politik. Ia menjadi anggota
Volksraad (Dewan Rakyat). Cipto Mangunkusumo wafat pada 1943 dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Ambarawa.

Pendidikan
Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah.  Ia
merupakan putra tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Cipto Mangunkusumo mengawali kariernya menjadi seorang guru bahasa
Melayu di sekolah dasar di Ambarawa. Ia bersekolah di STOVIA atau Sekolah Kedokteran di
Batavia.  Selama menempuh pendidikan di STOVIA, ia diberi julukan oleh gurunya sebagai Een
begaafd leerling atau murid yang berbakat. Julukan tersebut diberikan pada Cipto karena ia
dikenal sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin.  Berbeda dengan teman-
temannya, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku, dan bermain catur.  Baca
juga: GSSJ Ratulangi: Pendidikan, Kiprah, dan Akhir Hidupnya

Pertentangan
Pada setiap topik pidatonya, ia mengangkat tentang ketidakpuasan terhadap lingkungan di
sekelilingnya.  Salah satunya ketidakpuasan yang Cipto rasakan yaitu tentang peraturan
STOVIA. Peraturan yang dimaksud seperti mahasiswa Jawa dan Sumatera yang bukan Kristen
diharuskan memakai pakaian tradisional bila sedang berada di sekolah.  Menurut Cipto,
peraturan tersebut merupakan perwujudan dari politik kolonial yang arogan dan melestarikan
feodalisme. Kondisi kolonial lain yang juga ditentang oleh Cipto adalah mengenai diskriminasi
ras.  Orang-orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi padahal mereka
bekerja dalam satu hal yang sama.  Baca juga: Jenderal Gatot Subroto: Kehidupan, Karier
Militer, dan Perjuangannya Cipto Mangunkusumo menyampaikan keresahannya melalui tulisan
di harian De Locomotief.  De Locomotief merupakan surat harian kolonial yang sangat
berkembang pada waktu itu.  Tulisannya itu berisikan sebuah kritikan serta pertentangan suatu
kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak sehat.  Cipto seringkali mengkritik hubungan feodal
maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat.  Karena tulisan tersebut,
Cipto sering mendapatkan teguran serta peringatan dari pemerintah.  Selain dalam bentuk tulisan,
Cipto juga melakukan protes lain dengan bertingkah melawan arus.  Seperti larangan memasuki
societit atau kolam renang bagi warga pribumi tidak ia lakukan. 

Anda mungkin juga menyukai