Anda di halaman 1dari 5

Tugas Makalah Seni Rupa 

dan Karyanya
Hendra Gunawan

Oleh :
Fitriana Novalinda

XI IPA 3

 
 
 
Kata Pengantar
 
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Tokoh Seni Rupa ini tepat pada waktunya.
 
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas guru pada bidang
studi Seni Budaya. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang biografi
tokoh bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
 
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Reny Rilia, selaku guru bidang studi Seni Budaya
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang saya tekuni.
 
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang saya
tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 03 Agustus 2020

 
 
 
 
 
 

Hendra Gunawan
 
v
 
Hendra Gunawan (lahir di Bandung, Hindia Belanda, 11 Juni 1918 – meninggal di Bali,
Indonesia, 17 Juli 1983 pada umur 65 tahun) adalah seorang pelukis dan pematung yang terlahir dari
pasangan bernama Raden Prawiranegara dan ibunya bernama Raden Odah Tejaningsih. Sejak masih di
SD telah tekun belajar sendiri mengambar segala macam yang ada di sekitarnya seperti buah-buahan,
bunga, wayang (golek dan kulit) serta bintang film. Bahkan ketika duduk di kelas 7 HIS, ia sanggup
melukis pemandangan alam. Ia mulai serius belajar melukis setamat SMP Pasundan.

Mula-mula pada pelukis seorang pelukis pemandangan Wahdi Sumanta, Abdullah Suriosubroto
(ayah Basuki Abdullah). Kemudian bertemu dan berkenalan dengan Affandi, Sudarso, dan Barli. Mereka
lalu membentuk kelompok Lima serangkai. Di rumah tempat tinggal Affandi mereka mengadakan latihan
melukis bersama dengan tekun dan mendalam. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang
melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada
kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.

Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk
menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah
maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut
mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk
Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali
mengadakan pameran bersama.

Pada tahun 1938 Hendra Gunawan belajar membuat patung secara otodidak. Selama zaman
Jepang, aktif membimbing para pemuda yang berminat kepada seni lukis dan seni patung, di samping
aktif mengorganisir kegiatan seni di dalam Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di bawah pimpinan Tiga
Serangkai: Soekarno, Moh. Hatta dan K.H. Mas Mansyur. Melalui kegiatan ini Hendra Gunawan dan
kawan-kawannya banyak melukis di berbagai pelosok termasuk di tempat-tempat terlarang seperti Pasar
Ikan, Tanjung Priok dan Pelabuhan Cirebon.

Revolusi pun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama
pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir
karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan Pengantin Revolusi, disebut-sebut sebagai karya
empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat
juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Hendra Gunawan membuat poster-poster perjuangan dan
konsep-konsepnya dikirim oleh Angkatan Pemuda Indonesia dari kantor pusat Jl. Menteng Raya 31
Jakarta (kini Gedung Juang]]). Pada tahun 1945 itu juga dia mendirikan Pelukis Front bersama Barli,
Abedy, Sudjana Kerton Kustiwa Suparto dan Turkandi mereka aktif melukis pertempuran langsung di
front terdepan di samping membuat produksi perjuangan untuk
seluruh Jawa Barat.

Tahun 1946, ia pertama kali menyelenggarakan pameran tunggal dan menampilkan karya lukisan
revolusinya di Gedung Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jl. Malioboro, Yogyakarta. Pameran
ini disponsori dan dibuka oleh Soekarno, merupakan pameran lukisan pertama kali sejak berdirinya
pemerintah RI.

Pada tahun 1947, ia bersama Affandi, Sudarso, Kusnadi, Trubus, Sutioso, dan lain-lainnya
mendirikan sanggar Pelukis Rakyat. Dari sanggar ini banyak melahirkan pelukis yang cukup
diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain melukis, mematung juga merupakan bagian
dari kesehariannya. 1948 sempat belajar selama 3 bulan di Percetakan A.C. Nix Bandung dan juga
membuat ilustrasi buku De Bousren Oorlogkarya Dr. Douwes Dekker yang naskahnya diselundupkan dari
Afrika Selatan.

Tahun 1950 membuat patung Jenderal Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta yang
merupakan patung batu pertama sesudah Prambanan. Dalam tahun sama bersama Affandi, S. Sudjojono,
Jayeng Asmoro, Indro Sugondo, Surono, Abdul Katamsi Kusnadi Sindu Suarno, Setioso, Sri Murton dan
lain-lain mendirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta. Tahun 1951, 1953 membuat
Patung Tugu Muda di Semarang dan Patung Erlangga di Surabaya. Pameran tunggal ke-2 dilakukannya di
Hotel Des Indes Jakarta 1957 di antaranya memamerkan lukisan-lukisan revolusi dalam ukuran besar-
besar: seperti Penganten Pasar Cibodas, Pertempuran di Klenteng, Jenderal Sudirman dan lain-lain.

Hendra Gunawan mengaku dipengaruhi S. Sudjojono dalam kegigihan perjuangan seni, dan
Affandi dalam kesungguhan dan sistematika kerja keras sehari-hari. Ia sendiri disibukkan oleh kegiatan
melukis pasar-pasar dan lukisan dinding sangkok di Klenteng Bandung terutama dalam gerak dan
pelukisan suasana, diakuinya pengaruh dari relief Candi Borobudur, Prambanan, ukiran klasik, batik,
wayang kulit, wayang golek serta motif hiasan seni kriya berbagai daerah di Indonesia. Ia dikenal suka
melukis dengan ukuran besar, ia pernah melukis "Pangeran Cornel" dan "Arjuna menyusui anaknya",
keduanya berukuran 400 x 200 cm.

Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara
tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ketika
dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas
berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya
maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.

Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati yang
teduh, tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul dengan penyair sekaliber
Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang menetap di Bali. Umbu sangat menghargai Hendra
karena selain catatannya kerjanya didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun menulis puisi.

Ikan baginya merupakan sumber yang tidak ada habis-habisnya. Dari ikanlah ia dapat melihat
warna alami yang sesungguhnya. Sebelum ia meninggal, karya lukisnya tentang tenggelamnya kapal
Tampomas membuatnya terinspirasi. Hanya saja ia menggambarkan potret diri yang diserbu ikan-ikan.
Ternyata, potret itulah manifestasi dirinya berterima kasih pada ikan-ikan yang menjadi sumber
inspirasinya. Sayangnya lukisan tersebut tidak selesai dan diberi judul Terima Kasih Kembali Protein.
Karya lukisan ini merupakan pertanda terakhir Hendra Gunawan sebelum menghadap Illahi. Ia meninggal
di RSU Sanglah, Denpasar, Bali, 17 Juli 1983. Dan dimakamkan di Pemakaman Muslimin Gang Kuburan
Jalan A. Yani, Purwakarta.

Source by. Wikipedia

Sumber dari Wikipedia

Anda mungkin juga menyukai