Anda di halaman 1dari 12

Perjuangan Tan Malaka

Tan Malaka adalah seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI)
Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangat gerakan modernis Islam
Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tan Malaka adalah tokoh yang diduga kuat sebagai orang
di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir pada bulan Juni 1946 oleh “sekelompok
orang tak dikenal” di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam
menghadapi Belanda.

Tan Malaka mulai terjun ke dunia politik pada tahun 1921. Ia pun mulai
mengeluarkan semangatnya mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Ia juga kerap
berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam
pemerintahan Hindia Belanda.Bahkan ia juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam
bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu
sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi
komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun
pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga
mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Semangat yang begitu besar dalam diri Tan Malaka memunculkan niatnya untuk
mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader
baru. Tan Malaka memiliki tiga alasan kuat untuk itu. Alasan pertamanya adalah memberi
banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis
(berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain).
Alasan lainnya yaitu memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran
mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan. Terakhir, untuk memperbaiki nasib
kaum miskin. Rapat pun diadakan dan dihasilkan keputusan ruang rapat SI Semarang
menjadi sebuah sekolah yang semakin lama berkembang pesat.

Tan Malaka juga aktif dalam gerakan-gerakan melawan ketidakadilan seperti yang
dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi
pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada
rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Dengan semangat yang berkobar, Tan Malaka memulai menyusun rencana untuk
mendukung para buruh. Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan
umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang
akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan
revolusioner. Sekiranya begitulah isi pidato Tan Malaka kala itu.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab
yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya
memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-
Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat


bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu.
Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa
daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda
dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang
disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa
ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang
yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan
yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Namun pada waktu itu Tan Malaka sedang berkumpul dengan beberapa temannya
di Bangkok, Thailand. Pada Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai
Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju
Republik Indonesia”. Tulisan tersebut ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di
Indonesia dan di negeri Belanda. Buku tersebut diterbitkan pertama kalinya di Kowloon,
Hong Kong, pada April 1925.

Pada 3 Juli 1946 Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan ditangkap
dan ditahan di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah
meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan
Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia
akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil
diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis
pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Namun kejadian mengejutkan terjadi pada tahun 1949, tepatnya bulan Februari.
Tan Malaka hilang tanpa kabar. Sosoknya ditemukan telah tewas setelah berjuang
bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Setelah Harry A. Poeze
melakukan penelitian, terungkaplah bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21
Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.
Perjuangan Buya Hamka Memajukan Umat dan Bangsa

Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK), barisan perlawanan
gerilya terbesar di wilayah Sumatera Barat.

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Buya Hamka bergerilya di hutan


sekitar Medan. Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian
meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya
penjajah Belanda yang terus kian merebak di seluruh Tanah Air.Buya Hamka melewati
batas-batas perjuangan politik dalam kehidupan umat dan bangsa Indonesia.“Buya Hamka
berjuang untuk memajukan umat dan negara-bangsa dalam berbagai lapangan kehidupan
sejak dari kesusastraan, pemikiran keagamaan (terutama tasawwuf dan tafsir), pendidikan
modern Islam, dakwah, politik, dan perjuangan melawan kebatilan kolonialisme pra dan
pasca kemerdekaan,”.Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan
Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.

Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan
barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatera Barat. Hamka sendiri sangat aktif
bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.

Hamka memiliki intelektualisme yang kosmopolitan melalui bacaannya atas karya


sastrawan, filsuf, sejarawan, ideolog, dan lain-lain seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Akkad, Mustafa al-Manfaluti, Hussain Haykal, Albert Camus, William James, Sigmud
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Pierre Loti, dan banyak lagi.

“Hamka dengan demikian memberikan contoh tentang keluasan bacaan, tanpa prasangka
yang kemudian dia refleksikan secara kritis,” ucapnya.

Sikap intelektual Hamka seperti ini, menurutnya, sangat relevan dan sesuai dengan
konteks tantangan kaum intelektual dan ulama Indonesia masa kini dan mendatang, yang
harus terus membuka perspektif dan horizon intelektualisme kritis mereka di tengah
lingkungan yang terus berubah dan berkembang sangat cepat
Perjuangan tuanku Imam Bonjol

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku
Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda.
Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan
kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai
dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut “Perjanjian Masang”.
Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai
Sikat.

Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus


mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro
selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan
seluruhSumatraBarat.

Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan
musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam
Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini
terjadi pada tahun 1832.

Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor
Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia
mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Palakat Panjang”, Tapi Tuanku Imam
curiga.

Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun
ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima
perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat.
Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos
1837.

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol
akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada
akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief
menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di
samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama
pengasingannya
Perjuangan Ilyas Yakub

Siapa yang kenal dengan sesosok pahlawan H.Ilyas Yakub ? sesosok pahlawan yang tidak
pernah kita lihat dalam buku pelajaran sekolah tetapi ikut berperan dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah seorang ulama dari minangkabau,
lulusan Mesir, diangkat menjadi pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia dengan SK-
Mensos RI Nomor : Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968. Pada tanggal 13 Agustus
1999 dianugerahi tanda kehomatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya
mempertahankan prinsip-prinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda.Beliau
juga pendiri partai politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia, 1932) berbasis pada
lembaga-lembaga pendidikan islam di Indonesia. Karena jasanya sebagai ulama dan,tokoh
pendidikan dan politikus islam di awal kemerdekaan tahun 1948 ia dipercaya pada negeri
yang Islam sebagai ketua DPR Provinsi Suatera Tengah merangkap penasihat Gubernur.

Profesi nya sebagai wartawan membuatnya tegas dan keras menentang perilaku
imperialisme dan kolonialisme Belanda. Sikap radikalismenya justru mengangkat martabat
dan integras dirinya sebagai tokoh islam dan nasionalisme yang kuat. Di pihak lain
(Belanda) melihat H.Ilyas Yakub sebagai musuh bebuyutan karena di sisi lain beliau
sebagai ulama dan memiliki jiwa nasionalisme, sehingga dengan segala cara Belanda
akhirnya dapat menangkapnya dan dibuang bersama isterinya ke Bouven Digul (sekarang
Papua).

Saat di Mesir H.Ilyas Yakub aktif dalam berbagai organisasi dan partai politik di antaranya
Hizb al-Wathan (Partai Tanah Air) didirikan oleh Mustafa Kamal yang membuatnya
semakin antih penjajah. Ia juga pernah menjabat sebagai ketua Perkumpulan Mahasiswa
dan Malaysia (PMIM) di Mesir, wakil ketua organisasi sosial politik Jam'iyat al-Khairiyah
dan ketua organisasi politik Difa' al-Wathan. Selain itu H.Ilyas Yakub bersama rekannya
Muchtar Luthfi mendirikan dan memimpin Majalah Seruan Al-Azhar dan Majalah Pilihan
Timur. Majalah Seruan Al-Azhar adalah majalah bulanan yang dibaca oleh mahasiswa
sedangkan Majalah Pilihan Timur adalah majalah politik. Kedua majalah tersebut banyak
dibaca mahasiswa Indonesia-Malaysia di Mesir.

Karya jurnalistik dan politik anti enjajah di Mesit tercium oleh Belanda. Melalui
perwailannya di Mesir, Belanda mencoba melunakkan sikap radikal Ilyas Yakub, tetapi
gagal. Sejak saat itu Belanda tidak hanya menganggap Ilyas Yakub sebagai radikalis tetapi
ekstrimis dan musuhnya di Indonesia. Saat di tanah air, ia menemui teman-temannya di
Jawa yang bergerak dalam PNI dan PSI. Dari pengalaman dua partai tersebut Ilyas Yakub
berpikir, bahwa Islam dan kebangsaan adalah penting dikombinasikan. Kemudian, H.Ilyas
Yakub sekembali dari kunjungan ini tahun 1930 men-set up idenya: Islam dan kebangsaan
dalam dua kegiatannya yakni bidang jurnalistik dan politik. Dalam bidang jurnalistik
diwadahi dengan penerbitan pers. Dalam bidang politik ia bersama temannya Muchtar
Luthfi mendirikan wadah baru bernama PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) dengan
asas islam dan kebangsaan. Tujuannya menegakkan Islam dan dan kebangsaanuntuk
mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dengan dasar Islam PERMI menjalankan politiknya
dengan non kooperasi dan tak kenal kompromi dengan bangsa apapun yang mempunyai
sikap imperialisme dan kolonialisme. Karena itu pula PERMI mencap bahwa kapitalisme
dan Imperialisme merupakan penyebab penderitaan rakyat Indonesia.

PERMI pada awal mulanya bernama PMI (Partai Muslim Indonesia). PMI ini berbasis pada
lembaga pendidikan Islam. Ide dasarnya, pemberdayaan sekolah agama dengan berbagai
inovasi ke arah sistem modern, dimulai perbaikan kurikulum, penjenjangan program dan
lama masa pendidikan, memberi perlindungan kepada pelajar serta mengorganisasikan
sekolah agama sebagai basis perjuangan kemerdekaandan sentra pencerdasan bangsa
dengan pengetahuan Islam dan kebangsaan.

Pada tahun 1932 PMI mengadakan konsolidasi. Partai ini menyadari perjuangan Islam dan
kebangsaan perlu dikukuhkan baik internal maupun eksternal. Kalau tadi Ilyas Yakub tidak
mengenal kompromi dengan watak imperialisme dan kolonialisme, dalam PERMI ia bisa
berkompromi dengan partindonya Soekarno. Bentuk komprominya dalam bemtuk koalisi
memperkuat perjuangan kebangsaan.Karena dianggap membahayakan pemerintahan,
maka berdasarkan vargader verbod Belanda mengeluarkan kebijakan exorbita terecthen
yang menyatakan PERMI terlarang dan diikiuti tindakan penangkapa terhadap tokoh-
tokohnya.

Banyak perjuangan Ilyas Yakub yang tidak tercatat secara keseluruhan. Namun beliau telah
memenuhi ajakan 'Isy karima aw mut syahida (hidup sebagai seorang mulia atau mati
syahid) syahid disini adalah jasa beliau kepada Islam dan kebangsaan, turut
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ilyas Yakub menghembuskan nafas terakhirnya
pada sabtu, 2 Agustus 1958.

Biarpun kepahlawanan Ilyas Yakub diabadikan dengan pemberian namanya kepada


gedung sekolah, nama jalan serta dibangun sebuah patung di perapatan jalan di gerbang
kota painan, pesisir selatan, itu tidak cukup karena dengan begitu kita hanya mengetahui
nama tetapi tidak mengenal siapa Ilyas Yakub. Apalagi perjuangan Ilyas Yakub yang sesuai
dengan kondisi negara kita saat ini, bahkan pemerintah memintahkan agama dan negara
harus dipisahkan. Sangat disayangkan tokoh Ilyas Yakub tidak ada dalam buku pelajaran
sejarah selama kita belajar tentang pahlawan negara Indonesia, sehingga kita tidak bisa
mendiskusikan, tidak mengetahui bahwa Islam ternyata juga berperan dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita tidak mengetahui bahwa problema yang
terjadi saat ini juga dialami oleh pahlawan-pahlwan kita di masa lampau.
Perjuangan Menuju Kemerdekaan

Keadaan genting terjadi di Indonesia, pemerintah kolonial menangkap Sukarno dan tokoh-
tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Penangkapan ini menyurutkan semangat
pergerakan. Kemudian, Sjahrir kembali ke tanah air disusul oleh Hatta. Kongres di
Yogyakarta pada Februari 1932 yang didorong oleh Golongan Merdeka, didirikan Partai
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dengan ketua terpilih Sukemi. Begitu ia tiba di
Tanah Air, bergabung dan kongres Bandung (Juni 1932) ditunjuk menjadi ketua dan
Sukemi wakilnya. Beberapa bulan sekembalinya Hatta kemudian mengambil alih
kepemimpinan dan Syahrir sebagai wakilnya. PNI baru kemudian di pindah ke Jakarta,
gerakannya lebih radikal meskipun tanpa aksi massa dan agitasi. Hatta dan Sjahrir
mengambil alih PNI Baru agar pergerakan nasional terus berlanjut. Karena gerakannya
yang radikal, pemerintah kolonial menangkap mereka dan diasingkan ke Boven Digul,
Papua (1934) lalu ke Banda Neira (1936) dan ke Sukabumi (1942).

