KH Abdul Halim
Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian
sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya
(walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam
peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal
sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang
fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya
itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West
Point, Amerika Serikat.
Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut
mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran
pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,
Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia
diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai
Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua
setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi
Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat
menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Akibat pertentang internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan
pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini
Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng.
Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak
hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik
Indonesia.
ABDUL KADIR RADEN TEMENGGUNG SETIA PAHLAWAN
Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat
mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras
menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah
kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu
sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula
pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk
melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk
menghadapi pasukan Belanda. Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia
Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama
dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap
melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering
terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden
Tumenggung. Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan
kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara
pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda,
Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi
perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang
rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin
perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.
ABDOEL MOEIS
Pada tahun 1912 menjadi ia menjadi salah satu pendiri Kaoem Moeda dan sempat menjadi Pemimpin
Redaksi, kemudian mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924.
Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam. Selain itu
ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad atau Dewan
Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan
Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda.
Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung.
Perjuangan Abdoel Moeis melawan Belanda pernah mengakibatkan dirinya mendekap di penjara pada
tahun 1919. Ketika itu, seorang Pengawas Belanda di Sulawesi Utara dibunuh ketika Abdoel Muis baru
saja melengkapi pidato kelilingnya di sana dan dia persalahkan atas kejadian tersebut. Melalui
tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express, Abdoel Muis mengecam tulisan orang Belanda
yang sangat menghina bangsa Indonesia. Melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama
dengan Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Muis menentang rencana pemerintah Belanda dalam
mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913.
Pada tahun 1992, dia diasingkan ke Garut, Jawa Barat selama tiga tahun karena memimpin pemogokan
kaum buruh di daerah Yogyakarta. Abdoel Muis juga berperan dalam pendirian Technische Hooge
School - Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mempengaruhi tokh-tokoh Belanda.
ABDULRAHMAN SALEH (PAHLAWAN)
Sejak kecil ia sudah dididik oleh ayahnya, KH Muhammad Marhum untuk mendalami agama.
Sejak remaja ia sering melakukan dakwah ke berbagai tempat di sekitar Kendal. Pada tahun 1826, ia
menunaikan ibadah haji kemudian memperdalam ilmu agama di Mekkah danMadinah selama 8 tahun.
Setelah itu ia juga menimba ilmu di Mesir.
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya
bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad
Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku
Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe,
Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak
dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama
Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di
penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946". Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat
ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan
Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933
Adam Malik adalah anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan
Salamah Lubis. Ayahnya, Abdul Malik, adalah seorang pedagang
kaya di Pematangsiantar. Adam Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Adam Malik
menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School Pematangsiantar. Ia melanjutkan di
Sekolah Agama Parabek di Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena kemudian
pulang kampung dan membantu orang tua berdagang. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada
bangsa mendorong Adam Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama
dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna memelopori
berdirinya Kantor Berita Antara.
Kariernya diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan kebangsaan yang dilakukannya secara
autodidak. Di masa mudanya, ia sudah aktif ikut pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, antara lain melalui pendirian Antara yang berkantor di JI. Pos Utara 53 Pasar Baru, Jakarta
Pusat. Sebagai Direktur diangkat Soegondo Djojopoespito, dan Adam Malik menjabat Redaktur
merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo
tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis
antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai
Indonesia (Partindo) Pematang Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan
Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota Pimpinan
Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5
September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri dan anak-anaknya mengabadikan namanya
dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan.
Atas jasa-jasanya, Adam Malik dianugerahi berbagai macam penghargaan, diantaranya adalah Bintang
Mahaputera kl. IV pada tahun 1971, Bintang Adhi Perdana kl.II pada tahun 1973, dan diangkat sebagai
Pahlawan Nasional pada tahun 1998.
ADENAN KAPAU GANI
Di Pemerintahan Indonesia, beberapa kali Gani menduduki kursi menteri. Debut Gani bermula di
Masa Kabinet Sjahrir III sebagai Menteri Ekonomi. Pada masa pemerintahan Amir Sjarifuddin (3 Juli
1947 - 29 Januari 1948), ia menjabat sebagai wakil perdana menteri merangkap sebagai Menteri
Kemakmuran. Pada tanggal 9 November 2007, almarhum Mayjen TNI Gani dianugerahi gelar pahlawan
nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
AGUSTINUS ADISUCIPTO
Pada tanggal 15 November 1945, Adisutjipto mendirikan Sekolah Penerbang di Yogyakarta, tepatnya di
Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya menjadi Bandara Adisutjipto, untuk
mengenang jasa beliau sebagai pahlawan nasional.
