Anda di halaman 1dari 11

PENDIDIKAN

Pertama, dari Medan ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po


sebagai tenaga honorer. Kemudian pindah ke Warta Harian. Karena koran
tersebut dibubarkan karena alasan membahayakan keamanan, Diah pun
lantas mendirikan usahanya sendiri bernama Pertjatoeran Doenia yang
terbit bulanan.Saat penjajahan Jepang, Diah pernah bekerja di Radio
Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Di saat yang bersamaan,
ia juga bekerja di Asia Raja.Namun karena hal itu ketahuan Jepang, ia pun
dijebloskan ke dalam penjara selama empat hari. Saat bekerja di Radio
Hosokyoku, BM Diah bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan
jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat yang kemudian menjadi
pendamping hidupnya. Pasangan itu menikah pada 18 Agustus 1942 dan
memberikan mereka dua anak perempuan dan satu laki-laki.

Pada April 1945, Diah bersama istrinya mendirikan koran berbahasa Inggris
Indonesian Observer.Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamirkan, Diah bersama sejumlah rekannya, seperti Joesoef Isak dan
Rosihan Anwar juga turut memanggul senjata untuk mempertahankan
kemerdekaan. Percetakan Jepang "Djawa Shimbun" yang menerbitkan
Harian Asia Raja berhasil mereka kuasai tanpa perlawanan dari tentara
Jepang. Pada waktu perumusan teks proklamasi di rumah kediaman Maeda,
dihadiri dari golongan pemuda, diantaranya BM Diah. Setelah perumusan
teks proklamasi disetujui hadirin kemudian diketik oleh Sayuti Melik akan
tetapi konsep teks proklamasi itu dibiarkan begitu saja, oleh karena itu
segera diambil dan dicetak oleh BM. Diah untuk disebarkan ke seluruh
Indonesia. Pekerjaan tersebut dilakukan para pemuda yang bekerja di
kalangan pers di bawah pimpinannya. Setelah Indonesia merdeka BM. Diah
diangkat sebagai anggota KNIP Malang (1945-1952). Pada tanggal 1
Oktober 1945 ia menerbitkan surat kabar Merdeka. Kegiatannya dalam
jurnalistik pun terus berlanjut, tahun 1945 memimpin redaksi surat kabar
Merdeka dan surat Kabar Indonesia Observer. Tahun 1947 ia meliput
keadaan Jerman Barat dan Berlin yang baru kalah perang. Tahun 1949 (Juli-
November) sering mengadakan wawancara dengan pemimpin-pemimpin
dunia mengenai politik diantaranya; Presiden Najib dari Mesir, Perdana
Menteri dari Nehru dari India, Perdana Menteri Chou En Lai dari Cina,
Perdana Menteri Margereth Thacher dari Inggris dan lain-lain. Dalam
kepemimpinannya, ia tetap konsisten menjadikan Harian Merdeka sebagai
salah satu surat kabar perjuangan yang khusus berbicara mengenai politik.
Sehingga pada awal tahun 1950-an, muncul istilah Personal Journalism,
sebuah corak jurnalistik yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan
dari Belanda.Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, Diah
bersama sejumlah rekannya, seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar juga
turut memanggul senjata untuk mempertahankan kemerdekaan.
Percetakan Jepang "Djawa Shimbun" yang menerbitkan Harian Asia Raja
berhasil mereka kuasai tanpa perlawanan dari tentara Jepang.Sebagai
seorang nasionalis yang pro-Soekarno dan menentang militerisme, ia
pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17
Oktober 1952. Akibatnya ia sering berpindah-pindah tempat untuk
menghindari kejaran petugas militer. Bahkan ketika pemerintah Orde Baru
yang lebih dikuasai militer memutuskan untuk mengubah sebutan Tionghoa
menjadi China dan Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat
China,Koran Harian Merdeka bersama Harian Indonesia Raya tetap berani
mempertahankan istilah Tionghoa dan Tiongkok.Selain menjadi wartawan,
BM Diah pernah menjabat sebagai seorang birokrat. Setelah Indonesia
merdeka pada tahun 1959, BM Diah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk
Cekoslowakia, Hongaria, dan untuk Kerajaan Inggris Raya, 1962.Kemudian
pada Era Orde Baru, ia diangkat menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet
Ampera, tahun 1966 oleh Presiden Soeharto. Dalam perjalanan berikutnya,
ia juga pernah menjadi anggota DPR dan DPA.Di luar pemerintahan, ia
pernah menjabat sebagai Ketua PWI pada tahun 1971, kemudian menjadi
PresidenDirektur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel
Prapatan-Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1952-1955 diangkat menjadi
anggota DPRS. Kegiatan beliau dalam pemerintahan terus berlangsung
secara berturut-turut, yaitu tahun 1957-1959 sebagai anggota Dewan
Nasional, Dewan Penasehat Presiden Soekarno.Tahun 1959-1962 diangkat
sebagai Duta Besar RI di Chekoslovakia dan Hongaria. Tahun 1960-1962
sebagai Gubernur Atomic Energy Agency (IAEA) mewakili Indonesia di Wina.
Tahun 1962-1964 sebagai Duta Besar RI di Kerajaan Muangthai, Bangkok
dan tahun 1966-1968 diangkat sebagai Menten Penerangan RI. Di masa
tuanya, ia kemudian mendirikan Hottel Hyatt Aryaduta.Berkat jasa-jasanya
yang teguh memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, BM Diah
menerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto pada 10 Mei
1978. Selanjutnya, menerima piagam penghargaan dan medali perjuangan
angkatan '45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 pada 17 Agustus
1995.

Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa


di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di
bawah asuhan guru-guru Belanda.

Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di


Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh
Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik,
namun ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi
Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah.
Namun melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus
belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi
sekretaris di sekolah itu.

Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi


redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu
setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian
Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke
Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena
dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian
mendirikan usahanya sendiri, bulanan Pertjatoeran Doenia.

Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia,


Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran
bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama ia pun merangkap
bekerja di Asia Raja. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di
tempat lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat
hari.

Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu


dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di
Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada
18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini
dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi


Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya
seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan
berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang
menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah menyerah
kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih
memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara
Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah.
Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.

Pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan, BM Diah dikenal


sebagai tokoh golongan muda yang radikal dengan organisasi yang
dipimpinnya yaitu Gerakan Angkatan Baru '45, Lahir 7 April 1917 di
Kutaraja, Aceh, pendidikannya dimulai di HIS Kutaraja tahun 1929,
MULO di Medan. Tahun 1935-1937 di Middelbaar National Handels
Collegeium di Bandung, di bawah pembinaan dari Dr. Douwes
Dekker salah seorang pendiri Indische Partij yang berhasil
mengobarkan semangat nasionalismenya. Tahun 1937-1938 menjadi
direktur utama Sinar Deli Medan di samping anggota redaksi surat
kabar Warta Harian yang terbit di Jakarta 1938-1939. Pada tahun
1938 menerbitkan majalah Peraturan Dunia dalam Film. Pada tahun
1939-1942 menjadi penerjemah dan Kepala Pers Indonesia di
Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta.

Pada saat Jepang menduduki Indonesia, ia termasuk orang yang


terkemuka di Jawa. Berkat profesinya dalam bidang kewartawanan,
pada tahun 1942-1948 diangkat jadi pemimpin surat kabar Asia Raja
di Jakarta. Walaupun demikian semangat nasionalismenya tetap ada.
Bersama dengan Chairul Saleh, Sukarni, Wikana dan lain-lain sering
mengadakan pertemuan dan akhirnya 3 Juni 1945 dibentuklah
gerakan Angkatan Baru yang bertujuan "memperjuangkan Indonesia
merdeka sekarang juga" dan ia diangkat sebagai ketuanya. Akibat
gerakannya ini, dipenjarakan dengan tuduhan melakukan tindakan
melawan pemerintah militer Jepang.

Pada waktu perumusan teks proklamasi di rumah kediaman


Maeda, dihadiri dari golongan pemuda, diantaranya BM. Diah.
Setelah perumusan teks proklamasi disetujui hadirin kemudian diketik
oleh Sayuti Melik akan tetapi konsep teks proklamasi itu dibiarkan
begitu saja, oleh karena itu segera diambil dan dicetak oleh BM. Diah
untuk disebarkan ke seluruh Indonesia. Pekerjaan tersebut dilakukan
para pemuda yang bekerja di kalangan pers di bawah pimpinannya.