Saat Jepang masuk dan mengusir Belanda, Sukarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan
Jepang sedangkan Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah. Ia yakin bahwa
Jepang tak mungkin memenangkan perang pasifik sehingga kaum pergerakan mesti
menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul gerakan
bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan
pergerakan selama ia dalam pengasingan. Ia kemudian menyusun kekuatan sambil
menunggu momentum perebutan kekuasaan dan kemerdekaan. Sekembalinya Sukarno
dari pengasingan di Sumatera Juli 1942, Sukarno menemui Sjahrir dan Hatta di kediaman
Hatta. Mereka bertiga sepakat untuk membuat rencana perjuangan yaitu Sukarno dan
Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya
yang berjuang melawan Jepang. Sedangkan, Sjahrir memilih memimpin gerakan bawah
tanah.

Jepang akhirnya terdesak oleh pasukan Sekutu, Sjahrir mengetahuinya melalui stasiun
radio bawah tanah. Berita tersebut segera ia sampaikan dan menyiapkan gerakan bawah
tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Sjahrir yang didukung para pemuda
mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus
karena Jepang sudah menyerah. Sukarno dan Hatta yang belum mengetahui berita
tersebut, tidak menanggapinya dan menunggu keterangan dari pihak Jepang. Sesuai
prosedur, keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk
Jepang, proklamasi direncanakan 24 September 1945.

Sjahrir yang telah mengerti kekalahan Jepang tersebut segera mempersiapkan proklamasi
kemerdekaan. Ia mengumumkan berita tersebut ke seluruh daerah berbasis PNI
Pendidikan, diantaranya Cirebon. Melalui dokter Soedarsono, tokoh gerakan bawah tanah
pimpinan Sjahrir di Cirebon dibacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang
disaksikan sekitar 150 orang. Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air
secepatnya karena khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian
dari diskusi pertemuan antara Sukarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi yang berarti
kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah Jepang. Ternyata harapannya tidak tercapai
dan proklamasi tersebut tidak pernah diakui.

Kondisi revolusioner saat itu menimbulkan berbagai kecamuk, dua tokoh yang populer di
kalangan pejuang yaitu Tan Malaka dan Syahrir bertentangan dalam bentuk perjuangan
kemerdekaan. Syahrir menulis “Perjuangan Kita”, sebuah risalah peta persoalan dalam
revolusi Indonesia serta analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Tulisannya
tampak berseberangan dengan Sukarno yang menekankan pada persatuan. Dalam
tulisannya "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer dan karena itu insidental.
Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan
semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan". Ia mengecam
Nasionalisme Sukarno yang di bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: yang tak lain
adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.

Para pemuda yang kecewa dengan sikap Sukarno dan Hatta, menganggap sikap tersebut
menunjukkan Kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah dari Jepang. Pada 16 Agustus,
Sukarno dan Hatta diculik para pemuda ke Rengasdengklok dipaksa untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan indonesia. Akhirnya, Sukarno dan Hatta menyetujui
untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Pada 7 Oktober 1945, 40 anggota Komite Nasional menandatangani petisi kepada Presiden
Sukarno, menuntut Komite Nasional dijadikan badan legislatif bukan pembantu Presiden.
Dengan suara bulat, rapat memutuskan kekuasaan Presiden dialihkan ke Komite. Sebagai
landasan, pemerintah menerbitkan Maklumat Nomor X yang ditandatangani Wakil
Presiden Mohammad Hatta. Terjadi penyerahan kekuasaan DPR kepada Komite Nasional,
Sjahrir ditunjuk sebagai Ketua Badan Pekerja sementara Amir Sjarifoeddin sebagai wakil.
Komite harus bersih dari unsur Jepang untuk menghadapi dunia internasional agar
mendapat pengakuan kemerdekaan. Di sisi lain, Belanda merupakan bagian dari Sekutu,
sangat ingin kembali menjajah Indonesia. Sekutu pun belum mengakui kemerdekaan
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai