1) Pronomina
Ia dikaruniai dua orang anak, yakni Kriya Arsyah dan Siti Rabyah Parvati,
dari pernikahannya dengan Siti Wahyunah, pada 1951.
Sjahrir merupakan Perdana Menteri pertama RI yang dijabatnya hingga
tiga kali saat memimpin kabinet parlementer pada 15 November 1945
sampai 27 Juni 1947.
Ia juga pernah menjadi Duta Besar Keliling RI pada 1947.
Pada 1926, ia selesai dari MULO dan masuk sekolah lanjutan atas (AMS)
di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu.
Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta
dan Sjahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal ketimbang Soekarno
dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa.
Perjuangan mereka membuahkan hasil dengan diproklamasikannya
Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.
Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara.
Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa
yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional.
PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan
upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai
persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Setelah kasus PRRI dan PSI tahun 1958, hubungan Sutan Sjahrir dengan
Presiden Soekarno semakin memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan
tahun 1960.
“Jangan bicara tentang kebebasan dan kemerdekaan, bila hatimu sendiri
tidak bebas dan tidak pula merdeka.
Bisakah engkau menghargai kebebasan dan kemerdekaan manusia lain,
sedang hati nuranimu sendiri terbelenggu.”
Kata-kata di atas itu ditulis Sjahrir dalam salah satu suratnya ketika ia
berada dalam pembuangan di Pulau Banda.
Orang yang terbelenggu jiwanya karena dikuasai suatu sistem atau ideologi
yang bertentangan dengan harkat manusia, tidak mungkin dapat
menghargai kemerdekaan orang lain.
Rakyat yang bodoh dan dibodohi pasti tidak akan menyadari hak-haknya,
kata Sjahrir.
3) Konjungsi Temporal
Sjahrir merupakan Perdana Menteri pertama RI yang dijabatnya hingga
tiga kali saat memimpin kabinet parlementer pada 15 November 1945
sampai 27 Juni 1947.
Di sana, Syahrir mendalami sosialisme secara sungguh-sungguh dan
berkutat dengan teori-teori sosialisme.
Pada masa pendudukan Jepang, sementara Soekarno-Hatta menjalin “kerja
sama” dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah
anti-fasis karena yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang,
sehingga kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut
kemerdekaan di saat yang tepat.
Setelah kasus PRRI dan PSI tahun 1958, hubungan Sutan Sjahrir dengan
Presiden Soekarno semakin memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan
tahun 1960.
Syahrir kemudian melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas
Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam
Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad
Hatta.
Sjahrir pun dijuluki “The Smiling Diplomat”. Sejak akhir Januari 1950,
Sutan Sjahrir tidak lagi memegang suatu jabatan negara.
Setelah itu, Sjahrir diijinkan untuk berobat ke Zurich, Swiss, hingga
meninggal dunia di sana pada tanggal 9 April 1966 pada usia 57 tahun.