Kehidupan pribadi
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana
yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913.
Ayahnya, Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas
kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari
ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu,
ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-
Jawa. Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-
pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius (1878)
terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester
Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga
Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia
menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel,
seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker
yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda.
Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian
menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja
Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh
Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun
1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Riwayat hidup
Masa muda
Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika
Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Ia bahkan
menjadi warga negara Republik Transvaal. Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-
lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di
sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka
akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.
DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman
KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani
menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia
Belanda, pada tahun 1903.
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para
perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo,
untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi
nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO
di Yogyakarta.
Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani
lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk
memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di
dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari
organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
Indische Partij
Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di
dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok"
atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah
karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji
lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada
pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai
memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo.
Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.
Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang
pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang
bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original,
karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.
Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes
bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai
berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye ke beberapa
kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang
mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang
Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula
karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan
Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun
kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was"
(Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto
mendukung Suwardi.
Dalam pembuangan di Eropa
Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas
Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar
doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut
istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner
India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili, kemudian ia ditahan di Singapura (1918). Setelah
dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.
Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan
organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia
menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap
kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar
mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang
terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch
Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan
"Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga
yang konyol dan kekanak-kanakan".
Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie
in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal"
(Bangsa kita dan modal asing).
Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi
pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di
kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif
(menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya
bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.
Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan
kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini
karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang
Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di
Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis
hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai
redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan
negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah
ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis
(dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh
pengadilan.
Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar
Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang
wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma
akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis
keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa
(Europaeer).
Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah
memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat
tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang
Merah Internasional dan harus melalui sensor.
Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera
dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke
Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel,
seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia
juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari
petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibu
kota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik
Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet
Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia
menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan
dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir
sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di
mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah
di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk
tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil".
Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak
akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian
menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya
"Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain
adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar
konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29
Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Penghargaan
Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar
dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung
utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya
dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.
Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah
kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan
pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").