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya.
Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelarPangeran Ratu atau Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi
Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak
di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa
di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda.
Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.
Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang
ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru
dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan
dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur
dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa
mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan
mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram,
kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Bantentelah berasimilasi
melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan
adalah Palembang di Sumatratahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga
menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas
pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan
mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya
dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan
Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang
dipakai di pesisir utara denganKalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung
juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir diKoto
Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal diJakarta, Indonesia, 4
November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan
terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh
di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke
Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-
Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di
Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih
merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II.
Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahardan dikaruniai 8 orang
anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin
Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan SuratkabarFadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai
Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau
Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam
AHMAD DAHLAN
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar
penetapan itu ialah sebagai berikut:
- KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagaii bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
- Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang
murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam.
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang
amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
AHMAD YANI
Beliau dikenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan PKI (Partai Komunis
Indonesia). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun1962, ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Karena itulah beliau
menjadi salah satu target PKI yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD
melalui G30S (Gerakan Tiga Puluh September). Ia ditembak di ruang makan di rumahnya,Jalan
Lembang D58,Menteng pada jam 04.35 tanggal 1 Oktober 1965. Mayatnya kemudian ditemukan di
Lubang Buaya.
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 dari keluarga
Wongsoredjo, yang bekerja di pabrik gula milik pengusaha Belanda. Tahun 1927, Yani pindah bersama
keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya bekerja untuk seorang jendral Belanda. Di Batavia, Yani
menyelesaikan sekolah dasar dan sekolah menengahnya. Tahun 1940, Yani meninggalkan bangku
sekolah tinggi untuk masuk dinas kemiliteran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dia masuk Dinas
Topografi Militer di Malang, Jawa Timur, tapi berhenti karena invasiJepang tahun 1942. Di waktu yang
sama keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.
ALBERTUS SOEGIJAPRANATA
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji (lahir
diSelangor, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan)
adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. [1]Dia terkenal sebagai
pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi
standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalamKongres Pemuda Indonesia 28
Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua
(cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan MudaIV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga
merupakan bangsawan Bugis.
Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan
Malakadalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah
meletus12 November 1926. Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.
Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Alimin tidak
lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou). Pada saat itu ia
terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk
melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Perancis.
Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan
bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946, yaitu setelah
Republik Indonesia diproklamasikan. Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal
tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin termasuk tokoh komunis yang
tidak diindahkannya. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat
meninggalnya di tahun 1964.
AMIR HAMZAH
Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir
di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal diKuala Begumit, 20
Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesiaangkatan Pujangga Baru. Ia lahir
dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam
alam sastra dan kebudayaan Melayu.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan
rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan
modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama di Pulau Jawa,ia bergaul dengan
tokoh pergerakan asal Jawa.Misalnya, Mr.Raden Pandji Singgihdan K.R.T Wedyodi.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935terlihat jelas
perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama
dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalahPujangga Baru (1933), yang
kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru.
Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik
kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi
Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar (tt.).
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi
penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya
Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian
timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman
Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat.Adapun, revolusi ini terjadi pada tahun 1946. Ia diangkat menjadi
Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3
November 1975
ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE
Pendidikan
Semasa hidupnya pernah mengecap pendidikan formal pada Sekolah Rakyat selama 1 tahun (1924),
HIS (Hollands Inslander School (selesai 1932)
Karier keorganisasian
Jabatan/Keorganisasian yang pernah dilakoni oleh Beliau anatara lain; Datu Suppa tahun 1940, Bunken
Kanrekan Pare-Pare, Ketua Organisasi SUDARA Pare-Pare, Ketua Pusat Keselamatan Rakyat
Penasehat Pemuda/Pandu Nasional Indonesia, Ketua Umum BPRI (Badan Penunjang Republik
Indonesia), Kordinator perjuangan bersenjata bagi pemuda didaerah sekitar Pare-Pare
Kematian
Andi Abdullah Bau Massepe wafat ditembak oleh pasukan Mayor Raymond Westerling -Korps Baret
Merah Belanda- pada tanggal 2 Februari1947 setelah ditahan selama 160 hari. Wafat 10 hari sesudah
konferensi Pacekke (tanggal 20 Januari 1947). Makam beliau dapat ditemukan di Taman Makam
Pahlawan kota Pare-Pare (110 kilometer utara Kota Makassar).
