Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang...................................................................................................................... 3
RumusanMasalah................................................................................................................. 3
TujuanMasalah............................................................................................................…….. 3

BAB II PEMBAHASAN

Mengapa Disebut Perang Tondano................................................................................…. 4


Mengetahui Posisi Minahasa Sebelum Perang Tahun 1808-1809..........................……… 5
Faktor Ekonomi Di Minahasa............................................................................................. 6
Rentang Waktu Perang Tondano........................................................................................ 7
Terjadinya Perang Tondano................................................................................................ 8
Suasana Saat Perang Di Minahasa........................................................................……….. 13
BAB III PENUTUP

Kesimpulan......................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan
kompeni Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa
khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan
kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh
beberapa Tona’as antara lain Monomimbar dan Rakian dari Tondano dan Tona’as Umboh dari
Tomohon, serta adanya pemerkosaan terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini
membuktikan kesan bahwa semua orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias
kejam. Demikian juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila Kepala
Walak Tondano dan Ukung Sumondak Kepala Walak Tampomas. Salah satu penyebab
terjadinya perang Tondano keempat (terakhir) adalah bahwa Minahasa tidak mau
menyiapkan/menyediakan tentara untuk kepentingan militer Hindia Belanda. Selain itu penyebab
yang lain dikarenakan masalah “rekrutering” atau ketentuan menjadi serdadu bagi para pemuda
Minahasa untuk dikirim ke Jawa guna menghadapi perjuangan tentara dari Inggris. Selain
permasalahan tersebut maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari
suku-suku pemberani dalam peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan suku Dayak.
Bila yang datang melaporkan secara suka rela tidak segenap hati/memadai, pemaksaan
dilakukan. Suatu tindakan yang telah mengakibatkan pecahnya pemberontakan rakyat di
Manado/Minahasa. Pada tahun 1928 Prediger dengan pembawaannya yang lemah lembut
menghindari bentrokan dengan penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas pendaftaran
yang tidak bijaksana dan terciptannya cerita yang tidak mengenai tujuan perekrutan. Ditambah
dengan hutang lama yang disebabkan penerimaan sandang dengan uang muka, hubungan baik
dengan pemerintah Hindia Belanda menjadi rusak sekali.
Jika dilihat secara kritis makna terjadinya perang Tondano sesungguhnya bukan alasan
rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan kolonial tersebut.
Akan tetapi masalahnya terletak pada pelanggaran-pelanggaran kolonial Belanda terhadap
ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10 Januari 1679. Hal ini menunjukan
bahwa secara antropologis orang Minahasa sudah sejak tempo dulu tetap konsisten
mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap kebenaran dan keadilan) yang tidak
mengenai kompromi dengan pelanggaran adat, siapapun pihak yang melakukan pelanggaran adat
yang dimaksud (sei’reen). Bagi orang Minahasa Verbond sudah menjadi bagian dari adat
Minahasa yang menjamin kelanjutan hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh para
pemimpin Minahasa merupakan pengingkaran suatu penghinaan yang fanatisme terhadap
kebenaran dan keadilan. Apalagi mereduksi nilai-nilai kepemimpinan sosial orang Minahasa,
dimana posisi kepala walak dikondisikan sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag
10 September 1699/amandemen pasal 9), sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua
kebijakan kompeni Belanda. Padahal dalam konteks status peranan, menjadi kepala walak,
bukanlah jabatan yang diberikan atas dasar turunan (ascribed) tetapi menjadi kepala walak
diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat atas dasar kinerja (achieved).
B. Rumusan Masalah:
1. Mengapa Disebut Perang Tondano?
2. Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809?
3. Bagaimana Latarbelakang Ekonomi Di Minahasa?
4. Bagaimana Rentang Waktu Perang Tondano?
5. Bagaimana Terjadinya Perang?
6. Bagaimana Suasana Perang Di Minahasa?

C. Tujuan Masalah:
1. Mengetahui Perang Tondano
2. Mengetahui Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809
3. Mengetahui Latarbelakang Ekonomi Di Minahasa
4. Mengetahui Rentang Waktu Perang Tondano
5. Mengetahui Terjadinya Perang
6. Mengetahui Suasana Perang Di Minahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perang Tondano
Persepsi dikalangan tertentu orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-akan pelaku-
pelaku yang terlibat dalam peristiwa besar Perang Tondano hanya orang Tondano yang
bermukim di Minawanua. Padahal pemakaian istilah Perang Tondano bukan berarti yang terlibat
dalam perang hanya Walak Tondano, akan tetapi hampir seluruh Walak di Minahasa telah
berperan serta menunjukan solidaritasnya sebagai Tou-Minahasa yang berjuang bersama Walak
Tondano melawan Kompeni Belanda. Perang Tondano sendiri adalah perang patriotik yang besar
dari rakyat Maesa (Minahasa pada umumnya) melawan penjajah Belanda, yang telah
berlangsung secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan
pertama telah dimulai pada 1 juni 1661, dan berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14
Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.
