Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH TENTANG

BIOGRAFI
TOKOH TOKOH
PENTING

DISUSUN OLEH :

NURFADILAH AZAHRA

SMAN 1 KOTA BIMA


1. Sutan Syahrir (ejaan lama: Soetan Sjahrir, 5 Maret 1909 – 9 April 1966)
adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan
Indonesia.[1] Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana
menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia
dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir mendirikan Partai
Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai
tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir
ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9
April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.[2]

Riwayat

Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat dari pasangan Mohammad


Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Leman dan gelar Soetan Palindih dari
Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari
negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara.[3] Ayahnya menjabat sebagai
penasehat sultan Deli dan kepala jaksa di landraad (pengadilan negeri)
Medan. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta
wartawan wanita yang terkemuka. Sjahrir bersaudara kandung dengan
Soetan Sjahsam, seorang makelar saham pribumi paling berpengalaman pada
masanya dan Soetan Noeralamsjah, seorang jaksa dan politikus Partai
Indonesia Raya (Parindra).[4]

Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)

Sjahrir mengenyam pendidikan di sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah


(MULO) terbaik di Medan. Hal ini mengantarkannya kepada berbagai buku-
buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De
Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu Eropa.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di
Bandung. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa
Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil
mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja
Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat).

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Sjahrir menjadi


seorang bintang. Sjahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri
dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat
di sekolahnya. Sjahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf
secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja
Volksuniversiteit.

Aksi sosial Sjahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih
terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20
Februari 1927, Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian
himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian
berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan
Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetuskan Sumpah
Pemuda pada 1928.

Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung
sebagai pemimpin redaksi majalah Himpunan Pemuda Nasionalis. Dalam
kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari digebah polisi karena
membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926;
koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para
pelajar sekolah.

Sjahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum,


Universitas Amsterdam. Di sana, Sjahrir mendalami sosialisme. Secara
sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan
Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria
Duchateau, yang kelak dinikahi Sjahrir, meski sebentar. (Kelak Sjahrir
menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam
Boediardjo).

Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Sjahrir yang


mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan
anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan
hidup secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi
lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Sjahrir pun
bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Sjahrir juga aktif dalam


Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi
pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin
pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional
Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan
kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan
agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan.
Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin
menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan
memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

“ "Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju


kemerdekaan," katanya.”

Penghujung tahun 1931, Sjahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke


tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Sjahrir segera bergabung
dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932
diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia
praktikkan di tanah air. Sjahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat
banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap
berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933,
Sjahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia
memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai
organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis
pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI
Baru justru lebih radikal ketimbang Soekarno dengan PNI-nya yang
mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi;
secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader
pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.

Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934,
pemerintah kolonial menangkap, memenjarakan, kemudian membuang
Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digoel. Hampir
setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan
ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Masa pendudukan Jepang

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Sjahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Sjahrir yakin Jepang tak
mungkin memenangkan perang. Oleh karena itu, kaum pergerakan mesti
menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-
simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader
PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni
para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Sjahrir,
menulis:

“ Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah,


menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi
objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan
kemerdekaan. ”

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh
pasukan Sekutu. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan
cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri.
Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel
oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari
itu, Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari
tangan Jepang.

Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah
menyerah. Sjahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk
melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat.
Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang,
tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak
Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat
keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk
oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada
24 September 1945. Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para
pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah
Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para
pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya,
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

Masa Revolusi Nasional Indonesia


Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk
berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah
strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada
dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak
kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tokoh
pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan
Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam
memperjuangan kedaulatan republik.

Pada masa genting itu, Bung Sjahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah
peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik
dunia usai Perang Dunia II. Perjuangan Kita muncul menyentak kesadaran.
Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik
Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Sjahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak


berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada
persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan
bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk
menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan
semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas


solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar
kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa
Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.

Perjuangan Kita adalah karya terbesar Sjahrir, kata Salomon Tas, bersama
surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira.
Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya
usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan
internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan
perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."

Terbukti kemudian, pada November ’45 Sjahrir didukung pemuda dan


ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun,
mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan
Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap
Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Penculikan

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada


26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang
tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II
dengan pemerintah Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa
Indonesia saat itu. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh
(Merdeka 100%) yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Sedangkan kabinet yang
berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono


dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan
bersama dengan Panglima besar Jendral Sudirman. Perdana Menteri Sjahrir
ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.

Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan
Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli
1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara
Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.

Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan


memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta,
untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol.
Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap
pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak
kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman.
Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol.
Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).

Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan


menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang
pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol.
Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak
untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara
rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan
memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil


dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh
pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan
3 Juli 1946 yang gagal.

Diplomasi Sjahrir

Perangko Sutan Sjahrir 15 Rupiah edisi tahun 1969


Setelah kejadian penculikan Sjahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar
Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno.
Namun, pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Sjahrir
sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati
yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.

Tanpa Sjahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya
apa-apa.

Sjahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat.


Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang
menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi.
Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus
dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu tak
meluap dan justru merusak.

Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak


mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’
dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan
seluruh ‘bangunan’.

Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan
wajah bengis, Sjahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek
perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang
bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang mempunyai fungsi
legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan
tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan
demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Sjahrir selalu menyerukan
nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Sjahrir menunjukkan kepada dunia internasional


bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang
beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa
melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak
Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia
merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik,
dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial
sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan
propaganda itu, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang
kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Sjahrir yang anti-kekerasan.
Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Sjahrir dicegat dan ditodong
pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet.
Karena geram, dipukullah Sjahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian
tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Sjahrir dengan mata
sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab
bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp
tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri,


Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945
hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.
Sjahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi
persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah
kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk
wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan
pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu
mengakui eksistensi pemerintah RI.

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda


pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke
forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat
Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Sjahrir diutus menjadi perwakilan
Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Sjahrir bersama Agus Salim
berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk
menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada 14 Agustus 1947 Sjahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan


PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Sjahrir mengurai
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara
lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Sjahrir
mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda,
Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan
sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang
internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal
mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda
sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang


Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu
sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang
internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir.
Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi
duta besar Belanda di Turki.
Sjahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan
Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia
semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Sjahrir sebagai The
Smiling Diplomat.

Sjahrir mewakili Indonesia di PBB selama satu bulan, dalam dua kali sidang.
Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus
Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.[5]

Partai Sosialis Indonesia

Selepas memimpin kabinet, Sutan Sjahrir diangkat menjadi penasihat


Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Sjahrir
mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain
partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI
berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, ia menentang
sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah
menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung
persamaan derajat tiap manusia

Hobi dirgantara dan musik

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si


Kancil, Sutan Sjahrir adalah salah satu penggemar olahraga dirgantara, pernah
menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan
kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan musik
klasik. Ia juga bisa memainkan biola.

Akhir hidup

Foto makam Sutan Sjahrir di TMPNU Kalibata


Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama
di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958,[6] hubungan Sutan Sjahrir dan
Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960.
Tahun 1962 hingga 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili
sampai menderita stroke. Setelah itu Sjahrir diizinkan untuk berobat ke
Zü rich, Swiss. Salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua
PSI Sugondo Djojopuspito mengantarkannya ke Bandara Kemayoran dan
Sjahrir memeluk Sugondo dengan air mata. Syahrir meninggal di Zurich,
Swiss, 9 April 1966 pada usia 57 tahun. Ia meninggal dalam pengasingan
sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.[7]

Gelar Pahlawan Nasional

Sebagai balas jasa ditanggal yang sama tepat ketika Sutan Syahrir meninggal
dunia, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
Indonesia kepada Sutan Syahrir atas jasa-jasanya sebagai salah satu pendiri
Republik Indonesia melalui melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.[2]

2. Agus Salim (lahir dengan nama Masjhoedoelhaq (berarti "pembela


kebenaran") ( 8 Oktober 1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Ia ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden
Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[1] Pekerjaan yang ditekuninya adalah
sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa
(bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Prancis), 2 bahasa
asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang.
[2]

Latar belakang

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan
Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi
Riau.[3]
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah
khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool
(HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada
sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat
ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada
periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih
merupakan pamannya.

Pada tahun 1912-1915, Salim membuka sekolah dasar berbahasa Belanda,


Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Kemudian pada tahun 1915 ia terjun ke
dunia jurnalistik di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu
diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar
Almatsier dan dikaruniai 10 orang anak.[4] Kegiatannya dalam bidang
jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian
Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Dan
selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan
membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu ia juga terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin
Sarekat Islam.,

Karya tulis

Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia

Dari Hal Ilmu Quran

Muhammad voor en na de Hijrah

Gods Laatste Boodschap


Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi
koleganya, Oktober 1954)

Karya terjemahan

Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya


Shakespeare)

Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard
Kipling)

Sejarah Dunia (karya E. Molt)

Karier politik

Pada tahun 1915, H. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi
pemimpin kedua setelah Oemar Said Tjokroaminoto.

Peran H. Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia antara


lain:

anggota Volksraad (1921-1924)

anggota Panitia Sembilan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan


Kemerdekaan yang mempersiapkan UUD 1945

Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947

pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab,


terutama Mesir pada tahun 1947

Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947

Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.


Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan
politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand
Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada
kabinet presidensial dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya
sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan Persatuan


Wartawan Indonesia. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun
Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung
tinggi kode etik jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang
buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus
dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang
Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di


Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk
stadion sepak bola di Kota Padang.

3. R.Soeprapto (Hanacaraka: ꦫꦢꦺꦤ꧀‌ꦱꦸꦥꦿꦥ꧀ꦠ) (20 Juni 1920 – 1 Oktober


1965) adalah seorang pahlawan revolusi Indonesia. Ia merupakan salah satu
korban dalam G30S/PKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta
Riwayat Hidup

Perangko R. Suprapto keluaran tahun 1966

Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, Pendidikan formalnya


setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di
Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.

Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi


sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki
pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.
Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena Pasukan
Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan
dipenjarakan, tetapi kemudian ia berhasil melarikan diri.

Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti


kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai.
Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Era Kemerdekaan

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang


dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia
kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto.
Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya
walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap,
namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan


ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan
tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima
Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima
Besar tersebut.

Nisan makam R. Soeprapto di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama


Kalibata, Jakarta

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah


tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial
(T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke
Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan.
Setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputi
(Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra yang bermarkas
di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar
pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.

4. Siswondo Parman (4 Agustus 1918 – 1 Oktober 1965) adalah salah satu


pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal
dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar
Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.[1]

Masa Muda
Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia merupakan anak ke-6 dari 11
bersaudara. Dia mengenyam pendidikan HIS di Wonosobo. Setelah lulus, ia
melanjutkan bersekolah dari tingkat MULO hingga lulus dari sekolah tinggi di
kota Yogyakarta (AMS-B) pada tahun 1940.[2] Ia melanjutkan masuk sekolah
kedokteran, tetapi harus meninggalkan ketika Jepang menyerang.[3] Dia
kemudian bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang. Namun, ia ditangkap
karena keraguan atas kesetiaannya, tetapi kemudian dibebaskan. Setelah
dibebaskan, ia dikirim ke Jepang untuk pelatihan intelijen, dan bekerja lagi
untuk Kempeitai pada kembali sampai akhir perang, bekerja sebagai
penerjemah (kempeiho) di Yogyakarta.

