Anda di halaman 1dari 7

B.M.

Diah
B.M Diah bukan hanya tokoh pers, melainkan juga seorang pejuang
kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai diplomat hingga menjadi
menteri. Ia seorang tokoh yang merupakan seorang Aceh asli, yang
merintis kariernya benar-benar dari bawah. Ironisnya, ia nyaris tidak
dikenal oleh masyarakatnya sendiri di Aceh, kecuali hanya oleh
segelintir saja.

KELUARGA
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin.
Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus,
Sumatera Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh
Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian
menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.

Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang
menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari 8
bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua
ayahnya.

Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di


lingkungannya. Namun hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir
Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi
karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya
kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk
itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun
delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin
diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah. Meski kedua orangtuanya
telah tiada, BM Diah tetap serius bersekolah.

MASA KECIL

ketika BMD kecil masih berusia 8 tahun, Siti Saidah, ibunya pun
meninggal dunia. Secara beruntun, kakak-kakaknya yang sebelumnya
secara bergiliran menjadi tempatnya menumpang hidup, satu persatu
meninggal dunia.

Diah kecilnya kerap mendatangi stasiun kereta api yang hanya


sepelemparan batu dari rumahnya .Apa yang ia lihat, acapkali adalah
tentara-tentara Belanda yang telah menjadi mayat. Mereka mati saat
bertempur di pedalaman-pedalaman Aceh. Sejak itulah ia memahami,
Belanda adalah musuh. Terlebih, sehari-hari ia kerap mendengar
umpatan-umpatan orang-orang tua tetangganya yang ditujukan kepada
Belanda.

Melanjutkan sekolah dan bekerja


Burhanuddin belajar di HIS), Hollands Inlandsche School) yang
berada di kawasan Peunayongsatu kawasan Pecinan di Banda Aceh.,

kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini


diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru
Belanda.

lalu pindah ke Algemene Middelbare School (AMS). Tak betah di


sini, lantas ia pindah ke sekolah Muhammadiyah. Dia masih tetap
tidak betah, hingga memutuskan hengkang ke Bandung dan
melanjutkan di Moderne Middelbare Handelsschool. Kemudian
berujung ke Middelbare Journalisten School. Baru di sekolah
terakhir ini ia merasa menemukan apa yang ia cari.

Sehingga ia berkenalan dengan E.F.E Douwes Dekker. Sosok itu


adalah figur yang membuat BMD merasa bangga. Seorang guru
berjiwa pemberontak. Saat mengajar Sejarah, Dekker bahkan tidak
menyebut nama Hindia Belanda, sebagai nama resmi saat itu.
Melainkan menyebut Indonesia, tanpa merasa takut.

Dekker juga sempat memberikan nasihat berharga bagi Diah, yang


diingat olehnya hingga usia senja. Jika kau ingin melawan dunia
Barat, kau harus menguasai pengetahuan mereka!

Dari sanalah, BMD kemudian menekuni berbagai pengetahuan di


sekolahnya, sambil juga mengasah kemampuan jurnalistiknya. Dari
profesi itu juga ia berkenalan dengan banyak pemuda pejuang lainnya,
tak terkecuali Sukarno yang merupakan idolanya sejak masih di
Medan.

Di barisan Sukarno, dengan kemampuan Diah dalam jurnalistik, ia


mengampanyekan berbagai propaganda yang memuluskan pekerjaan
perjuangan. Di antara yang paling terkenang olehnya, saat ia turut
berada di antara sekelompok pemuda, mempersiapkan proklamasi 17
Agustus 1945.

Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di


Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh
Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik,
namun ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi
Douwes Dekker.

Saat bersekolah di Ksatrian Institut, Diah sesungguhnya tidak mampu


membayar biaya sekolah. Namun karena semangat dan tekadnya yang
keras untuk belajar, Douwes Dekker mengizinkannya terus belajar. Bahkan,
ia pun dipercaya menjadi sekretaris di sekolah tersebut.Setelah tamat
belajar dan memiliki pengetahuan di bidang jurnalistik, Diah kembali ke
Medan dan bekerja sebagai redaktur harian Sinar Deli. Namun di sana ia
hanya bekerja selama satu setengah tahun. Setelah itu, ia sering berpindah-
pindah.

Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi


redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu
setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian
Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke
Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena
dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian
mendirikan usahanya sendiri, bulanan Pertjatoeran Doenia.

Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin


bekerja di Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris.
Namun pada saat yang sama ia pun merangkap bekerja di Asia Raja.
Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain, Burhanuddin
pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.

Menikah dan mendirikan "Merdeka"


Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu
dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di
Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18
Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri
pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi


Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya
seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan
berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang
menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah menyerah
kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih
memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara
Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah.
Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.

Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah


menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan
Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah memimpin surat kabar ini
hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak
menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".

Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai


Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak,
seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah
Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya
sendiri, Harian "Pedoman".

Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran


berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis
editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno dan menentang
militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer
setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah
tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.

Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan


"Tionghoa" menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi
"Republik Rakyat Tiongkok", Harian "Merdeka" -- bersama Harian
"Indonesia Raya" -- dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap
mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".

PEMUNGUTAN NASKAH PROKLAMASI

penyusunan naskah proklamasi di lakaksanakan di rumah Laksmana


Tadashi Maeda,Rapat itu di hadiri banyak pemuda dan golongan
nasional terkemukaKejadian itu berlangsung antara pukul 2 hingga 4
dini hari Jumat 17 Agustus 1945. Dalam rapat itu juga hadir BM Diah
yang usianya baru 29 tahun .

Di rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol no. 1 itulah naskah proklamasi


terpendek di dunia dirancang, ditulis, diedit, dicoret, dibetulkan lagi,
ditulis lagi, lalu di ketikSetelah selesai dirancang dan ditulis tangan
oleh Soekarno, naskah itu diketik oleh Sajuti Melik agar terlihat lebih
bagus, rapih dan teratur dan lebih mudah dibacakan kelak saat
proklamasi kemerdekaan diumumkan pagi hari setelah matahari terbit,
tanggal 17 Agustus 1945. Setelah diketik, naskah asli proklamasi
kemerdekaan diremes-remes dan dibuang ke keranjang sampah.

B.M Diah dengan entengnya memungut kembali naskah asli itu dari
keranjang sampah dan mengantonginya. Mungkin jiwa dan darah
kewartawanannya yang mengalir dalam tubuhnya itu, membuat dia
memungut kembali sampah berupa naskah asli proklamasi
kemerdekaan yang sudah dibuang. Sepanjang hidupnya Diah memang
menjalani karir sebagai seorang wartawan dengan mendirikan harian
Merdeka pada 1 Oktober 1945.

Tindakannya yang memungut dan menyimpan naskah asli proklamasi


itu, membuat kita dan generasi mendatang bisa menikmati dan melihat
naskah tersebut.

BM Diah yang pernah menjadi duta besar untuk Cekoslowakia,


Inggris dan Thailand pada masa Soekarno, juga menjabat menteri
penerangan di awal pemerintahan Soeharto. Meski demikian dia tetap
menyebutnya sebagai seorang wartawan. Tetap sebagai profesi
aslinya. Dari Diah-lah, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia
membaca berita proklamasi kemerdekaan Indonesia di surat kabar,
yaitu harian Merdeka miliknya edisi Rabu 20 Februari 1946. Padahal
proklamasi itu sudah berlansung 7 bulan yang lalu!

Tidak hanya itu, sebagai wartawan sejati, dia selalu menghargai nara
sumber. Secarik kertas yang telah diuwel-uwel dan dibuang, yaitu
naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia, dia simpan selama 46
tahun lebih dan akhirnya dia kembalikan ke pemiliknya, Republik
Indonesia.

Pada Selasa pagi 19 Mei 1992 pukul 10.30, BM Diah bertemu


Presiden Soeharto di Bina Graha. Dia membawa naskah asli
proklamasi kemerdekaan RI yang dia pungut dari keranjang sampah di
rumah Laksamana Maeda, beberapa saat setelah naskah tersebut
disalin dan diketik. Dia menyimpannya secara pribadi kertas sangat
bersejarah itu selama 46 tahun 9 bulan 19 hari! Diah mengembalikan
naskah itu yang kemudian disimpan oleh Arsip Nasional atas anjuran
Soeharto. Penyerahan naskah asli proklamasi itu, terjadi hanya 5 tahun
sebelum dia wafat pada Juni 1997.
Mengabdi negara dan menjadi
pengusaha
Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi
duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia
dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya untuk jabatan
yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi
menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR
dan kemudian anggota DPA.

Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt


Aryadutta, di tempat yang dulunya merupakan rumah orangtua
Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Presiden
Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-
Jakarta.

WAFAT
Setelah berjuang melawan penyakit stroke sejak lama, BM Diah wafat pada
usia 79 tahun, tepatnya 10 Juni 1996 pukul 03.00.Almarhum mulai dirawat
di RS Siloam Gleneagles Tangerang 25 April 1996, kemudian dipindahkan ke
RS Jakarta pada 31 Mei 1996 sampai akhirnya menghembuskan nafas
terakhir. Menimbang jasa-jasanya yang cukup besar kepada negara, ia
dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata. Ia meninggalkan dua
orang istri, Herawati dan Julia binti Abdul Manaf, yang dinikahinya diam-
diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh
dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri
keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan.Selama
disemayamkan di rumah duka, hampir semua pejabat tinggi negara di masa
itu, mulai Presiden Soeharto dan Wapres serta Ny Try Soetrisno hingga
sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan VI melayat. Demikian juga dengan
tokoh-tokoh seperjuangan almarhum membanjiri rumah duka di kawasan
elite Jakarta Selatan itu, serta sejumlah wartawan senior dari berbagai
media massa.

Penghargaan
Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi
tanda-tanda penghargaan berikut:
Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978)
Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari
Dewan Harian Nasional Angkatan '45 (17 Agustus 1995)

Anda mungkin juga menyukai