Anda di halaman 1dari 101

ABDUL HALIM

KH Abdul Halim

K.H. Abdul Halim (lahir di Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 – meninggal 17 Mei 1962 pada umur


74 tahun) adalah pahlawan Indonesia yang berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
hingga mempertahankan dari Agresi Militer Belanda. Dalam mempertahankan kemerdekaan Abdul
Halim berbasis diGunung Ceremai untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II dengan berperang
gerilya. Ia memimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon. Ia, ikut
dalam BPUPKI dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.

Gelar Pahlawan Nasional


Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Abdul Halim bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan
tanggal 10 November  2008. Keputusan ini disampaikan oleh  Menteri Komunikasi dan
Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008  di Jakarta
berdasarkan SK Presiden no /TK/2008 (6 November 2008).
ABDUL HARIS NASUTION

Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution (lahir


di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal
di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang
menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang
menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan
ajudannya, Lettu Pierre Tendean.

Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian
sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya
(walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam
peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal
sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang
fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya
itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West
Point, Amerika Serikat.

Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut
mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran
pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,
Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia
diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai
Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua
setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi
Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat
menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Akibat pertentang internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan
pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini
Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng.
Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak
hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik
Indonesia.
ABDUL KADIR RADEN TEMENGGUNG SETIA PAHLAWAN

Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung Setia


Pahlawan (lahir: Sintang, Kalimantan Barat, 1771 - wafat: Tanjung
Suka Dua, Melawi,1875) adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia dari Melawi. Pada tahun 1845, ia diangkat sebagai
Kepala Pemerintahan Melawi yang merupakan bagian
dari Kerajaan Sintang. Sebagai pejabat kerajaan ai mendapat
gelar Raden temenggung. Ia berhasil mengembangkan potensi
perekonomian wilayah ini dan mempersatukan
suku Dayak dengan Melayu. Selain itu ia juga berjuang
menentang Belanda yang ingin menguasai wilayah ini. Tahun
1999 diangkat sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat
Keputusan Presiden nomer 114 / TK / 1999 tanggal 13 - 10 - 1999

Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat
mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras
menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah
kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu
sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula
pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk
melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk
menghadapi pasukan Belanda. Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia
Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama
dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap
melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering
terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden
Tumenggung. Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan
kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara
pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda,
Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi
perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang
rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin
perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.
ABDOEL MOEIS

Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Sumatera Barat tahun 1886,


meninggal di Bandung, Jawa Barat pada 17 Juli 1959) adalah
seorang sastrawan  dan wartawan Indonesia. Dia dikukuhkan
sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden
RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959

Pendidikan terakhirnya adalah menamatkan pendikan


di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta.  Dia pernah bekerja
sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi
wartawan di  Bandung  pada surat kabar Belanda, Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan
Haji Agus Salim.

Pada tahun 1912 menjadi ia menjadi salah satu pendiri Kaoem Moeda  dan sempat menjadi Pemimpin
Redaksi, kemudian mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924.
Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam. Selain itu
ia juga pernah aktif dalam Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad atau Dewan
Rakyat yang pertama (1920-1923).  Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan
Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. 
Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung.

Perjuangan Abdoel Moeis melawan Belanda pernah mengakibatkan dirinya mendekap di penjara pada
tahun 1919. Ketika itu, seorang Pengawas Belanda di Sulawesi Utara dibunuh ketika Abdoel Muis baru
saja melengkapi pidato kelilingnya di sana dan dia persalahkan atas kejadian tersebut. Melalui
tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express, Abdoel Muis mengecam tulisan orang Belanda
yang sangat menghina bangsa Indonesia. Melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama
dengan Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Muis menentang rencana pemerintah Belanda dalam
mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913.
Pada tahun 1992, dia diasingkan ke Garut, Jawa Barat selama tiga tahun karena memimpin pemogokan
kaum buruh di daerah Yogyakarta. Abdoel Muis juga berperan dalam pendirian Technische Hooge
School - Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mempengaruhi tokh-tokoh Belanda.
ABDULRAHMAN SALEH (PAHLAWAN)

Abdulrahman Saleh, Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda


Anumerta, (lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 – meninggal
di Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun)
atau sering dikenal dengan nama julukan "Karbol" adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia, tokoh Radio Republik
Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi  kedokteran  Indonesia.
Abdulrachman Saleh dilahirkan pada tanggal 1 Juli 1909 di
Jakarta. Pada masa mudanya, ia bersekolah di HIS (Sekolah
rakyat berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche
School) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau kini SLTP, AMS (Algemene Middelbare School)
kini SMU, dan kemudian diteruskannya ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen).
Karena pada saat itu STOVIA dibubarkan sebelum ia menyelesaikan studinya di sana, maka ia
meneruskan studinya di GHS (Geneeskundige Hoge School), semacam sekolah tinggi dalam bidang
kesehatan atau kedokteran. Ayahnya, Mohammad Saleh, tak pernah memaksakannya untuk menjadi
dokter, karena saat itu hanya ada STOVIA saja. Ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia sempat giat
berpartisipasi dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, dan KBI atau Kepanduan
Bangsa Indonesia.

Setelah ia memperoleh ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia


mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5
Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia. Ia juga aktif
dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain
itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah
perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah
pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita
mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia
juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.

Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan


Udara Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut mendirikan Sekolah
Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Sebagai Angakatan Udara, ia tidak melupakan
profesinya sebagai dokter, ia tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa
Tengah.
ACHMAD RIFA'I

Kiai Haji Ahmad Rifa'i (lahir di Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada tahun 1786; meninggal


di Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1859) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari
Jawa Tengah dan juga seorang ulama pendiri , penulis buku semangat perjuanga kemerdekaan.

Sejak kecil ia sudah dididik oleh ayahnya, KH Muhammad Marhum untuk mendalami agama.
Sejak remaja ia sering melakukan dakwah ke berbagai tempat di sekitar Kendal. Pada tahun 1826, ia
menunaikan ibadah haji kemudian memperdalam ilmu agama di Mekkah danMadinah selama 8 tahun.
Setelah itu ia juga menimba ilmu di Mesir.

Beliau Dimakamkan di Pekuburan Jawa Tondano di Kelurahan Kampung Jawa, di kecamatan Tondano


Utara, Kabupaten Minahasa, provinsiSulawesi Utara, Indonesia.
ACHMAD SOEBARDJO

Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya
bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad
Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku
Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe,
Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak
dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama
Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di
penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946". Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat
ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya
di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan
Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933

Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan


Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di
Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama denganMohammad
Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada
persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal
dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
ADAM MALIK

Adam Malik Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera


Utara, 22 Juli 1917 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5
September 1984 pada umur 67 tahun) adalah mantan
MenteriIndonesia pada beberapa Departemen, antara lain ia
pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah
menjadi Wakil Presiden Indonesia yang ketiga.

Adam Malik adalah anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan
Salamah Lubis. Ayahnya, Abdul Malik, adalah seorang pedagang
kaya di Pematangsiantar. Adam Malik adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Adam Malik
menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School  Pematangsiantar. Ia melanjutkan di
Sekolah Agama Parabek di Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena kemudian
pulang kampung dan membantu orang tua berdagang. Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada
bangsa mendorong Adam Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia bersama
dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna memelopori
berdirinya Kantor Berita Antara.

Kariernya diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan kebangsaan yang dilakukannya secara
autodidak. Di masa mudanya, ia sudah aktif ikut pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, antara lain melalui pendirian Antara yang berkantor di JI. Pos Utara 53 Pasar Baru, Jakarta
Pusat. Sebagai Direktur diangkat Soegondo Djojopoespito, dan Adam Malik menjabat Redaktur
merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo
tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis
antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai
Indonesia (Partindo) Pematang Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan
Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota Pimpinan
Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5
September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri dan anak-anaknya mengabadikan namanya
dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan.
Atas jasa-jasanya, Adam Malik dianugerahi berbagai macam penghargaan, diantaranya adalah Bintang
Mahaputera kl. IV pada tahun 1971, Bintang Adhi Perdana kl.II pada tahun 1973, dan diangkat sebagai
Pahlawan Nasional pada tahun 1998.
ADENAN KAPAU GANI

Adnan Kapau Gani yang Bernama Lengkap Dr. Adnan Kapau Gani (lahir di Palembayan,


Agam, Sumatera Barat, 16 September 1905 – meninggal di Palembang, Sumatera Selatan,23
Desember 1968 pada umur 63 tahun) adalah Seorang dokter, Pemeran Indonesia dan Wakil Perdana
Menteri di Masa Pemerintahan Amir Sjarifuddin.

Setelah Lulus dari STOVIA ia pernah menjabat sebagai anggota Konstituante Indonesia ketika lembaga


ini pertama kali didirikan. Selain itu ia juga pernah menjadi Gubernur Militer Sumatera Selatan pada
periode revolusi fisik melawan Agresi Militer Belanda dan juga pernah menjadi anggota
delegasi Perundingan Linggarjati pada tahun 1946.

Di Pemerintahan Indonesia, beberapa kali Gani menduduki kursi menteri. Debut Gani bermula di
Masa Kabinet Sjahrir III sebagai Menteri Ekonomi. Pada masa pemerintahan Amir Sjarifuddin (3 Juli
1947 - 29 Januari 1948), ia menjabat sebagai wakil perdana menteri merangkap sebagai Menteri
Kemakmuran. Pada tanggal 9 November 2007, almarhum Mayjen TNI Gani dianugerahi gelar pahlawan
nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
AGUSTINUS ADISUCIPTO

Agustinus Adisutjipto, Marsekal Muda Anumerta (lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 3


Juli 1916 – meninggal di Bantul, Yogyakarta, 29 Juli 1947 pada umur 31 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional dan seorang komodor udara Indonesia. Beliau adalah seorang penganut agama
Katolik. Adisutjipto dilahirkan 3 Juli 1916 di Salatiga, mengenyam pendidikan GHS (Geneeskundige
Hoge School) (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan lulusan Sekolah Penerbang Militaire
Luchtvaart diKalijati.

Pada tanggal 15 November 1945, Adisutjipto mendirikan Sekolah Penerbang di Yogyakarta, tepatnya di
Lapangan Udara Maguwo, yang kemudian diganti namanya menjadi Bandara Adisutjipto, untuk
mengenang jasa beliau sebagai pahlawan nasional.

Pada saat Agresi Militer Belanda I, Adisujipto dan Abdulrahman Saleh diperintahkan terbang keIndia.


Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan. Namun dalam
perjalanan pulang membawa bantuan obat-obatan dari Malaya, pesawat Dakota VT-CLA ditumpanginya
jatuh ditembak oleh dua pesawat P-40 Kittyhawk Belanda di Dusun Ngoto pada tanggal 29 Juli 1947.
Beliau dimakamkan di pekaman umum Kuncen I dan II, dan kemudian pada tanggal 14 Juli 2000
dipindahkan ke Monumen Perjuangan di Desa Ngoto, Bantul, Yogyakarta.
AGENG TIRTAYASA DARI BANTEN

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu
Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya.
Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelarPangeran Ratu atau Pangeran
Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi
Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak
di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa
di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda.
Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.
Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang
ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru
dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan
dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur
dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa
mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan
mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa


Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo,
lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta
(Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-
tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-
1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang
menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan
Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional
Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal
3 November 1975.

Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong(saudara seayah Sultan Agung,


putra Panembahan Hanyakrawatidan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkanBlambangan di
ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat
dikalahkan pada tahun 1640.

Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram,
kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Bantentelah berasimilasi
melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan
adalah Palembang di Sumatratahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga
menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas
pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan
mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri  pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya 
dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan
Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang
dipakai di pesisir utara denganKalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah
terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung
juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus


dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain.
Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini
ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal
di Jawa Tengah.
AGUS SALIM

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir diKoto
Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal diJakarta, Indonesia, 4
November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan
terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh
di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke
Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-
Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di
Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih
merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II.
Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahardan dikaruniai 8 orang
anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin
Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan SuratkabarFadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai
Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau
Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam
AHMAD DAHLAN

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23


Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu
dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghuluKesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar
penetapan itu ialah sebagai berikut:
- KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagaii bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
- Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang
murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam.
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang
amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
- Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
AHMAD YANI

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19


Juni 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah
seorang pahlawan revolusi dan nasional Indonesia.

Beliau dikenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan PKI (Partai Komunis
Indonesia). Ketika menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat sejak tahun1962, ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Karena itulah beliau
menjadi salah satu target PKI yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD
melalui G30S (Gerakan Tiga Puluh September). Ia ditembak di ruang makan di rumahnya,Jalan
Lembang D58,Menteng pada jam 04.35 tanggal 1 Oktober 1965. Mayatnya kemudian ditemukan di
Lubang Buaya.

Jabatan terakhir sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat(Men/Pangad) sejak tahun 1962.


Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 dari keluarga
Wongsoredjo, yang bekerja di pabrik gula milik pengusaha Belanda. Tahun 1927, Yani pindah bersama
keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya bekerja untuk seorang jendral Belanda. Di Batavia, Yani
menyelesaikan sekolah dasar dan sekolah menengahnya. Tahun 1940, Yani meninggalkan bangku
sekolah tinggi untuk masuk dinas kemiliteran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dia masuk Dinas
Topografi Militer di Malang, Jawa Timur, tapi berhenti karena invasiJepang tahun 1942. Di waktu yang
sama keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.
ALBERTUS SOEGIJAPRANATA

Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (lahir di Soerakarta, Jawa


Tengah, 25 November 1896 – meninggal di Steyl, Venlo, 
Belanda, 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun, namanya
diejaSugiyopranoto) adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang
kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Ia juga
merupakan Uskup  pribumi Indonesia pertama. Sebagai
seorang Pahlawan Nasional RI, berdasarkan SK Presiden RI
no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963, beliau dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Giritunggal,  Semarang.

Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah


keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. Belajar di Kolese
Xaverius yang didirikan oleh Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith,SJ. Sekolah ini pindahan
dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan
oleh Pastor Meltens, SJ dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan yang
didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di
Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/ Ordo Sanctae Crucis (OSC) di Uden, propinsi Noord-
Brabant (Brabant Utara), di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai
dari Tanjung Priok - Muntok - Belawan - Sabang - Singapore - Colombo - Terusan Suez dan terus ke
Amsterdam. Kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor
Willekens, SJ, yang kelak menjadi Vikaris ApostolikBatavia. Pada 22 September 1922 Soegija
mengucapkan kaul prasetia yang pertama. 1923-1926 Belajar Filsafat di Kolese Berchman,
Oudenbosch. 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus
1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastricht. Pada tanggal 15
Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota
Maastricht. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata
kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai
pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940.

Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma


yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert
Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without
bulls" dan ditanda tangani oleh Mgr. Montini, yang kelak menjadi Paus Paulus VI. Setelah menerima
penyampaian telegram dari Roma melalui Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, lalu
Soegijapranata pun menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris
Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, SJ(Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. AJE
Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris ApostolikPalembang).
Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang
dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
ALI HAJI BIN RAJA HAJI AHMAD

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji (lahir
diSelangor, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan)
adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. [1]Dia terkenal sebagai
pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi
standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalamKongres Pemuda Indonesia 28
Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua
(cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan MudaIV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga
merupakan bangsawan Bugis.

Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya


berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal
yang pertama, merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti
Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga
patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudulTuhfat al-Nafis ("Bingkisan
Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak
mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara
lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapatTuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga
sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang
ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia
juga aktif sebagai penasihat kerajaan. Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia
sebagai pahlawan nasional pada 5 November 2004.
ALIMIN

Alimin bin Prawirodirdjo (Solo, 1889-Jakarta, 24 Juni 1964) adalah seorang tokoh pergerakan


kemerdekaan Indonesia serta tokoh komunis Indonesia.
Sejak remaja Alimin telah aktif dalam pergerakan nasional. Ia pernah menjadi anggota Budi
Utomo,Sarekat Islam, Insulinde, sebelum bergabung dengan PKI dan akhirnya menjadi pimpinan
organisasi tersebut. Ia juga adalah salah seorang pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan (dulu namanya
Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).

Pada awal 1926, sebagai pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan
Malakadalam rangka menyiapkan pemberontakan. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah
meletus12 November 1926. Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.
Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow dan bergabung dengan Komintern. Alimin tidak
lama di sana karena bertemu dengan Ho Chi Minh dan diajak ke Kanton (Guangzhou). Pada saat itu ia
terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk
melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari jajahan Perancis.

Ketika Jepang melakukan agresi terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan
bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1946, yaitu setelah
Republik Indonesia diproklamasikan. Ketika DN Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal
tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentralnya, Alimin termasuk tokoh komunis yang
tidak diindahkannya. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikutnya sampai dengan saat
meninggalnya di tahun 1964.
AMIR HAMZAH

Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir
di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal diKuala Begumit, 20
Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesiaangkatan Pujangga Baru. Ia lahir
dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam
alam sastra dan kebudayaan Melayu.

Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan
rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan
modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama di Pulau Jawa,ia bergaul dengan
tokoh pergerakan asal Jawa.Misalnya, Mr.Raden Pandji Singgihdan K.R.T Wedyodi.

Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935terlihat jelas
perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama
dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalahPujangga Baru (1933), yang
kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru.
Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik
kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi
Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar (tt.).

Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi
penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya
Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian
timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman
Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat.Adapun, revolusi ini terjadi pada tahun 1946. Ia diangkat menjadi
Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3
November 1975
ANDI ABDULLAH BAU MASSEPE

Letnan Jenderal TNIAndi Abdullah Bau Massepe (lahir di Massepe, Kabupaten Sidenreng


Rappang, Sulawesi Selatan, pada tahun 1918 - wafat di Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 2
Februari 1947 pada umur 29 Tahun) adalah pejuang heroik dari daerah Sulawesi Selatan. Ia merupakan
Panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral. Ia dianugerahi
gelar Pahlawan nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyonopada 9
November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005

Pendidikan
Semasa hidupnya pernah mengecap pendidikan formal pada Sekolah Rakyat selama 1 tahun (1924),
HIS (Hollands Inslander School (selesai 1932)

Karier keorganisasian
Jabatan/Keorganisasian yang pernah dilakoni oleh Beliau anatara lain; Datu Suppa tahun 1940, Bunken
Kanrekan Pare-Pare, Ketua Organisasi SUDARA Pare-Pare, Ketua Pusat Keselamatan Rakyat
Penasehat Pemuda/Pandu Nasional Indonesia, Ketua Umum BPRI (Badan Penunjang Republik
Indonesia), Kordinator perjuangan bersenjata bagi pemuda didaerah sekitar Pare-Pare
Kematian

Andi Abdullah Bau Massepe wafat ditembak oleh pasukan Mayor Raymond Westerling -Korps Baret
Merah Belanda- pada tanggal 2 Februari1947 setelah ditahan selama 160 hari. Wafat 10 hari sesudah
konferensi Pacekke (tanggal 20 Januari 1947). Makam beliau dapat ditemukan di Taman Makam
Pahlawan kota Pare-Pare (110 kilometer utara Kota Makassar).
Pejuang yang teguh

Beliau diakui sebagai pejuang yang teguh pendirian dan berani berkorban demi tegaknya NKRI. Hal ini
diakui oleh Westerling yang disampaikan kepada istrinya, A. Soji Petta Kanjenne, dia berkata; “suamimu
adalah jantan dan laki-laki pemberani. Ia bertanggung jawab atas semua tindakannya, tidak mau
mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri, sikap jantan ini sangat saya hormati.”
ANDI DJEMMA

Andi Djemma (lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, 15 Januari 1901 – meninggal diMakassar, Sulawesi


Selatan, 23 Februari 1965 pada umur 64 tahun) adalah Raja (Datu)Luwu seorang tokoh Indonesia dan
dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional olehPresiden Republik Indonesia tanggal 8 November 2002.

Wilayah kekuasaannya kemudian menjadi daerah setingkat kabupaten setelah beberapa wilayahnya
memisahkan diri menjadi beberapa kabupaten, Kabupaten Luwu,Kabupaten Luwu Utara, Kota
Palopo, Kabupaten Luwu Timur dan Tana Toraja, semuanya masih di wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan. Sedangkan Kolaka menjadi sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara dan Poso di Sulawesi
Tengah.

Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945, Djemma bahkan memimpin 'Gerakan


Soekarno Muda' dan memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 23 Januari 1946. Tanggal itu
sekarang diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Semesta.

Pada 5 Oktober 1945, Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu agar segera melucuti tentaranya


dan kembali ke tangsinya di Palopo. Ultimatum itu dibalas Gubernur Jenderal Belanda, Van Mook,
dengan ultimatum juga. Andi Djemma yang mempunyai lima putera itu baru tertangkap Belanda pada 3
Juli 1946 dan diasingkan ke Ternate. Ia akhirnya meninggal di Makassar pada 23 Februari 1965.
ANDI MAPPANYUKKI

Andi Mappanyukki (lahir 1885 - meninggal 18 April 1967) adalah salah tokoh pejuang dariSulawesi


Selatan. Ia adalah Putra dari Raja Gowa ke XXXIV yaitu I'Makkulau Daeng Serang Karaengta Lembang
Parang Sultan Husain Tu Ilang ri Bundu’na (Somba Ilang) dan I Cella We'tenripadang Arung Alita, putri
tertua dari La Parenrengi Paduka Sri Sultan Ahmad, Arumpone Bone. Andi Mappanyukki mempunyai
seorang istri yaitu I Mane'ne Karaengta Ballasari. Ia juga mempunyai beberapa anak antara lain

Beliau sejak berusia 20 tahun sudah mengangkat senjata untuk berperang mengusir kolonial Belanda,
perang yang dilakoni dimasa muda itu takala mempertahankan pos pertahanan kerajaan Gowa di
daerah Gunung Sari.

Pada tahun 1931 atas usulan dewan adat beliau diangkat menjadi Raja Bone ke-XXXII dengan gelar
Sultan Ibrahim, sehingga beliau bernama lengkap Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim. Karena menolak
bersekutu dengan Belanda Beliau pun “di turunkan” dari sebagai raja Bone oleh kekuatan dan
kekuasaan Belanda, kemudian di asingkan bersama "Istri permaisurinya I' Mane'ne Karaengta Ballasari"
dan Putra Putrinya selama 3,5 tahun di Rantepao, Tana Toraja.

Andi Pangerang Petta Rani yang lahir dari Istrinya yang bernama I Batasi Daeng Taco dan dari Istrinya
yang bernama Besse Bulo lahirlah Putranya yaitu Andi Abdullah Bau Massepe yang dikenal juga
sebagai pejuang kemerdekaan dan mendapat gelar Pahlawan Nasional. Adapun Putrinya yang
dilahirkan dari Istri Permaisurinya I Mane'ne Karaengta Balla Sari Bernama Andi Bau Tenri Padang Opu
Datu ikut berjuang bersama suaminya Andi Djemma Datu Luwu (Raja Luwu) yang berasal dari Sulawesi
Selatan.

Beliau Mangkat pada tanggal 18 April 1967 di Jongaya (Jl. Kumala no.160 Makassar dan masih terjaga
dan terawat sampai sekarang sebagai Rumah Ex. Raja Bone Andi Mappanyukki), dimana daerah beliau
juga dilahirkan. Makamnya tidak diletakkan di pemakaman raja-raja Gowa atau Bone lazimnya, tetapi
oleh masyarakat dan pemerintah Republik Indonesia Makamnya di letakkan di Taman makam
Pahlawan Panaikang Makassar (Ujung Pandang) dengan upacara kenegaraan.
ANDI SULTAN DAENG RADJA

Haji Andi Sultan Daeng Radja (lahir di Matekko, Gantarang, 20


Mei 1894 – meninggal di Rumah Sakit Pelamonia Makassar,
S ulawesi Selatan, 17 Mei 1963 pada umur 68 tahun) adalah
seorang tokoh kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional
dari Sulawesi Selatan. Ia adalah putra pertama pasangan
Passari Petta Tanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong.
Semasa muda, Sultan Daeng Radja dikenal taat beribadah
dan aktif dalam kegiatan Muhamamadiyah. Ia merupakan
pendiri Masjid Tua di Ponre yang pada jamannya terbesar di
Sulawesi Selatan.

Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun di
Bulukumba. Tamat dari Volksschool, beliau melanjutkan pendidikannya ke Europeesche Lagere
School (ELS) di Bantaeng. Selesai mengenyam pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan
pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar. Andi Sultan
Daeng Radja berjuang menentang penjajahan kolonial Belanda dimulai sejak masih menjadi siswa di
Opdeling School Voor Indlandsche Ambtenar (OSVIA) di Makassar. Ketidak-sukaan Sultan Daeng
Radja terhadap pemerintah kolonial dipicu oleh kesewenangan dan penindasan yang dilakukan
pemerintah Belanda terhadap rakyat Bulukumba.

Para pejuang Bulukumba, kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan
Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin. Dalam
organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh
kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng
Radja memberi perintah kepada Laskar PBAR.Setelah lima tahun di penjara di Makassar, pada tanggal
17 Maret 1949, pengadilan kolonial kemudian mengadili dan memvonis Sultan Daeng Radja dengan
hukuman pengasingan ke Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.

Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya mendapat
penghargaan tinggi dari Pemerintah Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 085/TK/Tahun
2006 tertanggal 3 Nopember 2006, Presiden SBY menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan
Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara
pada tanggal 9 November 2006.
PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan


Banjar, 1797atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Hindia-
Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Sultan
Banjar. Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai
pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan
Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun
Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati /
Tumenggung Yang Pati Jaya Raja

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara
milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan
pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari
Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya
Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh. Berkali-kali Belanda membujuk
Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya
yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap
dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak
seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari
pemerintah Kolonial Hindia Belanda:

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.
Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi
Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah
melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari
dalam uang kertas nominal Rp 2.000
ARIE FREDERIK LASUT

Arie Frederik Lasut (lahir di Kapataran, Lembean Timur, Minahasa, 6 Juli 1918 – meninggal


di Pakem, Sleman, Yogyakarta, 7 Mei 1949 pada umur 30 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dan ahli pertambangan dan geologis. Dia terlibat dalam perang kemerdekaan Indonesia dan
pengembangan sumber daya pertambangan dan geologis pada saat-saat permulaan negara Republik
Indonesia. Lasut dilahirkan di desa Kapataran, yang sekarang berada di kabupaten Minahasa,
propinsi Sulawesi Utara. Dia adalah putera tertua dari delapan anak dari Darius Lasut dan Ingkan Supit.
Adiknya yang bernama Willy Lasut sempat menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara.

Pada bulan September 1945, Presiden menginstruksikan untuk mengambilalih instansi-instansi


pemerintahan dari Jepang. Lasut ikutserta dalam pengambilalihan jawatan geologis dari Jepang yang
berhasil dilakukan secara damai. Jawatan itu kemudian dinamakan Jawatan Pertambangan dan
Geologi. Kantor jawatan terpaksa harus dipindah beberapa kali untuk menghindari agresi Belanda
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kantor jawatan sempat pindah ke Tasikmalaya, Magelang,
dan Yogyakarta dari tempat semulanya di Bandung. Sekolah pelatihan geologis juga dibuka selama
kepemimpinan Lasut sebagai kepala jawatan saat itu. Selain usahanya di jawatan, Lasut turut aktif
dalam organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang bertujuan untuk membela
kemerdekaan Indonesia. Dia juga adalah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, awal mula dewan
perwakilan di Indonesia.

Lasut terus diincar oleh Belanda karena pengetahuannya tentang pertambangan dan geologi di
Indonesia, tetapi ia tidak pernah mau bekerjasama dengan mereka. Pada pagi hari tanggal 7 Mei 1949,
Lasut diambil oleh Belanda dari rumahnya dan dibawa ke Pakem, sekitar 7 kilometer di utara
Yogyakarta. Di sana ia ditembak mati. Beberapa bulan kemudian jenazahnya dipindahkan ke pekuburan
Kristen Kintelan di Yogyakarta di samping isterinya yang telah lebih dulu meninggal pada bulan
Desember 1947. Upacara penguburan dihadiri oleh Mr. Assaat, pejabat presiden pada saat itu.
Arie Frederik Lasut mendapat penghargaan Pahlawan Pembela Kemerdekaan oleh pemerintah
Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969
SOERJO

Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo); lahir
di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1895 – meninggal di Bago, Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur, 10
September 1948 pada umur 53 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesiadan gubernur
pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948. Sebelumnya, ia menjabat Bupati di Kabupaten
Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943. Ia adalah menantu Raden Mas Arja Hadiwinoto. Setelah
menjabat bupati Magetan, ia menjabat Su Cho Kan Bojonegoro pada tahun 1943.

RM Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral
Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari
di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang
ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak.

Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepebuhnya oleh para pejuang pribumi. Tetap saja
terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby. Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris.
Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya
menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan
dihancurkan. Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan
di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas
berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah
penghabisan. Maka meletuslah pertempuran besar antara rakyat Jawa Timur melawan 
Inggris di Surabaya yang dimulai tanggal 10 November 1945. Selama tiga minggu pertempuran terjadi
di manaSurabaya akhirnya menjadi kota mati. Gubernur Suryo termasuk golongan yang terakhir
meninggalkan Surabaya untuk kemudian membangun pemerintahan darurat di Mojokerto.

Tanggal 10 September 1948, mobil RM Suryo dicegat pemberontak anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI) di tengah hutan Peleng, Kedunggalar, Ngawi. Dua perwira polisi yang lewat dengan mobil ikut
ditangkap. Ke 3 orang lalu ditelanjangi, diseret ke dalam hutan dan dibunuh. Mayat ke 3 orang
ditemukan keesokan harinya oleh seorang pencari kayu bakar. R. M. T. Soerjo dimakamkan di makam
Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan. Sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang
jasa-jasanya terletak di Kecamatan  Kedunggalar  kabupaten Ngawi.

BAGINDO AZIZCHAN

Bagindo Azizchan (lahir di Padang, 30 September 1910 – meninggal di Padang, 19 Juli 1947 pada umur


36 tahun) merupakan wali kota Padang, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus1946 menggantikan Mr.
Abubakar Jaar yang pindah tugas menjadi residen di Sumatera Utara. Pada masa pemerintahannya,
tentara Sekutu masih menduduki kota Padang dalam rangka pelucutan tentara Jepang.

Dia menolak tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang berada di belakang tentara Sekutu dan
terus melakukan perlawanan dengan menerbitkan surat kabar perjuangan yang bernama Republik
Indonesia Jaya. Ia meninggal dalam tugasnya sebagai kepala pemerintah daerah pada tanggal 19
Juli 1947 dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada usia 36 tahun. Menurut hasil visum
(dilakukan di Rumah Sakit Tentara Dr. Reksodiwiryo Ganting sekarang) ia meninggal karena terkena
benda tumpul dan terdapat 3 bekas tembakan di wajahnya kemudian ia dikebumikan di Taman Makam
Pahlawan Bahagia Bukittinggi.

Bagindo Azizchan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.
BASUKI RAHMAT

enderal Basuki Rahmat (lahir di Tuban, Jawa Timur, 4 November 1921 – meninggal diJakarta, 8


Januari 1969 pada umur 47 tahun) adalah seorang jenderal dan politikus Indonesia. Ia adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia.

Karier militer
Sebelum menjadi militer, sebenarnya Basuki muda ingin menjadi guru hingga meneruskan
pendidikannya di Sekolah guru Muhammadiyah, Yogyakarta. Akan tetapi jalan hidup membuatnya
megikuti pendidikan Pembela Tanah Air. Selepas pendidikan Basuki ditempatkan di Pacitan dengan
pangkat shodancho (Komandan Pelopor). Memasuki era perjuangan kemerdekaan, ia juga turut dalam
pembentukan Badan Keamanan Rakyat Maospati, Jawa Timur. Bakat kepemimpinannya yang menonjol
membuat ia ditunjuk menjadi Komandan Batalyon 2 Resimen 31 Divisi IV Ronggolawe dan kemudian
ditunjuk menjadi Komandan Batalyon 16 Brigade 5 Divisi I Jawa Timur.

Orde baru
Dalam posisi pemerintahan beliau pernah menjabat sebagai Menteri Veteran Letnan dalamKabinet
Dwikora pimpinan Soekarno pada periode 1964-1966. Ia juga merupakan salah satu saksi kunci
perisitiwa Supersemar beserta Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Jusuf.

Meninggal dunia
Ia wafat pada 8 Januari 1969 akibat serangan jantung dan dimakamkan keesokan harinya diTMP
Kalibata, Jakarta
SUTOMO

Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7


Oktober 1981 pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo,
adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk
melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10
November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan


Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian
darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah
bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah
ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar
memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan
nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawantanggal 10
November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet
Indonesia Bersatu, Muhammad Nuhpada tanggal 2 November 2008 di Jakarta
TEUNGKU CHIK DI TIRO

Teungku Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya Imam ulama di daerah Tiro) atau Muhammad


Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk Galong, Januari 1891), adalah seorang pahlawan nasionaldari Aceh.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama
Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan
1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan
dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa
ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan
para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dankolonialisme. Sesuai dengan ajaran
agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan
kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal denganPerang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah
yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan
Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda
merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah
dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal
pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong. Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri
dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.
TJILIK RIWUT

Tjilik Riwut (lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918 – meninggal diRumah


Sakit Suaka Insan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun)
adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia dan Gubernur Kalimantan Tengah. Ia meninggal setelah
dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit lever/hepatitisdalam usia 69 Tahun, dimakamkan di
makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan
untuk salah satu bandar udara di Palangka Raya.

Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan dan perjuangannya
kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa. Penetapannya
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan pada
masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah). Setelah dari Pulau Jawa untuk
menuntut ilmu, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik
Indonesia yang baru saja terbentuk, namun beliau tidak terjun. Nama-nama yang terjun merebut
kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J.
Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi.

Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan


perjuangan di daerah yang sangat luas ini. Mereka menghubungi berbagai suku Dayak di berbagai
pelosok Kalimantan untuk menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan
sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan. Selain itu, Tjilik Riwut berjasa
memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari
Pasukan Khas TNI-AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu Pemerintah RI masih di
Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat Terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal
Pertama Kehormatan TNI-AU.

Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan
Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah mewakili 142 suku Dayak pedalaman
Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapanPresiden Sukarno di Gedung
Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.

TJIPTO MANGOENKOESOEMO

Dr. Cipto Mangunkusumo atau Tjipto Mangoenkoesoemo (Pecangakan, Ambarawa, Semarang, 1886 –


Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama
dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang
banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia
Belanda. Ia adalah tokoh dalamIndische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan
ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan
kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya,
dan baru kembali 1917.

Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde,


bernama Marie Vogel pada tahun 1920. Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang
kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi
anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan
ke Banda. Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah putera tertua
dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo
diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala
sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada
Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.

Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya,
Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-
adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara Darmawan,
adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia
industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi
Hukum di Jakarta.
CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 –Sumedang, Jawa


Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah
wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur
melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni1878 yang menyebabkan
Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut
Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang,
Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi
nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur
bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut
Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang
bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke
Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah
semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum
tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6
November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
TJOET NYAK MEUTIA

Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910)


adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia
menjadi pahlawan nasional Indonesiaberdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada
tahun 1964.

Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad
atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan
dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada
sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan
pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan
Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang
Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia
menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara.
Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan
Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
DEWI SARTIKA

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September


1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui
sebagai Pahlawan Nasionaloleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka
Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi
Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya
terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905,
sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru
ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati
Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa
perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan
hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan
sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,


terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan
Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah
dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya
diganti menjadiSakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang
ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah
Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920,
ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika
mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti
nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang
jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara
pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun
kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang
Anyar, Bandung.
DIPONEGORO

Diponegoro atau kadang dipanggil dengan gelarnya Pangeran Diponegoro (lahir di Yogyakarta,11


November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun)
adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada diMakassar.

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di


desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat.
Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat
markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang
dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang
tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
ERNEST DOUWES DEKKER

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal


dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir
di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879 – meninggal
di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun)
adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan
nasional Indonesia. Ia adalah salah seorang peletak
dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-
Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama
"Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setia budi adalah salah satu dari "Tiga
Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr.Tjipto Mangoenkoesoemo 
dan Suwardi Suryaningrat. Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi
Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet
Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi
anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di
delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi
penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda
ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah
di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara
Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah
diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan
melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian
menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa
Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah
mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi
buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29
Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
KH FAKHRUDDIN

KH Fakhruddin atau sering dipanggil Muhammad Jazuli, (lahir di Yogyakarta 1890 - Yogyakarta,28


Februari 1929[1]) adalah seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga
tokohMuhammadiyah. Ia tidak pernah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pelajaran
agama mula-mula diterima ayahnya, H. Hasyim, kemudian dari beberapa ulama terkenal di Jawa
Tengah dan Jawa Timur.