Karier Militer

Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung Tentara Keamanan


Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada akhir Desember
1945, ia diangkat kepala staf dari Polisi Militer di Yogyakarta. Empat tahun
kemudian ia menjadi kepala staf untuk gubernur militer Jabodetabek dan
dipromosikan menjadi mayor. Dalam kapasitas ini, ia berhasil menggagalkan
plot oleh "Hanya Raja Angkatan Bersenjata" (Angkatan Perang Ratu Adil,
APRA), kelompok militer pemberontak yang dipimpin oleh Raymond
Westerling, untuk membunuh komandan menteri pertahanan dan angkatan
bersenjata. Ia memegang jabatan sebagai Corps Polisi Militer hingga Ketika
Konferensi Meja Bundar berlangsung.[2]

Siswondo Parman ikut bergerilya ketika Agresi Militer Belanda II


Berlangsung. Ia juga memegang jabatan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer
Jakarta.[2]

Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat
untuk pelatihan lebih lanjut, dan pada tanggal 11 November tahun itu,
diangkat menjadi komandan Polisi Militer Jakarta. ia kemudian menduduki
sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional HQ, dan Departemen Pertahanan
Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer ke Kedutaan
Indonesia di sana. [2] Pada tanggal 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, ia
diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen
untuk Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Kematian

Makam Siswondo Parman di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama


Kalibata

Siswondo Parman adalah salah satu dari enam jenderal yang dibunuh oleh
anggota Gerakan 30 September Partai komunis Indonesia ( PKI ) pada malam
30 September-1 Oktober 1965. Dia telah diperingatkan beberapa hari
sebelum kemungkinan gerakan komunis. Pada malam 30 September-1
Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah Parman di Jalan
Syamsurizal no.32.

Berdasarkan istri Parman, pasangan itu terbangun dari tidur mereka di


sekitar 04.10 pagi oleh suara sejumlah orang di samping rumah. Parman pergi
untuk menyelidiki dan dua puluh empat pria dengan mengenakan seragam
Tjakrabirawa (Pengawal Presiden) menuju ke ruang tamu. Orang-orang
mengatakan bahwa dia dibawa ke hadapan Presiden sebagai "sesuatu yang
menarik yang telah terjadi". Sekitar 10 orang pergi ke kamar tidur ketika
Parman berpakaian. Istrinya lebih curiga dari orang-orang, dan
mempertanyakan apakah mereka memiliki surat otorisasi, yang salah satu
pria jawabnya memiliki surat sementara menyadap saku dadanya.

Parman meminta istrinya untuk menelpon apa yang terjadi pada


komandannya, Yani, tetapi kabel telepon telah diputus. Parman dimasukkan
ke dalam truk dan dibawa ke basis gerakan di Lubang Buaya. Malam itu,
bersama dengan tentara lain yang telah ditangkap hidup-hidup, Parman
ditembak mati dan tubuhnya dibuang di sebuah sumur tua. Dia bersama dua
jenderal lain yaitu Sutoyo, dan R. Suprapto dan satu korban salah tangkap
yaitu Pierre Tendean merupakan orang-orang yang masih hidup ketika
diculik.[2]

Jenazah Parman dan 6 korban lainnya ditemukan pada 4 Oktober dan diberi
pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, Hari Angkatan Bersenjata pada
tanggal 5 Oktober, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,
Kalibata. Pada hari yang sama, melalui Keputusan Presiden Nomor 111 / KOTI
/ 1965, Presiden Soekarno secara resmi membuat Parman menjadi Pahlawan
Revolusi.

5. Mas Tirtodarmo Haryono (Hanacaraka: ꦩꦱ꧀‌ꦠꦶꦂ ꦠꦣꦂ ꦩꦲꦂ ꦪꦤ) (20


Januari 1924 – 1 Oktober 1965) adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia yang terbunuh pada peristiwa G30SPKI. Ia dimakamkan di TMP
Kalibata - Jakarta.

Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya


memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian
diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia
sempat masuk Ika Daigakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang)
di Jakarta, namun tidak sampai tamat.

Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta


segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat
Mayor.

Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun


1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia
ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI
dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah
ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu
sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata.
Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan
Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.

Masa Muda

Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman
kuno. Pernah Gresik menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia
ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang keturunan
Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang
menjadi asisten wedana ( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah
Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan
pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat pindah ke
Sidoarjo meskipun isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi
dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa akan melahirkan
kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju
ke rumah M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat (sekarang Jalan
Gatotan) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah
melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya
M.T.Haryono.

M.T. Haryono dilahirkan sebagai putera seorang Binnenlands Bestuur,


"pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB", salah satu bentuk birokrasi
pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa.
Kalangan BB pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa di antara
pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya BB lah yang di samping kedudukan
istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai di
Perguruan Tinggi. Karena nasionalisme itu boleh dikata timbul dan
berkembang di antara orang-orang terpelajar, maka tidaklah mengherankan
kalau putera-putera orang-orang BB ini tidak sedikit yang menjadi penggerak
dan pemimpin nasionalisme, misalnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo.
Mr. Sartono, dan lain lain. Demikian halnya kelak dengan M.T. Haryono.

Pada masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putera seorang jaksa di
Sidoarjo. Ketika umur empat tahun ayahnya diangkat menjadi wedana di
Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur enam
tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollandsch-Inlandsche School = Sekolah
Dasar) ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan
selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai
pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada
hakikatnya seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia
belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas tanggungan seorang
Belanda guru ELS (Europeesche Lagere School: Sekolah Dasar Belanda) dan
teman ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada
tahun 1937.

