Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERANG TONDANO

Disusun Oleh :

DARMA LIANA ASYIAH


XI BAHASA

SEJARAH INDONESIA
TAHUN PELAJARAN 2021/2022

Guru Pembimbing
IBUK YUNI RUSNA, S.Pd.

MAN I MANDAILING NATAL PLUS


KETERAMPILAN, RISET dan AKADEMIK
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohiim
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya dan
karuniaNya,kami bisa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Perang Tondano”dengan tepat waktu dan baik, makalah ini disusun guna
memenuhi Tugas mata pelajaran sejarah Indonesia Masa Kolonial
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, penyusun mengucapkan terima kasih kepada Semua
pihak/rekan-rekan yang telah membantu kelancaran penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, sudah barang tentu kritik dan saran penulis harapkan dari pembaca guna
melengkapi dan menyempurnakan kekurangan daripada penulis. Semoga dengan disusunnya
makalah ini penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kitasemua, khususnya
bagi Mahasiswa program pendidikan sejarah

Kotanopan, ……………….
Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB  I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. RumusanMasalah.................................................................................... 2
C. TujuanMasalah.. ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Mengapa Disebut Perang Tondano. ....................................................... 3
B. Mengetahui Posisi Minahasa Sebelum Perang Tahun 1808-1809.......... 4
C. Faktor Ekonomi Di Minahasa.............. .................................................. 4
D. Rentang Waktu Perang Tondano..... ....................................................... 6
E. Terjadinya Perang Tondano.................. ................................................. 7
F. Suasana Saat Perang Di Minahasa.......................................................... 11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa
dengan kompeni Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di
Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap
sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol)
yang telah membunuh beberapa Tona’as antara lain Monomimbar dan Rakian dari
Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan terhadap
perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini membuktikan kesan bahwa semua orang kulit
putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian juga pada perang
ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila Kepala Walak Tondano dan Ukung
Sumondak Kepala Walak Tampomas. Salah satu penyebab terjadinya perang Tondano
keempat (terakhir) adalah bahwa Minahasa tidak mau menyiapkan/menyediakan tentara
untuk kepentingan militer Hindia Belanda. Selain itu penyebab yang lain dikarenakan
masalah “rekrutering” atau ketentuan menjadi serdadu bagi para pemuda Minahasa
untuk dikirim ke Jawa guna menghadapi perjuangan tentara dari Inggris. Selain
permasalahan tersebut maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal
dari suku-suku pemberani dalam peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan
suku Dayak. Bila yang datang melaporkan secara suka rela tidak segenap hati/memadai,
pemaksaan dilakukan. Suatu tindakan yang telah mengakibatkan pecahnya
pemberontakan rakyat di Manado/Minahasa. Pada tahun 1928 Prediger dengan
pembawaannya yang lemah lembut menghindari bentrokan dengan penduduk, ia tidak
dapat mencegah tindakan petugas pendaftaran yang tidak bijaksana dan terciptannya
cerita yang tidak mengenai tujuan perekrutan. Ditambah dengan hutang lama yang
disebabkan penerimaan sandang dengan uang muka, hubungan baik dengan pemerintah
Hindia Belanda menjadi rusak sekali.
Jika dilihat secara kritis makna terjadinya perang Tondano sesungguhnya bukan
alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan
kolonial tersebut. Akan tetapi masalahnya terletak pada pelanggaran-pelanggaran
kolonial Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond
10 Januari 1679. Hal ini menunjukan bahwa secara antropologis orang Minahasa sudah
sejak tempo dulu tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap
kebenaran dan keadilan) yang tidak mengenai kompromi dengan pelanggaran adat,
siapapun pihak yang melakukan pelanggaran adat yang dimaksud (sei’reen). Bagi orang
Minahasa Verbond sudah menjadi bagian dari adat Minahasa yang menjamin kelanjutan
hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh para pemimpin Minahasa merupakan
pengingkaran suatu penghinaan yang fanatisme terhadap kebenaran dan keadilan.
Apalagi mereduksi nilai-nilai kepemimpinan sosial orang Minahasa, dimana posisi
kepala walak dikondisikan sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10
September 1699/amandemen pasal 9), sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap
semua kebijakan kompeni Belanda. Padahal dalam konteks status peranan, menjadi
kepala walak, bukanlah jabatan yang diberikan atas dasar turunan (ascribed) tetapi
menjadi kepala walak diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat  atas dasar kinerja
(achieved).

B.     Rumusan Masalah:


1. Mengapa Disebut Perang Tondano?
2. Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809?
3. Bagaimana Latarbelakang Ekonomi Di Minahasa?
4. Bagaimana Rentang Waktu Perang Tondano?
5. Bagaimana Terjadinya Perang?
6. Bagaimana Suasana Perang Di Minahasa?