Fakhruddin dianggap sebagai seorang tokoh yang serba bisa. Karena itu, silih berganti tugas penting
diserahkan kepadanya, antara lain mengurus bagian dakwah, bagian taman pustaka, dan bagian
pengajaran. Tahun 1921 ia diutus ke Mekah selama 8 tahun untuk meneliti nasib para jemaah haji yang
berasal dari Indonesia karena mereka seringkali mendapat perlakuan kurang baik dari pejabat-pejabat
Mekah. Sekembalinya, memprakarsai pembentukan Badan Penolong Haji. Selain itu, ia pernah pula
diutus ke Kairo sebagai wakil umat Islam Indonesia untuk menghadiri Konferensi Islam.

Kesibukannya mengurus Muhammadiyah dan usahanya, membuatnya kurang memperhatikan


kesehatannya. Menjelang kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1929, ia jatuh sakit. Pada
tanggal 28 Februari 1929, ia akhirnya meninggal dunia di Yogyakarta dan dikebumikan di Pakuncen,
Yogyakarta.
FATMAWATI

Fatmawati yang bernama asli Fatimah (lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 – meninggal diKuala


Lumpur, Malaysia, 14 Mei 1980 pada umur 57 tahun) adalah istri dari Presiden Indonesia
pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan
merupakan istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam
menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara  Proklamasi 
Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Fatmawati lahir dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadijah. Orang tuanya merupakan keturunan Puti
Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan.[3] Ayahnya
merupakan salah seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.

Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno, yang kelak menjadi presiden pertama
Indonesia. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarno
putra, Megawati Soekarno putri, Rachmawati Soekarno putri, Sukmawati Soekarno putri, dan Guruh
Soekarnoputra.

Pada tahun 14 Mei 1980 ia meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan
pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.
FERDINAND LUMBANTOBING

Ferdinand Lumbantobing atau sering pula disingkat sebagai FL Tobing (lahir di Sibuluan,


Sibolga, Sumatera Utara, 19 Februari 1899 – meninggal di Jakarta, 7 Oktober 1962 pada umur 63
tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatra Utara. Ia lulus sekolah
dokter STOVIA pada tahun 1924 dan bekerja di CBZ RSCM, Jakarta. Pada tahun 1943 ia diangkat
menjadi Syu Sangi Kai' (DPD) Tapanuli dan juga sebagai Chuo Sangi In (DPP).

Setelah kemerdekaan ia diangkat menjabat beberapa jabatan penting seperti Menteri Penerangan dan
Menteri Kesehatan (ad interim). Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Beliau dimakamkan di Desa Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
FRANS KAISIEPO

Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10


April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua.

Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai


pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata
dalam bahasa Biak yang berarti beruap. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur
Papua antara tahun 1964-1973.

Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya,


namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak.
GATOT MANGKOEPRADJA

Gatot Mangkoepradja (lahir di Sumedang, Jawa Barat, 25 Desember 1898 – meninggal


di Bandung, Jawa Barat, 4 Oktober 1968 pada umur 69 tahun).
Ayahandanya adalah dr. Saleh Mangkoepradja, dokter pertama
asal Sumedang.

Keterlibatan Gatot Mangkoepradja dalam pergerakan nasional


diawali ketika ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI).
Ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) berdiri di Bandung pada
tanggal 4 Juli 1927, Gatot Mangkoepradja segera menggabungkan
diri dengan organisasi yang dipimpin oleh Ir. Soekarno itu. Akibat
menjunjung tinggi konsep revolusi Indonesia, maka pada
tanggal 24 Desember 1929 Pemerintah Hindia Belanda 
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Gatot Mangkoepradja dan para pemimpin PNI lainnya.
Penangkapan terhadap Gatot Mangkoepradja baru dapat dilakukan pada tanggal 29
Desember 1929 di Yogyakarta. Gatot ditangkap bersama-sama dengan Ir. Soekarno. Mereka kemudian
dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Pada tanggal 18 Agustus 1930, Gatot Mangkoepradja mulai dihadapkan ke Landraad


Bandung bersama-sama dengan Ir. Soekarno,Maskoen Soemadiredja, dan Soepriadinata. Mereka
dijerat dengan tuduhan Pasal 169 bis dan 153 bis Wetboek van Strafrecht (KUHP-nya zaman kolonial).
Mereka diadili dengan Hakim Ketua: Mr. Siegenbeek van Heukelom dengan Jaksa Penuntut: R.
Soemadisoerja. Peristiwa ini dikenal dengan nama Indonesia Menggugat. Pada tanggal 25 April 1931,
akibat perpecahan PNI menjadi Partindo dan PNI-Baru, maka Gatot Mangkoepradja bergabung dengan
Partindo karena ia merasa partai ini mempunyai persamaan ideologi dengan PNI. Namun tak lama,
akhirnya ia keluar dari Partindo karena merasa kecewa dengan Soekarno dan bergabung dengan PNI-
Baru pimpinan Hatta.

Pada masa penjajahan Jepang, Gatot Mangkoepradja yang telah dikenal baik oleh Jepang diberi
wewenang untuk menjalankan Gerakan 3 A yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon
Pemimpin Asia. Akan tetapi usaha Jepang ini gagal karena Gatot Mangkoepradja tidak mau kooperatif.
Karena penolakan ini maka ia ditahan oleh Kempeitei. Setelah keluar dari tahanan, beliau mengajukan
usul kepada Jepang untuk membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Akhirnya pada tanggal 3
Oktober 1943 dibentuklah secara resmi Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) melalui Osamu
Seirei No. 44 Tahun 1943. Setelah kemerdekaan Gatot Mangkoepradja kembali bergabung dengan PNI
pada tahun 1948. Setahun kemudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal
Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada tahun 1955 karena kecewa bahwa anggota
PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan. Setelah peristiwa Gestapu tahun 1965, Gatot
Mangkoepradja menyatakan dirinya masuk ke Partai IPKI karena partai ini berjuang untuk
menyelamatkan Pancasila dari ancaman komunisme. Gatot Mangkoepradja meninggal dunia pada
tanggal 4 Oktober 1968 dan dimakamkan di pemakaman umum Sirnaraga, Bandung.
GATOT SOEBROTO

Jenderal Gatot Soebroto (lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907 – meninggal di Jakarta, 11


Juni1962 pada umur 54 tahun) adalah tokoh perjuangan militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan
dan juga pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Ungaran, kabupaten Semarang. Pada
tahun 1962, Soebroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut SK Presiden RI
No.222 tanggal 18 Juni 1962. Ia juga merupakan ayah angkat dari Bob Hasan, seorang pengusaha
ternama dan mantan menteri Indonesia pada era Soeharto.

Setamat pendidikan dasar die HIS, Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun
memilih menjadi pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah
militer KNIL di Magelang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun
mengikuti pendidikan PETA di Bogor. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara
Keamanan Rakyat TKR dan kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima
Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Setelah ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan, pada tahun 1949 Gatot Subroto diangkat menjadi
Panglima Tentara & Teritorium (T&T) IV I Diponegoro.

Pada tahun 1953, beliau sempat mengundurkan diri dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian
diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Beliau adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (AD,AU,AL) untuk membina
para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (AKABRI) pada tahun 1965.
HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan


julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung
Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal
di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalahsastrawan Indonesia,
sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia dinyatakan
sebagaiPahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres
No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak
menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari
kata abi,abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka
menjadi wartawan beberapa buahsurat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan
Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada
tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra,
sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,
ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia
meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada
tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul si
Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentukroman, sejarah, biografi 
dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi,  tasawuf, tafsir, dan fiqih.
Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, danMerantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan
menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia
terima, baik peringkat nasional maupun internasional.

Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-


Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu.
Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dariUniversitas
Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan
dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya bukan hanya
diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara
kelahirannya, bahkan di Malaysia dan Singapura.
HALIM PERDANAKUSUMA

Abdul Halim Perdanakusuma (lahir di Sampang[1], 18


November 1922 – meninggal di Malaysia,14 Desember 1947 pada
umur 25 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia
meninggal dunia saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia - Belanda di Sumatera, yaitu ketika
ditugaskan membeli dan mengangkut perlengkapan senjata dengan pesawat terbang dariThailand.

Semasa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan
penjajah Belanda diSumatera pada tahun 1948, Halim Perdanakusuma dan Marsma Iswahyudi
ditugaskan membeli perlengkapan senjata di Thailand. Keduanya ditugaskan dengan pesawat terbang
jenis Anderson.[2] Pesawat terbang itu dipenuhi dengan berbagai senjata api, diantaranya karabin, stun
gun, pistol dan bom tangan.

Dalam perjalanan pulang, pesawat terbang tersebut jatuh. Tidak diketahui penyebabnya, namun diduga
karena cuaca buruk atau karena ditembak (disabotase). Bangkai pesawat terbang tersebut ditemukan di
sebuah hutan berdekatan dengan kota Lumut, Perak, Malaysia (ketika itu masih bernama Uni Malaya).
Namun tim penyelamat hanya menemukan jasad Halim, sementara jasad Iswahyudi tidak diketemukan
dan tidak diketahui nasibnya hingga sekarang. Begitu juga dengan berbagai perlengkapansenjata
api yang mereka beli di Thailand, tidak diketahui kemana rimbanya.

Jasad Halim kemudian sempat dikebumikan di kampung Gunung Mesah, tidak jauh


dari Gopeng, Perak, Malaysia. Pusat data Tokoh Indonesia mencatat, di daerah Gunung Mesah itu
banyak bermukim penduduk keturunan Sumatera. Beberapa tahun kemudian, kuburan Halim digali dan
jasadnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Ketika Perjanjian Haadyai antara Malaysia dengan Partai Komunis Malaya diadakan pada tahun 1989,
seorang Indonesia turut muncul dalam gencatan senjata tersebut. Seorang penulis nasionalis
Malaysia, Ishak Haji Muhammad (Pak Sako), menduga komunis warga Indonesia tersebut ialah
Iswahyudi.
Penghormatan

KRI Abdul Halim Perdanakusuma


Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan mengabadikan namanya pada Bandara Halim
Perdana Kusuma di Jakarta. Pemerintah juga mengabadikan namanya pada kapal perang KRI Abdul
Halim Perdanakusuma.
HAMENGKUBUWANA I

Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24


Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan
Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai


raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelarHamengkubuwana II.
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja
terbesar dari keluarga Mataram sejakSultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun
kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar
daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga
seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman
Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di
laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci
bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk
mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi
pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa
perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah
dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan


kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik
Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada
tanggal 10November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta
HARUN THOHIR

Kopral Anumerta Harun Said (lahir di Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, 4 April 1947 – meninggal


di Singapura, 17 Oktober 1968pada umur 21 tahun) adalah salah satu dari dua anggota KKO (Korps
Komando Operasi; kini disebut Marinir) Indonesia yang ditangkap diSingapura pada saat
terjadinya Konfrontasi dengan Malaysia.

Bersama dengan seorang anggota KKO lainnya bernama Usman, ia dihukum gantung oleh pemerintah
Singapura pada Oktober 1968 dengan tuduhan meletakkan bom di wilayah pusat kota Singapura yang
padat pada 10 Maret 1965 (lihat Pengeboman MacDonald House).
Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
MAS TIRTODARMO HARJONO

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20


Januari 1924 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun) adalah salah
satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Ia dimakamkan di TMP
Kalibata - Jakarta.

Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh
pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah
Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa
pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan
pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya
dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh
pangkat Mayor.

Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950,
ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai
Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah
ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap
pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja
Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
D.I. PANDJAITAN

DI Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19


Juni1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah
salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar,
kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika
ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga
ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia
ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali
ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi
IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV
(Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi
Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan
Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi
Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.

Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer
RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun
pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang
pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat
ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah
terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya


membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ
diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang
akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces).
Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan
pemberontakan.

PIERRE TENDEAN

Pierre Tendean

Kapten Czi (Anm.) Pierre Andreas Tendean (lahir di Jakarta, 21 Februari 1939 – meninggal


diJakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang korban pada
peristiwaGerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia.

Beliau adalah ajudan dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko Hankam/Kepala
StafABRI) pada era Soekarno. Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi
anaknya,Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap
oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira
adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
SISWONDO PARMAN

Siswondo Parman

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Jawa


Tengah, 4 Agustus1918 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada
umur 47 tahun) atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah
satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh
pada persitiwa G30S PKI dan mendapatkan gelar Letnan JenderalAnumerta. Ia
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga


banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di
antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan
Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan
menjadi korban pembunuhan PKI.

Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya.


Pada bulan Desember 1949, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur
Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia
gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di
Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret 1950, ia diangkat
menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk
mengikuti pendidikan pada Military Police School.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk


beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London, Inggris pada
tahun 1959. Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai
Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor
Jenderal.
SUGIONO

Kolonel Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di Gedaren, Gunungkidul, 12


Agustus 1926 – meninggal di Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 39
tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia yang merupakan salah seorang korban
peristiwa Gerakan 30 September.

Kol. Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-
laki; R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l.
1958), R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono
(l. 1963); serta seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir
setelah ayahnya meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.
Ia dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.
R. SUPRAPTO (PAHLAWAN REVOLUSI)

Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20


Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun)
adalah seorangpahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban
dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia
dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari
sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP)
adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada
tahun 1941.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan
berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk
menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara
resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan
melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai
perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut


menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara
Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia
juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas.


Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/
Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf
Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan
PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat
untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat
berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
SUTOYO SISWOMIHARJO

Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo (lahir di Kebumen, Jawa


Tengah, 23 Agustus1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada
umur 43 tahun) adalah seorang Mayor Jenderal TNI yang menjadi korban dalam
peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.
MARIA WALANDA MARAMIS

Maria Josephine Catherine Maramis (lahir


di Kema, Sulawesi Utara, 1
Desember 1872 – meninggal
di Maumbi, Sulawesi Utara, 22 April 1924 pada
umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal
sebagai Maria Walanda Maramis, adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesiakarena
usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita
di Indonesia pada permulaan abad ke-20.

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat 


Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda
Maramis, sosok yang dianggap sebagai
pendobrak adat, pejuang kemajuan dan
emansipasi perempuan di dunia politik dan
pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam
sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling
Genootschap" tahun 1981, Maria ditahbiskan
sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk
menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya,
bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum
lelaki".
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di
Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Weang, sekitar 15 menit dari pusat
kota Manado yang dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat
mengenal sejarah perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas
yang ada saat ini adalah tempat parkir dan pusat perbelanjaan.

Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang
bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan
ibu dalam keluarga dimana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga
kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal
kepada anak-anaknya.

Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk
menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa
orang lain mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada
tanggal 8 Juli 1917. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang
tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat
bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.

Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan


dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling.
Cabang-cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti
di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi,Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2
Juni 1918, PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT
sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di
Indonesia, Maria Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan
Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.
SOETOMO

Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30


Juli 1888 – meninggal diSurabaya, Jawa Timur, 30 Mei 1938 pada umur 49 tahun)
adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding


van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo
mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus
pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan
Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada
tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.

Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa


BelandaIndonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada
tahun 1930mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935
mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya).
WAGE RUDOLF SOEPRATMAN

Wage Rudolf Supratman (lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903 – meninggal


diSurabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun[1]) adalah
pengarang lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya" dan pahlawan nasional
Indonesia.

Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak


iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa
menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah
karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik
Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.

Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu


Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu
melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28
Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di
depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan
dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat
itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum.
Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan
pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu
Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan
dan kehendak untuk merdeka.

Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang
persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat
menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda,
sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari
Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut
bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan
di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena
sakit.
WAHIDIN SOEDIROHOESODO

Wahidin Sudirohusodo, dr. (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 –


meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun) adalah salah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo
karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah
penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen Jakarta itu.

Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa, sehingga tak
heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari
bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus
cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-
sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran
dan memupuk kesadaran kebangsaan.
MOHAMMAD YAMIN

Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24


Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto
Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta
mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.

Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya,
novel modern pertama dalambahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama,
tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-
karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928.
Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan
beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air,
satu bangsa, dan satu bahasaIndonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken
Dedes yang berdasarkan sejarah Jawamuncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir
dekade 1920-an sehingga tahun 1933,Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir
Alisjahbana merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan
kesusasteraannya.

Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, dia


masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan
generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan
banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan
karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.
ALI HAJI BIN RAJA HAJI AHMAD

Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali
Haji (lahir diSelangor, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan
Riau, ca. 1873, masih diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad
19 keturunan Bugis dan Melayu. [1]Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar
tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa
Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalamKongres Pemuda Indonesia 28
Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan
keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan MudaIV
dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.

Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada


zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, merupakan kamus
ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh
Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga
patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudulTuhfat al-
Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan
sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat
dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian
pihak berpendapatTuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga
sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai
ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun
menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat
kerajaan.

Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5


November 2004.
ISMAIL MARZUKI

Untuk pemain sepak bola, lihat Ismail Marzuki (pesepak bola).


Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914 – meninggal
di Kampung Bali, Tanah Abang,Jakarta, 25 Mei 1958 pada umur 44 tahun) adalah
salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu
pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta
Pusat.

Lagu ciptaan karya Ismail Marzuki yang paling populer adalah Rayuan Pulau
Kelapa yang digunakan sebagai lagu penutup akhir siaran olehstasiun TVRI pada
masa pemerintahan Orde Baru.

Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan pada tahun 1968 dengan


dibukanya Taman Ismail Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan
di Salemba, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004 dia dinobatkan menjadi salah seorang
tokoh pahlawan nasional Indonesia.
Nya' Abbas Akup

Nya Abbas Akup (lahir di Malang, Jawa Timur, 22 April 1932 – meninggal 14


Februari 1991 pada umur 58 tahun) adalah seorang sutradara senior Indonesia yang
terkenal akan karya-karyanya. Selain itu, ia juga merupakan seorang dari 150-an
orang yang dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Nomor 069/TK/2007

alam perfilman nasional nama Nya Abbas Akup tak bisa dilupakan walaupun sineas kelahiran
Malang, berdarah Aceh ini tak pernah mendapatkan Piala Citra. Satu-satunya penghargaan
yang pernah diraihnya adalah Piala Antemas untuk film terlaris 1978, Inem Pelayan Sexy dan
Piala Bing Slamet untuk film komedi terbaik 1991, Boneka dari Indiana.

Meski piala untuk Akup adalah penghargaan khusus--mirip sineas Alfred Hitchcock yang
sepanjang kariernya juga tak pernah mendapat Piala Oscar--anak didik Usmar Ismail yang
mengawali kariernya sebagai asisten sutradara dalam film Kafedo (1953) ini seperti kurang
diakui juri Piala Citra lantaran penghargaan ini kebanyakan diraih oleh film-film drama. Walau
filmnya berbobot dan sukses menghasilkan laba, sosok pendiam yang jauh dari kesan lucu ini
seperti tenggelam dibandingkan nama besar Usmar Ismail, Syuman Djaya, Teguh
Karya, Wim Umboh, Arifin C. Noer dan Asrul Sani.

Salim Said, pengamat politik yang juga kritikus film, menjulukinya "tukang ejek nomor wahid"
atas kiprahnya "menampilkan sesuatu yang baru di tengah sejumlah komedi konyol gaya
sandiwara" (Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, 1991). Bila untuk "Bapak Film
Nasional" kita dapat menyebut Usmar Ismail, maka Nya Abbas Akup, pria berdarah Aceh
kelahiran Malang, 1932, dan wafat pada 1991 ini menyandang julukan "Bapak Film Komedi
Indonesia".

Ia memang pantas menyandangnya, lantaran generasi film komedi yang dipelopori pelawak
kondang Bing Slamet, Benyamin S., Jalal,Ateng, sampai duet Kadir-Doyok--yang pertama kali
dipertemukan dalam film Cintaku di Rumah Susun (1987)--lahir dari tangannya. Akup juga
dinilai menyegarkan aspek bertutur film komedi di tengah komedi konyol slapstick.

Hampir semua sub genre film komedi juga disentuh Akup. Sebutlah Drakula Mantu (1974,
a.ka. Benyamin Kontra Drakula) yang menyajikan horor komedi. Dalam Tiga Buronan (1957)
ada black comedy dan komedi aksi. Sedangkan di Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) ada
parodi ketika di masa itu Indonesia sedang tergila-gila pada popularitas film
koboi Django, Lone Ranger dan Bonanza. Lalu ada komedi musikal Dunia Belum Kiamat
(1971) sampai kritik sosial dalam Inem Pelayan Sexy (1976) yang menjadi masterpiece-nya.

Tak hanya itu, Akup pun punya penerus. Ia adalah Ucik Supra, sutradara film Rebo dan
Roby dan Badut-Badut Kota yang dapat disebut sebagai penerus film komedi kritik sosial.
Sayang Ucik muncul di zaman terpuruknya perfilman nasional sehingga ia kurang produktif.
Film terbarunya, Panggung Pinggir Kali (2004), yang meski bukan komedi, masih sedikit
menyimpan greget dengan kritiknya.
Hasan Basry

Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17


Juni 1923 – meninggal di Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah seorang
tokoh militer Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Tiga,Liang Anggang, Kota
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan nasional
Indonesiaberdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3
November 2001

Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang


setingkat sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis Islam, mula-
mula di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di Kweekschool Islam
Pondok Modern di Ponorogo, Jawa Timur.[1]
Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi
pemuda Kalimantan yang berpusat diSurabaya. Dari sini ia mengawali kariernya
sebagai pejuang. Pada 30 Oktober 1945, Hasan Basry berhasil menyusup pulang ke
Kalimantan Selatan dengan menumpang kapal Bintang Tulen, yang berangkat lewat
pelabuhan Kalimas Surabaya. Sesampainya di Banjarmasin, Hasan Basry menemui
H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran, untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang
kemerdekaan Indonesia. Selain itu melalui AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke
Amuntai dengan Ahmad Kaderi, sedangkan yang ke Kandangan dikirim lewat H.
Ismail.
Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar Syaifullah.
Program utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan, sebagai pemimpin
ditunjuklah Hassan Basry. Pada tanggal 24 September 1946 saat acara pasar malam
amal banyak tokoh Lasykar Syaifullah yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda.
Karena itu Hassan Basry mereorganisir anggota yang tersisa dengan
membentuk , Benteng Indonesia

Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan dirawat di
RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Pemakaman beliau dilaksanakan secara militer
dengan inspektur upacara Mayjen AE. Manihuruk. beliau dimakamkan di Liang
Anggang Banjarbaru Kalimantan Selatan. Atas jasa-jasanya, beliau dianugerahi
sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3
November 2001.
Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal


diMakassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16
dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad
Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia
mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja
lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes
van Het Oosten oleh Belandayang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia
dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa.

Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973,


tanggal 6 November 1973

Sultan Hasanuddin lahir di Makasar, merupakan putera kedua dari Sultan


Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintahKerajaan Gowa,
ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan
rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang
menguasai jalur perdagangan.[1]
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni
berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil
menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian
timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga
pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18
November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian
Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin
mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara
ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin
memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan
pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil
menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12
Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan
wafat pada tanggal 12 Juni 1670
Hasyim Asyari

Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering


dieja Asy'ari atauAshari) (lahir 10 April 1875/4 Jumadil Awwal 1292 H) – wafat 25 Juli 1947/6
Ramadhan 1366 H, dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama,
organisasi massa Islamyang terbesar di Indonesia.

KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai
Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka
Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka
Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda),
Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari
(Jombang)
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman
yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitandi Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan danPesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru
pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad
Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh
Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad
As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.

Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren


Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada
abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya
Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Hazairin

Prof. Dr. Hazairin (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 28


November 1906 – meninggal diJakarta, 11 Desember 1975 pada umur 69 tahun)
adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

Hazairin lahir di tengah-tengah keluarga taat beragama, dari pasangan Zakaria Bahri
(Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau). Ayahnya adalah seorang guru dan
kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin
mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.

Hazairin menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge


School) pada tahun 1936, dengan gelar doktor hukum adat. Setamat kuliah, Hazairin
bekerja sebagai kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama
menjabat, Hazairin juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli
Selatan. Atas jasa-jasanya itu, dia diberikan gelar "Pangeran Alamsyah Harahap."

Pada April 1946, dia diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil


Gubernur MiliterSumatera Selatan. Ketika menjabat sebagai residen, dia
mengeluarkan uang kertas yang dikenal sebagai "Uang Kertas Hazairin." Sesudah
revolusi fisik berakhir, dia diangkat menjadi Kepala Bagian Hukum Sipil Kementerian
Kehakiman.

Hazairin terjun di kancah perpolitikan Indonesia, dengan ikut mendirikan Partai


Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bersama Wongsonegoro dan Rooseno, dia
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebagai wakil Partai PIR.
Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri
Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955). Pada Pemilu 1955,
Partai PIR terpecah menjadi dua, yakni PIR - Wongsonegoro dan PIR - Hazairin.
Dalam pemilihan tersebut, PIR - Hazairin hanya memperoleh 114.644 suara atau
setara dengan satu kursi.[2]
Selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum
Islam di Universitas Indonesia. Dia juga menjadi Guru Besar di Universitas Islam
Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK).
Hazairin dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, pada tahun 1999
Pemerintah mengukuhkan Hazairin sebagai Pahlawan Nasional.

I Gusti Ngurah Rai

Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai (lahir di


Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda, 30
Januari 1917 – meninggal di Marga, Tabanan, Bali, Indonesia, 20
November 1946 pada umur 29 tahun) adalah
seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.

Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama "Ciung Wenara" melakukan


pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana.
(Puputan, dalam bahasa bali, berarti "habis-habisan", sedangkan Margarana
berarti "Pertempuran di Marga"; Marga adalah sebuah desa ibukota
kecamatan di pelosokKabupaten Tabanan, Bali)

Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan


Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan
di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Eilanden, Candi Marga, Tabanan.
Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat disimak dari
beberapa buku, seperti "Bergerilya Bersama Ngurah Rai" (Denpasar: BP,
1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku
Tirtayasa peraih "Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993", buku "Orang-orang di
Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI
(anumerta) I Gusti Ngurah Rai" (Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku
"Puputan Margarana Tanggal 20 November 1946" yang disusun oleh Wayan
Djegug A Giri(Denpasar: YKP, 1990).

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan


pangkat menjadiBrigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan
dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 -


wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6
November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir
di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah)
dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama
yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar,
yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang,
Agam sebagai salah seorang pemimpin dariHarimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih
dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol
bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda.
Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk
merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di
sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng
Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa,
dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8
November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya
tersebut.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi
akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7]sebagai penghargaan dari
pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagaiPahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai
nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000
keluaran Bank Indonesia 6 November 2001

Iskandar Muda dari Aceh

Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590[1] – Banda


Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam
masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.[2] Aceh
mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah
kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari
perdagangan dan pembelajaran tentang Islam

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan
dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-
Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman
bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal
mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang
berhak sepenuhnya menuntut takhta.[2]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam,
adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini
adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau
cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan
Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra
dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636,


merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol
ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di
kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya.
Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di
zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai
pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan
ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di
daerah barat laut Indonesia.[1] Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua
pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di
selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai
timurSemenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya.
Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan

Iswahyudi

Marsda Anumerta Iswahyudi (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 15


Juli 1918 – meninggal di Malaysia, 14 Desember 1947 pada umur 29 tahun)
adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia.
BersamaAdisutjipto, Abdulrachman Saleh, dan Husein Sastranegara,
Iswahyudi dikenal sebagai perintis TNI AUIndonesia.
Awal tahun 1947, Iswahyudi diangkat menjadi Komandan Lanud
Maospati Madiun dengan dibantu olehWiweko Soepono dan Nurtanio. Pada
tahun ini juga, kembali Iswahyudi ditugaskan menjadi Komandan diLanud
Gadut Bukittinggi.

Marsekal Madya Iswahyudi meninggal di Tanjung Hantu, Malaysia, 14


Desember 1947 karena pesawatnya jatuh tertembak. Namun Jenazahnya
tidak ditemukan hingga saat ini. Namun Secara simbolik sebagai bentuk
penghargaan terhadap Marsekal Madya Iswahyudi atas perjuangannya
hingga detik-detik terakhir maka ditempatkan makam pahlawan di TMP
Kalibata. Pada 10 November 1960, pemerintah Indonesia mengabadikan
nama Iswahyudi dengan mengganti nama Lanud Maospati berganti nama
menjadi Bandara Iswahyudi, Madiun.
Iwa Koesoemasoemantri

Iwa Koesoemasoemantri (lahir 31 Mei 1899 – meninggal 27


November 1971 pada umur 72 tahun) atau Iwa Kusumasumantri (Ejaan
Soewandi), adalah seorang politikus, ahli hukum, dan menteri pada zaman
pemerintahan Soekarno di Indonesia.

Tahun 1922 Kusumasumantri menempuh pendidikan hukum di Belanda. Ia


menjadi anggota dan bahkan sempat menjadi ketua organisasi Indonesische
Vereniging yang nantinya berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia.

Tahun 1927 ia kembali ke Indonesia dan membuka kantor pengacara


di Medan. Di sana, ia menerbitkan surat kabar Matahari Indonesia dan sering
memuat tulisan mengkritik dan menentang Belanda. Karena tulisannya itu,
Kusumasumantri dibuang ke Banda dan selanjutnya Makassar.
Tahun 1942, dengan takluknya Belanda di tangan Jepang, Kusumasumantri
dibebaskan dan pergi ke Pulau Jawa. Semasa pendudukan Jepang, ia
membuka kantor pengacara di Jakarta.
Tahun 1945 ia diangkat menjadi Menteri Sosial pada Kabinet Presidensial.
Kusumasumantri sempat ditahan karena didakwa terlibat dalam Peristiwa 3
Juli 1946 bersama dengan antara lain Mohammad Yamin, Subardjo, dan Tan
Malaka.

Tahun 1953 ia bergabung dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955)


sebagai Menteri Pertahanan. Tahun 1957 Kusumasumantri menjadi
rektor Universitas Padjadjaran Bandung, lalu pada tahun 1961 menjadi
anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Kusumasumantri mengakhiri kariernya di pemerintahan dengan menjabat
sebagai Menteri Negara pada Kabinet Kerja IV (1963-1964). Masa
pensiunnya dihabiskan dengan menjadi ketua Badan Penelitian Sejarah
Indonesia dan aktif menerbitkan beberapa buku.
John Lie

Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie atau yang lebih dikenal sebagai Jahja


Daniel Dharma (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal
di Jakarta, 27 Agustus1988 pada umur 77 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi
di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng
Nie Nio. Awalnya beliau bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga
milik Belanda KPM lalu bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia
Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas
diCilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia
berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan
Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas
eksporIndonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas
negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal
kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI
di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi
menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk
dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada
pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana
perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain
menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang
relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon
Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the
Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu
kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval
base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain
bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kesibukannya dalam perjuangan membuat beliau baru menikah pada usia 45 tahun,
dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966 John
Lie mengganti namanya dengan Jahja Daniel Dharma.
Beliau meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya,
beliau dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10
Nopember 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009.

J. Leimena

Dr. Johannes Leimena (lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905 – meninggal


di Jakarta, 29 Maret 1977 pada umur 72 tahun) adalah salah satu pahlawan
Indonesia. Ia merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat sebagai
menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat
sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Leimena masuk ke
dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai Kabinet
Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Wakil
Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga menyandang
pangkatLaksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi anggota dari KOTI
(Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora.

Leimeina dilahirkan di Kota Ambon. Pada tahun 1914, Leimena hijrah


ke Batavia (Jakarta) dimana ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere
School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah
Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan pendidikannya
ke MULO Kristen, kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya STOVIA (School
Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya - cikal bakal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Keprihatinan Leimena atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib
bangsa, merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif pada "Gerakan
Oikumene". Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi
Pemuda Kristen diBandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi
Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran STOVIA,
Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk di
tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950.
Ketika Orde Baru berkuasa, Leimena mengundurkan diri dari tugasnya sebagai
menteri, namun ia masih dipercaya Presiden Soehartosebagai anggota DPA (Dewan
Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Usai aktif di DPA, ia kembali melibatkan
diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo,
DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi
Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat menjadi anggota DEPERPU (Dewan
Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI
Cikini.
Pada tanggal 29 Maret 1977, J. Leimena meninggal dunia di Jakarta
Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden No 52 TK/2010 pada tahun 2010 memberikan gelar Pahlawan
Nasional kepada Dr. Leimena