Tamat dari ELS, M.T. Haryono meneruskan sekolahnya di HBS (Hogere


Burgerschool: semacam SMP ditambah SMA yang disatukan dan hanya lima
tahun, biasanya hanya untuk orang Belanda) di Bandung. Selama lima tahun ia
harus berpisah dari orang tuanya dan menumpang pada orang lain di kota
Bandung.

Sebagai pemuda pelajar ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan


baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun
1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan,
Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima
tahun. Ia tamat dari HBS pada tahun l942 ketika Jepang masuk merebut dan
menduduki Indonesia (Maret l942).

Ketika GHS (Geneeskundige Hogeschool: Perguruan Tinggi Kedokteran) di


Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka M.T. Haryono
masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya. Ia
memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun lamanya M.T. Haryono
belajar di lka Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya. M.T. Haryono sebagai pemuda
mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan. Segera menceburkan diri
dalam kancah perjuangan militer.

Hidup Kekeluargaan

Mayor M.T. Haryono yang selama perjuangan bersenjata tidak sempat


memikirkan tentang hal perkawinan, sekarang ingin membentuk hidup
kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada
Mariatni, seorang puteri Mr. Besar Martokusumo yang berdomisili di Jakarta
dan seorang tokoh yang tidak asing bagi Pemerintah Indonesia.
Pertunangannya akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950. Pada waktu itu
Pemerintah memerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan
pilihannya jatuh pada Mayor M.T. Haryono. Ini dapat dimengerti karena
Mayor M.T. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih berbahasa Belanda,
Inggris dan Jerman dan berpengalaman dalam perundingan-perundingan
dengan Belanda, terutama dalam KMB yang baru saja berlalu. Dalam bulan Juli
1950 itu ia diangkat menjadi Atase Militer dan harus sudah di posnya di Den
Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan keberangkatannya yang
mendadak ini, maka hari pertunangannya pada tanggal 2 Juli 1950 itu diubah
menjadi hari pernikahannya, dan pada tanggal 24 Juli 1950 mereka berangkat
ke Negeri Belanda. Sebagai penganten baru untuk sementara mereka hidup di
gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibu kota Negeri Belanda dan
seolah-olah berbulan madu di luar negeri.
Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan pikiranya
yang praktis tidak membiarkan keluarganya hanyut dalam arus kemewahan
yang waktu itu melanda kehidupan orang yang ingin disebutnya “kelas atas".
Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika di luar negeri maupun ketika
mereka telah kembali ( 1954 ) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan
no. 8 Jakarta tidak mencerminkan rumah seorang "kelas atas" maupun
seorang yang bermandikan kemewahan yang luar biasa. Rumah itu
mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung-jawab.

Di rumah, M.T. Haryono suka menanam dan memelihara anggrek. Di samping


rumahnya terdapat berderet-deret pot dengan aggrek yang beraneka ragam
dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan dan kesabaran,
kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit.

M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap
acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang
anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase
Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang
kedua Haryanti Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang
keempat, Adri Prambanto. dan yang kelima, Endah Marina, seorang puteri,
Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-
anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan
menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalkan oleh
M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan ayah
yang bertanggung-jawab dalam keluarganya

Kematian

Makam M.T. Haryono di Taman Makam Pahlawan Kalibata


Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, anggota Tjakrabirawa, yang menyebut
diri mereka adalah Gerakan 30 September, mendatangi rumah Haryono di
Jalan Prambanan No 8. Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang
mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Sukarno. Mrs
Haryono kembali ke kamar tidur mengunci pintu di belakangnya dan
mengatakan suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk
tidak pergi dan memberitahu para pasukan untuk kembali pada pukul 8:00.
Namun, Haryono curiga dan mematikan lampu memberitahu istrinya untuk
pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah. Tjakrabirawa kemudian
melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan Haryono
melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama
yang masuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya.
Haryono mencoba untuk merebut senjata prajurit, namun gagal dan berlari
keluar dari pintu dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan dari
senjata, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang
menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang
Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta, Jenazahnya
disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh
lainnya.

Seluruh mayat ditemukan pada 4 Oktober dan para jenderal diberi


pemakaman kenegaraan. Haryono dimakamkan dengan rekan-rekannya di
Taman Makam Pahlawan di Kalibata pada tanggal 5 Oktober. Pada hari yang
sama, atas perintah Presiden Soekarno, ia secara anumerta dipromosikan dan
menjadi Pahlawan Revolusi.
6. Donald Isaac Pandjaitan (EYD: Donald Isaac Panjaitan;) (9 Juni 1925 – 1
Oktober 1965) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.

Riwayat Hidup

Pandjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali


dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan
terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas,
Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi
anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia
ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda


lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi
TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon,
kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi
pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay)
Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan
Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan
Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda II, Indonesia pun


memperoleh pengakuan kedaulatan. Pandjaitan sendiri kemudian diangkat
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di
Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T
II/Sriwijaya.

Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan


sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah
berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama
setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada
Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk
menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan
inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa Gerakan 30 September terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia membongkar rahasia pengiriman


senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Partai Komunis Indonesia
(PKI). Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke
dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan
gedung CONEFO (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu
diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan untuk
mempersenjatai angkatan kelima yang terdiri dari para buruh dan petani.[1]

Karier Militer

D.I Pandjaitan memulai karier militernya saat ia mengikuti pendidikan


Giyugun di Bukitinggi, Sumatera Barat dan lulus dengan pangkat Shoi (Letnan
Dua), kemudian ia ditugaskan di Pekanbaru sampai indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Pasca proklamasi kemerdekaan,
Pandjaitan bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang nantinya
menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan menjabat sebagai Komandan
Batalyon I merangkap Kepala Latihan Resimen IV Divisi III / Banteng hingga
panda puncaknya menjabat sebagai Asisten IV Menteri / Panglima Angkatan
Darat.[2]

Shodancho (Komandan Pleton) Giyugun di Pekanbaru (1944-1945).

Anggota BKR di Riau (1945).

Komandan Batalyon I merangkap Kepala Latihan TKR Resimen IV Divisi IX /


Banteng (1945-1947).
Kepala Staf Resimen IV Riau Utara Divisi IX / Banteng (1947-1948).

Kepala Bagian IV / Supply Komando Tentara Teritorium Sumatra merangkap


Kepala Pusat Perbekalan PDRI (1948-1949).

Kepala Bagian II / Operasi Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara


kemudian menjadi KO TT I / Bukit Barisan (1949-1952).

Kepala Bagian III / Organisasi KO TT I / Bukit Barisan (1950-1952).

Wakil Kepala Staf merangkap Pelaksana Kepala Staf TT II / Sriwijaya (1952-


1956).

Mendapat tugas mengikuti pendidikan di Kursus Militer Atase Gelombang I


dan Senior Officer Courses of the Infantry School, India (1956).

Asisten Atase Militer di Bonn, Jerman Barat (1956-1960).

Atase Militer di Bonn, Jerman Barat (1960-1962).

Asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan Darat (1962-1965).

Perwira Siswa di Associate Courses pada U.S Army General and Command
Staff College (1963-1964).

Gugur dalam Peristiwa G30S/PKI dan kemudian dianugerahi kenaikan


pangkat menjadi Mayor Jenderal TNI Anumerta (1965).

Perangko D.I. Pandjaitan keluaran tahun 1966

Kepangkatan

Mayor (30 Oktober 1945- 30 Oktober 1948).

Kapten (30 Oktober 1948-1 Oktober 1952), Pangkat diturunkan karena


adanya Kebijakan Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI.

Mayor (1 Oktober 1952-1 Juni 1956).

Letnan Kolonel (1 Juni 1956-1 Juli 1960).


Kolonel (1 Juli 1960-1 Juli 1963)

Brigadir Jenderal TNI (1 Juli 1963-5 Oktober 1965).

Tewas dalam peristiwa G30S / PKI (30 September / 1 Oktober 1965).

Mayor Jenderal TNI Anumerta (5 Oktober 1965).

Kematian

Nisan makam D.I. Pandjaitan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama


Kalibata, Jakarta

Pada tengah malam tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30


September memaksa masuk dan melancarkan tembakan ke rumah Pandjaitan
di Jalan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pandjaitan ditembak di
kepala ketika ia sedang berdoa.[3] Jasadnya dibawa menggunakan truk
menuju Lubang Buaya dan baru ditemukan pada tanggal 4 Oktober. Sehari
kemudian, Pandjaitan mendapat promosi anumerta sebagai Mayor Jenderal
dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.

Rumah Kediaman

Rumah Kediaman D. I. Pandjaitan merupakan salah satu bangunan cagar


budaya Indonesia. Dalam pembagian administratif Indonesia, Rumah
Kediaman D.I. Pandjaitan berada di Kota Adminstrasi Jakarta Selatan, Provinsi
Dareah Khusus Ibukota Jakarta. Penetapannya sebagai cagar budaya
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
PM.13/PW.007/MKP/05. Surat keputusan ini diterbitkan pada tanggal 25
April 2005.[4] Alamatnya secara lengkap di Jalan Hasanuddin Nomor 53
kawasan Blok M, Kebayoran Baru. Pembangunan rumah ini sekitar tahun
1956 bersamaan dengan masa pengembangan kota satelit Kebayoran di
Jakarta Selatan. Jumlah lantai bangunan ada dua. Nilai sejarah yang dimiliki
oleh rumah ini adalah upaya penculikan D.I. Pandjaitan pada dini hari tanggal
1 Oktober 1965. Saat itu, Pandjaitan menjabat sebagai Asisten IV Menteri atau
Panglima Angkatan Darat bidang logistik. Rumah kediaman ini juga menjadi
salah satu bagian dari sejarah pemberontakan Gerakan 30 September.
Peristiwa lain yang pernah terjadi di rumah kediaman ini adalah kematian D.
I. Pandjaitan akibat tertembak. Rumah Kediaman D. I. Pandjaitan pernah
digunakan untuk pembuatan film pada tahun 1980-an. Judul film tersebut
adalah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini dikerjakan oleh
sutradara bernama Arifin C. Noer. Noer menggunakan rumah ini untuk
membuat adegan penculikan D. I. Pandjaitan.[5]

7. Sutoyo Siswomiharjo (28 Agustus 1922 – 1 Oktober 1965) adalah seorang


perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa
Gerakan 30 September di Indonesia.

Riwayat Hidup

Kehidupan awal

Sutoyo lahir di Kebumen, Keresidenan Kedu. Ia menyelesaikan sekolahnya


sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama masa pendudukan
Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta.[1] Dia
kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun
mengundurkan diri pada tahun 1944.[2]

Karier militer

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo


bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal
bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer
Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto,
komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi
Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi
Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi
asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan
di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959
hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat,
kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi
inspektur kehakiman/jaksa militer utama.[1][2][3]

Kematian

Foto nisan makam Sutoyo Siswomiharjo di TMPNU Kalibata, Jakarta

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang
dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan
Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping
rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke
rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden
Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang
Buaya.[4][5] Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur
yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya
ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia
secara anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi
Pahlawan Revolusi.[6]

Ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta


Selatan.
8. Katamso Darmokusumo (Hanacaraka: ꦏꦠꦩ꧀ꦰꦣꦂ ꦩꦏꦸꦱꦸꦩ) (5 Februari
1923 – 1 Oktober 1965) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia, Ia
merupakan mantan Komandan Korem 072/Pamungkas. Katamso termasuk
tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

Riwayat Hidup

Latar Belakang

Katamso Darmokusumo dilahirkan pada hari Senin, 5 Februari 1923 di


Sragen, Hindia Belanda. Ia menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah.