Para pemimpin Perang Tondano selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas,
Matulandi (semuannya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi Kepala
Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai organisator dan
atau otak dari perlawanan melawan Kompeni Belanda, selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala
Walak Tomohon yang dicari oleh pihak Kompeni Belanda untuk ditangkap. Tewu ditangkap
menemani Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal
menjadi penghuni penjara di Benteng Fort Amsterdam. Mereka ditangkap karena keduannya
dengan tegas menentang usaha dari Residen Schierstein yang hendak mengubah substansi
perjanjian/Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui Jacob Claesz kepada David Van
Peterson yang dinyatakan bahwa orang Minahasa bukan merupakan taklukan/bawahan tetapi
yang berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni Belanda.
Dengan demikian perlulah diungkap disini bahwa Perang Tondano secara historis telah
berlangsung sejak tahun 1661 dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809, yang didasarkan
atas:
1. Puncak petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah Walak
Tondano.
2. Berdasarkan peristiwa diatas yang diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan istilah yang
telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (Supit 1991).

B. Posisi Minahasa Sebelum Perang Di Tahun 1808-1809


Minahasa sebelumnya memiliki dasar kontrak kerja sama dengan VOC dalam apa yang
disebut kontrak Persekutuan Atau Persahabatan atau lebih dikenal dengan Verbond 10 Januari
1679, dengan 10 pasal perjanjian dimana bertuliskan: Perjanjian dan persekutuan yang diadakan
oleh yang terhormat Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge atas nama tuan besar Gubernur
Jenderal Rijckloff Van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili Kompeni Hindia Timur di
Oktroij DAN negara persekutuan Belanda pada satu pihak dan kepala-kepala Walak seluruh
Haminte dalam wilayah Manado atau ujung paling utara Pulau Sulawesi pada pihak lain.
Tetapi dari pihak Minahasa atas Belanda sangat dapat dilihat lebih banyak harusnya
dipenuhi termasuk VOC sebagai yang dipertuan, sebaliknya dari pihak Belanda hanyalah
perlindungan dari serangan luar ke dalam Minahasa oleh suku-suku lainnya, dimana akhirnya
implementasi dari kebijakan ini tidaklah berjalan mulus sehingga menimbulkan ketimpangan
kerja sama Minahasa-Belanda. Dalam hal ini VOC baik secara regional, ekonomi dan
persekutuan. dan akhirnya dalam mengatasi hal tersebut 20 tahun kemudian tepatnya pada 10
september 1699 bertuliskan mengapa mereka bersekutu, serta menyatakan bahwa sahabat
Kompeni adalah sahabat rakyat dan demikian dengan sekutu kompeni lain-lain, di darat dan
dilaut, bantu-membantu dan lindung melindungi bila dituntut sampai mati sekalipun.
Jadi jelaslah bahwa Minahasa-Belanda telah mengeluarkan sebuah perjanjian persekutuan
yang dapat dikatakan telah menimbang asas-asas kesetaraan dalam persahabatan dan hal
kontrak-kontrak berikutnya tetap diadakan dan ditandatangani oleh Walak-Walak Minahasa
sebagai representative atau perwakilan sebuah wilayah teritori yang berdaulat yang diakui oleh
belanda juga sampai pada kontrak Minahasa-Kerajaan Inggris Pada 14 September 1810. antara
tahun 1699 sampai pecah perang di Minahasa lebih khusus pada perlawanan Waraney-Waraney
atau Ksatria-Ksatria Minahasa di Tondano pada 1808, ada jarak sekitar 109 tahun atau dapat
diperkirakan 100 tahun setelah Perjanjian atau Kontrak Verdragg 10 september 1699 baru
muncul friksi-friksi yang tajam dimana kesimpulan utamannya terletak pada masalah ekonomi.
tetapi sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan Belanda itu sendiri.