Pejuang yang teguh
Beliau diakui sebagai pejuang yang teguh pendirian dan berani berkorban demi tegaknya NKRI. Hal ini
diakui oleh Westerling yang disampaikan kepada istrinya, A. Soji Petta Kanjenne, dia berkata; “suamimu
adalah jantan dan laki-laki pemberani. Ia bertanggung jawab atas semua tindakannya, tidak mau
mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri, sikap jantan ini sangat saya hormati.”
ANDI DJEMMA
Wilayah kekuasaannya kemudian menjadi daerah setingkat kabupaten setelah beberapa wilayahnya
memisahkan diri menjadi beberapa kabupaten, Kabupaten Luwu,Kabupaten Luwu Utara, Kota
Palopo, Kabupaten Luwu Timur dan Tana Toraja, semuanya masih di wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan. Sedangkan Kolaka menjadi sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara dan Poso di Sulawesi
Tengah.
Beliau sejak berusia 20 tahun sudah mengangkat senjata untuk berperang mengusir kolonial Belanda,
perang yang dilakoni dimasa muda itu takala mempertahankan pos pertahanan kerajaan Gowa di
daerah Gunung Sari.
Pada tahun 1931 atas usulan dewan adat beliau diangkat menjadi Raja Bone ke-XXXII dengan gelar
Sultan Ibrahim, sehingga beliau bernama lengkap Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim. Karena menolak
bersekutu dengan Belanda Beliau pun “di turunkan” dari sebagai raja Bone oleh kekuatan dan
kekuasaan Belanda, kemudian di asingkan bersama "Istri permaisurinya I' Mane'ne Karaengta Ballasari"
dan Putra Putrinya selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana Toraja.
Andi Pangerang Petta Rani yang lahir dari Istrinya yang bernama I Batasi Daeng Taco dan dari Istrinya
yang bernama Besse Bulo lahirlah Putranya yaitu Andi Abdullah Bau Massepe yang dikenal juga
sebagai pejuang kemerdekaan dan mendapat gelar Pahlawan Nasional. Adapun Putrinya yang
dilahirkan dari Istri Permaisurinya I Mane'ne Karaengta Balla Sari Bernama Andi Bau Tenri Padang Opu
Datu ikut berjuang bersama suaminya Andi Djemma Datu Luwu (Raja Luwu) yang berasal dari Sulawesi
Selatan.
Beliau Mangkat pada tanggal 18 April 1967 di Jongaya (Jl. Kumala no.160 Makassar dan masih terjaga
dan terawat sampai sekarang sebagai Rumah Ex. Raja Bone Andi Mappanyukki), dimana daerah beliau
juga dilahirkan. Makamnya tidak diletakkan di pemakaman raja-raja Gowa atau Bone lazimnya, tetapi
oleh masyarakat dan pemerintah Republik Indonesia Makamnya di letakkan di Taman makam
Pahlawan Panaikang Makassar (Ujung Pandang) dengan upacara kenegaraan.
ANDI SULTAN DAENG RADJA
Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun di
Bulukumba. Tamat dari Volksschool, beliau melanjutkan pendidikannya ke Europeesche Lagere
School (ELS) di Bantaeng. Selesai mengenyam pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan
pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar. Andi Sultan
Daeng Radja berjuang menentang penjajahan kolonial Belanda dimulai sejak masih menjadi siswa di
Opdeling School Voor Indlandsche Ambtenar (OSVIA) di Makassar. Ketidak-sukaan Sultan Daeng
Radja terhadap pemerintah kolonial dipicu oleh kesewenangan dan penindasan yang dilakukan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Bulukumba.
Para pejuang Bulukumba, kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan
Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin. Dalam
organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh
kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng
Radja memberi perintah kepada Laskar PBAR.Setelah lima tahun di penjara di Makassar, pada tanggal
17 Maret 1949, pengadilan kolonial kemudian mengadili dan memvonis Sultan Daeng Radja dengan
hukuman pengasingan ke Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.
Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya mendapat
penghargaan tinggi dari Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 085/TK/Tahun
2006 tertanggal 3 Nopember 2006, Presiden SBY menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan
Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara
pada tanggal 9 November 2006.
PANGERAN ANTASARI
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara
milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan
pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari
Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya
Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk
Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya
yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap
dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak
seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari
pemerintah Kolonial Hindia Belanda:
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.
Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi
Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah
melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari
dalam uang kertas nominal Rp 2.000
ARIE FREDERIK LASUT
Lasut terus diincar oleh Belanda karena pengetahuannya tentang pertambangan dan geologi di
Indonesia, tetapi ia tidak pernah mau bekerjasama dengan mereka. Pada pagi hari tanggal 7 Mei 1949,
Lasut diambil oleh Belanda dari rumahnya dan dibawa ke Pakem, sekitar 7 kilometer di utara
Yogyakarta. Di sana ia ditembak mati. Beberapa bulan kemudian jenazahnya dipindahkan ke pekuburan
Kristen Kintelan di Yogyakarta di samping isterinya yang telah lebih dulu meninggal pada bulan
Desember 1947. Upacara penguburan dihadiri oleh Mr. Assaat, pejabat presiden pada saat itu.
Arie Frederik Lasut mendapat penghargaan Pahlawan Pembela Kemerdekaan oleh pemerintah
Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969
SOERJO
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); lahir
di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1895 – meninggal di Bago, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, 10
September 1948 pada umur 53 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesiadan gubernur
pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat Bupati di Kabupaten
Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah
menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro pada tahun 1943.
RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral
Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari
di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang
ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.
Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepebuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja
terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris.
Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya
menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan
dihancurkan. Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan
di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas
berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah
penghabisan. Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan
Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi
di manaSurabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir
meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.
Tanggal 10 September 1948, mobil RM Suryo dicegat pemberontak anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI) di tengah hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi. Dua perwira polisi yang lewat dengan mobil ikut
ditangkap. Ke 3 orang lalu ditelanjangi, diseret ke dalam hutan dan dibunuh. Mayat ke 3 orang
ditemukan keesokan harinya oleh seorang pencari kayu bakar. R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam
Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang
jasa-jasanya terletak di Kecamatan Kedunggalar kabupaten Ngawi.
BAGINDO AZIZCHAN
Dia menolak tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang berada di belakang tentara Sekutu dan
terus melakukan perlawanan dengan menerbitkan surat kabar perjuangan yang bernama Republik
Indonesia Jaya. Ia meninggal dalam tugasnya sebagai kepala pemerintah daerah pada tanggal 19
Juli 1947 dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada usia 36 tahun. Menurut hasil visum
(dilakukan di Rumah Sakit Tentara Dr. Reksodiwiryo Ganting sekarang) ia meninggal karena terkena
benda tumpul dan terdapat 3 bekas tembakan di wajahnya kemudian ia dikebumikan di Taman Makam
Pahlawan Bahagia Bukittinggi.
Bagindo Azizchan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.
BASUKI RAHMAT
Karier militer
Sebelum menjadi militer, sebenarnya Basuki muda ingin menjadi guru hingga meneruskan
pendidikannya di Sekolah guru Muhammadiyah, Yogyakarta. Akan tetapi jalan hidup membuatnya
megikuti pendidikan Pembela Tanah Air. Selepas pendidikan Basuki ditempatkan di Pacitan dengan
pangkat shodancho (Komandan Pelopor). Memasuki era perjuangan kemerdekaan, ia juga turut dalam
pembentukan Badan Keamanan Rakyat Maospati, Jawa Timur. Bakat kepemimpinannya yang menonjol
membuat ia ditunjuk menjadi Komandan Batalyon 2 Resimen 31 Divisi IV Ronggolawe dan kemudian
ditunjuk menjadi Komandan Batalyon 16 Brigade 5 Divisi I Jawa Timur.
Orde baru
Dalam posisi pemerintahan beliau pernah menjabat sebagai Menteri Veteran Letnan dalamKabinet
Dwikora pimpinan Soekarno pada periode 1964-1966. Ia juga merupakan salah satu saksi kunci
perisitiwa Supersemar beserta Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Jusuf.
Meninggal dunia
Ia wafat pada 8 Januari 1969 akibat serangan jantung dan dimakamkan keesokan harinya diTMP
Kalibata, Jakarta
SUTOMO
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar
memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan
nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawantanggal 10
November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet
Indonesia Bersatu, Muhammad Nuhpada tanggal 2 November 2008 di Jakarta
TEUNGKU CHIK DI TIRO
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa
ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan
para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dankolonialisme. Sesuai dengan ajaran
agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan
kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal denganPerang Sabil.
Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah
yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan
Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda
merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah
dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal
pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong. Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri
dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.
TJILIK RIWUT
Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan dan perjuangannya
kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa. Penetapannya
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan pada
masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah). Setelah dari Pulau Jawa untuk
menuntut ilmu, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik
Indonesia yang baru saja terbentuk, namun beliau tidak terjun. Nama-nama yang terjun merebut
kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J.
Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi.
Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan
Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah mewakili 142 suku Dayak pedalaman
Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapanPresiden Sukarno di Gedung
Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.
TJIPTO MANGOENKOESOEMO
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah putera tertua
dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo
diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala
sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada
Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya,
Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-
adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara Darmawan,
adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia
industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi
Hukum di Jakarta.
CUT NYAK DHIEN
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut
Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang,
Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi
nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur
bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut
Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang
bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke
Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah
semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum
tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6
November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
TJOET NYAK MEUTIA
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad
atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan
dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada
sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan
pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan
Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang
Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia
menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara.
Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan
Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
DEWI SARTIKA
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka
Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi
Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya
terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905,
sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru
ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati
Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa
perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan
hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan
sekolah formal.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat.
Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat
markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang
dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang
tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
ERNEST DOUWES DEKKER
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah
di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara
Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah
diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan
melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian
menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa
Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah
mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi
buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29
Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
KH FAKHRUDDIN
Fakhruddin dianggap sebagai seorang tokoh yang serba bisa. Karena itu, silih berganti tugas penting
diserahkan kepadanya, antara lain mengurus bagian dakwah, bagian taman pustaka, dan bagian
pengajaran. Tahun 1921 ia diutus ke Mekah selama 8 tahun untuk meneliti nasib para jemaah haji yang
berasal dari Indonesia karena mereka seringkali mendapat perlakuan kurang baik dari pejabat-pejabat
Mekah. Sekembalinya, memprakarsai pembentukan Badan Penolong Haji. Selain itu, ia pernah pula
diutus ke Kairo sebagai wakil umat Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam.
Fatmawati lahir dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Orang tuanya merupakan keturunan Puti
Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan.[3] Ayahnya
merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno, yang kelak menjadi presiden pertama
Indonesia. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarno
putra, Megawati Soekarno putri, Rachmawati Soekarno putri, Sukmawati Soekarno putri, dan Guruh
Soekarnoputra.
Pada tahun 14 Mei 1980 ia meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan
pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
FERDINAND LUMBANTOBING
Setelah kemerdekaan ia diangkat menjabat beberapa jabatan penting seperti Menteri Penerangan dan
Menteri Kesehatan (ad interim). Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Beliau dimakamkan di Desa Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
FRANS KAISIEPO
Pada masa penjajahan Jepang, Gatot Mangkoepradja yang telah dikenal baik oleh Jepang diberi
wewenang untuk menjalankan Gerakan 3 A yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon
Pemimpin Asia. Akan tetapi usaha Jepang ini gagal karena Gatot Mangkoepradja tidak mau kooperatif.
Karena penolakan ini maka ia ditahan oleh Kempeitei. Setelah keluar dari tahanan, beliau mengajukan
usul kepada Jepang untuk membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Akhirnya pada tanggal 3
Oktober 1943 dibentuklah secara resmi Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) melalui Osamu
Seirei No. 44 Tahun 1943. Setelah kemerdekaan Gatot Mangkoepradja kembali bergabung dengan PNI
pada tahun 1948. Setahun kemudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal
Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada tahun 1955 karena kecewa bahwa anggota
PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan. Setelah peristiwa Gestapu tahun 1965, Gatot
Mangkoepradja menyatakan dirinya masuk ke Partai IPKI karena partai ini berjuang untuk
menyelamatkan Pancasila dari ancaman komunisme. Gatot Mangkoepradja meninggal dunia pada
tanggal 4 Oktober 1968 dan dimakamkan di pemakaman umum Sirnaraga, Bandung.
GATOT SOEBROTO
Setamat pendidikan dasar die HIS, Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun
memilih menjadi pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah
militer KNIL di Magelang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun
mengikuti pendidikan PETA di Bogor. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara
Keamanan Rakyat TKR dan kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima
Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Setelah ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan, pada tahun 1949 Gatot Subroto diangkat menjadi
Panglima Tentara & Teritorium (T&T) IV I Diponegoro.
Pada tahun 1953, beliau sempat mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian
diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Beliau adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (AD,AU,AL) untuk membina
para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (AKABRI) pada tahun 1965.
HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka
menjadi wartawan beberapa buahsurat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan
Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada
tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,
ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia
meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada
tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si
Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentukroman, sejarah, biografi
dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih.
Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, danMerantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan
menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia
terima, baik peringkat nasional maupun internasional.
Semasa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan
penjajah Belanda diSumatera pada tahun 1948, Halim Perdanakusuma dan Marsma Iswahyudi
ditugaskan membeli perlengkapan senjata di Thailand. Keduanya ditugaskan dengan pesawat terbang
jenis Anderson.[2] Pesawat terbang itu dipenuhi dengan berbagai senjata api, diantaranya karabin, stun
gun, pistol dan bom tangan.
Dalam perjalanan pulang, pesawat terbang tersebut jatuh. Tidak diketahui penyebabnya, namun diduga
karena cuaca buruk atau karena ditembak (disabotase). Bangkai pesawat terbang tersebut ditemukan di
sebuah hutan berdekatan dengan kota Lumut, Perak, Malaysia (ketika itu masih bernama Uni Malaya).
Namun tim penyelamat hanya menemukan jasad Halim, sementara jasad Iswahyudi tidak diketemukan
dan tidak diketahui nasibnya hingga sekarang. Begitu juga dengan berbagai perlengkapansenjata
api yang mereka beli di Thailand, tidak diketahui kemana rimbanya.
Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga
seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman
Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di
laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci
bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk
mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi
pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa
perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah
dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).
Bersama dengan seorang anggota KKO lainnya bernama Usman, ia dihukum gantung oleh pemerintah
Singapura pada Oktober 1968 dengan tuduhan meletakkan bom di wilayah pusat kota Singapura yang
padat pada 10 Maret 1965 (lihat Pengeboman MacDonald House).
Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
MAS TIRTODARMO HARJONO
Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh
pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah
Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa
pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan
pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya
dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh
pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950,
ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai
Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah
ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap
pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja
Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
D.I. PANDJAITAN
DI Panjaitan
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali
ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi
IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV
(Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi
Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan
Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi
Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer
RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun
pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang
pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat
ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah
terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
PIERRE TENDEAN
Pierre Tendean
Beliau adalah ajudan dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko Hankam/Kepala
StafABRI) pada era Soekarno. Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi
anaknya,Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap
oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira
adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
SISWONDO PARMAN
Siswondo Parman
Kol. Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-
laki; R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l.
1958), R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono
(l. 1963); serta seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir
setelah ayahnya meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.
Ia dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.
R. SUPRAPTO (PAHLAWAN REVOLUSI)
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan
berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk
menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara
resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan
melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai
perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang
bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan
ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga
kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal
kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk
menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa
orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada
tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang
tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat
bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang
persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat
menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda,
sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari
Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut
bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan
di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena
sakit.
WAHIDIN SOEDIROHOESODO
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa, sehingga tak
heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari
bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus
cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-
sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran
dan memupuk kesadaran kebangsaan.
MOHAMMAD YAMIN
Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya,
novel modern pertama dalambahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama,
tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-
karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.
Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan
beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air,
satu bangsa, dan satu bahasaIndonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken
Dedes yang berdasarkan sejarah Jawamuncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir
dekade 1920-an sehingga tahun 1933,Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir
Alisjahbana merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan
kesusasteraannya.
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali
Haji (lahir diSelangor, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan
Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad
19 keturunan Bugis dan Melayu. [1]Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar
tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa
Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalamKongres Pemuda Indonesia 28
Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan
keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan MudaIV
dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Lagu ciptaan karya Ismail Marzuki yang paling populer adalah Rayuan Pulau
Kelapa yang digunakan sebagai lagu penutup akhir siaran olehstasiun TVRI pada
masa pemerintahan Orde Baru.
alam perfilman nasional nama Nya Abbas Akup tak bisa dilupakan walaupun sineas kelahiran
Malang, berdarah Aceh ini tak pernah mendapatkan Piala Citra. Satu-satunya penghargaan
yang pernah diraihnya adalah Piala Antemas untuk film terlaris 1978, Inem Pelayan Sexy dan
Piala Bing Slamet untuk film komedi terbaik 1991, Boneka dari Indiana.
Meski piala untuk Akup adalah penghargaan khusus--mirip sineas Alfred Hitchcock yang
sepanjang kariernya juga tak pernah mendapat Piala Oscar--anak didik Usmar Ismail yang
mengawali kariernya sebagai asisten sutradara dalam film Kafedo (1953) ini seperti kurang
diakui juri Piala Citra lantaran penghargaan ini kebanyakan diraih oleh film-film drama. Walau
filmnya berbobot dan sukses menghasilkan laba, sosok pendiam yang jauh dari kesan lucu ini
seperti tenggelam dibandingkan nama besar Usmar Ismail, Syuman Djaya, Teguh
Karya, Wim Umboh, Arifin C. Noer dan Asrul Sani.
