Diah
B.M Diah bukan hanya tokoh pers, melainkan juga seorang pejuang
kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai diplomat hingga menjadi
menteri. Ia seorang tokoh yang merupakan seorang Aceh asli, yang
merintis kariernya benar-benar dari bawah. Ironisnya, ia nyaris tidak
dikenal oleh masyarakatnya sendiri di Aceh, kecuali hanya oleh
segelintir saja.
KELUARGA
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin.
Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus,
Sumatera Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh
Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian
menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang
menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari 8
bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua
ayahnya.
MASA KECIL
ketika BMD kecil masih berusia 8 tahun, Siti Saidah, ibunya pun
meninggal dunia. Secara beruntun, kakak-kakaknya yang sebelumnya
secara bergiliran menjadi tempatnya menumpang hidup, satu persatu
meninggal dunia.
B.M Diah dengan entengnya memungut kembali naskah asli itu dari
keranjang sampah dan mengantonginya. Mungkin jiwa dan darah
kewartawanannya yang mengalir dalam tubuhnya itu, membuat dia
memungut kembali sampah berupa naskah asli proklamasi
kemerdekaan yang sudah dibuang. Sepanjang hidupnya Diah memang
menjalani karir sebagai seorang wartawan dengan mendirikan harian
Merdeka pada 1 Oktober 1945.
Tidak hanya itu, sebagai wartawan sejati, dia selalu menghargai nara
sumber. Secarik kertas yang telah diuwel-uwel dan dibuang, yaitu
naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia, dia simpan selama 46
tahun lebih dan akhirnya dia kembalikan ke pemiliknya, Republik
Indonesia.
WAFAT
Setelah berjuang melawan penyakit stroke sejak lama, BM Diah wafat pada
usia 79 tahun, tepatnya 10 Juni 1996 pukul 03.00.Almarhum mulai dirawat
di RS Siloam Gleneagles Tangerang 25 April 1996, kemudian dipindahkan ke
RS Jakarta pada 31 Mei 1996 sampai akhirnya menghembuskan nafas
terakhir. Menimbang jasa-jasanya yang cukup besar kepada negara, ia
dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata. Ia meninggalkan dua
orang istri, Herawati dan Julia binti Abdul Manaf, yang dinikahinya diam-
diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh
dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri
keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan.Selama
disemayamkan di rumah duka, hampir semua pejabat tinggi negara di masa
itu, mulai Presiden Soeharto dan Wapres serta Ny Try Soetrisno hingga
sejumlah Menteri Kabinet Pembangunan VI melayat. Demikian juga dengan
tokoh-tokoh seperjuangan almarhum membanjiri rumah duka di kawasan
elite Jakarta Selatan itu, serta sejumlah wartawan senior dari berbagai
media massa.
Penghargaan
Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi
tanda-tanda penghargaan berikut:
Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978)
Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari
Dewan Harian Nasional Angkatan '45 (17 Agustus 1995)