C. Latar belakang Ekonomi Di Minahasa


Sumber makanan/logistik di Minahasa merupakan alasan untuk menjadikan sebagai
daerah koloni. Dikemukakan oleh Prof Adolf Sinolungan bahwa kaitannya antara sumber
makanan beras dengan upaya Hindia Belanda Timur di Batavia dengan Gubernur Maluku yang
seenaknya memasukkan Minahasa dalam Karisidenan Manado. Pada abad 16 perusahaan-
perusahaan dagang Eropa Barat bersaing merebut perdagangan rempah-rempah di Maluku,
diikuti oleh Portugis, Spanyol kemudian Inggris (EIC) VOC. Mereka datang dengan
Armada Dagang Pelayaran panjang dan lama, konsekuensi logis makanan atau kebutuhan
logistik dianggap penting. Dalam upaya mencari makanan, mereka menemukan Malesung/nama
tua Minahasa dimana pelabuhan Manado sebagai pusat perdagangan beras. waktu itu benar-
benar beras menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi pulang Maluku-Eropa Barat.
Perdagangan beras abad 17 bukan perdagangan antar sub wilayah yang hanya dikuasai
Belanda, tetapi antara Armada Dagang Portugis dan Spanyol, kemudian antara VOC/Belanda
dengan EIC Inggris. VOC/dengan hak oktroi dipandang sebagai upaya pemerintahan Kerajaan
Belanda yang ingin mengganti peran Spanyol yang kalah perang dengan pasukan Minahasa
sehingga terusir dari Minahasa dalam Perang Tasikela 1643-1644. Semua langsung tak langsung
terkait dengan persaingan barter beras dengan Malesung.
Beras amat diperlukan Armada Dagang dan juga prajurit-prajurit mereka di benteng-
benteng lokal. Sebab itu voc membujuk ukung-ukung merdeka di Malesung untuk membuat
persekutuan dan persahabatan dengan Verbond 10 Januari 1679. Untuk memantapkan
perdagangan/barter beras, VOC meminta tanah untuk loji dan kantor dagang yang kemudian
dijadikan Benteng Fort Amsterdam di Manado. Lama-kelamaan muncul keinginan untuk
memonopoli perdagangan beras dikawasan Minahasa, dibuatlah suatu kebijakan sepihak yakni
berusaha memutar balikan makna perjanjian Atau Verbond 10 Januari 1679 dengan Verdrag 10
September 1699 Menjadikan Malesung terjajah. Upaya ini berlanjut sampai upaya sepihak VOC
membuat Verdrag 5 Agustus 1790 yang menetapkan Minahasa dalam status terjajah hanya
mempertuan VOC/penjajah.
Terjadilah perubahan di Eropa dimana Perancis jaman Napoleon menjajah Belanda,
waktu itu Perancis sedang bermusuhan dengan Inggris. GG Daendels perlu 22.000 pemuda untuk
mempertahankan Pulau Jawa (Jl.Anyer-Penarukan) dan minta 2000 pemuda dari Walak-Walak
merdeka di Minahasa, berdasarkan asumsi Minahasa sejak Malesung dengan Verdrag 1699, dan
Verdrag 1790 adalah jajahan VOC/dengan hak oktroi jajahan Belanda Verdrag yang erat
kaitannya dengan barter beras, meniadakan Verbond 10 Januari 1679. Upaya merekrut pemuda
Minahasa sesuai perintah diktator Deandels juga hendak dipaksa Residen Manado C.Ch
Predigger yang membangkitkan perlawanan Suku Tondano didukung Walak-Walak merdeka di
Minahasa yang menyebabkan perlawanan rakyat Minahasa di Tondano yang dikenal sebagai
Perang Tondano. Tentang Tanah Minahasa yang subur disadari Belanda setelah lepas dari
penguasaan Kaisar Perancis atas negerinya, yang juga kerap teralami setelah perang
kemerdekaan abad 19 di Nusantara yang dimulai di Tondano dalam puncak Perang Tondano
pada 1808-1809.
Kas Belanda kosong, lalu mencari sumber memperbaiki perekonomiannya di tanah
jajahannya. waktu itu species, seperti cengkih tak populer lagi seperti abad pertengahan pasca
Perang Salib. Komoditi Kopi Dicari Dan Amat Laku Di Pasar Global. Ternyata di Remboken
kopi tumbuh bagus dan buahnya bermutu. Ini menunjukkan tanah Minahasa subur, karena
memang top soilnya endapan vulkanis kaya mineral, cocok dengan tanaman kopi. aroma mutu
dan rasa kopi Minahasa bagus. Maka kopi ditanam massal hampir diseluruh Minahasa sampai
Bolmong. Pemerintahan Belanda memonopoli dan menopsoni perdagangan komoditi kopi
sehingga memperoleh keuntungan amat besar yang bisa mengatasi masalah perekonomiannya.
Setelah komoditi kopi dari Minahasa adalah kopra, kmd cengkih (cloves) dan di beberapa tempat
terutama di Siauw Palia (Nutmeng).