C.     Tujuan Masalah


1. Mengetahui Perang Tondano
2. Mengetahui Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809
3. Mengetahui Latarbelakang Ekonomi Di Minahasa
4. Mengetahui Rentang Waktu Perang Tondano
5. Mengetahui Terjadinya Perang
6. Mengetahui Suasana Perang Di Minahasa
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Perang Tondano


Persepsi dikalangan tertentu orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-
akan pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa besar Perang Tondano hanya orang
Tondano yang bermukim di Minawanua. Padahal pemakaian istilah Perang Tondano
bukan berarti yang terlibat dalam perang hanya Walak Tondano, akan tetapi hampir
seluruh Walak di Minahasa telah berperan serta menunjukan solidaritasnya sebagai
Tou-Minahasa yang berjuang bersama Walak Tondano melawan Kompeni Belanda.
Perang Tondano sendiri adalah perang patriotik yang besar dari rakyat Maesa
(Minahasa pada umumnya) melawan penjajah Belanda, yang telah berlangsung secara
berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan pertama
telah dimulai pada 1 juni 1661, dan berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14
Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.
Para pemimpin Perang Tondano selain Tewu, Sarapung, Korengkeng,
Lumingkewas, Matulandi (semuannya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga
Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken.
Bahkan sebagai organisator dan atau otak dari perlawanan melawan Kompeni Belanda,
selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang dicari oleh pihak
Kompeni Belanda untuk ditangkap. Tewu ditangkap menemani Ukung Pangalila
(Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal menjadi penghuni
penjara di Benteng Fort Amsterdam. Mereka ditangkap karena keduannya dengan tegas
menentang usaha dari Residen Schierstein yang hendak mengubah substansi
perjanjian/Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui Jacob Claesz kepada David
Van Peterson yang dinyatakan bahwa orang Minahasa bukan merupakan
taklukan/bawahan tetapi yang berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni
Belanda.
Dengan demikian perlulah diungkap disini bahwa Perang Tondano secara historis
telah berlangsung sejak tahun 1661 dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809, yang
didasarkan atas:
1. Puncak petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di
wilayah Walak Tondano.
2. Berdasarkan peristiwa diatas yang diistilahkan sebagai Perang Tondano,
merupakan istilah yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada
umumnya (Supit 1991).
B.     Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809
Minahasa sebelumnya memiliki dasar kontrak kerja sama dengan VOC dalam apa
yang disebut kontrak Persekutuan Atau Persahabatan atau lebih dikenal dengan
Verbond 10 Januari 1679, dengan 10 pasal perjanjian dimana bertuliskan: Perjanjian
dan persekutuan yang diadakan oleh yang terhormat Gubernur Maluku Robertus
Padtbrugge atas nama tuan besar Gubernur Jenderal Rijckloff Van Goens dan Dewan
Hindia yang mewakili Kompeni Hindia Timur di Oktroij DAN negara persekutuan
Belanda pada satu pihak dan kepala-kepala Walak seluruh Haminte dalam wilayah
Manado atau ujung paling utara Pulau Sulawesi pada pihak lain.
Tetapi dari pihak Minahasa atas Belanda sangat dapat dilihat lebih banyak
harusnya dipenuhi termasuk VOC sebagai yang dipertuan, sebaliknya dari pihak
Belanda hanyalah perlindungan dari serangan luar ke dalam Minahasa oleh suku-suku
lainnya, dimana akhirnya implementasi dari kebijakan ini  tidaklah berjalan mulus
sehingga menimbulkan ketimpangan kerja sama Minahasa-Belanda. Dalam hal ini VOC
baik secara regional, ekonomi dan persekutuan. dan akhirnya dalam mengatasi hal
tersebut 20 tahun kemudian tepatnya pada 10 september 1699 bertuliskan mengapa
mereka bersekutu, serta menyatakan bahwa sahabat Kompeni adalah sahabat rakyat dan
demikian dengan sekutu kompeni lain-lain, di darat dan dilaut, bantu-membantu dan
lindung melindungi bila dituntut sampai mati sekalipun.
Jadi jelaslah bahwa Minahasa-Belanda telah mengeluarkan sebuah perjanjian
persekutuan yang dapat dikatakan telah menimbang asas-asas kesetaraan dalam
persahabatan dan hal kontrak-kontrak berikutnya tetap diadakan dan ditandatangani
oleh Walak-Walak Minahasa sebagai representative atau perwakilan sebuah wilayah
teritori yang berdaulat yang diakui oleh belanda juga sampai pada kontrak Minahasa-
Kerajaan Inggris Pada 14 September 1810. antara tahun 1699 sampai pecah perang di
Minahasa lebih khusus pada perlawanan Waraney-Waraney atau Ksatria-Ksatria
Minahasa di Tondano pada 1808, ada jarak sekitar 109 tahun atau dapat diperkirakan
100 tahun setelah Perjanjian atau Kontrak Verdragg 10 september 1699 baru muncul
friksi-friksi yang tajam dimana kesimpulan utamannya terletak pada masalah ekonomi.
tetapi sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan Belanda itu sendiri.

C.    Latar belakang Ekonomi Di Minahasa


Sumber makanan/logistik di Minahasa merupakan alasan untuk menjadikan
sebagai daerah koloni. Dikemukakan oleh Prof Adolf Sinolungan bahwa kaitannya
antara sumber makanan beras dengan upaya Hindia Belanda Timur di Batavia dengan
Gubernur Maluku yang seenaknya memasukkan Minahasa dalam Karisidenan Manado.
Pada abad 16 perusahaan-perusahaan dagang Eropa Barat bersaing merebut
perdagangan rempah-rempah di Maluku, diikuti oleh Portugis, Spanyol kemudian
Inggris (EIC) VOC. Mereka datang dengan Armada  Dagang Pelayaran panjang dan
lama, konsekuensi logis makanan atau kebutuhan logistik dianggap penting. Dalam
upaya mencari makanan, mereka menemukan Malesung/nama tua Minahasa dimana
pelabuhan Manado sebagai pusat perdagangan beras. waktu itu benar-benar beras
menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi pulang Maluku-Eropa Barat.
Perdagangan beras abad 17 bukan perdagangan antar sub wilayah yang hanya
dikuasai Belanda, tetapi antara Armada Dagang Portugis dan Spanyol, kemudian antara
VOC/Belanda dengan EIC Inggris. VOC/dengan hak oktroi dipandang sebagai upaya
pemerintahan Kerajaan Belanda yang ingin mengganti peran Spanyol yang kalah perang
dengan pasukan Minahasa sehingga terusir dari Minahasa dalam Perang Tasikela 1643-
1644. Semua langsung tak langsung terkait dengan persaingan barter beras dengan
Malesung.
Beras amat diperlukan Armada Dagang dan juga prajurit-prajurit mereka di
benteng-benteng lokal. Sebab itu voc membujuk ukung-ukung merdeka di Malesung
untuk membuat persekutuan dan persahabatan dengan Verbond 10 Januari 1679. Untuk
memantapkan perdagangan/barter beras, VOC meminta tanah untuk loji dan kantor
dagang yang kemudian dijadikan Benteng Fort Amsterdam di Manado. Lama-kelamaan
muncul keinginan untuk memonopoli perdagangan beras dikawasan Minahasa,
dibuatlah suatu kebijakan sepihak yakni berusaha memutar balikan makna perjanjian
Atau Verbond 10 Januari 1679 dengan Verdrag 10 September 1699 Menjadikan
Malesung terjajah. Upaya ini berlanjut sampai upaya sepihak VOC membuat Verdrag 5
Agustus 1790 yang menetapkan Minahasa dalam status terjajah hanya mempertuan
VOC/penjajah.
Terjadilah perubahan di Eropa dimana Perancis jaman Napoleon menjajah
Belanda, waktu itu Perancis sedang bermusuhan dengan Inggris. GG Daendels perlu
22.000 pemuda untuk mempertahankan Pulau Jawa (Jl.Anyer-Penarukan) dan minta
2000 pemuda dari Walak-Walak merdeka di Minahasa, berdasarkan asumsi Minahasa
sejak Malesung dengan Verdrag 1699, dan Verdrag 1790 adalah jajahan VOC/dengan
hak oktroi jajahan Belanda Verdrag yang erat kaitannya dengan barter beras,
meniadakan Verbond 10 Januari 1679. Upaya merekrut pemuda Minahasa sesuai
perintah diktator Deandels juga hendak dipaksa Residen Manado C.Ch Predigger yang
membangkitkan perlawanan Suku Tondano didukung Walak-Walak merdeka di
Minahasa yang menyebabkan perlawanan rakyat Minahasa di Tondano yang dikenal
sebagai Perang Tondano. Tentang Tanah Minahasa yang subur disadari Belanda setelah
lepas dari penguasaan Kaisar Perancis atas negerinya, yang juga kerap teralami setelah
perang kemerdekaan abad 19 di Nusantara yang dimulai di Tondano dalam puncak
Perang Tondano pada 1808-1809.
Kas Belanda kosong, lalu mencari sumber memperbaiki perekonomiannya di
tanah jajahannya. waktu itu species, seperti cengkih tak populer lagi seperti abad
pertengahan pasca Perang Salib. Komoditi Kopi Dicari Dan Amat Laku Di Pasar
Global. Ternyata di Remboken kopi tumbuh bagus dan buahnya bermutu. Ini
menunjukkan tanah Minahasa subur, karena memang top soilnya endapan vulkanis kaya
mineral, cocok dengan tanaman kopi. aroma mutu dan rasa kopi Minahasa bagus. Maka
kopi ditanam massal hampir diseluruh Minahasa sampai Bolmong. Pemerintahan
Belanda memonopoli dan menopsoni perdagangan komoditi kopi sehingga memperoleh
keuntungan amat besar yang bisa mengatasi masalah perekonomiannya. Setelah
komoditi kopi dari Minahasa adalah kopra, kmd cengkih (cloves) dan di beberapa
tempat terutama di Siauw Palia (Nutmeng).
Jadi kesimpulannya bahwa kedatangan Belanda ke Minahasa yang menyebabkan
Perang Tondano bukan dalam rangka ingin menguasai perdagangan beras karena beras
tidak laku di Eropa, ada benarnya tetapi beras sangat diperlukan untuk kepentingan
Armada Dagang Perdagangan Eropa Barat sehingga praktis jadi komoditi ekspor  jaman
Malesung.

D.    Rentang Waktu Perang Tondano


Kedatangan Belanda di Minahasa pada mulanya disambut gembira oleh
penduduk, karena mengharapkan bantuan dalam menghadapi peperangan dengan
Spanyol dan ancaman gangguan keamanan perampok-perampok dari Minandanao
Filipina. Dikisahkan bahwa dalam negoisasi perjanjian keamanan tanpa adanya
negosiasi perjanjian keamanan tanpa adanya suatu ikatan apapun. Akan tetapi,
alasannya yang sesungguhnya kedatangan Belanda di Minahasa adalah untuk
kepentingan kekuasaan dalam memperoleh monopoli perdagangan dan usaha untuk
menjalankan pemerintah/penjajahan.
Sebagai  indikasi alasan monopoli dan kekuasaan pemerintah yang dimaksud
diatas, bahwa pada tahun 1657 Belanda mendirikan benteng di Pelabuhan
Wenang/Manado yang diberi nama Nederlandsche Vasticheijt atau dikenal dengan
nama Fort-Amsterdam (Molsbergen 1929) dalam Umboh (1985). Benteng ini dijadikan
pusat pemerintahan pertahanan dan perdagangan Belanda di Minahasa. Dikatakan
bahwa sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai menguasai perdagangan di
Minahasa dan mengharuskan penjualan beras kepada pedagang-pedagang Belanda,
seperti apa yang telah disinggung diatas, cara pemaksaan ini sama sekali tidak disenangi
oleh Walak Tondano, sehingga menimbulkan kebencian mereka terhadap Belanda.
Implikasinya sejak saat itu lahirlah kebencian orang Minahasa, khususnya Orang
Tondano terhadap Belanda. Kebencian ini tidak hanya sampai pada tingkat sikap, akan
tetapi dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan senjata alias perang yang dimulai
sejak tahun 1661 sampai tahun 1809. Dikemukakan bahwa perang berlangsung selama
empat kali.

E.     Jalannya Perang
1.      Perang pertama (1661-1664)
Perang Tondano pertama terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan
kisah heroic yang dilakukan oleh rakyat yang bermukim di sekitar Danau Tondano,
tepatnya disebelah selatan kota Tondano sekarang ini yang dahulu disebut Minawanua,
melawan pasukan Kolonial Belanda. Boleh dikatakan perang pertama ini merupakan
perang yang luar biasa. Sebab dilihat dari segi militer oleh pihak Belanda ternyata lawan
mereka yang tergolong sebagai rakyat biasa/primitive yang berumah di atas air dapat
menyiapkan infrastruktur perang yang demikian lengkapnya.
Kurang lebih seribu empat ratus laskar (termasuk kaum perempuannya) terlibat
dalam pertempuran. Ratusan perahu disiapkan untuk melayani medan perang yang
berkecemuka di atas air dan rawa. Perahu-perahu tempur ini telah dibuat sedemikian
rupa, sehingga dengan ditumpangi empat sampai lima orang dengan peralatan
perangnya, dapat bergerak di atas air maupun di atas rumput-rumput rawa dengan cepat
dan gesit. Lamanya pertempuran berlangsung selama beberapa bulan dan telah
menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak. Beberapa pahlawan yang terlibat
langsung dalam perang Tondano pertama selain berasal dari Tondano seperti,
Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi. Juga turut serta
pahlawan dari Remboken, seperti Kentel, Tellew, Tarumetor, dan Wangko dari Kakas.
Pada suatu ketika ekspedisi Simon Cos dengan bantuan sementara pemimpin rakyat
Maesa yang telah menyeleweng, telah dapat mendesak untuk menghentikan peperangan
ini
2.      Perang Kedua (1681-1682)
Singkatnya latar belakang terjadinya perang kedua ini, ada hubungannya dengan
perlakuan semena-mena Belanda demi kepentingannya sendiri atas makna Perjanjian 10
Januari 1679 yang disebut oleh N.Graaland (1898) dalam Umboh (1985) sebagai kunci
kontrak besar persekutuan persahabatan antara Minahasa dan Belanda yang
ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa
ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit) dan Pedro
Rantij (Ranti).
Disebut Perang Tondano oleh karena Walak Tondano dalam menghadapi
kehadiran kaum colonial Belanda, cenderung menunjukan sikap antipasti maupun
ketidakpatuhan atas eksistensi kompeni Belanda, maka konsekuensinya kawasan
pemukiman Walak Tondano tepatnya di Minawanua dijadikan sasaran penyerbuan
pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompeni Belanda kawasan Minawanua yang
disebut oleh Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang
dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).

3.      Perang tondano ketiga (1707-1711)


Seperti halnya yang terjadi pada perang pertama di atas, yakni perlakuan semena-
mena penjajah Belanda terhadap seluruh Walak di Minahasa pada umumnya, dan
khususnya Walak Tondano yang tidak tahan atas penderitaan yang berat akibat
kekejaman bangsa Belanda tersebut. Terutama mengenai Verdrag 10 September 1699,
dianggap merupakan politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa. Sebab isi
perjanjian tersebut bukan untuk meringankan beban penduduk, akan tetapi bertujuan
untuk mengikat para kepala walak agar tunduk kepada kekuasaan Belanda (Wuntu 1963
dan Umboh 1985). Hal-hal inilah yang mendorong orang-orang Tondano bersatu untuk
mengadakan perlawanan terhadap Belanda, dengan semboyan: “lebih baik menghadapi
perampok-perampok Mindanao daripada dikunjungi Belanda dan antek-anteknya yang
harus dengan terpaksa menyerahkan hasil pertanian (padi) kepada mereka”. Berbeda
dengan perang pertama dan kedua yang terjadi secara frontal, sedangkan pada perang
ketiga ini berlangsung dengan menggunakan taktik gerilyanya.

4.      Perang Tondano Keempat (1807-1809)


Singkatnya perang terakhir ini terjadi, berawal dari aksi melarang utusan Hindia
Belanda dari aksi melarang utusan Hindia Belanda masuk ke wilayah Tondano karena
dianggap oleh para Tona’as/pemimpin-pemimpin sekitar Danau Tondano bahwa
Residen G.F.Durr telah mengubah janji kosong terhadap rakyat Minahasa. Pada
umumnya dan khususnya orang Tondano (Perjanjian 10 Januari 1679).
Musyawarah Minawanua menganggap hasil musyawarah di Airmadidi berhimpun
para pimpinan Minahasa (kepala walak) yang dilaksanakan di Minawanua, dalam suatu
forum masyarakat yang disebut musyawarah Minawanua. Jalanya musyawarah, sempat
terjadi perbedaan pendapat dan pendirian dalam walak Tondano (Toulimambot-
Toliang). Sehingga suasana pembukaan musyawarah terjadi ketegangan, seperti
diketahui bahwa kepala walak Korengkeng dan beberapa ukung Taulimambot dan
Touliang telah menyatakan bahwa mereka tidak mau hadir dalam musyawarah. Apa alas
an sehingga ukung Korengkeng tidak mau hadir? Sangat disayangkan tidak dijelaskan
oleh Supit (1991). Karena itu, pada tingkat wacana ada 2 asumsi yang dapat diajukan
yaitu:
1. Adanya kesalingcurigaan satu dengan yang lain, dimana gejalanya sudah muncul
pada waktu musyawarah di Airmadidi. Lonto dicurigai oleh Korengkeng pro-
Belanda karena pada waktu musyawarah di Airmadidi seakan-akan Lonto
menyetujui kemauan residen Predigger untuk mengganti Verbond 10 Januari
1679.
2. Ketidakmunculan Korengkeng dalam pembukaan musyawarah, disengaja
dilakukan (strategis) untuk mengelabui utusan dari pihak Belanda (Ukung
Maramis) yang ditugaskan oleh residen Predigger untuk mengamati peranan
kepala walak Toulimambot, Korengkeng, dan kepala Touling Sarapung dalam
melaksanakan musyawarah sekaligus mengamati solidaritas para walak dalam
menyikapi hasil musyawarah di Airmadidi.

Sementara ukung Sarapung, tanpa suatu pernyataan tidak pula kelihatan pada hari
pembukaan, sehingga dikira Ukung senior Sarapung bermaksud memboikot jalanya
musyawarah. Ternyata setelah diketahui Ukung Sarapung berhalangan hadir karena
disamping usiannya yang sudah lanjut, jugab mengalami gangguan kesehatan. Akhirnya
musyawarah dapat dikendalikan oleh Ukung Tewu selain sebagai Teterusan (Panglima
Perang) yang menguasai lahan pertanian yang sangat luas (Tana’I Tewu), Matulandi
(saudara dari Ukung Sarapung) dan Lumingkewas (ketiganya sari Minawanua-
Tondano), serta Lonto (Kepala Walak Tomohon), dan Mamait (Kepala Walak
Remboken). Para pemimpin Minahasa yang hadir dalam musyawarah antara lain, dari
Tondano-Toliang, yakni Tewu (pemilik Benteng Moraya), Sarapung, Walintukan,
Korengkeng, Rumapar, Wuisan, Lumingkewas, Sepang, Dari Kakas terdiri dari L.
Supit, dan Kalalo , dari Remboken terdiri atas Mamaitdan Tendean, sedangkan dari
Tonsea diwakili oleh Pangemanan, Lengkong dan Ombu yang memihak Tondano,
sedangkan mewakili Tombulu adalah Lonto. Dan juga mendapat dukungan dari
beberapa kepala walak Minahasa lainnya seperti, Pantouw dari Saroinsong, Koyongin
dari Pasan, Walewangko dari Sonder, Tuyu dari Kewangkoan, Sondakh dari Tompaso,
Iroth dari Langowan, Runtuwene dari Tombasian, Tumbelaka dari Rumoong, Watak
dari Ratahan, Rugian dari Tonsawang dan Mokolensang dari Ponosakan.
Dengan berlandaskan semangat Mapalus (tolong menolong), Maesa (bersatu), dan
Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), akhir musyawarah mengahasilkan keputusan,
menyatakan tekad bahwa apabila pihak kompeni tidak menghentikan pelanggaran
terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan yang bertentangan dengan adat,
maka seluruh Walak Minahasa yang hadir dalam musyawarah memutuskan hubungan
dan melawan Kompeni Belanda yang berbentuk perlawanan sebagai berikut:
1. Penghentian pemasokan dan perdagangan beras,
2. Tidak membayar hutang sandang,
3. Tidak mengizinkan seorang pemuda pun untuk menjadi serdadu kompeni,
4. Tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa,
5. Bila residen Predigger mau mengadakan penekanan, maka Minahasa terpaksa
memutuskan ikatan persahabatan dengan Belanda, dan mengadakan perlawanan
terbuka terhadap tiap bentuk pemaksaan.
Musyawarah Pinawetengan, hasil musyawarah Minawanua, antara lain diputuskan
untuk melanjutkan musyawarah di Pinawetengan. Bagi Walak Tondano usulan ini
sangat strategis dalam upaya untuk memperkuat ikatanse-Maesa, dimana ditenggarai
masih ada sejumlah walak yang belum dilibatkan dalam musyawarah Minawanua.
Kecuali itu, disinyalir beberapa walak lainnya masih diragukan komitmennya untuk
melakukan perlawanan terhadap kompeni. Dengan kata lain, masih ada walak yang
masih bersikap kooperatif dengan Belanda. Selang beberapa hari kemudian
berangkatlah utusan-utusan walak Tondano ke Pinawetengan, bertemu dengan walak-
walak lainnya, antara lain, Kakas, Romboken, Langowan, Tompaso, Sonder, Langowan,
Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tounsawang, Tomohon, Kakaskasen, Tombariri,
Rumoong, Tombasian, dan Amurang. Sementara itu wakil dari Tonsea sulit untuk
bergabung karena begitu kerasnya tekanan dari pihak Belanda,apalagi sejumlah
pimpinan disana sudah diperalat sebagai kaki tangan Belanda, kecuali walak-walak
Likupang, Kema dan Talawaan dengan cara sembunyi-sembunyi mengutus waranei-
waraneinya untuk mengikuti musyawarah di Pinawetengan tersebut.
Jalannya musyawarah tidak berlangsung lama, karena isu-isu yang dibahas sudah
dirumuskan terlebih dahulu. Terutama mengenai pembagian tugas dalam upaya untuk
menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat benteng dan persiapan perang. Seperti
menyediakan balok-balok kayu, bambu, logistic (bahan makanan dan obat-obatan),
persenjataan, amunisi dan meriam. Sementara itu menentukan strategi organisasi
perang, siapa yang diandalkan berperan di medan tempur, siapa yang dipercaya bias
melakukan penyusupan (mata-mata). Dalam pembicaraan juga cara bagaimana
menggunakan sandi agar orang-orang Minahasa yang bergabung dengan pasukan
Belanda bias menghindar dari terjangan peluru pasukan Minahasa, sandi yang dimaksud
adalah Rumungku se Maesa. Disamping itu, para pemimpin musyawarah memanfaatkan
waktu untuk mendengar keluhan dari walak-walak lainnya yang wilayahnya dekat
dengan pos-pos keamanan Belanda, seiring mendapatkan tekanan bahkan ancaman
terror. Keluhan-keluhan ini akhirnya dimasukkan menjadi bagian dari rumusan
kesepakatan hasil musyawarah antara lain:
1.    Bahwa walak-walak yang ada disekitar benteng, terutama walak Tondano
betapapun akibatnya akan tetap meneruskan perlawanan/peperangan.
2.  Kepada walak-walak lain, oleh karena sesuatu dan hal lain tidak sanggup lagi
meneruskan perlawanan/peperangan, dihimbau untuk tetap mengirim bantuan-
bantuan mesiu, terutama bahan makanan.
3.    Khususnya kepada walak lainnya yang memgang sama sekali tidak bias
melanjutkan peperangan dan mengirim bantuan, ditekankan agar jangan sampai
menjadi kaki tangan Belanda (berhianat).
Hasil rumusan musyawarah ini diputuskan secara bulat untuk dilaksanakan secara
murni dan konsekuen, bagi yang tidak melaksanakan akan mendapat sangsi secara adat
(Tauli 1961; Wuntu 1963).

F.    Suasana Perang


Oleh karena pihak Belanda tidak bergeming menerima keputusan hasil
musyawarah tersebut, maka konsekuensinya terjadilah pertempuran atau perang modern
pertama di Indonesia dimana pihak Hindia Belanda mendapat perlawanan sengit dari
waranei-waranei dan wulan-wulan Minahasa yang mahir menggunakan senjata meriam
buatan Spanyol, meriam bambu (lantaka), senapan api, dan senjata tajam lainnya.
Berdasarkan catatan sejarah,  pihak pasukan Belanda sempat melakukan tiga kali
serangan (lihat Mangindaan 1871; Mambu 1986) dalam Wenas (2007), singkatnya
adalah sebagai berikut:
1. Serangan pertama pasukan Belanda dilakukan pada tanggal 1 September 1808,
terjadi tembak menembak barisan senapan dari kedua pihak.  
2. Serangan kedua, terjadi pada tanggal 6 Oktober, pihak Belanda berhasil merebut
negeri Tataaran (5 Km dari Benteng Moraya). Pada serangan kedua ini, pihak
Belanda mengajak berunding, dan akhirnya taktik berunding ini bermaksud untuk
menangkap Tewu, Lonto, Lumingkewas dan Mamahit.
3. Serangan ketiga,  berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1808, pasukan Belanda
mendapat perlawanan sengit dari pasukan Minahasa terutama dalam menghadapi
serangan dari arah danau (Benteng Paapal) ditangani oleh pasukan katak yang
dikenal sebagai ‘hantu-hantu danau’. Demikian juga dalam menghadapi  serangan 
dari arah Koya (Benteng Moraya), tidak jarang pasukan atau waranei-waranei
Minawanua menyerang balik sampai ke pertahanan pasukan Belanda di Koya,
bahkan sempat melukai dan membunuh beberapa perwira Belanda, termasuk
melukai kepala residen Predigger di Tataaran yang ditembak oleh pasukan berani
mati Rumapar.
Mengahadapi perlawanan dari waranei-waranei (milisi) Minawanua yang
demikian sengit itu, akhirnya pada bulan Januari 1809, serangan ketiga dilanjutkan oleh
pasukan  Belanda dari arah barat dan utara Benteng Moraya. Terjadilah pertempuran
sengit, pasukan arteleri Minahasa (meriam 9 pond buatan Spanyol) berhasil
memporakporandakan pasukan Belanda di kampung Koya.  Karena serangan ini masih
gagal, maka pada tanggal 9 April 1809 pasukan Belanda menyerang dari arah danau
dengan menggunakan perahu kora-kora yang didatangkan dari Tanawangko. Serangan
dari arah danau disambut oleh pasukan katak Minahasa yang menyerang dari bawah air.
Maka terjadilah serangan kombinasi (darat dan air) dari pasukan Belanda. Oleh karena
serangan demi serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda selalu mengalami
kegagalan, maka pada bulan Juni 1809 melalui komando Kapten Winter (veteran Perang
Napoleon), pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya diperintahkan untuk
mengatur strategi penyerangan dengan cara mengepung seluruh kawasan benteng
pertahahan pasukan Minahasa, dan memutuskan semua jalur bantuan logistik dan
senjata/amunisi yang dibutuhkan oleh waranei-waranei Walak Tondano dan Walak-
Walak dari luar Tondano. Hal ini sudah tentu mempengaruhi moral sejumlah Walak
dari luar Tondano yang kemudian mereka satu demi satu meninggalkan arena
pertempuran  kembali ke tempat asalnya masing-masing. Sebagian yang bertahan siap
mati dengan waranei-waranei Minawanua-Tondano. Dikemukakan oleh para waranei
Minawanua yang tetap bertahan menghadapi gempuran pasukan kompeni Belanda dan
antek-anteknya itu, “kami akan menyerah apabila air sungai dan danau habis”, artinya
kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Pasukan kompeni Belanda yang
sudah mengetahui kelemahan pasukan Minahasa (kelaparan, kehabisan amunisi, dan
berkurangnya personil pasukan), dengan tanpa balas kasihan, dan tanpa pandang bulu
membantai seluruh penghuni pemukiman Minawanua, termasuk hewan piaraan,
kemudian melululatahkan benteng-benteng pertahanan dan membunuh semua waranei
yang berusaha mempertahankan benteng dari musuh. Dikisahkan, bahwa hampir
seluruh permukaan air danau dan sungai teberen Tondano berwarna merah (genangan
darah dari pasukan-pasukan Minahasa yang menjadi korban perang). Sejak saat itu,
benteng yang menghadap kampung Koya di sebut ’Benteng Moraya’,  yang berarti di
mana-mana (sungai dan danau) terdapat genangan darah dan menimbulkan bau amis,
seperti permadani berwarna merah. Sedangkan benteng yang menghadap sebelah barat
danau disebut ’Benteng Papal’, yang berarti ’tiang-tiang’ yang tertanam kokoh dipasang
secara miring menghadap danau (lihat Sendoh 1985).
Kapten Winter yang memimpin penyerbuan terakhir ke Benteng Moraya, sempat
membuka topi perwiranya (tanda rasa hormatnya) di hadapan mayat-mayat pahlawan
orang Tondano yang bertahan di benteng Moraya, sambil berkata, “mereka yang korban
ini  adalah  patriot-patriot  sejati”  (lihat  laporan  Vergadering  Raad  van Politie di
Ternate tanggal 30 Desember 1808) dalam Mambu (1986). Diakui atau tidak, bahwa
keberanian Orang Minahasa melawan kompani Belanda yang dilakukan melalui perang,
seperti apa yang sudah disinggung di atas, merupakan perang modern pertama di
Indonesia, di mana pihak kompani Belanda mendapat perlawanan sengit penduduk
pribumi Minahasa dengan menggunakan senjata api (meriam dan senapan) serta senjata
tradisional (tombak, parang dan ranjau alam, yakni tumbuhan rawa yang berduri).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Puncak petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di
wilayah Walak Tondano.
2. Hak oktroi hanya boleh dimiliki oleh kompeni tidak boelh ada pemasokan beras ke
negara lain kecuali hanya untuk kompeni saja sehingga kebutuhan logistik dianggap
penting karena beras menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi pulang
Maluku-Eropa Barat.
3. Asal mula Minahasa mereka menemukan nama tersebut pada saat mereka mencari
makanan sehingga Malesung/nama tua disebut sebagai Minahasa. Perlawan para
walak Minahasa terjadi sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1661-1664, 1681-
1682, 1707-1711, dan 1807-1809.
DAFTAR PUSTAKA

Kusen, Albert W.S. 2007.    Makna Minawanua: Refleksi Atas Perjuangan Orang Minahasa-
Tondano. Dipresentasi dalam Forum Seminar ’Kembalikan Minawanua’ ku, di
Tondano, 23 Desember.

------------2009. Antropologi Minahasa: Identitas dan Revitalisasi. Waraney Connections.


Buku Teks 375 hlm (belum diterbitkan).

Mambu, Edy, 1986.   Jalannya Perang Tondano. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minahasa.

Sendoh, Joutje, 1985.  Perang Minahasa di Tondano. Dipresentasi daslam Lokakarya ’Perang
Tondano’, di Tondano, 22 Deswember 1986.

Supit, Bert, 1991.  Sejarah Perang Tondano (Perang Minahasa di Tondano). Jakarta:
Yayasan Lembaga Penelitian Sejarah dan Masyarakat.

---------------2007.  Pengantar Diskusi ‘Strategi Budaya Orang Minahasa Demi


Pakalawiren dan Pakatuan’.
Taulu, H.M.1961.   Perang Tondano. Minahasa.

Umboh, Sam A.H.1985.   Perang Tondano. Skripsi Jur. Sejarah Fakultas Sastra Unsrat.

Watuseke, Frans.S. 1968.  Sedjarah Minahasa. Manado: Yayasan Minahasa Watuseke-


Politon.

Weichhart, Gabriele, 2004.  Identitas Minahasa: Sebuah Praktek Kuliner. Dalam Jurnal
Antropologi Indonesia.

Wenas, Jessy, 2007 Sejarah & Kebudayaan Minahasa. Jakarta: Institut Seni Budaya Sulawesi
Utara.

Wuntu, Giroth, 1962   Perang Tondano. Jakarta.  

Anda mungkin juga menyukai