Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi, adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879. Douwes Dekker adalah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Ia merupakan seorang penulis yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Hindia Belanda pada masa itu, seorang wartawan, aktivis politik, dan juga penggagas nama Nusantara sebagai nama bagi Hindia Belanda yang merdeka. Douwes Dekker juga merupakan salah satu anggota dari Tiga Serangkai, yang merupakan pejuang pergerakan nasional di Indonesia. Anggota Tiga Serangkai yang lainnya adalah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat. Douwes Dekker meninggal di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 28 Agustus tahun 1950. Douwes Dekker lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober tahun 1879. Ayah Douwes Dekker bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, yang merupakan seorang agen di suatu bank yang bernama Nederlandsch Escomptobank. Sementara itu, Ibu Douwes Dekker yang bernama Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa. Douwes Dekker adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara. Ia memiliki dua kakak, satu kakak perempuan yang bernama Adeline, dan kakak laki-lakinya yang bernama Julius. Kedua kakaknya lahir saat keluarga Dekker sedang berada di Surabaya. Sementara adik laki-laki Douwes Dekker lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada 1883). Dari situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat. Douwes Dekker menikah dengan perempuan yang bernama Clara Charlotte Deije (1885-1968), yang merupakan anak dari seorang Dokter blasteran Jerman-Belanda pada tahun 1903. Mereka dikaruniai lima anak, namun 2 laki-laki diantaranya meninggal ketika masih bayi dan yang bertahan semua perempuan. Pernikahan ini kandas pada tahun 1919. Kemudian Douwes Dekker kembali menikah dengan Johanna Petronella Mossel (1905- 1978), orang Indonesia yang berketurunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna merupakan seorang guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut yaitu sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari pernikahan dengan Johanna, mereka tidak dikaruniai anak. Saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941, pasangan ini sayangnya harus berpisah. Akhirnya, Johanna menikah lagi dengan seorang pria bernama Djafar Kartodiredjo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus). Saat Douwes Dekker kabur dari Suriname dan menetap sementara di Belanda pada tahun 1946, ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya saat itu yang bernama Nelly Alberta Geertzema née Kruymel. Nelly merupakan orang Indonesia yang berstatus janda dan memiliki satu anak. Nelly lalu menemani Douwes Dekker untuk pulang ke Indonesia dengan nama samaran agar tidak ditangkap oleh intelijen Belanda. Setelah mengetahui Johanna telah menikah dengan Djafar, pada tahun 1947 Douwes Dekker langsung menikah dengan Nelly. Douwes Dekker lalu menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita (nama yang diusulkan oleh Soekarno). Sepeninggal Douwes Dekker, pada tahun 1964 Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Perjalanan Hidup Dan Perjuangan Hingga Akhir Hayat
Riwayat pendidikan Douwes Dekker dimulai di kota Pasuruan. Setelah tamat dari sana, ia masuk ke HBS di Surabaya. Tak lama sejak ia bersekolah di sana, orang tuanya memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School. Setelah lulus, ia lalu diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Sewaktu bekerja di sana, ia melihat perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerjanya. Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker maju dan membela para pekerja disana. Oleh karena itu, ia dimusuhi oleh para pengawas kebun yang lain sehingga pada akhirnya munculah konflik dengan managernya yang mengakibatkan Douwes Dekker dipindahkan ke suatu perkebunan tebu. Tetapi tak lama sejak ia mulai bekerja, munculah konflik lain mengenai pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi di wilayah tersebut yang membuat ia dipecat dari pekerjaannya. Setelah dipecat dan menjadi pengangguran, Ibu Douwes Dekker meninggal dan Douwes Dekker menjadi depresi. Kemudian ia meninggalkan Hindia Belanda dan pergi ke Afrika Selatan menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899. Bahkan, ia sempat menjadi warga negara Afrika Selatan dan membuat saudaranya menyusul kesana. Di Afrika Selatan, Douwes Dekker ditangkap dan sempat dipenjara. Kemudian ia berkenalan dengan seorang sastrawan India yang membuka pandangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena yang dialami oleh masyarakat pribumi pada saat itu. Akhirnya Douwes Dekker kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1902 dan mulai bekerja sebagai wartawan di koran bernama De Locomotief karena keahliannya dalam membuat laporan mengenai peperangan. Selama menjadi wartawan, ia banyak mengangkat kasus-kasus mengenai kelaparan di wilayah Indramayu. Sebagai seorang jurnalis, banyak dari tulisannya yang mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial pada masa itu. Saat Douwes Dekker menjadi staf di majalah Bataviaasch Nieuwsblad pada tahun 1907, tulisannya, tulisan-tulisannya semakin banyak yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah “Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang artinya “Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan koloni- koloninya”. Oleh karena itu, Douwes Dekker menjadi target dari intelijen pemerintah kolonial Belanda. Douwes Dekker memberikan tempat tinggalnya sebagai tempat berkumpul para kaum pergerakan saat itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Melihat diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan dimana banyak posisi penting di pemerintahan dijabat oleh orang Belanda sedangkan kaum pribumi hanya dijadikan sebagai pegawai rendah karena faktor pendidikan. Pada saat itu, bentuk diskriminasi yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda terhadap kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan salah satunya adalah dimana banyak posisi penting di pemerintahan dijabat oleh orang Belanda dan kaum pribumi hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan karena faktor pendidikan. Akhirnya, Douwes Dekker memberikan ide mengenai sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan oleh penduduk pribumi asli. Ide tersebut ia sampaikan pada partai Indische Bond dan Insulinde. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat, tetapi oleh beberapa orang saja.
Pada tanggal 25 Desember tahun 1912, Douwes Dekker
bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo mendirikan sebuah partai politik pertama yang berhaluan nasionalis yang bernama Indische Partij. Dalam waktu yang tidak lama, partai tersebut mampu menghimpun anggota hingga 5000 orang dan menjadi sangat populer di kalangan pribumi. Dikarenakan perkembangan Indische Partij yang begitu pesat, hal tersebut membuat pemerintah Belanda mencurigai gerak-gerik partai tersebut. Ada yang menuduh bahwa partai tersebut bersifat anti-kolonial dan bertujuan agar Indonesia bisa merdeka dari tangan Belanda. Akhirnya, pada tahun 1913, Indische Partij dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga para pendirinya yang sering dikenal dengan Tiga Serangkai, diasingkan. Douwes Dekker diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa, ia tinggal bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di swiss, ia sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India sehingga ia ditangkap di Hongkong dan diadili disana. Pada tahun 1918, ia juga sempat ditahan dan dipenjara selama 2 tahun. Setelah bebas, ia kembali ke Hindia Belanda (Indonesia). Di Indonesia, Douwes Dekker kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisannya banyak menyindir kaum kolonial. Pada saat itu juga, Douwes Dekker mendirikan partai baru penerus Indische Partij yang bernama Nationaal Indische Partij. Namun, partai tersebut juga tidak mendapatkan izin dari pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam peristiwa kerusahan petani perkebunan tembakau di Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Akan tetapi, tuduhan baru menimpanya yaitu Ia dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintahan kolonial Blanda. Lagi-lagi, ia dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Saking banyaknya tuduhan mengenai tulisan dan aktivitasnya di bidang jurnalistik, Douwes Dekker meninggalkan dunia jurnalistik dan setelah itu menjadi aktif melakukan penulisan buku semi ilmiah. Atas masukan dari Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker kemudian terjun ke dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung. Sekolah yang didirikannya tersebut lebih banyak mengajarkan mengenai sejarah Indonesia dan juga dunia. Namun, pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut dituduh sebagai anti-kolonial dan pro terhadap Jepang. Akhirnya, pada tahun 1933, buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan dibakar oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga dilarang mengajar bahkan sampai memasuki masa penjajahan Jepang di Indonesia. Akhirnya Douwes Dekker bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Kemudian ia akrab dengan Mohammad Husni Thamrin. Pada suatu hari, datanglah serangan dari Jerman ke Eropa yang membuat banyak orang Eropa ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh sebagai komunis. Pada tahun 1941, Douwes Dekker dibuang ke Suriname. Di Suriname, ia tinggal di camp Joden Savanne yang sempat menjadi camp orang-orang Yahudi. Di camp tersebut, kehidupannya Douwes Dekker sangat memprihatinkan. Bahkan saat ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan. Setelah perang dunia II usai, pada tahun 1946 Douwes Dekker Dikirim ke Belanda. Disana Ia bertemu perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya pulang ke Indonesia dan tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta. Pada tahun itu juga ia menikahi Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel setelah mengetahui istri sebelumnya, yaitu Johanna, sudah menikah lagi. Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja. Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan saat itu. Pada 21 Desember 1948, saat terjadi agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda dan diinterogasi lalu dikirim ke Jakarta. Akan tetapi, karena kondisi fisiknya yang sudah renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik, Douwes Dekker dibebaskan dan kemudian tinggal di Bandung di wilayah Lembangweg. Ia aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan Instituut yang pernah ia dirikan. Kegiatannya yaitu menyusun autobiografi dirinya dan juga banyak merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis. Pada 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhir, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Untuk menghormati jasanya, namanya yang lebih dikenal dengan “Setiabudi” diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan nama tempat di wilayah Jakarta. Selain itu, pada tanggal 9 november 1961, pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 tentang penetapan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi sebagai Pahlawan Nasional. Perjalanan hidup Douwes Dekker tentu sangat menginspirasi banyak rakyat Indonesia. Douwes Dekker sangat pantang menyerah dalam membela kebenaran. Walaupun dilanda oleh saking banyaknya hambatan dan tantangan, ia tetap pantang menyerah dalam membela kebenaran dan membela hak-hak kaum pribumi, yang merupakan kaumnya sendiri. Ia sangat peduli dengan Indonesia dan juga warganya. Melihat kaum pribumi yang terus menerus diperlakukan tidak baik oleh para pemerintah kolonial Belanda, Douwes Dekker tidak tinggal diam. Ia pantang menyerah dalam memperjuangkan kaum pribumi bahkan sampai akhir khayatnya. Hal-hal yang bisa diteladani dari perjuangan Douwes Dekker diantaranya adalah pantang menyerah dalam memperjuangkan sesuatu, berani membela kebenaran, dan juga menjadi seseorang yang berhati mulia dan peka terhadap sekitar.