Anda di halaman 1dari 11

1.

Jendral Soedriman

Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir 23 Januari
1916 - 29 januari 1950 , neng desa tipar, kecamatan rawalo, kabupaten banyumas sekang
pasangan wong tua kandung Kartawiraji karsid - Karsiem, uga Putune Esing R.Singatirta -
Nyai Rajem) sreneh kahanan mangsan paceklik jaman semono ahire Soedirman cilik
munggah umur 6 tahun banjur di pupuh neng sedulure neng purbalingga). nangin banjur di
sekolahaken neng cilacap kawite SD, SMP, nganti butul SLTA Swasta HIS Muhammadiyah
Cilacap, sedurunge deweke melu pendidikan Militer. Soedirman kuwe salah siji pahlawan
nasional Indonesia sing banget gedene jasa olehe berjuang dong jamane Revolusi Nasional
Indonesia. Nang jroning sejarah perjuangan Republik Indonesia, Soedirman dicatet nek
dheweke kuwe Panglima lan Jenderal RI sing pertama wibawane gede tur disegani laning
para pejuang sekang daerah liane senajan deweke Jendral sing paling enom. Umure nembe 31
taun dheweke uwis dadi jenderal. Senajan lagi lara tuberkulosis paru-paru sing parah,
Soedirman tetep mimpin gerilya lan maju perang mbelani kemerdekaan RI. Taun 1950
dheweke seda jalaran penyakit tuberkulosis lan dimakamkan nang Taman Makam Pahlawan
Kusuma Negara nang Semaki, Yogyakarta.
2. Ir. Soekarno

Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno (Ejaan Republik: Sukarno, Jawa: , pengucapan bahasa Jawa: [suː
ˈkarnɔ]; 6 Juni 1901 – 21 Juni 1970) adalah seorang politikus yang berperan penting
dalam Revolusi Nasional Indonesia. Ia bersama Mohammad
Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Ia orang
pertama yang mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia
sendiri yang menamainya.[7]
Selain sebagai proklamator, Soekarno juga menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia pertama sejak 1945 hingga 1967, dengan masa pemerintahannya dikenal juga
sebagai Orde Lama. Pada pertengahan tahun 1960-an, di masa-masa akhir jabatan Soekarno,
Indonesia mengalami stagnasi produksi, kemiskinan dan kelaparan yang merajalela,
infrastruktur yang tidak terurus, dan hiperinflasi mencapai hampir 600 persen.[9]
Pada 11 Maret 1966, Soekarno menandatangani Surat Perintah yang dikenal
sebagai Supersemar yang menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan
menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[7] Supersemar menjadi landasan Letnan
Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti
anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[7] Setelah pertanggungjawabannya ditolak
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun
1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS
pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik
Indonesia.[7]
3. Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah
salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803–1838.[1] Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Salah satu naskah asli yang memuat riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol tersimpan di Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat.[3]
4. Pattimura

Kapitan Pattimura lahir sebagai Thomas Matulessy pada 8 Juni 1783 di Saparua.[4][5] Leluhur
keluarga Matulessy berasal dari Pulau Seram. Turun-temurun mereka berpindah Moyang
Thomas Matulessy ke Titawaka (sekarang negeri Itawaka). Di antara turunannya ada yang
menetap di Itawaka, ada yang berpindah ke Ullath, dan ada yang berpindah ke Haria. Yang di
Haria menurunkan ayah dari Yohannis dan Thomas. ayah dari Thomas Matulessy yang bernama
Frans Matulessy lahir di Itawaka datang ke Negeri Haria belum menikah Ketika ayah dari
Thomas Matulessy menetap di Negeri Haria Ayah dari Thomas Matulessy tersebut sudah tidak
kembali lagi ke Itawaka dan menikah dengan Ibu dari Thomas yang bernama Fransina Silahooi
yang berasal dari Siri Sori Serani.[6] Orang tua dari Thomas Matulessy bernama Frans Matulessy
dan Fransina Silahooi, dan dia memiliki seorang kakak laki-laki bernama Yohannis Matulessy.
[7]
“Keluarga Matulessy beragama Kristen Protestan. Nama Yohannis dan Thomas diambil
dari Alkitab,”.[8]
5. Raden Ajeng Kartini

Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat (21 April 1879 – 17 September 1904) atau sering
disebut dengan gelarnya sebelum menikah: Raden Ajeng Kartini, adalah seorang
tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.[1] Kartini adalah seorang pejuang kemerdekaan
dan kedudukan kaumnya, pada saat itu terutama wanita Jawa.[2] Ia mempunyai tanggal lahir
yang sama seperti dr. Radjiman Wedyodiningrat, yakni sama-sama lahir pada 21 April 1879.
Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan Jawa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Setelah
bersekolah di sekolah dasar berbahasa Belanda, ia ingin melanjutkan pendidikan lebih lanjut,
tetapi perempuan Jawa saat itu dilarang mengenyam pendidikan tinggi. Ia bertemu dengan
berbagai pejabat dan orang berpengaruh, termasuk J.H. Abendanon, yang bertugas
melaksanakan Kebijakan Etis Belanda.
Setelah kematiannya, saudara perempuannya melanjutkan pembelaannya untuk mendidik anak
perempuan dan perempuan.[3] Surat-surat Kartini diterbitkan di sebuah majalah Belanda dan
akhirnya, pada tahun 1911, menjadi karya: Habis Gelap Terbitlah Terang, Kehidupan
Perempuan di Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa. Ulang tahunnya sekarang dirayakan di
Indonesia sebagai Hari Kartini untuk menghormatinya, serta beberapa sekolah dinamai menurut
namanya dan sebuah yayasan didirikan atas namanya untuk membiayai pendidikan anak
perempuan bangsa Indonesia.
6. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, (12 Mei 1848 – 6 November 1908);
[1]
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah
VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur
melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29
Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap
Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia
dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini
Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.[2] Setelah
pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama
melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat
Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut
Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit
seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan
keberadaannya karena iba.[3][4] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia
dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih
memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan
pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut
Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien
Nagan Raya di Meulaboh.[5]
7. Agus Salim

H. Agus Salim (lahir dengan nama Masjhoedoelhaq (berarti "pembela kebenaran") ( 8 Oktober
1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia ditetapkan
sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui
Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.[1] Pekerjaan yang ditekuninya adalah
sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa
Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur
Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang.
8. Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1923 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya
dengan Ki Hajar Dewantoro; 2 Mei 1889 – 26 April 1959;[1] selanjutnya disingkat sebagai
"Soewardi" atau "KHD") adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
guru bangsa, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Dia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, yaitu suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priayi maupun orang-orang Belanda.
Pada 1959, atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia, dia dianugerahi
gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno. sedangkan tanggal
kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia.
Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan
Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama sebuah kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya juga diabadikan pada uang
kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]
Dia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28
November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959).[3] Dia juga merupakan peletak dan perintis pendidikan nasional berbasis
kebudayaan.[4]
9. Sayuti Melik

Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (25 November 1908 – 27
Februari 1989) adalah seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia yang tercatat dalam sejarah
Indonesia sebagai Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dan juga
mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjabat dari tahun 1971-
1982.
Sayuti merupakan suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis
perempuan pada zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito,
seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.[1] Sedangkan ibunya bernama
Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai
kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.
10. Mohammad Hatta

Dr. (H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta atau dipanggil Bung Hatta (12 Agustus 1902 – 14 Maret
1980) adalah seorang tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, negarawan,
dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Ia
bersama Soekarno adalah Proklamator Kemerdekaan, memainkan peranan sentral dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan
Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia pernah menjabat
sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Pada 1956, ia mundur dari
jabatan wakil presiden.
Hatta dikenal akan komitmennya pada demokrasi. Ia mengeluarkan Maklumat X yang menjadi
tonggak awal demokrasi Indonesia. Di bidang ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap
perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi.[1][2]
Hatta meninggal pada 1980 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Proklamator
Kemerdekaan pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.[3] Namanya
bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta. Di Belanda, namanya diabadikan sebagai nama jalan di
kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.[4]
KLIPING IPS
“TOKOH – TOKOH INDONESIA DARI AWAL
KEMERDEKAAN HINGGA AWAL REFORMASI”
D

Oleh :
Rehan Dwi Ramadhan Gultom

Kelas IX.2

SMPN 24 PEKANBARU
T.P 2023/2024

Anda mungkin juga menyukai