Salim Said, pengamat politik yang juga kritikus film, menjulukinya "tukang ejek nomor wahid"
atas kiprahnya "menampilkan sesuatu yang baru di tengah sejumlah komedi konyol gaya
sandiwara" (Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, 1991). Bila untuk "Bapak Film
Nasional" kita dapat menyebut Usmar Ismail, maka Nya Abbas Akup, pria berdarah Aceh
kelahiran Malang, 1932, dan wafat pada 1991 ini menyandang julukan "Bapak Film Komedi
Indonesia".
Ia memang pantas menyandangnya, lantaran generasi film komedi yang dipelopori pelawak
kondang Bing Slamet, Benyamin S., Jalal,Ateng, sampai duet Kadir-Doyok--yang pertama kali
dipertemukan dalam film Cintaku di Rumah Susun (1987)--lahir dari tangannya. Akup juga
dinilai menyegarkan aspek bertutur film komedi di tengah komedi konyol slapstick.
Hampir semua sub genre film komedi juga disentuh Akup. Sebutlah Drakula Mantu (1974,
a.ka. Benyamin Kontra Drakula) yang menyajikan horor komedi. Dalam Tiga Buronan (1957)
ada black comedy dan komedi aksi. Sedangkan di Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) ada
parodi ketika di masa itu Indonesia sedang tergila-gila pada popularitas film
koboi Django, Lone Ranger dan Bonanza. Lalu ada komedi musikal Dunia Belum Kiamat
(1971) sampai kritik sosial dalam Inem Pelayan Sexy (1976) yang menjadi masterpiece-nya.
Tak hanya itu, Akup pun punya penerus. Ia adalah Ucik Supra, sutradara film Rebo dan
Roby dan Badut-Badut Kota yang dapat disebut sebagai penerus film komedi kritik sosial.
Sayang Ucik muncul di zaman terpuruknya perfilman nasional sehingga ia kurang produktif.
Film terbarunya, Panggung Pinggir Kali (2004), yang meski bukan komedi, masih sedikit
menyimpan greget dengan kritiknya.
Hasan Basry
Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan dirawat di
RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Pemakaman beliau dilaksanakan secara militer
dengan inspektur upacara Mayjen AE. Manihuruk. beliau dimakamkan di Liang
Anggang Banjarbaru Kalimantan Selatan. Atas jasa-jasanya, beliau dianugerahi
sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3
November 2001.
Sultan Hasanuddin
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai
Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka
Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda),
Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari
(Jombang)
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman
yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitandi Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan danPesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru
pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad
Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh
Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad
As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Hazairin lahir di tengah-tengah keluarga taat beragama, dari pasangan Zakaria Bahri
(Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau). Ayahnya adalah seorang guru dan
kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin
mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir
di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah)
dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama
yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar,
yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang,
Agam sebagai salah seorang pemimpin dariHarimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih
dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol
bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda.
Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk
merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di
sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng
Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa,
dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8
November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya
tersebut.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi
akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7]sebagai penghargaan dari
pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagaiPahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai
nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000
keluaran Bank Indonesia 6 November 2001
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan
dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-
Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman
bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal
mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang
berhak sepenuhnya menuntut takhta.[2]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam,
adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini
adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau
cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan
Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra
dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3
Iswahyudi
J. Leimena
Kartini
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.
Ki Hadjar Dewantara
Ki Sarmidi Mangunsarkoro
Kusumah Atmaja
Prof. Dr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja meninggal pada tanggal 11
Agustus 1952 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Prof. Dr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja dianugerahkan gelar
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 124/1965
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari
Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat,
tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1
Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta
sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan
Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai
akhir hayatnya 26 September 1852. ( selama 35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa
tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan
oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di
dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di
Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut
"Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter
roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu
RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan
dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram,
yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya
sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang
Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang
dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung
kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura.
RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia
bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai
panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah
dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke
Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC
menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat
bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian,
Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia
memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan
asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa
Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan
kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat
persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan
Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
R.E. Martadinata
ahir di Bandung, 29 Maret 1921. Pendidikan HIS di Lahat 1934, MULO di Bandung 1938,
AMS di Jakarta 1941 dan Sekolah Pelayaran Tinggi.
Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut
beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai
beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jl Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk
BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-
pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinir oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro
dll membentuk BKR Laut Pusat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laut,
diubah lagi menjadi TRI Laut dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.
R.E. Martadinata menikah dengan Soetiarsih Soeraputra dikarunia 5 putri 2 putra yaitu : 1.
Soehaeny Martadinata 2. Siti Khadijah Martadinata 3. Siti Judiati Martadinata 4. Irzansyah
Martadinata 5. Siti Mariam Martadinata 6. Vittorio Kuntadi Martadinata 7. Roswita Riyanti
Martadinata
Ketika terjadi pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai
Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi
mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk
menumpas G.30.S/PKI. Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden
Soekarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan
digantikan oleh Laksamana Muda Mulyadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi
Duta Besar dan Berkuasa penuh RI untuk Pakistan.
Dalam rangka menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke
Indonesia mendampingi 3 tamu dari Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama
istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputy I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada
tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte
II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan yang
ternyata helikopter yang dikemudikannya menabrak bukit dan dalam kecelakaan
tersebut seluruh penumpang dan pilot termasuk Laksamana Laut R.E.Martadinata
tewas. Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional karena
pengabdiannya untuk negeri ini.
Mas Mansoer
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga
Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad
Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada
masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia
dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat
pada saat itu.
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak melakukan
gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer
sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam.
Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan
gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai
berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab
Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai
berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai
perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam
empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan
empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas
Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta,
sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes
Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap
rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut,
sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam
empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari
sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan
pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap
oleh tentara NICA dan dipenjarakan diKalisosok. Di tengah pecahnya perang
kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada
tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Mohammad Hatta
Mohammad Natsir
Muhammad Natsir, dalam tulisan lain ada yang menulisnya Mohammad Natsir/Mohd.
Natsir/M. Natsir, adalah putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat 17, Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Natsir adalah orang yang
berbicara penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap
lawan-lawan politiknya. Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda
dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Ayah Natsir bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan
kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang
berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang.
Ketika kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin
oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk
sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada
tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional
antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada
tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi
Islam Persis. Dengan keunggulan spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama,
kebudayaan, dan pendidikan.
Akhir tahun 1979 Raja Fadh dari Arab Saudi memberi anugerah Faisal Award melalui
King Faisal Foundation di Riyadh, bersama mufti Palestina. Sebelumnya tahun 1967,
Universitas Islam Libanon memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang politik Islam.
Tahun 1991, gelar kehormatan yang sama dianugerahkan Universiti Kebangsaan
Malaysia
Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 –
meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun)
adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak
Harupat.
Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-
murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan
Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang
kemerdekaan.
Ia adalah ayah dari Oetari, istri pertama Soekarno, presiden pertama Indonesia
Pakubuwana VI
Pakubuwana X
Pattimura
Rasuna Said
H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan
berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat
Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam
secara tajam ketidak adilan pemerintahBelanda, sehingga beliau sempat ditangkap
dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda
Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili
daerah Sumatera Baratsetelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959sampai akhir hayat beliau.
H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember1974.
H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu
(Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel
Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di
kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar
(bahasa Belanda:Hollands Inlandsche School (HIS)), yang diikuti sekolah menengah
(bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)) di Frater Don Bosco di
Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah
di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung,
di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum keMakassar, Sulawesi
Selatan.[1]
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar.
Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands
Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi
terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.[2] Pada tanggal 17 Juli 1946,
Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar
Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan
dan menyarang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947,
tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan
kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh
tim penembak pada 5 September 1949. [3] Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam
Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Sam Ratulangi
Slamet Rijadi
Ketika terjadi peristiwa APRA, brigade Slamet Riyadi dipanggil naik kereta api ke
Bandung untuk memerangi. Karena peristiwa APRA sangat singkat, brigade Slamet
Riyadi akhirnya disalurkan memerangi DI/TII. Personel APRA adalah KNIL kompi
(baret merah) pasukan payung dan batalion komando (baret hijau). Dua pasukan ini
adalah musuh Slamet Riyadi sejak Agresi militer ke-2 di Yogyakarta dan waktu
serangan umum Solo. Dua pasukan ini menolak bergabung ke dalam APRIS, kelak
mereka menyusup keluar Bandung dan membantu RMS
Soekarno
Soedirman
Suprijadi
Sutan Syahrir
Karya
1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat
Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
3. Perjuangan Kita, tahun 1945
4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan
karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul
dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa
Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh
Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin
dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah
“Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan
pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
10.Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah
lain
11.Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan
Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)