Jadi kesimpulannya bahwa kedatangan Belanda ke Minahasa yang menyebabkan Perang
Tondano bukan dalam rangka ingin menguasai perdagangan beras karena beras tidak laku di
Eropa, ada benarnya tetapi beras sangat diperlukan untuk kepentingan Armada Dagang
Perdagangan Eropa Barat sehingga praktis jadi komoditi ekspor jaman Malesung.

D. Rentang Waktu Perang Tondano


Kedatangan Belanda di Minahasa pada mulanya disambut gembira oleh penduduk,
karena mengharapkan bantuan dalam menghadapi peperangan dengan Spanyol dan ancaman
gangguan keamanan perampok-perampok dari Minandanao Filipina. Dikisahkan bahwa dalam
negoisasi perjanjian keamanan tanpa adanya negosiasi perjanjian keamanan tanpa adanya suatu
ikatan apapun. Akan tetapi, alasannya yang sesungguhnya kedatangan Belanda di Minahasa
adalah untuk kepentingan kekuasaan dalam memperoleh monopoli perdagangan dan usaha untuk
menjalankan pemerintah/penjajahan.
Sebagai indikasi alasan monopoli dan kekuasaan pemerintah yang dimaksud diatas,
bahwa pada tahun 1657 Belanda mendirikan benteng di Pelabuhan Wenang/Manado yang diberi
nama Nederlandsche Vasticheijt atau dikenal dengan nama Fort-Amsterdam (Molsbergen 1929)
dalam Umboh (1985). Benteng ini dijadikan pusat pemerintahan pertahanan dan perdagangan
Belanda di Minahasa. Dikatakan bahwa sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai menguasai
perdagangan di Minahasa dan mengharuskan penjualan beras kepada pedagang-pedagang
Belanda, seperti apa yang telah disinggung diatas, cara pemaksaan ini sama sekali tidak
disenangi oleh Walak Tondano, sehingga menimbulkan kebencian mereka terhadap Belanda.
Implikasinya sejak saat itu lahirlah kebencian orang Minahasa, khususnya Orang
Tondano terhadap Belanda. Kebencian ini tidak hanya sampai pada tingkat sikap, akan tetapi
dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan senjata alias perang yang dimulai sejak tahun 1661
sampai tahun 1809. Dikemukakan bahwa perang berlangsung selama empat kali.

E. Jalannya Perang
1. Perang pertama (1661-1664)
Perang Tondano pertama terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan kisah heroic
yang dilakukan oleh rakyat yang bermukim di sekitar Danau Tondano, tepatnya disebelah selatan
kota Tondano sekarang ini yang dahulu disebut Minawanua, melawan pasukan Kolonial
Belanda. Boleh dikatakan perang pertama ini merupakan perang yang luar biasa. Sebab dilihat
dari segi militer oleh pihak Belanda ternyata lawan mereka yang tergolong sebagai rakyat
biasa/primitive yang berumah di atas air dapat menyiapkan infrastruktur perang yang demikian
lengkapnya.
Kurang lebih seribu empat ratus laskar (termasuk kaum perempuannya) terlibat dalam
pertempuran. Ratusan perahu disiapkan untuk melayani medan perang yang berkecemuka di atas
air dan rawa. Perahu-perahu tempur ini telah dibuat sedemikian rupa, sehingga dengan
ditumpangi empat sampai lima orang dengan peralatan perangnya, dapat bergerak di atas air
maupun di atas rumput-rumput rawa dengan cepat dan gesit. Lamanya pertempuran berlangsung
selama beberapa bulan dan telah menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak. Beberapa
pahlawan yang terlibat langsung dalam perang Tondano pertama selain berasal dari Tondano
seperti, Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi. Juga turut serta
pahlawan dari Remboken, seperti Kentel, Tellew, Tarumetor, dan Wangko dari Kakas. Pada
suatu ketika ekspedisi Simon Cos dengan bantuan sementara pemimpin rakyat Maesa yang telah
menyeleweng, telah dapat mendesak untuk menghentikan peperangan ini
2. Perang Kedua (1681-1682)
Singkatnya latar belakang terjadinya perang kedua ini, ada hubungannya dengan perlakuan
semena-mena Belanda demi kepentingannya sendiri atas makna Perjanjian 10 Januari 1679 yang
disebut oleh N.Graaland (1898) dalam Umboh (1985) sebagai kunci kontrak besar persekutuan
persahabatan antara Minahasa dan Belanda yang ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari
pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat
(Paat), Soepit (Supit) dan Pedro Rantij (Ranti).
