Anda di halaman 1dari 6

KI HAJAR DEWANTARA

BIOGRAFI JAWAB
Nama Lengkap Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
Mengganti nama menjadi Ki Hajar
Dewantara pada saat usia 40 tahun
menurut hitungan Tahun Caka karena
ingin agar bebas dekat dengan
rakyatnya
Tempat dan Tanggal Lahir Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat : Yogyakarta, 26 April 1959
Nama Orang Tua Ibu : Raden Ayu Sandiah
Ayah : Kanjeng Pangeran Harjo
Nama Istri R.A Sutartinah
Jumlah dan Nama Anak K.H. Dewantara mempunyai 6 orang
anak. Anak pertama seorang puteri
dan yang kedua seorang putra lahir di
Negeri Belanda. Empat orang lainnya,
seorang putri dan tiga orang putra
adalah kelahiran Indonesia.
Riwayat Pendidikan Sekolah Dasar Di ELS (Sekolah Dasar
Belanda)
STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra)
tidak tamat
Europeesche akte, Belanda
Riwayat Karier Wartawan Sedyotomo, Midden Java,
De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara
Pendiri Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional
Tamansiswa), 3 Juli 1922
Menteri Pengajaran Kabinet
Presidensial, 19 Agustus 1945 – 14
November 1945
Masalah yang Dihadapi Pada bulan November 1913, Ki Hadjar
Dewantara membentuk Komite
Bumipoetra yang bertujuan untuk
melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Belanda. Salah satunya adalah dengan
menerbitkan tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku
Seorang Belanda) dan Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een (Satu untuk
Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga)
di mana kedua tulisan tersebut menjadi
tulisan terkenal hingga saat ini. Tulisan
Seandainya Aku Seorang Belanda
dimuat dalam surat kabar de Expres milik
dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya itu, pemerintah
kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman
pengasingan terhadap Ki Hadjar
Dewantara. Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo yang merasa rekan
seperjuangan diperlakukan tidak adil
menerbitkan tulisan yang bernada
membela Ki Hadjar Dewantara.
Mengetahui hal ini, Belanda pun
memutuskan untuk menjatuhi hukuman
pengasingan bagi keduanya. Douwes
Dekker dibuang di Kupang sedangkan
Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke
pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke
Negeri Belanda karena di sana mereka
bisa mempelajari banyak hal dari pada di
daerah terpencil. Akhirnya mereka
diizinkan ke Negeri Belanda sejak
Agustus 1913 sebagai bagian dari
pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki
Hadjar Dewantara berhasil memperoleh
Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki
Hadjar Dewantara kembali ke tanah air.

Penghargaan Bapak Pendidikan Nasional, hari


kelahirannya 2 Mei dijadikan hari
Pendidikan Nasional
Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada
tahun1957
Pahlawan Pergerakan Nasional
(Surat Keputusan Presiden No.
305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959)

