BIOGRAFI
TOKOH TOKOH
PENTING
DISUSUN OLEH :
NURFADILAH AZAHRA
Riwayat
Aksi sosial Sjahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih
terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20
Februari 1927, Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian
himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian
berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan
Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetuskan Sumpah
Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung
sebagai pemimpin redaksi majalah Himpunan Pemuda Nasionalis. Dalam
kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari digebah polisi karena
membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926;
koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para
pelajar sekolah.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia
memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai
organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis
pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI
Baru justru lebih radikal ketimbang Soekarno dengan PNI-nya yang
mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi;
secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader
pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934,
pemerintah kolonial menangkap, memenjarakan, kemudian membuang
Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digoel. Hampir
setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan
ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Sjahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Sjahrir yakin Jepang tak
mungkin memenangkan perang. Oleh karena itu, kaum pergerakan mesti
menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-
simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader
PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni
para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Sjahrir,
menulis:
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh
pasukan Sekutu. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan
cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri.
Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel
oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari
itu, Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari
tangan Jepang.
Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah
menyerah. Sjahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk
melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat.
Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang,
tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak
Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat
keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk
oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada
24 September 1945. Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para
pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah
Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para
pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya,
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Pada masa genting itu, Bung Sjahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah
peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik
dunia usai Perang Dunia II. Perjuangan Kita muncul menyentak kesadaran.
Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik
Indonesia di tengah badai revolusi.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Sjahrir, kata Salomon Tas, bersama
surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira.
Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya
usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan
internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan
perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."
Penculikan
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan
Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli
1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara
Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Diplomasi Sjahrir
Tanpa Sjahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya
apa-apa.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan
wajah bengis, Sjahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek
perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang
bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang mempunyai fungsi
legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan
tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan
demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Sjahrir selalu menyerukan
nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Sjahrir yang anti-kekerasan.
Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Sjahrir dicegat dan ditodong
pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet.
Karena geram, dipukullah Sjahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian
tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Sjahrir dengan mata
sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab
bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp
tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Sjahrir mewakili Indonesia di PBB selama satu bulan, dalam dua kali sidang.
Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus
Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.[5]
Akhir hidup
Sebagai balas jasa ditanggal yang sama tepat ketika Sutan Syahrir meninggal
dunia, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
Indonesia kepada Sutan Syahrir atas jasa-jasanya sebagai salah satu pendiri
Republik Indonesia melalui melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.[2]
Latar belakang
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan
Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi
Riau.[3]
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah
khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool
(HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada
sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat
ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada
periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih
merupakan pamannya.
Karya tulis
Karya terjemahan
Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard
Kipling)
Karier politik
Pada tahun 1915, H. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi
pemimpin kedua setelah Oemar Said Tjokroaminoto.
Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang
buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus
dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang
Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Era Kemerdekaan
Masa Muda
Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia merupakan anak ke-6 dari 11
bersaudara. Dia mengenyam pendidikan HIS di Wonosobo. Setelah lulus, ia
melanjutkan bersekolah dari tingkat MULO hingga lulus dari sekolah tinggi di
kota Yogyakarta (AMS-B) pada tahun 1940.[2] Ia melanjutkan masuk sekolah
kedokteran, tetapi harus meninggalkan ketika Jepang menyerang.[3] Dia
kemudian bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang. Namun, ia ditangkap
karena keraguan atas kesetiaannya, tetapi kemudian dibebaskan. Setelah
dibebaskan, ia dikirim ke Jepang untuk pelatihan intelijen, dan bekerja lagi
untuk Kempeitai pada kembali sampai akhir perang, bekerja sebagai
penerjemah (kempeiho) di Yogyakarta.
Karier Militer
Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat
untuk pelatihan lebih lanjut, dan pada tanggal 11 November tahun itu,
diangkat menjadi komandan Polisi Militer Jakarta. ia kemudian menduduki
sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional HQ, dan Departemen Pertahanan
Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer ke Kedutaan
Indonesia di sana. [2] Pada tanggal 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, ia
diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen
untuk Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Kematian
Siswondo Parman adalah salah satu dari enam jenderal yang dibunuh oleh
anggota Gerakan 30 September Partai komunis Indonesia ( PKI ) pada malam
30 September-1 Oktober 1965. Dia telah diperingatkan beberapa hari
sebelum kemungkinan gerakan komunis. Pada malam 30 September-1
Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah Parman di Jalan
Syamsurizal no.32.
Jenazah Parman dan 6 korban lainnya ditemukan pada 4 Oktober dan diberi
pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, Hari Angkatan Bersenjata pada
tanggal 5 Oktober, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,
Kalibata. Pada hari yang sama, melalui Keputusan Presiden Nomor 111 / KOTI
/ 1965, Presiden Soekarno secara resmi membuat Parman menjadi Pahlawan
Revolusi.
Masa Muda
Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman
kuno. Pernah Gresik menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia
ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang keturunan
Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang
menjadi asisten wedana ( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah
Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan
pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat pindah ke
Sidoarjo meskipun isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi
dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa akan melahirkan
kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju
ke rumah M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat (sekarang Jalan
Gatotan) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah
melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya
M.T.Haryono.
