Anda di halaman 1dari 5

 Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman lahir di Bodas Karangjati tanggal 24 Januari 1916. Dia adalah seorang
panglima besar sekaligus jenderal pertama dan termuda di Indonesia. Ketika berusia 31
tahun, Jenderal Soedirman bergabung dengan pahlawan kemerdekaan yang lain dalam
melawan penjajah Jepang, Belanda, serta Sekutu.

Pada usia 7 tahun atau pada 1923, Soedirman bersekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS)
yang setingkat sekolah dasar di Cilacap. Setelah selesai, Soedirman melanjutkan pendidikannya di
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) yang setingkat SMP. Soedirman kemudian pindah
sekolah ke Perguruan Parama Wiwowo Tomo hingga tamat pada 1935. Setelah itu, ia kemudian
melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru atau Kweekschool yang diselenggarakan oleh organisasi
Muhammadiyah di Surakarta.k etika Jepang menguasai Indonesia pada 1942, sekolah tempat
Soedirman mengajar ditutup dan dialihfungsikan menjadi pos militer. Saat itu, Soedirman yang
dipandang sebagai tokoh masyarakat diminta untuk memimpin sebuah tim di Cilacap dalam
menghadapi serangan Jepang. Selain itu, Soedirman juga melakukan negosiasi dengan Jepang
supaya membuka kembali sekolahnya. Upaya itu berhasil. Pada 1944, Soedirman diminta bergabung
dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan diangkat menjadi komandannya. Adapun Jepang
mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu melawan invasi Sekutu dalam Perang Dunia II
Setelah Jepang meyerah kalah dalam Perang Dunia II dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945,
Jenderal Soedirman memerintahkan rekan-rekannya untuk kembali ke daerah asal mereka.
Sementara itu, Jenderal Soedirman pergi ke Jakarta. Di sana, ia menemui Presiden Soekarno yang
memintanya untuk memimpin perlawanan Jepang di kota. Saat itu, Sudirman masih berkeinginan
untuk terus melawan Belanda, tetapi ditolak oleh Presiden Soekarno karena mempertimbangkan
masalah kesehatan sang jenderal. Dalam kondisi sakit, Jenderal Sudirman diangkat menjadi panglima
besar TNI di negara baru Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Hingga akhirnya,
Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 di usia yang ke-34 tahun.
Haji Agus Salim
H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti "pembela kebenaran");
8 Oktober 1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Ia merupakan putra dari Sutan Mohammad Salim, seorang jaksa dan hakim kolonial
di Tanjung Pinang

Sewaktu kecil, Agus Salim mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School


(ELS) dan lanjut ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, di mana ia lulus pada
1903 dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda. Agus Salim menekuni dunia
jurnalistik sejak 1915, dengan menjadi redaktur di Harian Neratja. Setelah itu, ia
diangkat menjadi ketua redaksi. Kegiatannya di bidang jurnalistik terus berlangsung
hingga menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Agus Salim juga
mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan menjadi redaktur di harian Moestika di
Yogyakarta. Pada 1915, Agus Salim bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan
Abdul Muis dalam organisasi Sarekat Islam (SI). Ia bahkan menjadi pemimpin
terkemuka organisasi ini dan dianggap sebagai tangan kanan pemimpinnya, HOS
Tjokroaminoto. Agus Salim sempat dituduh memiliki hubungan yang terlalu dekat
dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini karena surat kabar Neratja, yang sempat
didanai oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum pada 1917. Akan
tetapi, pada 1918, Neratja justru menjadi media untuk menyampaikan kritik keras
terhadap Belanda. Pada 1921, Salim diangkat sebagai anggota Volksraad (dewan
rakyat) mewakili Sarekat Islam,Setelah tidak lagi bertugas di pemerintahan, Agus
Salim mengundurkan diri dari dunia politik pada 1953 dan kembali menulis. Pada
1953, ia menulis buku berjudul Bagaimana Takdir, Tawakal, dan Tauchid Harus
Dipahamkan?, yang kemudian diubah menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid,
Takdir dan Tawakal. Pada 4 November 1954, Agus Salim meninggal dunia di Jakarta
dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
 Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien termasuk keturunan dari bangsawan Aceh. Beliau lahir tahun 1848 di
kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar
Ia merupakan Pahlawan Nasional asal Aceh yang melakukan perlawanan heroik
terhadap kolonialisme Belanda, bersama dengan rakyat Aceh lainnya. Ketika usianya
menginjak 12 tahun, Cut Nyak Dien dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga,
yaitu pada tahun 1862 yang juga berasal dari keluarga bangsawan .

Pada tanggal 26 maret 1873, ketika Perang Aceh meluas, ayah dan suami Cut Nyak
Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang memiliki persenjataan
lebih lengkap dan modern. Ayah Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum
Sati, perantau dari MinangkabauSetelah bertahun-tahun melawan, pasukannya pun
terdesak dan pada akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih
terpencil. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya
Ibrahim Lamnga bertempur melawan BelandaTewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum
pada tanggal 29 Juni 1878 pada akhirnya menyeret Cut Nyak Dien lebih jauh ke dalam
perlawanannya terhadap Belanda.Cut Nyak Dien pun gencar melakukan serangan
dengan sistem gerilya, sehingga bisa membuat panik pasukan Belanda yang berada di
Aceh. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati
Belanda, sehingga hubungannya dengan orang Belanda semakin menguat. Pada
tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang
pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Saat itu, Belanda sangat
senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Selain itu, Cut Nyak Dien
sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok,
serta jumlah pasukannya terus berkurang, ditambah mereka sulit memperoleh
makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Salah satu anak buah Cut
Nyak Dien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda
karena iba. Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya
terhadap masyarakat Aceh, ia diasingkan pada tanggal 11 Desember 1905 di Pulau
Jawa, tepatnya ke Sumedang Jawa Barat.
Di tempat pengasingannya, Cut Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami gangguan
penglihatan, mengajar agama. Ia tetap merahasiakan jati dirinya sampai
akhir hayatnya. Cut Nyak Dien wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di
Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat

 Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro memiliki nama kecil Raden Mas Ontowiryo. Ia lahir di D.I.
Yogyakarta pada 11 November 1785.
Pangeran Diponegoro merupakan anak sulung Sultan Hamengkubuwono III yang dikenal
sejak kepemimpinannya pada Perang Diponegoro tahun 1825-1830

Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari


kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu:
Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu
Ratnaningrum.Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya,
permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.Riwayat perjuangan
Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang Diponegoro.
Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima
tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang
ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan
penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran
Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikitAwal mula
sejarah perang diponegoro dimulai pada pertengahan bulan Mei 1825. Kala itu
pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari
Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan
jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi
makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran
Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan
Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok
yang melewati makam tersebut. 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de
Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak
Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi
Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan
Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Tanggal
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van
den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluarPerang tersebut menelan korban
terbanyak dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1830, Belanda bersiasat licik
dengan pura-pura mengajak Pangeran Diponegoro untuk berunding di Magelang. Dalam
perundingan itu, dia ditangkap lalu dibuang ke Manado. Setelah dari sana, dia dipindah ke
Ujung Pandang dan meninggal di sana tanggal 08 Januari 1985.
Selain dianugerahi sebagai pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro juga mendapat beberapa
penghormatan seperti didirikannya Museum Monumen Pangeran Diponegoro serta namanya
dijadikan sebagai nama jalan, stadion, hingga universitas

 Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin memiliki julukan Ayam Jantan dari Timur. Dia adalah Pahlawan Nasional
asal Sulawesi Selatan yang merupakan putra kedua dari Sultan Malikusaid. Sultan
Hasanuddin lahir tahun 1631 di Makassar. Pasca diangkat sebagai Sultan Kerajaan Gowa, dia
berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di wilayah Indonesia Timur dan melawan
Belanda dengan sengit.

Anda mungkin juga menyukai