Karier Militer

Ia melanjutkan pada pendidikan tentara PETA di Bogor. Setelah masa


kemerdekaan Indonesia, Ia bergabung dengan TKR yang berangsur-angsur
berubah menjadi TNI. Ketika terjadi agresi militer belanda, ia memimpin
pasukan untuk berkali-kali melakukan pertempuran mengusir Belanda dari
Indonesia. Pada masa awal kedaulatan Republik Indonesia masih sering
dirongrong dengan berbagai peristiwa baik dalam maupun luar negeri.

Setelah kedaulatan Negara Indonesia di akui di mata Internasional, terjadi


Pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah. Brigjen Katamso dan
pasukannya diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pada
Biografi Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo disebutkan, bahwa pada
tahun 1958 ia menjabat sebagai Komandan batalyon ``A`` yang tergabung
dalam pasukan Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel
Ahmad Yani. Pasukan ini bertugas menumpas pemberontakan yang dilakukan
oleh PRRI/Permesta.
Pada tahun 1963 Brigjen Katamso diamanahi jabatan sebagai Komandan
Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta. Pada
masa itu ideologi PKI telah menyebar luas dilapisan masyarakat. PKI juga
menyasar kalangan terpelajar untuk bergabung dengan mereka dan
diharapkan menjadi kekuatan intelektual mereka. Brigjen Katamso mencium
gelagat sangat kuat terkait penyebaran PKI di daerah Solo sehingga Ia
memutuskan untuk melakukan pembinaan kepada para mahasiswa di daerah
Solo. Para Mahasiswa tersebut diberi Pelatihan Militer guna meningkatkan
kecintaan kepada Negara Republik Indonesia diatas kelompok dan golongan.

Brigadir Jenderal TNI Katamso Darmokusumo tertangkap dengan jelas akan


aksi pemberontakan dan penculikan G 30 S/ PKI tidak hanya berjalan di
Jakarta. PKI juga membidik para perwira di daerah termasuk di wilayah
Kodam VII/Diponegoro. PKI dengan menghasud beberapa anggota TNI di
Yogyakarta, mereka berhasil menguasai RRI Yogyakarta. Atas insiden
tersebut, Markas Korem 072 dibawah Komando Brigjen Katamso
mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Brigjen Katamso termasuk
perwira yang sangat tidak menyetujui keberadaan PKI, maka ia juga termasuk
salah satu perwira yang menjadi sasaran dari penculikan PKI.

Makam Katamso Darmokusumo di TMP Kusuma Negara, Yogyakarta

PKI melancarkan penculikan terhadap komandan Korem 072/Pamungkas dan


Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiono pada tanggal 1 Oktober 1965 sore
hari. Katamso dan Sugiono dibawa ke daerah Kentungan, dan sesampainya
ditempat, mereka dipukul pakai kunci mortir hingga tewas. PKI telah
mempersiapkan segala sesuatunya di daerah tersebut. Lubang telah disiapkan
khusus untuk menyembunyikan jasad kedua perwira tersebut yang memang
sudah menjadi target pembunuhan. Jenazah keduanya baru diketemukan
pada 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak setelah dilakukan pencarian
secara besar-besaran semenjak peristiwa hilangnya mereka berdua.
Kemudian pada tanggal 22 Oktober 1965 jenazah mereka berdua
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta. Biografi
Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo menjelaskan, atas jasa dan
perjuangannya, pemerintah menganugerahkan sebagai Pahlawan Revolusi
berdasarkan SK Presiden RI No. 118/KOTI/ tahun 1965 yang tertanggal 19
Oktober 1965.

Riwayat Jabatan

Shodanco Peta di Solo

Komandan Kompi di Klaten

Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV

Komandan Batalyon "A" Komando Operasi 17 Agustus

Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro

Kepala Staf Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus

Komando Pendidikan dan Latihan (Koplat) merangkap Komandan Pusat

Pendidikan Infanteri (Pusdikif) di Bandung

Komandan Resor Militer Korem 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII
Diponegoro di Yogyakarta.

9. Pierre Andries Tendean (21 Februari 1939 – 1 Oktober 1965) adalah


seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa
Gerakan 30 September pada saat dia bertugas sebagai ajudan Jenderal Besar
TNI Abdul Haris Nasution.Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata dan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5
Oktober 1965.

Kehidupan awal

Pierre lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (sekarang Jakarta),


Hindia Belanda, di sebuah rumah sakit rakyat bernama Centrale Burgerlijke
Ziekeninrichting (CBZ) (sekarang RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo).[1][2]
Ayah Pierre yang bernama Aurelius Lammert Tendean adalah seorang dokter
berdarah Minahasa yang pada saat kelahiran Pierre sedang bekerja di CBZ. Dr.
Tendean kemudian sempat menjadi wakil kepala Rumah Sakit Jiwa Keramat
di Magelang (sekarang Rumah Sakit Jiwa Soerojo) dan kepala Rumah Sakit
Jiwa Pusat Semarang (sekarang Rumah Sakit Jiwa Daerah Amino
Gondohutomo).[3] Ibu Pierre yang bernama Maria Elizabeth Cornet adalah
seorang keturunan Prancis yang berasal dari Leiden, Belanda. Nama Pierre
sendiri diambil dari kakek pihak ibunya sedangkan Andries diambil dari
kakek pihak ayahnya.[4] Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara;
kakaknya bernama Mitze Farre Tendean dan adiknya bernama Rooswidiati
Tendean.[1]