Disebut Perang Tondano oleh karena Walak Tondano dalam menghadapi kehadiran kaum
colonial Belanda, cenderung menunjukan sikap antipasti maupun ketidakpatuhan atas eksistensi
kompeni Belanda, maka konsekuensinya kawasan pemukiman Walak Tondano tepatnya di
Minawanua dijadikan sasaran penyerbuan pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompeni
Belanda kawasan Minawanua yang disebut oleh Boven Tondano (tempat tinggal orang
Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).
3. Perang tondano ketiga (1707-1711)
Seperti halnya yang terjadi pada perang pertama di atas, yakni perlakuan semena-mena
penjajah Belanda terhadap seluruh Walak di Minahasa pada umumnya, dan khususnya Walak
Tondano yang tidak tahan atas penderitaan yang berat akibat kekejaman bangsa Belanda
tersebut. Terutama mengenai Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya
terhadap walak-walak Minahasa. Sebab isi perjanjian tersebut bukan untuk meringankan beban
penduduk, akan tetapi bertujuan untuk mengikat para kepala walak agar tunduk kepada
kekuasaan Belanda (Wuntu 1963 dan Umboh 1985). Hal-hal inilah yang mendorong orang-orang
Tondano bersatu untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda, dengan semboyan: “lebih
baik menghadapi perampok-perampok Mindanao daripada dikunjungi Belanda dan antek-
anteknya yang harus dengan terpaksa menyerahkan hasil pertanian (padi) kepada mereka”.
Berbeda dengan perang pertama dan kedua yang terjadi secara frontal, sedangkan pada perang
ketiga ini berlangsung dengan menggunakan taktik gerilyanya.
4. Perang Tondano Keempat (1807-1809)
Singkatnya perang terakhir ini terjadi, berawal dari aksi melarang utusan Hindia Belanda dari
aksi melarang utusan Hindia Belanda masuk ke wilayah Tondano karena dianggap oleh para
Tona’as/pemimpin-pemimpin sekitar Danau Tondano bahwa Residen G.F.Durr telah mengubah
janji kosong terhadap rakyat Minahasa. Pada umumnya dan khususnya orang Tondano
(Perjanjian 10 Januari 1679).
Musyawarah Minawanua menganggap hasil musyawarah di Airmadidi berhimpun para
pimpinan Minahasa (kepala walak) yang dilaksanakan di Minawanua, dalam suatu forum
masyarakat yang disebut musyawarah Minawanua. Jalanya musyawarah, sempat terjadi
perbedaan pendapat dan pendirian dalam walak Tondano (Toulimambot-Toliang). Sehingga
suasana pembukaan musyawarah terjadi ketegangan, seperti diketahui bahwa kepala walak
Korengkeng dan beberapa ukung Taulimambot dan Touliang telah menyatakan bahwa mereka
tidak mau hadir dalam musyawarah. Apa alas an sehingga ukung Korengkeng tidak mau hadir?
Sangat disayangkan tidak dijelaskan oleh Supit (1991). Karena itu, pada tingkat wacana ada 2
asumsi yang dapat diajukan yaitu:
1. Adanya kesalingcurigaan satu dengan yang lain, dimana gejalanya sudah muncul pada waktu
musyawarah di Airmadidi. Lonto dicurigai oleh Korengkeng pro-Belanda karena pada waktu
musyawarah di Airmadidi seakan-akan Lonto menyetujui kemauan residen Predigger untuk
mengganti Verbond 10 Januari 1679.
2. Ketidakmunculan Korengkeng dalam pembukaan musyawarah, disengaja dilakukan (strategis)
untuk mengelabui utusan dari pihak Belanda (Ukung Maramis) yang ditugaskan oleh residen
Predigger untuk mengamati peranan kepala walak Toulimambot, Korengkeng, dan kepala
Touling Sarapung dalam melaksanakan musyawarah sekaligus mengamati solidaritas para walak
dalam menyikapi hasil musyawarah di Airmadidi.

Sementara ukung Sarapung, tanpa suatu pernyataan tidak pula kelihatan pada hari
pembukaan, sehingga dikira Ukung senior Sarapung bermaksud memboikot jalanya
musyawarah. Ternyata setelah diketahui Ukung Sarapung berhalangan hadir karena disamping
usiannya yang sudah lanjut, jugab mengalami gangguan kesehatan. Akhirnya musyawarah dapat
dikendalikan oleh Ukung Tewu selain sebagai Teterusan (Panglima Perang) yang menguasai
lahan pertanian yang sangat luas (Tana’I Tewu), Matulandi (saudara dari Ukung Sarapung) dan
Lumingkewas (ketiganya sari Minawanua- Tondano), serta Lonto (Kepala Walak Tomohon), dan
Mamait (Kepala Walak Remboken). Para pemimpin Minahasa yang hadir dalam musyawarah
antara lain, dari Tondano-Toliang, yakni Tewu (pemilik Benteng Moraya), Sarapung,
Walintukan, Korengkeng, Rumapar, Wuisan, Lumingkewas, Sepang, Dari Kakas terdiri dari L.
