2.Jamin Ginting
Lahir pada tahun 1921 dan Meninggal 1974
Pejuang Kemerdekaan menentang pemerintah Hindia Belanda di tanah karo,
Letjen TNI (Purn) Djamin Ginting (12 Januari 1921 – 23
Oktober 1974), adalah seorang tokoh pejuang
kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia
Belanda di Tanah Karo. Dia diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada
tanggal 7 November 2014.
Memimpin pasukan setelah kekalahan Jepang
Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo
memperkuat pasukan Jepang kandas setelah Jepang
menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang
menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai
seorang komandan, Djamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Dia
bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatra Utara. Dia menyakinkan
anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia memohon kesediaan
mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap kekuatan yang hendak
menguasai daerah Sumatra Utara. Situasi politik ketika itu tidak menentu.
Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai daerah Sumatra.
3.SISINGAMANGARAJA XII
Lahir pada tanggal 1849 dan Meninggal 1907
Perang Aceh
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta
berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru
menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri,
kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih
muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai
keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah,
anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya,
Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV
Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta
Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam
peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama
melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
6.Wahid Hasyim
Lahir pada tahun 1914 dan meninggal 1953
Pemimpin Nahdlatul Ulama, Menteri Agama Indonesia pertama
K. H. Abdul Wahid Hasjim (EYD: Abdul Wahid Hasyim; 1 Juni
1914 – 19 April 1953) adalah pahlawan nasional Indonesia dan
menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah ayah dari
presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak
dari Mohammad Hasyim Asy'ari, salah satu pahlawan
nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di
Tebuireng, Jombang.
7.Yos Sudarso
Lahir pada tahun 1925 dan Meninggal pada tahun 1962
Komodor Angkatan Laut, terbunuh saat konfrontasi dengan Belanda di Nugini Belanda
Laksamana Madya TNI (Ant.) Yosaphat Soedarso (24
November 1925 – 15 Januari 1962) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia gugur di atas KRI
Macan Tutul dalam peristiwa pertempuran Laut Aru setelah
ditembak oleh kapal patroli Hr. Ms. Eversten milik armada
Belanda pada masa kampanye Trikora. Namanya kini
diabadikan menjadi nama KRI dan pulau.
Kehidupan pribadi
Perangko memperingati Yos Sudarso keluaran tahun
1974
Yos Soedarso menganut agama Katolik, dan menikah
dengan Siti Kustini (1935-2006) pada tahun 1955 dan
meninggalkan lima orang anak (dua di antaranya
meninggal).
8.Zainal Mustafa
Lahir pada tahun 1907 dan meninggal 1944
Pemimpin Islam yang melakukan perlawanan terhadap pasukan pendudukan Jepang
K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur,
Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal
di Jakarta, 28 Oktober 1944) adalah salah satu pahlawan
nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Tasikmalaya.
Zaenal Mustofa adalah pemimpin
sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam perta
ma dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan
terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaemi.
Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan
Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa
Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah
Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame)
Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan
Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas
diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada
tahun 1927.
9.Sutoyo Siswomiharjo
Lahir pada tahun 1922 dan meninggal pada tahun 1965
Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo (28
Agustus 1922 – 1 Oktober 1965) adalah seorang perwira
tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam
peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia.
Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan
sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan
selama masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang
penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta.[1] Dia kemudian
bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun
mengundurkan diri pada tahun 1944.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,
Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini
kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia
diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus
mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala
staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum
diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah
pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga
1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena
pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer
utama.
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang dipimpin oleh
Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta
Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk
menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil
oleh Presiden Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang
Buaya.[4][5] Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak
terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober
dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan menjadi
Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.
10.Supriyadi
Lahir pada tahun 1925 dan meninggal pada tahun 1945
Kehidupan awal
Pemimpin pemberontakan melawan pasukan pendudukan
Jepang di Blitar
Soeprijadi atau dikenal dengan nama Sodancoh
Soeprijadi (lahir di Trenggalek, 13 April 1923 –
menghilang 14 Februari 1945, dinyatakan meninggal 9
Agustus 1975) adalah pahlawan nasional Indonesia dan
pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah
Air (PETA) terhadap pasukan
pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk
sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet
Presidensial, tetapi digantikan oleh Imam Muhammad
Suliyoadikusumo pada 20 Oktober 1945 karena Supriyadi
tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Supriyadi
wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Supriyadi lahir di Jawa Timur, Hindia Belanda, pada tanggal 13 April 1923. Sesudah
menamatkan Europeesche Lagere School (setingkat Sekolah Dasar), Soeprijadi melanjutkan
pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat Sekolah Pertama), dan kemudian
memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang. Namun, Jepang menyerbu Hindia
Belanda sebelum ia lulus. Ia kemudian mengikuti pelatihan Seimendoyo di Tangerang, Jawa
Barat.
Pemberontakan Blitar
Saat Soekarno sedang mengunjungi orangtuanya di Blitar, pasukan PETA memberitahunya
bahwa mereka sedang merencanakan pemberontakan dan meminta pendapat Soekarno.
Soekarno meminta mereka untuk mempertimbangkan akibatnya, tetapi Supriyadi yakin
pemberontakan akan berhasil.
Pada 14 Februari 1945, tentara PETA mulai memberontak. Namun, Jepang berhasil
memadamkan pemberontakan ini. Enam (atau delapan) orang dihukum mati dan sisanya
dipenjara antara tiga tahun hingga seumur hidup. Namun, Supriyadi tidak dihukum mati. Ada
yang mengatakan Supriyadi melarikan diri dan bersembunyi dari Jepang dan tidak pernah
ditemukan sesudahnya
Hilang
Pada 6 Oktober 1945, pemerintah Indonesia yang baru didirikan menyatakan Supriyadi sebagai
Menteri Keamanan Rakyat. Namun, ia tidak pernah muncul, dan pada tanggal 20 Oktober
digantikan oleh menteri ad interim Imam Muhammad Suliyoadikusumo. Hingga kini nasibnya
masih misterius.