Ki Hadjar Dewantara pada waktu mudanya bernama R.M. Suwardi


Surjaningrat lahir pada hari Kamis, 2 Mei 1889. Ayahnya bernama Kanjeng
Pangeran Harjo, putera kajeng gusti pangeran Hadipati Harjo Surjosasraningrat
yang bergelar Sri Paku alam III. Ki Hadjar Dewantara menikah dengan R.A
Sutartinah, puteri G.P.H. Sasraningrat, adik G.P.H. Surjaningrat. Dengan
demikian Ki Hadjar dan Nyi Hadjar Dewantara adalah saudara sepupu. Ki dan
Nyai Hadjar merupakan pasangan yang harmonis. K.H. Dewantara mempunyai 6
orang anaknya. Anak pertama seorang puteri dan yang kedua seorang putra lahir
di Negeri Belanda. Empat orang lainnya, seorang putri dan tiga orang putra
adalah kelahiran Indonesia.
Keluarga Paku Alam termasuk keluarga yang terpandang. Seluruh putera-
puteranya dikirim ke sekolah Belanda, tidak terkecuali K.H. Dewantara. Namun.
berbeda dengan saudara-saudara sepupunya, K.H. Dewantara tidak dikirim ke
sekolah Dasar Belanda I, melainkan ke Sekolah Dasar Belanda III.
Sesudah tamat sekolah tersebut (1904), K.H. Dewantara masuk ke Sekolah Guru
di Yogyakarta. Namun, tidak lama kemudian, datang dokter Wahidin Sudiro
Husodo menawarkan beliau masuk Sekolah Dokter Jawa di Jakarta dengan
bantuan beasiswa. Selama kurang lebih 5 tahun K.H. Dewantara menjadi murid
Sekolah Dokter Jawa, beasiswanya dicabut karena beliau tidak naik kelas
disebabkan karena sakit selama empat bulan. Terpaksa beliau harus
meninggalkan sekolah tersebut karena tidak dapat membiayainya. Namun,
karena kepandaiannya berbahasa belanda, beliau mendapat surat keterangan
istimewa dari direktur sekolahnya.
Sesudah meninggalkan Sekolah Dokter Jawa K.H. Dewantara bekerja pada
laboratorium Pabrik Gula Kalibogor, Banyumas. Kemudian pada 1911 pindah ke
Yogyakarta dan bekerja sebagai pembantu apoteker di Rathkamp. Saat itulah,
beliau mulai terjun dalam bidang jurnalistik, membantu surat kabar Sedyo Utomo
di Yogyakarta, Midden Java di Bandung dan De Expres di Bandung.
Pada sekitar 1908, pada waktu diadakan persiapan untuk mendirikan Budi Utomo,
K.H. Dewantara mulai berkenalan dengan Douwes Dekker. Sesudah Budi Utomo
didirikan, pada 20 Mei 1908 beliau sangat tertarik. Waktu ia masih menjadi pelajar
Sekolah Dokter Jawa, ia ikut aktif dalam organisasi tersebut dan mendapat tugas
di bagian propaganda.
Kemudian K.H. Dewantara pindah ke Sarikat Islam, mula-mula sebagai anggota,
lalu duduk dalam pimpinan SI cabang Bandung pada 1912. Akhirnya beliau
bergabung bersama Douwes Dekker dan dokter Tjipto Mangunkusumo dalam
Indische Partij yang didirikan pada tanggal 6 September 1912. Tiga pemimpin itu
kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai. Pada awal Juli 1913, dokter Tjipto
Mangunkusumo dan Suwardi memdirikan Komite BumiPutera. Menjelang
keruntuhan Jepang, K.H. Dewantara duduk sebagai badan Penyelidik Usaha-
usaha persiapan kemerdekaan Indonesia.
Ketika berada di negeri Belanda, Suwardi tertarik pada masalah pendidikan
disamping bidang sosial-politik. Kemudian beliau menambah pengetahuannya
dalam bidang pendidikan dan pada tahun 1915 berhasil memperoleh akte guru.
Sesudah Suwardi pulang ke tanah air, ia terjun ke bidang pendidikan. Beliau
bekerja sebagai guru sekolah di Adi Dharma. Setelah mempunyai pengalaman
mengajar selama satu tahun, muncullah pikiran untuk mendirikan sekolah sendiri
yang akan dibina sesuia dengan cita-citanya.
Pada tanggal 3 Juli 1922 lahir perguruan taman Siswa dengan menggunakan
nama “National Onderwijs Instituut Taman Siswa” (Lembaga Pendidikan Nasioanl
Tamann Siswa) yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebelum mendirikan sekolah
sendiri, K.H. Dewantara bergabung dengan “Peguyuban Selasa-Kliwonan” yang
berkedudukan di Yogyakarta. Cita-cita “Peguyuban Selasa-Kliwonan” adalah
membahagiakan diri, membahagiakan bangsa,  membahagiakan  manusia, yang
kemudian menjadi cita-cita Perguruan Taman Siswa.
Demikianlah sejak tanggal 3 Juli 1922, K.H. Dewantara bekerja dalam bidang
pendidikan untuk merealisasi cita-cita yang luhur. Dan kemudian dikenal sebagai 
Bapak Taman Nasioanal Siswa, Bapak Pendidikan Nasional.
K.H. Dewantara tidak hanya berjuang dalam bidang pendidikan. Sebelumnya ia
telah berjuang untuk kemerdekaan negerinya melalui bidang politik dan jurnalitik.
Ki Hadjar mengikuti dari dekat pembangunan nasional mulai dari Budi Utomo,
Serikat Islam, dan Indische Partij, dimana dia ikut bekerja secara aktif.
Setelah proklamasi kemerdekaan, K.H. Dewantara duduk dalam kabinet pertama
sebagai menteri Pengajaran. Kemudiaan menjadi anggota Komiter Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dan sebagai kegiatan lainnya dalam pemerintahan dan
perjuangan mempertahankan kedaulatan.
Pada 1948 K.H. Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun
Kebangkitan Nasional. Pada kesempatan itu, ia bersama-sama partai-partai
mencetuskan pernyataan dalam menghadapi Belanda. Beliau juga pernah
menjabat sebagai ketua Kesatuan Pertahanan Rakyat. Kemudian menjadi ketua
Peringatn 20 tahun Ikrar pemuda (28 Oktober). Setelah pengakuan kedaulatan
dari negeri Belanda (Desember 1949), beliau duduk sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RIS dan DPR-RI. Kemudian pada akhir bulan Maret
1950, beliau mengundurkan diri dari DPR dan selanjutnya mengabdikan diri
sepenuhnya kepada Taman Siswa.
Karir K.H. Dewantara dalam bidang jurnalistik juga cukup besar. Selain bekerja
sebagai redaktur “Hindia Putera”, membantu “De Indier” di negeri Belanda dan
membantu “Utusan Hindia” yang terbit diatanah air, beliau juga membantu
majalah “Het Indonesische Verbond Van Studerendent”. Sejumlah karangan yang
telah ditulisnya antara lain “Aliran-aliran dan partai-partai di Hindia Timur” dalam
warta mingguan Nieuwe Amsterdammer (2 Juni 1917), “Kembali ke Medan
Perjuangan” dalam Nieuwe Amsterdammer dan Het Vok (15 September 1917),
Artikel mengenai wanita barat yang sedang berusaha mendapatkan hak
persamaan dengan kaum pria (1928), “Soal wanita” (22 Desember 1953), dan
menjelang wafatnya, beliau sempat menulis sebuah brosur tentang Demokrasi
dan Kepemimpinan.
Tidak semua tulisan K.H. Dewantara, mendapat tanggapan positif. Sebuah artikel
dalam majalah “Hindia Putera” yang berjudul “Bahasa dan Bangsa”, di periksa
dalam delik pers, sehingga pada tanggal 5 Juni sampai 24 Agustus 1920, ia
ditahan untuk menunggu perkaranya diperiksa oleh hakim. Delik pers yang kedua
terjadi pada November 1920. Beliau dituduh menghina Sri Bagian Ratu
Wilhemnia, menghina Badan Pengadilan, menghina Pangreh Praja, dan
menghasut untuk merobohkan pemerintah. Hukuman yang diterimanya adalah
masuk penjara di Pekalongan. Sesudah keluar dari penjara, tidak berapa lama
kemudian ia masuk lagi karena delik pidato. Ia dijatuhi hukuman selama tiga
bulan. Mula-mula ditempatkan di penjara Mlaten Semarang, kemudian
dipindahkan ke penjara pusat di Pekalongan.
Selain itu, K.H. Dewantara juga pernah menulis karangan yang berjudul
“Seandainya saya seorang Belanda” yang merupakan tamparan tersendiri untuk
Belanda. Akibat artikel tersebut, beliau ditangkap dan ditahan. Pada 18 Agustus
1913 keluarlah surat keputusan dari wali negara, beliau dikenakan hukuman
buang. Lalu beliau memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.
Pada tanggal 6 september 1913, beliau meninggalkan tanah air menuju ke tempat
pengasingan.
Menurut keputusan pemerintah, pada 17 Agustus 1917 berakhirlah hukuman
pengasingan bagi K.H. Dewantara. Namun, keinginan untuk pulang kembali ke
taneh air terpaksa ditunda karena perang di Eropa belum selesai. Akhirnya pada
tanggal 26 Juli 1919, keluarga K.H. Dewantara dapat meninggalkan negeri dingin
tersebut, bertolak menuju ke tanah air. Dan pada tanggal 5 September 1919
mereka mendarat di Jakarta dengan selamat.
Sebelum tahun 1922, K.H. Dewantara adalah seorang politikus terkemuka.
Hukuman pengasingan, hukuman penjara ataupun penahanan-penahanan
terhadap dirinya tidak mampu manahan dan mematahkan kegiatannya dalam
usahanya mencapai cita-citanya.
Pada tanggal 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara wafat dengan tenang di tempat
kediamannya Padepokan Muja-muju Yogyakarta sesudah melaksanakan tugas
luhur dan mengabdi kepada bangsanya sejak berusia 24 tahun. 
Demikianlah sedikit lukisan mengenaia K.H. Dewantara, seorang tokoh pejuang
nasional angkatan 1908 ynag sangat besar jasanya dan selalu berusaha menuju
ke arah  persatuan dan kesatuan. Beliau adalah perintis kemerdekaan, perintis
pendidikan nasional dan perintis kebudayaan nasional. Karena jasanya yang
besar itu, dia diangkat oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan bangsa pada
tanggal 8 Maret 1955. Kemudia, pada tanggal 28 April 1959 Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) mengangkat K.H. Dewantara sebagai Ketua Kehormatan PWI
secara posthum atau anumerta karena jasanya di kalangan jurnalistik. Peristiwa
ini terjadi dua hari sesudah K.H. Dewantara wafat.

Anda mungkin juga menyukai