B.M DIAH SETELAH MERDEKA


Setelah Indonesia merdeka BM. Diah diangkat sebagai anggota
KNIP Malang (1945-1952). Pada tanggal 1 Oktober 1945 ia
menerbitkan surat kabar Merdeka. Selanjutnya pada tahun 1952-
1955 diangkat menjadi anggota DPRS. Kegiatan beliau dalam
pemerintahan terus berlangsung secara berturut-turut, yaitu tahun
1957-1959 sebagai anggota Dewan Nasional, Dewan Penasehat
Presiden Soekarno.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah
menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan
Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah memimpin surat kabar ini
hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak
menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".

Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai


Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak,
seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan
pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat
kabarnya sendiri, Harian "Pedoman".

Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan


koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai
sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-
Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak
pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober,
sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk
menghindari kejaran petugas-petugas militer.

Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah


sebutan "Tionghoa" menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok"
menjadi "Republik Rakyat Tiongkok", Harian "Merdeka" -- bersama
Harian "Indonesia Raya" -- dikenal sebagai satu-satunya pers yang
gigih tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".

Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat


menjadi duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana
kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya
untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden
Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat
menjadi anggota DPR dan kemudian anggota DPA.

Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt


Aryadutta, di tempat yang dulunya merupakan rumah orangtua
Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai
Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT
Hotel Prapatan-Jakarta.
B.M. Diah dengan Bung Karno ternyata juga bersahabat. Bung
Karno adalah salah satu tokoh idola BMD ketika beliau masih kecil.
Bung Karno juga sempat menugaskan BMD menjadi Duta Besar
Indonesia di Praha, Cekoslowakia dan Duta Besar Indonesia di
London, Inggris.

Perjuangan dan jasa-jasanya BMD bagi negara, Diah


dianugerahi tanda-tanda penghargaan berikut:

Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978)

Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari


Dewan Harian Nasional Angkatan '45 (17 Agustus 1995)

Tahun 1959-1962 diangkat sebagai Duta Besar RI di Chekoslovakia


dan Hongaria. Tahun 1960-1962 sebagai Gubernur Atomic Energy
Agency (IAEA) mewakili Indonesia di Wina. Tahun 1962-1964
sebagai Duta Besar RI di Kerajaan Muangthai, Bangkok dan tahun
1966-1968 diangkat sebagai Menten Penerangan RI.

Kegiatannya dalam jurnalistik pun terus berlanjut, tahun 1945


memimpin redaksi surat kabar Merdeka dan surat Kabar Indonesia
Observer. Tahun 1947 ia meliput keadaan Jerman Barat dan Berlin
yang baru kalah perang. Tahun 1949 (Juli-November) sering
mengadakan wawancara dengan pemimpin-pemimpin dunia
mengenai politik diantaranya; Presiden Najib dari Mesir, Perdana
Menteri dari Nehru dari India, Perdana Menteri Chou En Lai
dari Cina, Perdana Menteri Margereth Thacher dari Inggris dan lain-
lain.

Tahun 1954 ia menerbitkan surat kabar bahasa Inggris Indonesia


Observer. Tahun 1957 diangkat menjadi komisi pemerintahan untuk
menyusun Undang-Undang Pers Indonesia. Tahun 1971-1973 menjadi
ketua PWI Pusat. Tahun 1974 menjadi anggota ketua dewan
pembina PWI-Pusat, tahun 1978-1987 sebagai ketua Harian Dewan
Pers Indonesia. Tahun 1987 menjadi anggota panitia penasehat
untuk ketua Konferensi Menteri-Menteri Penerangan dari negara-
negara Non Blok. Selain itu, ia juga mengadakan wawancara khusus
dengan Presiden Michael Garbachev dari USRR mengenai Glasnots
dan Perestroika.