Karel Satsuit Tubun

Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun, (lahir di Maluku


Tenggara, 14 Oktober 1928 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36
tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesiayang merupakan salah seorang
korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia adalah pengawal dariJ. Leimena.
Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Dikarenakan dia adalah korban Gerakan 30
September, maka dia diangkat menjadi seorang Pahlawan Revolusi.

```Ajun Inspektur Dua``` Karel Satsuit Tubun lahir di Tual,Maluku Tenggara Pada


Tanggal 14 Oktober 1928.ketika telah Dewasa ia memustuskan untuk masuk menjadi
anggota POLRI.ia pun diterima,lalu mengikuti Pendidikan Polisi,setelah lulus,ia
ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau
sekarang Bhayangkara Dua Polisi.ia pun ditarik ke Jakarta dan Memiliki Pangkat
Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi.ketika Bung
Karno mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut Pengembalian Irian Barat
kepada Indonesia dari tangan Belanda.seketika pula dilakukan Operasi Militer ia pun
ikut serta dalam perjuangan itu.setelah Irian barat berhasil dikembalikan.ia diberi
tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri Dr.J.
Leimena diJakarta.Berangsur-angsur Pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.

Karena mengganggap para Pimpinan Angkatan Darat,sebagai penghalang utama


cita citanya.maka PKI merencenakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan
terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi cita-
citanya.salah satu sasaranya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga
dengan rumah Dr.J. Leimena.Gerakan itu pun dimulai,ketika itu ia kebagian tugas
jaga pagi.maka,ia menyempatkan diri untuk tidur. para penculik pun datang, pertama-
tama mereka menyekap Para Pengawal rumah Dr.J. Leimena.karena mendengar
suara gaduh maka K.S.Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba
menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga
menembaknya. Karena tidak seimbang K.S.Tubun pun tewas seketika setelah peluru
penculik menembus tubuhnya. UPIL.

Atas segala jasa-jasanya selama ini.serta turut menjadi korban Gerakan 30


September maka Pemerintah Memasukannya sebagai salah satu Pahlawan Revolusi
Indonesia.bersama Jenderal Ahmad Yani,Letjen Suprapto,Letjen M.T.Haryono,Letjen
S.Parman,Mayjen Sutoyo,Mayjen D.I.Pandjaitan.Brigjen Katamso,Kolonel
Sugiono,Kapten C.Z.I.Pierre Tendean.selain itu pula Pangkatnya Dinaikan Menjadi
Ajun Inspektur Dua Polisi.namanya juga kini diabadikan menjadi nama sebuah kapal
perang republik indonesia dari fregat van speijk class dengan nama KRI Karel Satsuit
Tubun

Kartini

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal


di Rembang,Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau
sebenarnya lebih tepat disebutRaden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh suku
Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan
perempuan pribumi

aden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan


Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupatiJepara. Ia adalah putri dari
istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri
dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di
Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak
hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena
M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan
Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah
perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan
kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
artini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah
di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi
setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.
Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922


menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan
bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2
Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun[1];
selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan peloporpendidikan bagi
kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri
Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan
bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan


Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani,
menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan
sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret
dirinya diabadikan pada uang kertaspecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.[2]

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno,


pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305
Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri


Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan
(doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah
Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.

Ki Sarmidi Mangunsarkoro

Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro (lahir 23 Mei 1904 – meninggal 8


Juni1957 pada umur 53 tahun) adalah pejuang di bidang pendidikan nasional, ia
dipercaya menjadiMenteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1949
hingga tahun 1950.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro lahir 23 Mei 1904 di Surakarta. Ia dibesarkan di
lingkungan keluarga pegawai Keraton Surakarta. Pengabdian Ki Sarmidi
Mangunsarkoro kepada masyarakat, diawali setelah ia lulus dari Sekolah Guru
'Arjuna' Jakarta langsung diangkat menjadi guru HIS Tamansiswa Yogyakarta.
Kemudian pada Th 1929 Ki Sarmidi Mangunsarkoro diangkat menjadi Kepala
Sekolah HIS Budi Utomo Jakarta. Satu tahun kemudian, atas permintaan penduduk
Kemayoran dan restu Ki Hadjar Dewantara, ia mendirikan Perguruan Tamansiswa di
Jakarta. Perguruan Tamansiswa di Jakarta itu sebenarnya merupakan
penggabungan antara HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun yang dua-duanya
dipimpin oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro, dan dalam perkembangannya Perguruan
Tamansiswa Cabang Jakarta mengalami kemajuan yang pesat hingga sekarang.
Pada upacara Penutupan Kongres atau Rapat Besar Umum Tamansiswa yang
pertama di Yogyakarta pada 13 Agustus 1930, Ki Sarmidi Mangunsarkoro bersama-
sama Ki Sadikin, Ki S. Djojoprajitno, Ki Poeger, Ki Kadiroen dan Ki Safioedin
Soerjopoetro atas nama Persatuan Tamansiswa seluruh Indonesia
menandatangani ‘Keterangan Penerimaan’ penyerahan‘Piagam Persatuan
Perjanjian Pendirian’ dari tangan Ki Hadjar Dewantara, Ki Tjokrodirjo dan Ki
Pronowidigdo untuk mewujudkan usaha pendidikan yang beralaskan hidup dan
penghidupan bangsa dengan nama ‘Tamansiswa’ yang didirikan pada 3 Juli 1922
di Yogyakarta.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro wafat 8 Juni 1957 di Jakarta, dimakamkan di makam
Keluarga Besar Tamansiswa '''‘Taman Wijaya Brata’''', Celeban, Yogyakarta. Atas
jasa-jasanya, Alm Ki Sarmidi Mangunsarkoro menerima beberapa tanda jasa Bintang
Mahaputra Adipradana dari Pemerintah, dan juga penghargaan dari Tamansiswa dan
rakyat.

Kusumah Atmaja

Prof. Dr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja adalah salah


satu pahlawan Indonesia dan KetuaMahkamah Agung Indonesia pertama

ilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 8 September 1898 dalam sebuah


keluarga terpandang sebagai Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja.
Kusumah Atmadja pun dapat mengenyam pendidikan yang layak. Ia memperoleh
gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman pada 1913.
Kusumah Atmadja mengawali kariernya sebagai pegawai pengadilan pada 1919. Ia
diangkat sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor. Tahun itu
juga , ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas
Leiden, Belanda.
Pada 1922, Kusumah Atmadja menyelesaikan studinya. Gelar Doctor in de recht
geleerheidpun diperoleh dengan disertasi yang berjudul De Mohamedaansche
Vrome Stichtingen in Indie(Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda). Dalam
disertasinya itu, Kusumah Atmadja menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.
Pulang ke Hindia Belanda, Kusumah Atmadja langsung ditawari menjadi hakim
di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia. Setahun berkiprah di
sana, Kusumah Atmadja langsung diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua
Pengadilan Negeri) di Indramayu.
Kiprahnya sebagai hakim pun semakin malang melintang di era Pemerintahan Hindia
Belanda. Ia pernah tercatat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Padang, Ketua
PN Semarang, dan Hakim PT Semarang.
Kariernya tak berhenti sampai di situ. Bahkan ketika pemerintahan berganti dari
Hindia Belanda ke penjajahan Jepang, Kusumah Atmadja tetap eksis sebagai
pejabat pengadilan. Pada 1942, ia menjabat sebagai Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan
Negeri) di Semarang. Selain itu, ia juga diangkat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa
Tengah pada 1944.
Kusumah Atmaja menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia atau BPUPKI pada tanggal 29 April 1945. Badan ini dibentuk sebagai
upaya mendapatkan dukungan bangsa Indonesia dengan janji Jepang akan
membantu proses kemerdekaan Indonesia.

Prof. Dr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja meninggal pada tanggal 11
Agustus 1952 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Prof. Dr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja dianugerahkan gelar
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 124/1965

Sultan Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26


[1]
September 1852)  adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua
periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan
Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan
adalah Raden Hasan Pangeran Ratu. [2]
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran
melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada
tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud
Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di
Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan
10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005.
Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus
pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya,
namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia
penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.

Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari
Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat,
tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1
Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta
sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan
Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai
akhir hayatnya 26 September 1852. ( selama 35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa
tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan
oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).

Kanjeng Gusti Pangeran


Adipati Arya Mangkunegara I

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran


Sambernyawa aliasRaden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal
di Surakarta, 28 Desember1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran,
sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama
R.A. Wulan.

Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di
dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di
Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut
"Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter
roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu
RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan
dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram,
yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya
sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang
Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang
dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung
kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura.
RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia
bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai
panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah
dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke
Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC
menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat
bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian,
Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia
memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan
asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa
Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan
kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat
persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan
Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.

Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional,


karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra.
Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan,
Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan
wafat pada 28 Desember 1795

R.E. Martadinata

Laksamana Laut Raden Eddy Martadinata Nrp.36/P (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29


Maret 1921 – meninggal diRiung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun)
atau yang lebih dikenal dengan nama R.E. Martadinata adalah tokoh ALRI dan pahlawan
nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter diRiung Gunung[1] dan
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta

ahir di Bandung, 29 Maret 1921. Pendidikan HIS di Lahat 1934, MULO di Bandung 1938,
AMS di Jakarta 1941 dan Sekolah Pelayaran Tinggi.

Ia tidak sempat menyelesaikan Sekolah Tehnik Pelayaran karena pendudukan Jepang.


Selanjutnya ia masuk Sekolah Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Jepang. Selama
mengikuti pendidikan, ia tampak menonjol sehingga diangkat menjadi Guru Bantu. Tahun
1944, ia diangkat sebagai Nahkoda Kapal Pelatih.

Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut
beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai
beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jl Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk
BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-
pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinir oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro
dll membentuk BKR Laut Pusat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laut,
diubah lagi menjadi TRI Laut dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.

R.E. Martadinata menikah dengan Soetiarsih Soeraputra dikarunia 5 putri 2 putra yaitu : 1.
Soehaeny Martadinata 2. Siti Khadijah Martadinata 3. Siti Judiati Martadinata 4. Irzansyah
Martadinata 5. Siti Mariam Martadinata 6. Vittorio Kuntadi Martadinata 7. Roswita Riyanti
Martadinata
Ketika terjadi pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, dalam kapasitas sebagai
Menteri/Panglima Angkatan Laut, R.E. Martadinata segera memberikan reaksi
mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan AD untuk
menumpas G.30.S/PKI. Tindakannya tersebut ternyata tidak disenangi oleh Presiden
Soekarno sehingga jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot dan
digantikan oleh Laksamana Muda Mulyadi. Martadinata kemudian diangkat menjadi
Duta Besar dan Berkuasa penuh RI untuk Pakistan.

Dalam rangka menyambut hari ulang tahun ABRI ke-21, R.E. Martadinata kembali ke
Indonesia mendampingi 3 tamu dari Pakistan yaitu Kolonel Laut Maswar bersama
istri serta Nyonya Rouf, istri dari Deputy I Kepala Staff Angkatan Laut Pakistan. Pada
tanggal 6 Oktober 1966, mereka mengadakan perjalanan menaiki helikopter Alloutte
II milik ALRI dengan dikemudikan pilot Letnan Laut Charles Willy Kairupan yang
ternyata helikopter yang dikemudikannya menabrak bukit dan dalam kecelakaan
tersebut seluruh penumpang dan pilot termasuk Laksamana Laut R.E.Martadinata
tewas. Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional karena
pengabdiannya untuk negeri ini.

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 – meninggal


di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah seorang gadis
dari Desa Abubu diPulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu
mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya
adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga
pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawanBelanda.
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu
seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan
tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para
pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis
pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur.
Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai
kain berang (merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik
di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan
ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata,
tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita di negeri-negeri agar ikut
membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan
menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau
Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para
pejuang rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu
daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani
hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa.
Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk
melepaskan ayahnya dari hukuman mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan
bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Bandamenjelang tanggal 2
Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Mas Mansoer

Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaja, 25


April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional
Indonesia.

Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga
Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad
Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada
masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia
dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat
pada saat itu.

Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak melakukan
gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer
sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam.
Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan
gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai
berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab
Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai
berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai
perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam
empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan
empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas
Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta,
sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes
Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap
rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut,
sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam
empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari
sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan
pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap
oleh tentara NICA dan dipenjarakan diKalisosok. Di tengah pecahnya perang
kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada
tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.

Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai


Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.

Mohammad Hatta

Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung


Hatta, lahir di Fort de Kock (kiniBukittinggi), Sumatera Barat, 12
Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur
77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden
Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden
pada tahun 1956, karena berselisih dengan PresidenSoekarno.
Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bandar udara
internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai
penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang
proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar.
Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Namanya pun diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Jakarta yaitu Bandar
Udara Soekarno Hatta
Selain diabadikan di Indonesia nama Mohammad Hatta juga diabadikan
di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan Haarlem dengan nama Mohammed
Hattastraat terpampang di papan nama jalan di kawasan
perumahan Zuiderpolder yang dibangun pada tahun 1987. Pemberian nama ini
ditetapkan oleh pejabat Walikota R.H Claudius dengan alasan bahwa Hatta
merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang pernah menimba ilmu
diBelanda serta merupakan aktivis Indonesia.
Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi,
sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika
terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti
oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi
mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk
mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan
kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan
nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang
anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai
membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis
India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta
ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato
pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan
organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan
kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda
kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan
Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan
kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama
RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka
keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.

Muhammad Isa Anshary

Muhammad Isa Anshary (lahir di Maninjau, Sumatera Tengah, 1


Juli 1916 – meninggal 11 Desember 1969 pada umur 53 tahun) adalah
seorang tokoh Persatuan Islam.

Pada usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam


di tempat kelahirannya, Isa merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai
kursus ilmu pengetahuan umum. Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala
ke-Islamannya dalam Jam'iyyah Persis hingga menjadi ketua umum
Persis.Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada
1940 ketika ia menjadi anggota hoofbestuur ( Pusat Pimpinan ) Persis. Tahun
1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang mengalami kevakuman sejak
masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga
1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Persis.Selain sebagai
mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk
salah seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima secara
bulat oleh Muktamar V Persis ( 1953 ) dan disempurnakan pada Muktamar
VIII Persis ( 1967 ).Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap
perjuangan Persis sungguh vital dan kompleks karena menyangkut berbagai
bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshary
menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader
muda Persis.Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam
meskipun ia mendekam dalam tahanan Orde Lama di Madiun. Kepada Yahya
Wardi yang menjabat ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis periode
1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah “Renungan 40 Tahun Persatuan
Islam” yang ia susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta
muktamar dalam rangka meningkatkan kesadaran jamaah Persis.Melalui
tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya
dalam usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan
perjuangan organisasi Persis. Semangat ini terus ia gelorakan hingga
wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan dengan 11 Desember 1969.

Mohammad Natsir

Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera


Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun)
adalah perdana menteri kelima, pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi,
dan salah seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia.

Muhammad Natsir, dalam tulisan lain ada yang menulisnya Mohammad Natsir/Mohd.
Natsir/M. Natsir, adalah putra kelahiran Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat 17, Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Natsir adalah orang yang
berbicara penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap
lawan-lawan politiknya. Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda
dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Ayah Natsir bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan
kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang
berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang.
Ketika kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin
oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk
sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada
tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional
antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada
tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi
Islam Persis. Dengan keunggulan spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama,
kebudayaan, dan pendidikan.
Akhir tahun 1979 Raja Fadh dari Arab Saudi memberi anugerah Faisal Award melalui
King Faisal Foundation di Riyadh, bersama mufti Palestina. Sebelumnya tahun 1967,
Universitas Islam Libanon memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang politik Islam.
Tahun 1991, gelar kehormatan yang sama dianugerahkan Universiti Kebangsaan
Malaysia

Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Muhammad Natsir bertepatan pada


peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008

Oto Iskandar di Nata

Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 –
meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun)
adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak
Harupat.

Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung.


Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Oto adalah
anak ketiga dari sembilan bersaudara.[1]
Oto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw(Sekolah Guru Bagian
Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas)
di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Oto menjadi guru HIS
di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Oto pindah ke Bandung dan
mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat
Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah menjabat
sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta
sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia
menjadi anggota Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia
menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode
1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya,
politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.
Oto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang dibentuk
pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-
1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh
pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan
kemerdekaan Indonesia.

Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat


Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6
November 1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung
bernama "Monumen Pasir Pahlawan" didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.
Nama Oto Iskandar di Nata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di
Indonesia.

Oemar Said Tjokroaminoto

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Desa BukurMadiun, Jawa


Timur, 16 Agustus1882 – meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur
52 tahun) adalah seorang pemimpin organisasi Sarekat Islam (SI) di Indonesia.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M.
Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M.
Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid
yang selanjutnya memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia,
yaitu Musso yang sosialis/komunis,Soekarno yang nasionalis,
dan Kartosuwiryo yang agamis.Namun ketiga muridnya itu saling berselisih.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.
Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti
Kongres SI di Banjarmasin.

Salah satu kata mutiara darinya yang masyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-
murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan
Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang
kemerdekaan.
Ia adalah ayah dari Oetari, istri pertama Soekarno, presiden pertama Indonesia

Pakubuwana VI

Sri Susuhunan Pakubuwana VI (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26


April 1807 – meninggal di Ambon,2 Juni 1849 pada umur 42 tahun) adalah
raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1823 – 1830. Ia dijuluki pula
dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, karena kegemarannya melakukan tapa brata.
Sunan Pakubuwana VI telah ditetapkan pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan nasionalberdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun
1964, tanggal 17 November 1964.

Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28


Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI.
Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas
penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis
keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk
dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda,
Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI
dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya mati setelah disiksa secara kejam. Konon
jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar Luar Batang.
Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada
tanggal 8 Juni1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan
semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan
antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara,
yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI
berangkat keAmbon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana
VI, yang bergelarPakubuwana VII.
Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut
laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri,
yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunanMataram. Pada saat makamnya
digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi.
Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X),
lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle.

Pakubuwana X

Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X (lahir


di Surakartapada 29 November 1866 – meninggal di Surakarta pada 1
Februari 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah
tahun 1893 – 1939.

Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30


Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya.
Pakubuwono X menikah dengan Ratu Hemas (putri Raja Hamengkubuwono VII) dan
dikaruniai seorang putri yang bernama GKR Pembajoen.

Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik


kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan
Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan
dengan perubahan politik di Hindia Belanda.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda,


Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa.
Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam, salah satu organisasi
pergerakan nasional pertama diIndonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta
(1938) diadakan pada masa pemerintahannya.
Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya,
seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-
Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug,
Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman
Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan
ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan
(pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa.

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut


sebagai Sunan Panutupatau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya.
Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Pakubuwana XI.

Pattimura

Pattimura (lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal


di Ambon, Maluku, 16 Desember1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan
nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan
nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija
menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari
Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari
Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau
merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram
Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam
bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat
Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparuaseperti yang dikenal dalam
sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang
saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan
Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

ertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat


dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara
lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan
benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano,
Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura
hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri
pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.
Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
“PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

Rasuna Said

Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14


September 1910 – meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun)
adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga
merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan
adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.

H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan
berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat
Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim
Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam
secara tajam ketidak adilan pemerintahBelanda, sehingga beliau sempat ditangkap
dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda
Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili
daerah Sumatera Baratsetelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959sampai akhir hayat beliau.
H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember1974.
H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu
(Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel
Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di
kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Tengku Rizal Nurdin

Mayor Jenderal TNI (Purn) Haji Tengku Rizal Nurdin (lahir di Bukittinggi, Sumatera


Barat, 21 Februari 1948 – meninggal di Medan, Sumatera Utara, 5
September 2005 pada umur 57 tahun) adalah Gubernur Sumatra Utara ke-14 dan
15, menjabat dari tahun 1998 hingga meninggal dunia pada 5 September 2005. Saat
itu ia sedang bertugas dalam periode keduanya (2003-2008). Pada periode
sebelumnya (1998-2003), Rizal Nurdin juga merupakan gubernur Sumut.
Sebelum menjadi Gubernur, dia adalah Pangdam I Bukit Barisan tahun 1997, dengan
Pangkat Mayor Jenderal. Walau lahir di Sumatera Barat, namun ia adalah seorang
suku Melayu Deli.
Nurdin terpilih menjadi Gubernur Sumut pada 15 Juni 1998. Jabatan Gubernur
Sumut untuk periode kedua disandangnya pada 24 Maret 2003, dan seyogyanya
berakhir pada 15 Juni 2008.
Dari pernikahannya Hj. NR Siti Maryam (lahir tahun 1948), Rizal memperoleh dua
orang putri: T. Armilla Madiana dan T. Arisma Mellina. Selain itu, Rizal Nurdin juga
adalah Ketua KONI Sumut.
Ia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Mandala Airlines pada 5
September 2005 di Medan. Saat itu ia sedang berada dalam perjalanan untuk
menghadiri rapat mendadak dengan Presiden Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono di Jakarta pada malam harinya. [1]
Tengku Rizal Nurdin dianugerahi Bintang Mahaputra dan gelar Pahlawan Nasional
Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9
November 2005 dalam kaitannya dengan peringatan Hari Pahlawan 10
November 2005 dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 083/TK/2005

Robert Wolter Mongisidi

Robert Wolter Mongisidi (lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14


Februari 1925 – meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5
September 1949 pada umur 24 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia.

Robert dilahirkan di Malalayang (sekarang bagian dari Manado) dan anak dari Petrus
Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar
(bahasa Belanda:Hollands Inlandsche School (HIS)), yang diikuti sekolah menengah
(bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)) di Frater Don Bosco di
Manado. Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah
di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung,
di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum keMakassar, Sulawesi
Selatan.[1]
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar.
Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands
Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi
terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.[2] Pada tanggal 17 Juli 1946,
Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar
Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan
dan menyarang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947,
tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan
kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh
tim penembak pada 5 September 1949. [3] Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam
Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.

Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah


Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi
Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan
tersebut.[5] Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan
sebagai penghargaan kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia,
KRI Wolter Monginsidi.

Sam Ratulangi

Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan


nama Sam Ratulangi (lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5
November 1890 – meninggal di Jakarta, 30 Juni 1949 pada umur 58 tahun)
adalah seorang politikus Minahasa dari Sulawesi Utara,Indonesia. Ia adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-
sebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: "Si tou
timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia,
jika sudah dapat memanusiakan manusia.

Sam Ratulangi adalah anak dari Jozias Ratulangi.[1] Pada tahun 1907, dia


pergi ke Bataviauntuk melanjutkan sekolah di Koningeen Wilhelmina School.
[1]
 Setelah tamat, Sam Ratulangi melanjutkan ke Vrije
Universiteit van Amsterdam, Belanda.[1] Di sana, dia dipercaya menjadi Ketua
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1914. [1] Lima tahun
kemudian, dia memperoleh gelar doktor di bidang matematika dan fisika.[1]

Sam Ratulangi juga merupakan Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia


meninggal di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal
30 Juni 1949 dan dimakamkan diTondano. Namanya diabadikan dalam
nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam 

Slamet Rijadi

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Ignatius Slamet Rijadi (EYD: Riyadi; lahir


di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927 – meninggal di Ambon, Maluku, 4
November 1950 pada umur 23 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia. Anak
dari Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legiun Kasunanan Surakarta, ini
sangat menonjol kecakapan dan keberaniannya, terutama setelahJepang bertekuk
lutut dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Ia merupakan pencetus pasukan
khusus TNI yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kopassus.

Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo oleh


Jepang yang dipimpin oleh Sutjokan (Walikota) Watanabe yang merencanakan untuk
mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan yang berkedudukan
di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran, akan tetapi rakyat tidak
puas. Para pemuda telah bertekad untuk mengadakan perebutan senjata dari tangan
Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartono dan dikawal oleh pemuda
Suadi untuk melakukan perundingan di markas Kempeitai (polisi militer Jepang) yang
dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah
berhasil menerobos kedalam markas dengan meloncati tembok dan membongkar
atap markas Kempeitai, tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet
Rijadi.
Slamet Riyadi merupakan pengantin baru, istrinya Ny. Soerachmi bagian kesehatan
TNI-AD, baru saja dinikahi saat cuti operasi menumpas RMS. Slamet Riyadi
dimakamkan di Ambon di tengah makam anak buahnya yang gugur.

Ketika terjadi peristiwa APRA, brigade Slamet Riyadi dipanggil naik kereta api ke
Bandung untuk memerangi. Karena peristiwa APRA sangat singkat, brigade Slamet
Riyadi akhirnya disalurkan memerangi DI/TII. Personel APRA adalah KNIL kompi
(baret merah) pasukan payung dan batalion komando (baret hijau). Dua pasukan ini
adalah musuh Slamet Riyadi sejak Agresi militer ke-2 di Yogyakarta dan waktu
serangan umum Solo. Dua pasukan ini menolak bergabung ke dalam APRIS, kelak
mereka menyusup keluar Bandung dan membantu RMS

Kolonel Kawilarang yang selanjutnya memimpin Siliwangi di Jawa Barat memerangi


DI/TII, membentuk 1 peleton komando dari divisi Siliwangi. Hal ini merupakan hasil
diskusi beliau dengan Slamet Riyadi saat memerangi RMS. Melihat keberhasilan
peleton komando Siliwangi, TNI-AD membentuk kompi komando yang juga
berkualifikasi pasukan payung. Kompi ini memerangi DI/TII, PRRI dan Permesta dan
merupakan cikal bakal Resimen Para Komando AD (RPKAD) selanjutnya Komando
Pasukan Khusus.

Soekarno

Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir


diSurabaya[1][2][3], Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada
umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada
periode 1945–1966.[4] Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda.[5] Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia
yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia
sendiri yang menamainya Pancasila.[5] Ia adalah Proklamator
Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang
kontroversial, yang isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar
Angkatan darat - menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan
menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[5] Supersemar menjadi
dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkanPartai Komunis Indonesia (PKI)
dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[5] Setelah pertanggung
jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada
sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari
jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama
dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh
orangtuanya.[4]Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun
namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[4][6] Nama tersebut diambil dari
seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[4][6] Nama "Karna"
menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o"
sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[6]
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya
sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan
penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda
tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum
dalam Teks ProklamasiKemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?].
Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.

Soedirman

Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir


di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal
di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesiayang berjuang pada masa Revolusi Nasional
Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat
sebagai Panglima dan Jenderal RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman
31 tahun ia telah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit tuberkulosisparu-
paru yang parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI.
Pada tahun 1950 ia wafat karena penyakit tuberkulosis tersebut dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.

Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid


Kartowirodji, adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan
ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan
diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang
yang masih merupakan saudara dari Siyem.

Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA)


di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.[1] Setelah menyelesaikan pendidikan di
PETA, ia menjadiKomandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia
menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih
menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh
pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan
masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan
kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku
oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang
selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan
negara. [2]
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan
Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk
menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Suprijadi

Fransiskus Xaverius Suprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 –


meninggal tahun 2000 adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin
pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan
pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri
keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi
digantikan oleh Jendral Sudirman pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak
pernah muncul. Selepas masa perjuangan kemerdekaan RI, beliau pernah
mendampingi Presiden RI Soekarno sebagai pembantu (asisten) bersama dengan
rekan seperjuangannya A.H Nasution pada waktu itu. Sekali berdinas di Departemen
Pertanian di Jakarta menjabat Kepala Bagian Kepegawaian hingga memasuki usia
pensiun.

Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA).


PETA dibentuk dengan tujuan untuk memberikan latihan kemiliteran kepada
pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu
Jepang menahan serbuan sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil
menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut.
Supriyadi diangkat menjadi Shondanco (KomandanPeleton) Peta

Pemberontakan dilancarkan dini hari tanggal 14 Februari 1945,di Daidan,


Blitar.Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut.Mereka mengerahkan
kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar.Selain
itu,dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak.karena kurang
pengalaman dan kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas
Jepang.Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap,diadili dalam mahkamah militer
Jepang.Ada yang dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut
diadili,bahkan namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan. Supriyadi
dinyatakan hilang dan tidak pernah hadir dlam sidang pengadilan.Dikarenakan
Supriyadi masih menjadi target teror agen-agen tentara sekutu (NICA) sehingga
sering bersembunyi dikaki bukit di kota kelahirannya, Trenggalek,Jawa Timur

Ia dilantik sebagai Menteri Pertahanan Indonesia Pertama tanggal 2 September


1945, namun karena Supriyadi tidak pernah muncul, beberapa hari kemudian ia
digantikan oleh Jendral Sudirman. Atas Surat Keputusan Presiden RI Nomor
063/TK/1975, Supriyadi diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Jadi. pada suatu hari..

Sutan Syahrir

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera


Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun)
adalah seorangpolitikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat
sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947.
Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam
pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Karya
1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat
Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
3. Perjuangan Kita, tahun 1945
4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan
karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul
dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa
Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh
Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin
dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah
“Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan
pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
10.Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah
lain
11.Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan
Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

Anda mungkin juga menyukai