Pada masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putera seorang jaksa di
Sidoarjo. Ketika umur empat tahun ayahnya diangkat menjadi wedana di
Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur enam
tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollandsch-Inlandsche School = Sekolah
Dasar) ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan
selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai
pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada
hakikatnya seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia
belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas tanggungan seorang
Belanda guru ELS (Europeesche Lagere School: Sekolah Dasar Belanda) dan
teman ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada
tahun 1937.
Hidup Kekeluargaan
M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap
acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang
anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase
Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang
kedua Haryanti Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang
keempat, Adri Prambanto. dan yang kelima, Endah Marina, seorang puteri,
Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-
anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan
menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalkan oleh
M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan ayah
yang bertanggung-jawab dalam keluarganya
Kematian
Riwayat Hidup
Karier Militer
Perwira Siswa di Associate Courses pada U.S Army General and Command
Staff College (1963-1964).
Kepangkatan
Kematian
Rumah Kediaman
Riwayat Hidup
Kehidupan awal
Karier militer
Kematian
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang
dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan
Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping
rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke
rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden
Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang
Buaya.[4][5] Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur
yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya
ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia
secara anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi
Pahlawan Revolusi.[6]
Riwayat Hidup
Latar Belakang
Karier Militer
Riwayat Jabatan
Komandan Resor Militer Korem 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII
Diponegoro di Yogyakarta.
Kehidupan awal
Karier militer
Operasi 17 Agustus
Ajudan Nasution
Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu dan
ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Nasution yang pada saat itu menjabat
sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab). Dia menggantikan Kapten Kav
Adolf Gustaf Manullang, ajudan Nasution yang gugur dalam misi perdamaian
di Republik Demokratik Kongo Afrika tahun 1963.[16] Nasution sebelumnya
telah kenal baik dengan keluarga Tendean. Pada saat Tendean mengikuti ujian
masuk FKUI di Jakarta, dia menumpang di rumah Nasution di Jl. Teuku Umar
No. 40.[17] Dan Nasutionlah yang menanjurkan agar Tendean memilih satuan
Zeni pada saat dia diterima di AMN.
Kematian
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)
mendatangi rumah dinas Nasution dengan tujuan untuk menculiknya.
Tendean yang sedang tidur di paviliun yang berada di belakang rumah dinas
Jenderal Nasution dibangunkan oleh Yanti Nasution (putri sulung Nasution)
setelah dia mendengar suara tembakan dan keributan. Tendean pun
mengambil senjata garandnya dan keluar untuk memeriksa keadaan di luar.
Menurut kesaksian AKP Hamdan Mansjur, ajudan Nasution yang bertugas
bersama Tendean pada malam itu, dan Alpiah, pengasuh Ade Irma Nasution
(putri bungsu Nasution), pada waktu Tendean keluar dia disergap oleh
penculik. Dia kemudian berkata, "Saya ajudan Nasution". Yang mendengar
pernyataan Tendean tersebut mungkin tidak sepenuhnya mendengar kata
"ajudan" dan ditambah keadaan penerangan yang gelap sehingga mereka
mengira Tendean adalah Nasution sendiri. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar.[18][19]
Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya. Dia ditembak
mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama keenam perwira
lainnya.[20] Pada tanggal 4 Oktober 1965, jenazah-jenazah dalam sumur di
Lubang Buaya diangkat oleh prajurit-prajurit KKO dan RPKAD. Kopral Anang
dari RPKAD ditugaskan mengangkat jenazah yang paling atas di dalam sumur.
Jenazah pertama yang diangkat itu adalah jenazah Pierre Tendean.[21][22]
Jenazah-jenazah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan perintah Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) Mayjen Soeharto.
Dr. Lim Tjoe Thay (kemudian dikenal dengan nama Indonesia dr. Arief
Budianto) yang memeriksa jenazah Tendean.[23] Pada waktu itu, dr. Budianto
adalah seorang lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman di Universitas Indonesia.
Hasil visum et repertum menyatakan bahwa pada jenazah Tendean terdapat
empat luka tembak yang masuk dari bagian belakang dan dua luka tembak
yang keluar pada bagian muka. Selain itu, luka-luka lecet terdapat di dahi dan
tangan kiri, dan pada kepala terdapat tiga luka menganga karena kekerasan
tumpul.[24]
Penghargaan
10. Karel Sadsuitubun[2] atau salah ditulis sebagai Karel Satsuit Tubun (14
Oktober 1928 – 1 Oktober 1965) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada tahun
1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta. Karena merupakan salah satu korban Gerakan 30 September, beliau
diangkat menjadi seorang Pahlawan Revolusi.
Biografi
Kematian
Pemberian gelar
Atas segala jasa-jasanya selama ini, serta turut menjadi korban Gerakan 30
September maka pemerintah memasukannya sebagai salah satu Pahlawan
Revolusi Indonesia, bersama dengan Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto,
Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Sutoyo, Mayjen D.I. Pandjaitan,
Brigjen Katamso, Kolonel Sugiono dan Kapten CZI Pierre Tendean. Selain itu
pula pangkatnya dinaikkan menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi. Namanya juga
kini diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang Republik Indonesia dari
fregat kelas Ahmad Yani dengan nama KRI Karel Sadsuitubun.[5]
Penghormatan