Supit, dan Kalalo , dari Remboken terdiri atas Mamaitdan Tendean, sedangkan dari Tonsea
diwakili oleh Pangemanan, Lengkong dan Ombu yang memihak Tondano, sedangkan mewakili
Tombulu adalah Lonto. Dan juga mendapat dukungan dari beberapa kepala walak Minahasa
lainnya seperti, Pantouw dari Saroinsong, Koyongin dari Pasan, Walewangko dari Sonder, Tuyu
dari Kewangkoan, Sondakh dari Tompaso, Iroth dari Langowan, Runtuwene dari Tombasian,
Tumbelaka dari Rumoong, Watak dari Ratahan, Rugian dari Tonsawang dan Mokolensang dari
Ponosakan.
Dengan berlandaskan semangat Mapalus (tolong menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari
(turunan Toar-Lumimu’ut), akhir musyawarah mengahasilkan keputusan, menyatakan tekad
bahwa apabila pihak kompeni tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari
1679, dan pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir
dalam musyawarah memutuskan hubungan dan melawan Kompeni Belanda yang berbentuk
perlawanan sebagai berikut:
1. Penghentian pemasokan dan perdagangan beras,
2. Tidak membayar hutang sandang,
3. Tidak mengizinkan seorang pemuda pun untuk menjadi serdadu kompeni,
4. Tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa,
5. Bila residen Predigger mau mengadakan penekanan, maka Minahasa terpaksa memutuskan
ikatan persahabatan dengan Belanda, dan mengadakan perlawanan terbuka terhadap tiap bentuk
pemaksaan.
Musyawarah Pinawetengan, hasil musyawarah Minawanua, antara lain diputuskan untuk
melanjutkan musyawarah di Pinawetengan. Bagi Walak Tondano usulan ini sangat strategis
dalam upaya untuk memperkuat ikatanse-Maesa, dimana ditenggarai masih ada sejumlah walak
yang belum dilibatkan dalam musyawarah Minawanua. Kecuali itu, disinyalir beberapa walak
lainnya masih diragukan komitmennya untuk melakukan perlawanan terhadap kompeni. Dengan
kata lain, masih ada walak yang masih bersikap kooperatif dengan Belanda. Selang beberapa hari
kemudian berangkatlah utusan-utusan walak Tondano ke Pinawetengan, bertemu dengan walak-
walak lainnya, antara lain, Kakas, Romboken, Langowan, Tompaso, Sonder, Langowan, Pasan,
Ratahan, Ponosakan, Tounsawang, Tomohon, Kakaskasen, Tombariri, Rumoong, Tombasian,
dan Amurang. Sementara itu wakil dari Tonsea sulit untuk bergabung karena begitu kerasnya
tekanan dari pihak Belanda,apalagi sejumlah pimpinan disana sudah diperalat sebagai kaki
tangan Belanda, kecuali walak-walak Likupang, Kema dan Talawaan dengan cara sembunyi-
sembunyi mengutus waranei-waraneinya untuk mengikuti musyawarah di Pinawetengan
tersebut.
Jalannya musyawarah tidak berlangsung lama, karena isu-isu yang dibahas sudah
dirumuskan terlebih dahulu. Terutama mengenai pembagian tugas dalam upaya untuk
menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat benteng dan persiapan perang. Seperti
menyediakan balok-balok kayu, bambu, logistic (bahan makanan dan obat-obatan), persenjataan,
amunisi dan meriam. Sementara itu menentukan strategi organisasi perang, siapa yang
diandalkan berperan di medan tempur, siapa yang dipercaya bias melakukan penyusupan (mata-
mata). Dalam pembicaraan juga cara bagaimana menggunakan sandi agar orang-orang Minahasa
yang bergabung dengan pasukan Belanda bias menghindar dari terjangan peluru pasukan
Minahasa, sandi yang dimaksud adalah Rumungku se Maesa. Disamping itu, para pemimpin
musyawarah memanfaatkan waktu untuk mendengar keluhan dari walak-walak lainnya yang
wilayahnya dekat dengan pos-pos keamanan Belanda, seiring mendapatkan tekanan bahkan
ancaman terror. Keluhan-keluhan ini akhirnya dimasukkan menjadi bagian dari rumusan
kesepakatan hasil musyawarah antara lain:
1. Bahwa walak-walak yang ada disekitar benteng, terutama walak Tondano betapapun akibatnya
akan tetap meneruskan perlawanan/peperangan.