Pada tahun 1975 bersama teman-temannya mendirikan Yayasan 17


Agustus 45 yaitu lembaga yang mempelajari ilmu politik, sosial,
kemanusiaan, dan ekonomi. Tahun 1975-1979 sebagai ketua
Komisariat Daerah Persatuan Perhotelan dan Restoran Republik Indonesia
(PHRI). Karya tulisnya yang sudah dibukukan, yaitu Angkatan Baru 1945
terbitan tahun 1983, Meluruskan Sejarah terbitan 1984, dan Mahkota Bagi
Seorang Wartawan terbitan 1988. Sehubungan dengan pengabdiannya
terhadap pemerintah Republik Indonesia, memperoleh penghargaan berupa
[removed][removed] bintang Mahaputra kelas III, bintang negara Hongaria
dan Ethiopia
Riwayat Hidup : -HIS di Kutaraja (Aceh)

-Taman Siswa di Medan

-Sekolah Dagang Middlebaar National Handel


Collegium di Bandung

-Sekolah Tinggi Ekonomi Pertikelir di Bandung

-Sekolah Jurnalistik Ksatria Institut Dr. E.E.


Douwes Dekker di Bandung

Riwayat Karir : -Sekretaris pribadi Douwes Dekker

-Wartawan Sinar Deli, Medan

-Millimeter Vreter pada harian Sin Po (1938)

-Penerjemah dan pembantu Kantor Penerangan


Konsul Jenderal Inggris

-Menerbitkan majalah Percaturan Dunia dan


Film

-Pemimpin redaksi harian Asia Raya (1945)

-Mendirikan harian Merdeka dan menjadi


anggota KNIP (1945)

-Duta Besar untuk Cekoslovakia, Inggris, dan


Muangthai (1959-1968)

-Menteri Penerangan RI (1968)

-Ketua Umum PWI (1970)

-Menerbitkan majalah berita mingguan Ekspres


(1970) dan Topik (1972)

-Surat Kabar Jurnal Ekuin (1981)

-Dewan Pembina PWI Pusat (1973-1983)


-Ketua Harian Dewan Pers (1981)

-Penasihat PWI Pusat (1983-1988)

Kegiatan Lain : Presiden Direktur Hyatt Aryaduta


Hotel

Alamat Rumah : Jalan Diponegoro 61, Jakarta


Pusat

Burhanuddin menjalani pendidikannya di HIS,


kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di
Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak
mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin hijrah ke
Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut
(sekarang Sekolah Ksatrian). Burhanuddin
memilih jurusan jurnalistik dan disana ia banyak
belajar tentang bidang kewartawanan.

Setelah tamat sekolah, Burhanuddin kembali ke


Medan dan menjadi redaktur harian Sinar Deli.
Tidak lama bekerja di Medan, karena satu
setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta
dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga
honorer. Lalu ia pindah ke Warta Harian dan
tujuh bulan kemudian koran tersebut
dibubarkan karena dianggap membahayakan
keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan
usahanya sendiri, bulanan Percaturan Dunia.

Setelah tentara Jepang datang dan menjajah


Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio
Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa
Inggris. Namun pada saat yang sama ia pun
merangkap bekerja di Asia Raja. Pada akhir
September 1945, setelah diumumkannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia bersama
sejumlah rekannya berusaha mengambil alih
percetakan Jepang "Djawa Shimbun" yang
menerbitkan Harian Asia Raja (surat kabar).
Tentara Jepang yang menjaga percetakan tidak
melawan, bahkan menyerah.

Pada tanggal 1 Oktober 1945, B.M. Diah


mendirikan Harian Merdeka (surat kabar) dan
menjadi pemimpin redaksi. Ia memimpin surat
kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun lebih
banyak menangani PT. Masa Merdeka, penerbit
Harian Merdeka.

Pada bulan April 1945, Burhanuddin mendirikan


koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan
untuk mengubah sebutan Tionghoa menjadi Cina
dan Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik
Rakyat Cina, Harian Merdeka bersama Harian
Indonesia Raya menjadi satu-satunya pers yang
gigih tetap mempertahankan istilah Tionghoa
dan Tiongkok.

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1959,


B.M. Diah menjabat sebagai duta besar Indonesia
untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Kemudian ia
dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand. Periode
tahun 1966-1968 ia menjabat menteri
penerangan. Setelah itu, ia menjadi anggota DPR
dan anggota DPA.

Di usia tuanya, B.M. Diah mendirikan hotel Hyatt


Aryadutta di Jakarta. Jabatan terakhirnya adalah
sebagai Presiden Direktur PT. Masa Merdeka dan
Wakil Pemimpin PT. Hotel Prapatan Jakarta.
B.M. Diah meninggal dunia di Jakarta, 10 Juni
1996. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai