Anda di halaman 1dari 5

Sang Proklamator RI

Drs. H. Mohammad Hatta atau yang akrab dipanggil Bung Hatta adalah proklamator
Indonesia sekaligus pejuang kemerdekaan yang kerap disandingkan dengan Soekarno.

Bung Hatta memulai Pergerakan politiknya,  ketika mulai bersekolah di Belanda dari tahun
1921 hingga 1932. Bung Hatta bersekolah di Handels Hogeschool, selama bersekolah di sana
ia masuk organisasi sosial Indische Vereeniging.  Organisasi ini awalnya organisasi biasa, kini
berubah menjadi organisasi politik setelah adanya pengaruh dari Tiga Serangkai yaitu Ki
Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. 

Pada tahun 1923, Bung Hatta menjadi bendahara dan mengelola majalah Hindia Putera yang
lalu berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada tahun 1924, organisasi ini berubah
nama menjadi Indische Vereeniging yang berarti Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1926,
ia diangkat menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, PI
mulai berubah menjadi lebih fokus mengamati perkembangan pergerakan di Indonesia.

Bung Hatta termasuk orang yang tidak percaya komunis sejak ia mengikuti sidang di Jerman.
Sampai tahun 1931, Bung Hatta memilih mundur dari kedudukannya yakni pemimpin PI
karena ingin fokus skripsi. Akibat pemunduran dirinya, PI jatuh ke tangan belanda dan
mengecam ia bersama Soekarno keluar dari organisasi ini. Saat pernah diasingkan di
Belanda karena dituduh kurang konsisten, ini yang membuat saya kagum karena ia tetap
aktif menulis, membaca, bahkan bercocok tanam. Saat era penjajahan Jepang pun, ia tetap
gigih membela kepentingan rakyat Indonesia melalui kesempatan yang ia dapat karena
ditawari kerja sama oleh Jepang. Di masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
sebagai wakil presiden ia sangat gigih mempertahankan naskah Linggarjati yang akhirnya
disetujui KNIP. Ia juga berhasil mempertahankan Perjanjian Renville yang menyebabkan
jatuhnya kabinet Amir, dan digantikan kabinet Hatta. Pada era ini, ia merangkap jabatan
yaitu sebagai perdana menteri sekaligus menteri pertahanan. Ia juga termasuk orang yang
membuat teks proklamasi bersama Soekarno dan langsung diangkat menjadi wakil presiden
pertama Indonesia pada 18 Agustus 1945. Tetapi di akhir tahun 1956, Hatta tidak sejalan
dengan Soekarno karena ia tidak suka politik memasukkan unsur komunis pada era kabinet
saat itu. Sebelum mundur dari jabatannya, ia berhasil mendapat gelar Doctor Honoris Causa
dari Universitas Gajah Mada. Bung Hatta Wafat pada 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Selama hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit
sebanyak 6 kali hingga dia meninggal. Tepat keesokan harinya, Hatta disemayamkan di
kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta lalu dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta

Hal yang bisa dipetik dari sosok Bung Hatta ini adalah harus tetap teguh pada pendirian diri
sendiri. Lakukan apa yang memang benar dan baik, terlebih itu bermanfaat untuk orang lain.

Peran sang Proklamator


Mengutip Kemdikbud RI, tokoh yang berperan sebagai proklamator adalah

Ir Soekarno dan Moh Hatta. Berikut ini penjelasannya: Soekarno Soekarno atau Bung Karno
lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dan wafat pada 21 Juni 1970, dimakamkan di Blitar. Aktif
dalam berbagai pergerakan sejak menjadi mahasiswa di Bandung. Pada 1927, Soekarno
bersama kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Ia sering keluar masuk penjara akibat perjuangan melawan penjajah. Baca juga: Naskah
Proklamasi Kemerdekaan Pernah Dibuang di Keranjang Sampah Pada zaman pendudukan
Jepang, Soekarno pernah menjadi ketua organisasi Putera, Chuo Sangi In dan PPKI, serta
pernah menjadi anggota BPUPKI. Setibanya di Indonesia dari Saigon, Soekarno
menyampaikan pidato singkat yaitu pernyataan Indonesia sudah merdeka sebelum jagung
berbunga. Pidato ini semakin membakar semangat rakyat Indonesia.

Bersama Moh Hatta, Soekarno menjadi tokoh sentral yang terus didesak para pemuda agar
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hingga diungsikan ke Rengasdengklok.
Kembali dari Rengasdengklok, Soekarno bersama Moh Hatta dan Achmad Soebardjo,
merumuskan teks proklamasi dan menuliskan pada secarik kertas.

Soekarno dan Moh Hatta diberi kepercayaan untuk menandatangani teks proklamasi. Pada
17 Agustus 1945, peran Soekarno semakin penting. Secara tidak langsung, Soekarno terpilih
menjadi tokoh nomor satu di Indonesia. Soekarno didampingi Moh Hatta, dipercaya
membacakan teks proklamasi sebagai pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Maka dari itu, Soekarno dikenal sebagai pahlawan proklamator. Baca juga: Latar Belakang
Peristiwa Rengasdengklok Moh Hatta Moh Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 dan
wafat pada 14 Maret 1980, dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir Jakarta. Sejak
menjadi mahasiswa di luar negeri, ia sudah aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hatta menjadi salah seorang pemimpin dan ketua Perhimpunan Indonesia di BElanda.
Setelah kembali ke tanah air, ia aktif di PNI bersama Soekarno. Setelah PNI dibubarkan,
Hatta aktif di PNI baru. Pada masa pendudukan Jepang, Hatta menjadi salah seorang
pemimpin Putera, menjadi anggota BPUPKI dan wakil ketua PPKI. Saat menjabat sebagai
wakil PPKI, Moh Hatta dan Soekarno menjadi dwi tunggal yang sulit dipisahkan.

Bersama Soekarno, Hatta pergi menghadap Terauchi di Saigon. Setelah pulang, Moh Hatta
juga menjadi salah satu tokoh sentral yang terus didesak para pemuda agar bersama
Soekarno menyatakan proklamasi Indonesia secepatnya. Moh Hatta melibatkan diri secara
langsung dan ikut andil dalam perumusan teks proklamasi. Hatta juga ikut menandatangani
teks proklamasi. Pada peristiwa detik-detik proklamasi, Moh Hatta tampil sebagai tokoh
nomor dua dan mendampingi Soekarno dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Maka dari itu, Hatta dikenal sebagai pahlawan proklamator

Perjuangan Cut Nyak Dien


Siapa tak kenal Cut Nyak Dien. Pejuang perempuan dari Tanah Rencong.
Namanya dikenang abadi dalam catatan sejarah perjuangan Indonesia
berkat keberanian dan kegigihannya melawan pasukan kolonial Belanda.
Walaupun pada akhirnya ia berhasil dibekuk dan wafat dalam pengasingan
di Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada tahun 1848. Ia
merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang memimpin sebuah
kenegerian/nanggroe setingkat kabupaten) di VI Mukim.

Kendati kalangan bangsawan, keluarga Cut Nyak Dien dikenal sebagai


keluarga yang sangat taat melaksanakan perintah atau syariat Islam. Oleh
sebab itu, sejak dini Cut Nyak Dien sudah dibekali dengan ilmu agama oleh
keluarganya.

Masa perjuangan Cut Nyak Dien dimulai sejak 26 Maret 1873. Kala itu
Belanda telah menyatakan perang kepada Aceh. Tak tanggung-tanggung,
pasukan yang dikerahkan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh
berjumlah sekitar 3.198 prajurit.

Pada 8 April 1873, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Johan Harmen


Rudolf Kohler, mendarat di Pantai Ceureumen, dan berhasil menguasai
Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya menguasai, Kohler dan pasukannya
pun membakar masjid tersebut di hadapan rakyat Aceh.

Cut Nyak Dien yang melihat peristiwa tersebut seketika memberang. Ia pun
berseru, "Lihatlah wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak!
Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini?
Sampai kapan kita menjadi budak Belanda?"

Kendati berhasil memenangkan perang pertama dan menewaskan


pimpinan pasukan Belanda, yakni Kohler, pertempuran belum berakhir. Di
bawah pimpinan berikutnya, yakni Jenderal Han van Swieten, daerah VI
Mukim, yang notabene tempat tinggal Cut Nyak Dien, berhasil dikuasai
Belanda. Setahun berikutnya, Keraton Sultan pun jatuh. Hal itu membuat
Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana mengungsi pada
Desember 1875.

Pada 29 Juni 1878, suami Cut Nyak Dien, yakni Ibrahim Lamnga gugur
dalam pertempuran melawan Belanda ketika tengah berupaya merebut
kembali VI Mukim. Hal itu membuat Cut Nyak Dien semakin geram dan
bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Pada momen ini, tokoh pejuang rakyat Aceh lainnya, Teuku Umar,
akhirnya melamar Cut Nyak Dien. Pada awalnya Cut Nyak Dien menolak
pinangan tersebut. Namun, karena Teuku Umar mengizinkan dan
mempersilakannya untuk terjun dalam pertempuran melawan Belanda, Cut
Nyak Dien akhirnya menerima dan menikah dengannya pada 1880. Hal
tersebut meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk
melawan kaphe ulanda (Belanda Kafir).

Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien kembali berjuang untuk melawan
pasukan Belanda. Pada 1893, Teuku Umar sempat melakukan siasat
dengan berpura-pura menyerahkan diri dan menjalin kerja sama dengan
Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengetahui berbagai strategi perang
Belanda.

Siasat itu berhasil dilaksanakan. Setelah tiga tahun berkamuflase, Teuku


Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Tak ayal Belanda harus terus
menerus mengganti jenderal perangnya di Aceh kala itu. Namun nahas,
pada Februari 1899, Teuku Umar harus wafat akibat tertembak oleh
pasukan Belanda dan Cut Nyak Dien kembali kehilangan suaminya.

Kepergian Teuku Umar sangat memukul perasaan Cut Gambang, anak


Cut Nyak Dien dari pernikahannya dengan Teuku Umar. Di tengah
kesedihan Cut Gambang, Cut Nyak Dien sempat berkata, "Sebagai
perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang
yang sudah syahid."

Kendati kembali harus kehilangan suami, hal itu tak membuat Cut Nyak
Dien gamang dan mengerutkan naluri perjuangannya. Ia memimpin
pertempuran melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama
pasukan kecilnya.

Namun, kondisi Cut Nyak Dien memang semakin renta. Matanya pun mulai
rabun. Melihat kondisi demikan, sisa pasukan yang dipimpinnya merasa
sangat iba dan tak tega padanya. Karena perasaan iba dan tak tega itu,
salah satu pasukan Cut Nyak Dien, yakni Pang Laot Ali, akhirnya
memberikan informasi terkait keberadaan markasnya bersama Cut Nyak
Dien kepada Belanda.  

Cut Nyak Dien akhirnya berhasil ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda
Aceh, sebelum akhirnya dibuang ke Sumedang Jawa Barat pada akhir
1906. Kendati demikian, Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke tengah
hutan ketika ibunya dikepung oleh Belanda.

Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat dalam pembuangannya di


Sumedang. Berdasarkan keterangan, makam Cut Nyak Dien baru
ditemukan pada 1959. Pencarian makamnya dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dien,
diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera juga surah at-
Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh.

Anda mungkin juga menyukai