DISUSUN OLEH:
NAMA : MAURIZQA AURANI AMALA
KELAS : VIII E
ABSEN : 09
Dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, jasa-jasanya sangat dikenang dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Besar Soedirman menurut Ejaan
Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan salah satu orang yang memperoleh
pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution.
Banyak buku yang mengisahkan mengenai biografi dan profil dari Jenderal Sudirman.
Disbutkan bahwa beliau ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24
Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem.
Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia
berlatar belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan
Hizbul Wathan.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang
begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi
Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi
Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI).
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini.
Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan
masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten
dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah
karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam
keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan
merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan
ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan,
jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi
pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara
Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara
Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat
pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan
TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa.
Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak
terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu
akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal
dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota
Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di
Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya
tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai
Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah
ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah
menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan.
Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan
perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai
pemimpin tentara.
Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri
tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia
tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu
dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus
Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini
pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada
usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar
ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun
memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras
yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu,
Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal
dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan
kedelapan dari Jaka Tingkir).
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok
tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar,
alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1. Halimah (Winih)
2. Muhammad
3. Leler
4. Fadli
5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama
Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa
25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1. Nafi’ah
2. Ahmad Saleh
3. Muhammad Hasyim
4. Radiyah
5. Hasan
6. Anis
7. Fatonah
8. Maimunah
9. Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H,
bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan
kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan
kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu
pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang
dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya
yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut
Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau,
berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren,
sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula
nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan
bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana
penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang
pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari
ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah.
Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif,
dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik
bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya
terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya
tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan
tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai
melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke
pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di
antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di
Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh
K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai
Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu
kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh
di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai
Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan
di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin
tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam
WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim
menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai
Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil,
baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk
berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun
1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren
Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu
dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri
tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan
tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji
bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau
juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu
baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi
kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama
Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami
sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra
beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan
beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak
tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan
ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu,
beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap
saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air
bersama mertuanya.
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke
kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci
bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat
kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu
justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami
ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput
dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW
di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di
antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud
Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam
ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam
segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah,
beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik
yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di
kampung halaman.
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar
santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh
mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah
itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat
menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai
hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke
Jombang.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu
banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna
yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang
dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng
yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim”
dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai
yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga
sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya
santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah
hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang,
alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok
pesantren.
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di
Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama)
bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar
lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari
madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa
saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih
menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang
mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan
berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk
menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai
Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang
dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk
menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan
syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang
yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan
dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan
keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang
dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir
pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada
manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada
persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan
pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua
orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan
keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia
(MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu
partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU
dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono
yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada
khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan
Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim
(Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian
bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan
didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat.
Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir
dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis
disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat,
membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil
dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya
yang rata-rata berbahasa Arab.