Anda di halaman 1dari 12

Biografi Dr Sutomo - Pendiri Budi Utomo

Dokter
di desa

Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir


Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika
belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia
bersama rekan-rekannya, atas saran dr.
Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi
Utomo (BU), organisasi modem pertama di
Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang
kemudian diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional. Kelahiran BU sebagai
Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori
oleh para pemuda pelajar STOVIA (School
tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu
Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh
Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan
lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai
ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa
yang terhormat.
Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di
Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati
Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua;
Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis;
Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala
Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo
(dokter di Demak) sebagai komisaris.

Sutomo setelah lulus dari


STOVIA tahun 1911, bertugas
sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu pindah ke
Tuban, pindah lagi ke Lubuk
Pakam (Sumatera Timur)

dan akhirnya ke Malang. Saat


bertugas di Malang, ia
membasmi wabah pes yang
melanda daerah Magetan.
Ia banyak memperoleh
pengalaman dari seringnya
berpindah tempat tugas. Antara
lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu
mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien dibebaskan dari
pembayaran.
Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada
tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu
itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo
bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan


Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan
wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC
berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit,
koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC
berganti nama menjadi Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI
berkembang pesat.
Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial
Belanda terhadap pergerakan nasional semakin
keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI,
yang kemudian disetujui oleh kedua pengurusbesarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres
peresmian fusi dan juga merupakan kongres
terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26
Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia
merdeka.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia
meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
Ernest Douwes Dekker

Dr. Ernest Franois Eugne Douwes Dekker


Lahir

8 Oktober 1879
Pasuruan, Hindia Belanda
Meninggal 28 Agustus 1950 (umur 70)
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Pekerjaan Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis
Pasangan Clara Charlotte Deije
Johanna P. Mossel
Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

Dr. Ernest Franois Eugne Douwes Dekker


(umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker
atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia
Belanda, 8 Oktober 1879 meninggal di Bandung,
Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun)
adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta
penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi
adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr.
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Kehidupan pribadi
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana
yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913.
Ayahnya, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas kakap
Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya,
Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes
Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.[1] Dia
terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-pindah.
Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir
sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester Cornelis,
Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga Dekker
berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]
Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran
Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal
sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini
kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.
Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978),
seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu
kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari
perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada

tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan
Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur
Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah Douwes Dekker mengetahui
pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia
menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema ne Kruymel,
seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker
yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda.
Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian
menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja
Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh
Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun
1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Walaupun mencintai anak-anaknya, Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada
perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata
kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa
depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua
anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula
semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

Riwayat hidup
Masa muda

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS
di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit setingkat HBS di
Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa
Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering
kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun
disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke
perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali lagi, dia terlibat konflik
dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani.
Akibatnya, ia dipecat.
Perang Boer

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika
Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[3] Ia bahkan
menjadi warga negara Republik Transvaal.[2] Beberapa bulan kemudian kedua saudara lakilakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di
sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka
akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.
Sebagai wartawan yang kritis dan aktivitas awal

DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman
KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani

menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia
Belanda, pada tahun 1903.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat
ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai
merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan
di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan
kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya
menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun
1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche
Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet
der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia
Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir
Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het
spoedigst zijn kolonin verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan
koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali
kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar
intelijen penguasa.[4]
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para
perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo,
untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi
nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di
Yogyakarta.
Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani
lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk
memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di
dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari
organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
Indische Partij

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di
dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok" atau
trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah
karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji
lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada
pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai
memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo.
Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.
Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang
pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indirs) yang
bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original,
karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.
Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan
suatu "Indi" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang.

Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena
sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh
kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.
Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes
bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai
berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[2][5] Kampanye ke
beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat.
Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di
kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap
dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir
kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun
kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was"
(Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto
mendukung Suwardi.
Dalam pembuangan di Eropa

Universitas Zurich, tempat Ernest Douwes Dekker menempuh pendidikan tingginya.

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas Zrich,
Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor
diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut istilah salah
satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India, ia
ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun
dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.
Kegiatan jurnalistik dan Peristiwa Polanharjo

Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan
organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia
menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap
kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar
mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang
terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch
Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan
"Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga
yang konyol dan kekanak-kanakan".

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie
in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal"
(Bangsa kita dan modal asing).
Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut
Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan
anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif
(menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya
bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.
Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan
petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena
dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde
cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang.
Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di
surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De
Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini
adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan
penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan
ke DD). Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.
Aktivitas pendidikan dan Ksatrian Instituut

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan kegiatan


jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan
penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup
mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab
beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia
kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di
Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa
Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan
pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi
pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita
oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai
mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea
dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.
Kegiatan sebelum pembuangan

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar
Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang
wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma
akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis
keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa
(Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940
mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa
lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut digaruk
karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis. Ia juga dituduh
komunis.
Pengasingan di Suriname

DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia
ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne
("Padang Yahudi").[3] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat
permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang
yang membuat keonaran.
Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah
memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat
tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang
Merah Internasional dan harus melalui sensor.
Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera
dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke
Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel,
seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia
juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari
petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta,
ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik
Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet
Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia
menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan
dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir
sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di
mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di
Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara
Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah
diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak
akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian
menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya
"Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain
adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar
konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29
Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Penghargaan
Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar
dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung
utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya
dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.
Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah
kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan
pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan


Indonesia
Biografi

genap
nama
tidak

Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Indonesia. Ki Hajar


Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei
1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas
dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan


pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah
Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke
STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak
sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja
sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express,
Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.

Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite
tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang
Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita
garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda.
Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan
bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu
sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk
bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak
adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda
menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah
kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di
Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan
Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk
memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga
tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan
itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun
1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad
Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan
sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri
Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya
tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan,
status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai

kemerdekaan yang asasi.


Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut
wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah
menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Anda mungkin juga menyukai