Tendean waktu SMA

Tendean mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Boton (sekarang


ditempati SMP Negeri 4) di Magelang.[5] Dia lalu melanjutkan pendidikan
SMP dan SMA di Semarang pada saat ayahnya tugas di sana. Pada tahun 1952,
Tendean mulai belajar di SMP Negeri 1 dan kemudian pada tahun 1955 di
SMA bagian B (sekarang SMA Negeri I).[6][7] Setelah lulus SMA, Tendean
ingin menjadi tentara, namun orang tuanya ingin dia menjadi dokter atau
insinyur. Atas permintaan orang tuanya dia mendaftar ujian masuk di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan di Institut Teknologi
Bandung (ITB), tapi Tendean dengan sengaja tidak serius menyelesaikan ujian
masuk kedua sekolah tersebut sehingga dia dinyatakan tidak lulus. Melihat
hasil ini, akhirnya orang tuanya memperbolehkan dia mengikuti ujian masuk
Akademi Militer Nasional (AMN). Tendean dianjurkan untuk memilih satuan
Zeni yang merupakan cabang teknis militer angkatan darat, supaya dia di
kemudian hari mempunyai kesempatan untuk melanjutkan studi ke ITB.[8]
Setelah diterima menjadi taruna AMN, Tendean memilih untuk masuk
Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Tendean diterima sebagai calon
taruna ATEKAD angkatan ke-6 pada bulan November 1958 dan dilantik pada
tanggal 26 November 1958 di Stadion Siliwangi.[9]

Karier militer

Operasi 17 Agustus

Setelah menyelesaikan pelatihan dasar militer (basic training), pada tanggal


23 Januari 1959 Tendean dikukuhkan menjadi prajurit taruna. Kemudian
pada tanggal 1 April 1959, Tendean dinaikkan pangkatnya menjadi kopral
taruna.[10] Dalam rangka penumpasan gerakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI), satu batalyon taruna Zeni dibentuk untuk
mendukung Operasi 17 Agustus. Tendean ditempatkan di Peleton 3 Kompi I
Batalyon Taruna Zeni dan setelah melakukan latihan persiapan di Pusat
Latihan Pertempuran (sekarang Depo Pendidikan Bela Negara) di Cikole, para
taruna diberangkatkan ke Sumatra pada tanggal 6 Oktober 1959. Batalyon ini
diperbantukan pada Resimen Tim Pertempuran (RTP) III/Diponegoro.
Setelah tiba di Pelabuhan Teluk Bayur pada tanggal 8 Oktober 1959, Tendean
bersama taruna Zeni lainnya diberangkatkan ke daerah Danau Singkarak dan
ditugaskan untuk merehabilitasi jalur kereta api yang dirusak PRRI. Setelah
tugas Batalyon Taruna Zeni berakhir pada tanggal 31 Desember 1959,
Tendean kembali ke Jakarta bersama taruna ATEKAD lainnya pada tanggal 6
Januari 1960. Bulan itu juga, Tendean mendapat penghargaan Satya Lencana
Sapta Marga atas jasanya dalam operasi militer di Sumatra. Selain itu, dia dan
rekan-rekannya naik pangkat ke sersan taruna.[11]
Operasi Dwikora

Pada tanggal 19 Desember 1961, Tendean dilantik menjadi perwira muda


dengan pangkat letnan dua (Czi). Dia masih melanjutkan studinya di ATEKAD
selama satu tahun lagi untuk menyelesaikan kursus aplikasi bidang teknik
konstruksi. Setelah menyelesaikan kursus aplikasi, pada tanggal 13 Desember
1962 Tendean ditugaskan ke Batalyon Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit
Barisan. Batalyon ini terdiri dari empat Kompi Zeni Tempur (Kizipur) dan
Tendean dipercayakan untuk menjadi Komandan Peleton (Danton) 1 Kizipur
A.[12] Setahun kemudian, dia dipanggil untuk mengikuti pendidikan di
sekolah intelijen TNI AD di Bogor. Setamat dari sana, ia ditugaskan di Dinas
Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk memimpin pasukan gerilya
sukarelawan untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan
konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Mereka bermarkas di Selat
Panjang, Riau.[13] Tendean berhasil menyusup ke wilayah Malaysia tiga kali.
Pada penyusupan yang ketiga, kapal motor yang ditumpangi Tendean
bersama anak buahnya dikejar oleh sebuah kapal perusak milik Inggris.
Mereka berhasil lolos dari kejaran kapal Inggris dengan meninggalkan kapal
motor dan berenang menuju sebuah kapal nelayan. Mereka bersembunyi
dengan cara bergantungan di belakang kapal nelayan tersebut.[14][15]

Ajudan Nasution

Tendean menyerahkan pataka kepada Jenderal Nasution

Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu dan
ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Nasution yang pada saat itu menjabat
sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab). Dia menggantikan Kapten Kav
Adolf Gustaf Manullang, ajudan Nasution yang gugur dalam misi perdamaian
di Republik Demokratik Kongo Afrika tahun 1963.[16] Nasution sebelumnya
telah kenal baik dengan keluarga Tendean. Pada saat Tendean mengikuti ujian
masuk FKUI di Jakarta, dia menumpang di rumah Nasution di Jl. Teuku Umar
No. 40.[17] Dan Nasutionlah yang menanjurkan agar Tendean memilih satuan
Zeni pada saat dia diterima di AMN.

Kematian

Nisan makam Pierre Tendean di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama


Kalibata, Jakarta

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)
mendatangi rumah dinas Nasution dengan tujuan untuk menculiknya.
Tendean yang sedang tidur di paviliun yang berada di belakang rumah dinas
Jenderal Nasution dibangunkan oleh Yanti Nasution (putri sulung Nasution)
setelah dia mendengar suara tembakan dan keributan. Tendean pun
mengambil senjata garandnya dan keluar untuk memeriksa keadaan di luar.
Menurut kesaksian AKP Hamdan Mansjur, ajudan Nasution yang bertugas
bersama Tendean pada malam itu, dan Alpiah, pengasuh Ade Irma Nasution
(putri bungsu Nasution), pada waktu Tendean keluar dia disergap oleh
penculik. Dia kemudian berkata, "Saya ajudan Nasution". Yang mendengar
pernyataan Tendean tersebut mungkin tidak sepenuhnya mendengar kata
"ajudan" dan ditambah keadaan penerangan yang gelap sehingga mereka
mengira Tendean adalah Nasution sendiri. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar.[18][19]

Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya. Dia ditembak
mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama keenam perwira
lainnya.[20] Pada tanggal 4 Oktober 1965, jenazah-jenazah dalam sumur di
Lubang Buaya diangkat oleh prajurit-prajurit KKO dan RPKAD. Kopral Anang
dari RPKAD ditugaskan mengangkat jenazah yang paling atas di dalam sumur.
Jenazah pertama yang diangkat itu adalah jenazah Pierre Tendean.[21][22]
Jenazah-jenazah kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan perintah Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) Mayjen Soeharto.
Dr. Lim Tjoe Thay (kemudian dikenal dengan nama Indonesia dr. Arief
Budianto) yang memeriksa jenazah Tendean.[23] Pada waktu itu, dr. Budianto
adalah seorang lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman di Universitas Indonesia.
Hasil visum et repertum menyatakan bahwa pada jenazah Tendean terdapat
empat luka tembak yang masuk dari bagian belakang dan dua luka tembak
yang keluar pada bagian muka. Selain itu, luka-luka lecet terdapat di dahi dan
tangan kiri, dan pada kepala terdapat tiga luka menganga karena kekerasan
tumpul.[24]

Pada tanggal 5 Oktober 1965, Tendean bersama keenam perwira lainnya


dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Prosesi pemakaman
dimulai dari Markas Besar AD. Peti jenazah Tendean diangkut di atas panser
Saracen dengan dikawal oleh Direktur Zeni AD Brigjen Dandi Kadarsan.[25]

Penghargaan

Untuk menghargai jasa-jasanya, pada tanggal 5 Oktober 1965 Tendean


bersama enam orang perwira tinggi Angkatan Darat yang gugur diberikan
kenaikan pangkat secara anumerta. Tendean sendiri dipromosikan menjadi
kapten berdasarkan Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi (Keppres) No.
110/KOTI/1965. Pada hari itu juga, berdasarkan Keppres No.
111/KOTI/1965, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia.
Kemudian pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 1965, Tendean
dianugerahi Bintang Republik Indonesia Adipradana berdasarkan Keppres
No. 50/BTK/1965.

Patung yang didirikan untuk mengenang Tendean terdapat di Lubang Buaya


yaitu Monumen Pahlawan Revolusi, di Manado (bersama patung Robert
Wolter Mongisdi),[26] dan di Semarang.[27] Sejumlah jalan juga dinamai
sesuai namanya di berbagai kota di Indonesia.
Tanda jasa

Baris ke-1 Bintang Republik Indonesia Adipradana (1965) Satyalancana


Sapta Marga (1960).

10. Karel Sadsuitubun[2] atau salah ditulis sebagai Karel Satsuit Tubun (14
Oktober 1928 – 1 Oktober 1965) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada tahun
1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta. Karena merupakan salah satu korban Gerakan 30 September, beliau
diangkat menjadi seorang Pahlawan Revolusi.

Biografi

Karel Sadsuitubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal 14 Oktober


1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota
POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia
ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas
Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia pun ditarik ke Jakarta dan
memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Satu
Polisi.

Pada saat Bung Karno mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut


pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda. Seketika
pula dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah
Irian barat berhasil dikembalikan, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman
Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta. Berangsur-angsur
pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.[3]

Kematian

Nisan makam Karel Sadsuit Tubun di Taman Makam Pahlawan Nasional


Utama Kalibata, Jakarta

Karena mengganggap para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang


utama cita-citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan penculikan dan
pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap
menghalangi cita-citanya. Salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution
yang bertetangga dengan rumah Dr. J. Leimena. Gerakan itu pun dimulai,
ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri untuk
tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para
pengawal rumah Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K.
Sadsuitubun pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak
para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga
menembaknya. Karena tidak seimbang K. Sadsuitubun pun tewas seketika
setelah peluru penculik menembus tubuhnya.[4]

Pemberian gelar

Atas segala jasa-jasanya selama ini, serta turut menjadi korban Gerakan 30
September maka pemerintah memasukannya sebagai salah satu Pahlawan
Revolusi Indonesia, bersama dengan Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto,
Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Sutoyo, Mayjen D.I. Pandjaitan,
Brigjen Katamso, Kolonel Sugiono dan Kapten CZI Pierre Tendean. Selain itu
pula pangkatnya dinaikkan menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi. Namanya juga
kini diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang Republik Indonesia dari
fregat kelas Ahmad Yani dengan nama KRI Karel Sadsuitubun.[5]
Penghormatan

Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Karel


Sadsuitubun, dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan
mengabadikan namanya pada Bandar Udara Karel Sadsuitubun di Ibra, Kei
Kecil, Maluku Tenggara. Pemerintah juga mengabadikan namanya pada kapal
perang KRI Karel Satsuit Tubun.[6]

Anda mungkin juga menyukai