Anda di halaman 1dari 2

ERNEST DOUWES DEKKER

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker

Lahir 8 Oktober 1879


Pasuruan, Hindia Belanda

Meninggal 28 Agustus 1950 (umur 70)


Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Pekerjaan Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis

Suami/istri Clara Charlotte Deije


Johanna P. Mossel
Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes
Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 –
meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang
pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta
penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi
adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
KEHIDUPAN PRIBADI
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana yang dia
tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya,
Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indisch
Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes
Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir
di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4
bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki,
yakni Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik
laki-lakinya lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari
situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]
Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-
Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi
(keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919
dan keduanya bercerai.
Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang
Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan
kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari perkawinan ini mereka
tidak dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus
berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan
seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak
jelas apakah Douwes Dekker mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap
berkirim surat namun tidak dibalas.
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi
dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang
berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama
samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah
menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes
Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi
Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah
dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Walaupun mencintai anak-anaknya, Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan
idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak
perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada
anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan
Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang
memilih menjadi warga negara Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai