Anda di halaman 1dari 9

LATIEF HENDRANINGRAT

Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat


(lahir di Jakarta , 15 Februari 1911 meninggal di Jakarta, 14
Maret 1983 pada umur 72 tahun) adalah seorang prajurit PETA berpangkat
Sudanco (komandan Kompi) dan juga pengerek bendera Sang Saka
Merah Putih dengan didampingi oleh Soehoed Sastro Koesoemo, seorang
pemuda dari barisan pelopor. Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan
Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.

Sebelumnya banyak desas desus mengenai siapa pengibar sang Saka


Merah Putih. Setidaknya sebelum adanya seseorang yang mengaku
sebagai Pengibar bendera beberapa pada detik-detik proklamasi 1945
waktu lalu, dan dalam kenyataannya Bapak Latief ini merupakan pengibar
yang sebenarnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sekjen DPP Legiun
Veteran, Laksamana Muda TNI (Purn) Wahyono S K yang menyatakan
bahwa Ilyas Karim bukanlah pengibar pertama dan pendapat ini
dibenarkan oleh Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Asvi Marwan Adam.
Abdul Latif Hendraningrat yang pada saat menjelang pelaksanaan
pembacaan teks proklamasi 1945, adalah anggota PETA dan berpangkat
Cudacho (komandan Kompi) dan karenanya beliau ditunjuk menjadi
penanggung jawab keamanan upacara. dan pada kesempatan itu pulalah,
beliau yang mengibarkan Bendera (pusaka) dengan didampingi
oleh Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari barisan pelopor.
Bapak Abdul Latief Hendraningrat pada saat menjadi Mahasiswa Sekolah
tinggi Ilmu Hukum ini telah mengajar di berbagai sekolah menengah
swasta dan pernah dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda ke world Fair di
Newyork sebagai ketua rombongan tari. Beberapa sekolah yang pernah
diajarnya antara lain sekolah-sekolah yang di kelola oleh Muhammadiyah
dan Perguruan Rakyat
Pasukan PETA Latief bermarkas di bekas markas
pasukan Kavaleri Belanda di Kampung Jaga Monyet, yang kini bernama
jalan Suryopranoto di depan Harmoni. Setelah bergabung dengan TNI,
kariernya menanjak terus dan bahkan sempat menjadi Rektor IKIP Jakarta
(kini Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965. Dalam masa
pendudukan Jepang, Abdul Latief Hendraningrat giat dalam Pusat Latihan
Pemuda (Seinen Kunrenshoo), yang selanjutnya dia menjadi anggota
pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Dalam masa setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, Abdul Latief Hendraningrat terlibat dalam
berbagai pertempuran. Kemudian menjabat komandan Komando Kota
ketika Belanda menyerbu Yogyakarta (1948).
Setelah penyerahan kedaulatan, Abdul Latief Hendraningrat mula-mula
ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian ditunjuk sebagai
atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke Washington
hingga tahun 1956. Sekembalinya di Indonesia ia ditugaskan
memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini
menjadi (Seskoad). Jabatannya setelah itu antara lain Rektor IKIP
Jakarta (1965). Pada tahun 1967 Hendraningrat memasuki masa pensiun
dengan pangkat Brigadir Jenderal. Sejak itu ia mencurahkan segala
perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan organisasi
Indonesia Muda.[1]
Ia merupakan anak dari Kakak R.A Siti Ngaisah yang merupakan istri Djojo
Dirono, Bupati Lamongan yang memerintah pada tahun (1885-1937).
Sehingga ia juga memiliki darah dari Ken Arok, Jaka
Tingkir dan Mangkunegara I.
Almarhum Latief meninggalkan seorang istri serta seorang putra dan tiga
putri. Jenazah Latief Hendraningrat disemayamkan dirumah kediaman
Jalan Mangunsarkoro Jakarta Pusat sebekum dikebumikan diTaman
Makam Pahlawan Kalibata. Upacara Kemiliteran dipimpin oleh Menko
Kesra Surono yang saaat itu juga menjadi ketua umum Dewan Harian
Nasional Angkatan 45.
Tapi, dalam sejarah perljalanan bangsa, ia sebenarnya meninggalkan jejak-
jejak yang demikian banyak dan panjang, seperti juga ia meninggalkan
tapak-tapak pengibaran bendera pusaka kepada Paskibraka.

Yang Bisa Diteladani dari tokoh Latief Hendraningrat:


1. Dalam kondisi terjajah tetap semangat menyelesaikan studinya.
2. Giat dan tekun dalam menjalani organisasi
BM. DIAH

Burhanuddin Mohammad Diah atau B.M. Diah (lahir di Kutaraja, yang kini
dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April 1917 - Jakarta, 10 Juni 1996) adalah
seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha
Indonesia. Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah
Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, seorang pegawai
pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Ia kemudian
menambahkan nama ayahnya kepada namanya.

M Diah merupakan bungsu dari delapan bersaudara, anak dari pasangan


Burhanuddin dan Siti Sa'idah. Ayahnya seorang yang terpandang di
Aceh pada zamannya karena kekayaannya. Meski demikian, kehidupan
mapan keluarga tersebut tidak sempat dinikmati Diah karena saat Diah
baru berusia seminggu, ia sudah ditinggal mati ayahnya. Di samping itu, di
akhir hidupnya, sang ayah pun hidup boros sehingga tidak meninggalkan
harta yang banyak bagi anak-anaknya. Kekayaan yang sempat dinikmati
keluarganya pun hanya tinggal cerita bagi Diah.

Ibunya yang tinggal sendirian membesarkan BM Diah dan saudara-


saudaranya, memilih berjualan emas, intan, dan pakaian untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun kebersamaan Diah dengan
ibunya pun hanya sementara, karena delapan tahun sepeninggal ayahnya,
ibu Siti Sa'idah juga meninggal. Diah kecil pun kemudian diasuh kakak
perempuannya, Siti Hafsyah.

Meski kedua orangtuanya telah tiada, BM Diah tetap serius bersekolah.


Diah pertama sekali sekolah di HIS ( Hollandsch-Inlandsche School).
Namun karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda, ia
kemudian melanjut ke Taman Siswa di Medan,
Sumatera Utara. Saat Diah sudah berusia 17 tahun, ia meninggalkan
Medan menuju Jakarta. Di Jakarta, ia belajar di Ksatrian Institut (sekarang
Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. EE Douwes Dekker. Di sekolah
inilah, ia memilih jurusan jurnalistik dan banyak belajar tentang dunia ke
wartawanan dari pribadi Douwes Dekker sehingga kelak membentuknya
menjadi
wartawan handal.

Saat bersekolah di Ksatrian Institut, Diah sesungguhnya tidak mampu


membayar biaya sekolah. Namun karena semangat dan tekadnya yang
keras untuk belajar, Douwes Dekker mengizinkannya terus belajar.
Bahkan, ia pun dipercaya menjadi sekretaris di sekolah tersebut.

Setelah tamat belajar dan memiliki pengetahuan di bidang jurnalistik, Diah


kembali ke Medan dan bekerja sebagai redaktur harian Sinar Deli. Namun
di sana ia hanya bekerja selama satu setengah tahun. Setelah itu, ia sering
berpindah-pindah. Pertama, dari Medan ia kembali ke Jakarta dan bekerja
di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Kemudian pindah ke Warta
Harian. Karena koran tersebut dibubarkan karena alasan membahayakan
keamanan, Diah pun lantas mendirikan usahanya sendiri bernama
Pertjatoeran Doenia yang terbit bulanan.

Saat penjajahan Jepang, Diah pernah bekerja di Radio Hosokyoku sebagai


penyiar siaran bahasa Inggris. Di saat yang bersamaan, ia juga bekerja di
Asia Raja. Namun karena hal itu ketahuan Jepang, ia pun dijebloskan ke
dalam penjara selama empat hari. Saat bekerja di Radio Hosokyoku, BM
Diah bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan
sosiologi di Amerika Serikat yang kemudian menjadi pendamping
hidupnya. Pasangan itu menikah pada 18 Agustus 1942 dan memberikan
mereka dua anak
perempuan dan satu laki-laki. Pada April 1945, Diah bersama istrinya
mendirikan koran berbahasa Inggris Indonesian Observer.
Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, Diah bersama
sejumlah rekannya, seperti Joesoef Isak dan
Rosihan Anwar juga turut memanggul senjata untuk mempertahankan
kemerdekaan. Percetakan Jepang "Djawa Shimbun" yang menerbitkan
Harian Asia Raja berhasil mereka kuasai tanpa perlawanan dari tentara
Jepang.

Setelah berhasil menguasai percetakan Jepang, pada 1 Oktober 1945,


Diah mendirikan Harian Merdeka sekaligus memimpinnya hingga akhir
hayatnya. Dalam kepemimpinannya, ia tetap konsisten menjadikan Harian
Merdeka sebagai salah satu surat kabar perjuangan yang khusus berbicara
mengenai politik. Sehingga pada awal tahun 1950-an, muncul istilah
Personal Journalism, sebuah corak jurnalistik yang berkembang setelah
penyerahan kedaulatan dari Belanda.

Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, Diah bersama


sejumlah rekannya, seperti Joesoef Isak dan
Rosihan Anwar juga turut memanggul senjata untuk mempertahankan
kemerdekaan. Percetakan Jepang "Djawa Shimbun" yang menerbitkan
Harian Asia Raja berhasil mereka kuasai tanpa perlawanan dari tentara
Jepang.
Sebagai seorang nasionalis yang pro-Soekarno dan menentang
militerisme, ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah
Peristiwa 17 Oktober 1952. Akibatnya ia sering berpindah-pindah tempat
untuk menghindari kejaran petugas militer. Bahkan ketika pemerintah
Orde Baru yang lebih dikuasai militer memutuskan untuk mengubah
sebutan Tionghoa menjadi China dan Republik Rakyat Tiongkok menjadi
Republik Rakyat China, Koran Harian Merdeka bersama Harian
Indonesia Raya tetap berani mempertahankan istilah Tionghoa dan
Tiongkok.

Selain menjadi
wartawan, BM Diah pernah menjabat sebagai seorang birokrat. Setelah
Indonesia merdeka pada tahun 1959, BM Diah diangkat menjadi Duta
Besar RI untuk Cekoslowakia, Hongaria, dan untuk Kerajaan Inggris Raya,
1962. Kemudian pada Era
Orde Baru, ia diangkat menjadi
Menteri Penerangan pada Kabinet Ampera, tahun 1966 oleh
Presiden Soeharto. Dalam perjalanan berikutnya, ia juga pernah menjadi
anggota DPR dan DPA.

Di luar pemerintahan, ia pernah menjabat sebagai Ketua PWI pada tahun


1971, kemudian menjadi Presiden
Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-
Jakarta. Di masa tuanya, ia kemudian mendirikan Hottel Hyatt Aryaduta.

Berkat jasa-jasanya yang teguh memperjuangkan kepentingan bangsa dan


negara, BM Diah menerima Bintang Mahaputra Utama dari
Presiden Soeharto pada 10 Mei 1978. Selanjutnya, menerima piagam
penghargaan dan medali perjuangan angkatan '45 dari Dewan Harian
Nasional Angkatan 45 pada 17 Agustus 1995.

Setelah berjuang melawan penyakit stroke sejak lama, BM Diah wafat


pada usia 79 tahun, tepatnya 10 Juni 1996 pukul 03.00 dini hari. Almarhum
mulai dirawat di RS Siloam Gleneagles Tangerang 25 April 1996, kemudian
dipindahkan ke RS Jakarta pada 31 Mei 1996 sampai akhirnya
menghembuskan nafas terakhir.

Menimbang jasa-jasanya yang cukup besar kepada negara, ia


dimakamkan di Taman Makam
pahlawan Kalibata. Ia meninggalkan dua orang istri, Herawati dan Julia
binti Abdul Manaf, yang dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di
Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh dua orang anak
perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri keduanya ia
memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan.

Selama disemayamkan di rumah duka, hampir semua pejabat tinggi


negara di masa itu, mulai
Presiden Soeharto dan Wapres serta Ny Try Soetrisno hingga sejumlah
Menteri
Kabinet Pembangunan VI melayat. Demikian juga dengan tokoh-tokoh
seperjuangan almarhum membanjiri rumah duka di kawasan elite Jakarta
Selatan itu. Di antara teman-teman almarhum yang tampak hadir antara
lain Dr Roeslan Abdulgani, Soebadio Sastrosatomo, Mochtar Lubis, Ny
Supeni, para mantan pejabat senior Departemen Penerangan, mantan
Menko Polkam Soerono, Kharis Suhud, Yakob Oetama, Soebronto Laras,
dan tokoh-tokoh nasional lainnya. Tampak pula
Menteri Penerangan
Harmoko, mantan Menteri Lingkungan Hidup
Emil Salim, Pangdam Jaya Mayjen
Sutiyoso, M.H. Isnaini, S.K. Murti,
Dahlan Iskan, serta sejumlah wartawan senior dari berbagai media massa.

Menurut istrinya, Herawati, hingga menjelang akhir hayatnya, BM masih


tetap bekerja. Padahal suaminya itu telah menderita berbagai macam
penyakit, seperti penyakit ginjal, paru-paru, dan diabetes. Meski demikian,
jantung almarhum masih cukup kuat. "Itulah sebabnya, meski mengidap
berbagai macam penyakit, Bapak masih terus bekerja," katanya. Sebagai
seorang istri yang telah lama mendampingi BM Diah, Herawati menilai
suaminya itu adalah wartawan dan nasionalis sejati yang memperjuangkan
kepentingan bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai