Anda di halaman 1dari 8

PEMBUKAAN

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau umumnya dikenal


dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah salah
seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal


abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas
nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang
merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang
pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

HIDUP PRIBADI
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8
Oktober 1879. Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada
tanggal 8 Oktober 1879. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa
Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-
Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan
keluarganya pun sering berpindah-pindah.
Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968),
anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903. Perkawinan
ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella


Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun
1927. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941
pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna
menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang
Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian
resmi terlebih dahulu.
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap
sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang
mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo
yang berstatus janda beranak satu. Douwes Dekker tidak lama
kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker
kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly
menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan
oleh Sukarno.
RIWAYAT HIDUP
Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan
pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke
Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit setingkat HBS di
Batavia.
Douwes Dekker memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun
1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[3] Ia
bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal. Di sana ia mulai
berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya
mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia
Belanda terhadap warganya.

Sebagai wartawan
DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja
sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara.
Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara
Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di
Hindia Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat


kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran
Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis
kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya,
seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu,
membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia
menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya
menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang
tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat
Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant
setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie
Wort.
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia
menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan
nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk
belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim
sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan
menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.

Indische Partij
Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni .
Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci
pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi
posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang
sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi.
Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena
pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang
pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo.

pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo


dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis
inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[2][5] Kampanye ke
beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang
dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar,
diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan
diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap
dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-
kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913
karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program


doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia
tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara
agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya". Setelah
dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.
Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam
dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi
Insulinde yang bernama De Beweging.
Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa
protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau
Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena dianggap mengompori
para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde
cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada
tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru
menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang
dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur
De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis
"Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa
asing!". Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan
penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas"
sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan
yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.
Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung
meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam
penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran
anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya.
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan
Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan,
dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia
banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan
dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan
bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan
sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi
pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun
1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan
kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan
kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke
Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.
Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan
bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta
Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda,
pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman
di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga
berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut
digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang
Indochina Prancis.
DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui
Belanda. Di sana ia ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman
Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne ("Padang Yahudi").[3]
Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat
permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena
kemudian banyak pendatang yang membuat keonaran.
Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan
dikirim ke Belanda, termasuk DD. Akhirnya mereka berhasil tiba di
Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal
2 Januari 1947.
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting
di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri
negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja
dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi
anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite
bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar
di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan
sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata
beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama
sekali tidak benar.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah
dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa
ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke
Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama
(dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut.


Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk
penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan
merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950
(tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006)
dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak
hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan
menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara,
tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di
Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan,
yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.

Anda mungkin juga menyukai