2. Kepada walak-walak lain, oleh karena sesuatu dan hal lain tidak sanggup lagi meneruskan
perlawanan/peperangan, dihimbau untuk tetap mengirim bantuan-bantuan mesiu, terutama bahan
makanan.
3. Khususnya kepada walak lainnya yang memgang sama sekali tidak bias melanjutkan peperangan
dan mengirim bantuan, ditekankan agar jangan sampai menjadi kaki tangan Belanda (berhianat).
Hasil rumusan musyawarah ini diputuskan secara bulat untuk dilaksanakan secara murni dan
konsekuen, bagi yang tidak melaksanakan akan mendapat sangsi secara adat (Tauli 1961; Wuntu
1963).
F. Suasana Perang
Oleh karena pihak Belanda tidak bergeming menerima keputusan hasil musyawarah tersebut,
maka konsekuensinya terjadilah pertempuran atau perang modern pertama di Indonesia dimana
pihak Hindia Belanda mendapat perlawanan sengit dari waranei-waranei dan wulan-wulan
Minahasa yang mahir menggunakan senjata meriam buatan Spanyol, meriam bambu (lantaka),
senapan api, dan senjata tajam lainnya. Berdasarkan catatan sejarah, pihak pasukan Belanda
sempat melakukan tiga kali serangan (lihat Mangindaan 1871; Mambu 1986) dalam Wenas
(2007), singkatnya adalah sebagai berikut:
1. Serangan pertama pasukan Belanda dilakukan pada tanggal 1 September 1808, terjadi tembak
menembak barisan senapan dari kedua pihak.
2. Serangan kedua, terjadi pada tanggal 6 Oktober, pihak Belanda berhasil merebut negeri Tataaran
(5 Km dari Benteng Moraya). Pada serangan kedua ini, pihak Belanda mengajak berunding, dan
akhirnya taktik berunding ini bermaksud untuk menangkap Tewu, Lonto, Lumingkewas dan
Mamahit.
3. Serangan ketiga, berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1808, pasukan Belanda mendapat
perlawanan sengit dari pasukan Minahasa terutama dalam menghadapi serangan dari arah danau
(Benteng Paapal) ditangani oleh pasukan katak yang dikenal sebagai ‘hantu-hantu danau’.
Demikian juga dalam menghadapi serangan dari arah Koya (Benteng Moraya), tidak jarang
pasukan atau waranei-waranei Minawanua menyerang balik sampai ke pertahanan pasukan
Belanda di Koya, bahkan sempat melukai dan membunuh beberapa perwira Belanda, termasuk
melukai kepala residen Predigger di Tataaran yang ditembak oleh pasukan berani mati Rumapar.
Mengahadapi perlawanan dari waranei-waranei (milisi) Minawanua yang demikian sengit
itu, akhirnya pada bulan Januari 1809, serangan ketiga dilanjutkan oleh pasukan Belanda dari
arah barat dan utara Benteng Moraya. Terjadilah pertempuran sengit, pasukan arteleri Minahasa
(meriam 9 pond buatan Spanyol) berhasil memporakporandakan pasukan Belanda di kampung
Koya. Karena serangan ini masih gagal, maka pada tanggal 9 April 1809 pasukan Belanda
menyerang dari arah danau dengan menggunakan perahu kora-kora yang didatangkan dari
Tanawangko. Serangan dari arah danau disambut oleh pasukan katak Minahasa yang menyerang
dari bawah air. Maka terjadilah serangan kombinasi (darat dan air) dari pasukan Belanda. Oleh
karena serangan demi serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda selalu mengalami
kegagalan, maka pada bulan Juni 1809 melalui komando Kapten Winter (veteran Perang
Napoleon), pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya diperintahkan untuk mengatur strategi
penyerangan dengan cara mengepung seluruh kawasan benteng pertahahan pasukan Minahasa,
dan memutuskan semua jalur bantuan logistik dan senjata/amunisi yang dibutuhkan oleh
waranei-waranei Walak Tondano dan Walak-Walak dari luar Tondano. Hal ini sudah tentu
mempengaruhi moral sejumlah Walak dari luar Tondano yang kemudian mereka satu demi satu
meninggalkan arena pertempuran kembali ke tempat asalnya masing-masing. Sebagian yang
bertahan siap mati dengan waranei-waranei Minawanua-Tondano. Dikemukakan oleh para
waranei Minawanua yang tetap bertahan menghadapi gempuran pasukan kompeni Belanda dan
antek-anteknya itu, “kami akan menyerah apabila air sungai dan danau habis”, artinya kami akan
bertempur sampai titik darah penghabisan. Pasukan kompeni Belanda yang sudah mengetahui
kelemahan pasukan Minahasa (kelaparan, kehabisan amunisi, dan berkurangnya personil
pasukan), dengan tanpa balas kasihan, dan tanpa pandang bulu membantai seluruh penghuni
pemukiman Minawanua, termasuk hewan piaraan, kemudian melululatahkan benteng-benteng
pertahanan dan membunuh semua waranei yang berusaha mempertahankan benteng dari musuh.
Dikisahkan, bahwa hampir seluruh permukaan air danau dan sungai teberen Tondano berwarna
merah (genangan darah dari pasukan-pasukan Minahasa yang menjadi korban perang). Sejak saat
itu, benteng yang menghadap kampung Koya di sebut ’Benteng Moraya’, yang berarti di mana-
mana (sungai dan danau) terdapat genangan darah dan menimbulkan bau amis, seperti permadani
berwarna merah. Sedangkan benteng yang menghadap sebelah barat danau disebut ’Benteng
Papal’, yang berarti ’tiang-tiang’ yang tertanam kokoh dipasang secara miring menghadap danau
(lihat Sendoh 1985).
Kapten Winter yang memimpin penyerbuan terakhir ke Benteng Moraya, sempat
membuka topi perwiranya (tanda rasa hormatnya) di hadapan mayat-mayat pahlawan orang
Tondano yang bertahan di benteng Moraya, sambil berkata, “mereka yang korban
ini adalah patriot-patriot sejati” (lihat laporan Vergadering Raad van Politie di Ternate
tanggal 30 Desember 1808) dalam Mambu (1986). Diakui atau tidak, bahwa keberanian Orang
Minahasa melawan kompani Belanda yang dilakukan melalui perang, seperti apa yang sudah
disinggung di atas, merupakan perang modern pertama di Indonesia, di mana pihak kompani
Belanda mendapat perlawanan sengit penduduk pribumi Minahasa dengan menggunakan senjata
api (meriam dan senapan) serta senjata tradisional (tombak, parang dan ranjau alam, yakni
tumbuhan rawa yang berduri).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Puncak petualangan Kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah Walak
Tondano.
2. Hak oktroi hanya boleh dimiliki oleh kompeni tidak boelh ada pemasokan beras ke negara lain
kecuali hanya untuk kompeni saja sehingga kebutuhan logistik dianggap penting karena beras
menjadi komoditi pelayaran Armada Dagang pergi pulang Maluku-Eropa Barat.
3. Asal mula Minahasa mereka menemukan nama tersebut pada saat mereka mencari makanan
sehingga Malesung/nama tua disebut sebagai Minahasa. Perlawan para walak Minahasa terjadi
sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1661-1664, 1681-1682, 1707-1711, dan 1807-1809.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi
1. Kusen, Albert W.S. 2007. Makna Minawanua: Refleksi Atas Perjuangan Orang
Minahasa-Tondano. Dipresentasi dalam Forum Seminar ’Kembalikan Minawanua’ ku, di
Tondano, 23 Desember.
2. ------------2009. Antropologi Minahasa: Identitas dan Revitalisasi. Waraney
Connections. Buku Teks 375 hlm (belum diterbitkan).
3. Mambu, Edy, 1986. Jalannya Perang Tondano. Jakarta: Yayasan Kebudayaan
Minahasa.
4. Sendoh, Joutje, 1985. Perang Minahasa di Tondano. Dipresentasi daslam
Lokakarya ’Perang Tondano’, di Tondano, 22 Deswember 1986.
5. Supit, Bert, 1991. Sejarah Perang Tondano (Perang Minahasa di Tondano).
Jakarta: Yayasan Lembaga Penelitian Sejarah dan Masyarakat.
6. ---------------2007. Pengantar Diskusi ‘Strategi Budaya Orang Minahasa Demi
7. Pakalawiren dan Pakatuan’.
8. Taulu, H.M.1961. Perang Tondano. Minahasa.
9. Umboh, Sam A.H.1985. Perang Tondano. Skripsi Jur. Sejarah Fakultas Sastra
Unsrat.
10. Watuseke, Frans.S. 1968. Sedjarah Minahasa. Manado: Yayasan Minahasa
Watuseke-Politon.
11. Weichhart, Gabriele, 2004. Identitas Minahasa: Sebuah Praktek Kuliner. Dalam
Jurnal Antropologi Indonesia.
12. Wenas, Jessy, 2007 Sejarah & Kebudayaan Minahasa. Jakarta: Institut Seni
Budaya Sulawesi Utara.
13. Wuntu, Giroth, 1962 Perang Tondano. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai