Anda di halaman 1dari 3

a.

Perang Tondano I
Perang Tondano I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa barat orang-orang
Spanyol sudah sampai di Tondano (Minahasa, Sulawesi Utara). Orang Spanyol di samping berdagang
juga menyebarkan agama Kristen dengan tokohnya Franciscus Xaverius. Ubngan mengalami
perkembangan tatapi pada abad ke-17 hubungan dagang mereka terganggu dengan munculnya VOC.
Pada waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Guberbur Ternate Simon
Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol.
Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawai pantai timur
Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga pedagang Makasar bebas berdagang mulai tersingkir oleh
VOC. Apalagi Spanyol harus meninggalkan Indonesia menuju Filipina.
VOC berusaha memaksakan orang-orang Minahasa untuk monopoli berusaha di Sulawesi Utara.
Orang Minahasa kemudian menentang usaha tersebut maka VOC berupaya untuk memerangi orang
minahasa dengan membendung Sungai Temberan. Akibatnya tempat tinggal tergenang dan kemudian
tempat tinggal di danau Tondano dengan rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung orang
Minahasa di Danau Tondano.
Simon Cos mengeluarkan ultimatum yang berisi
1) orang Tondano harus menyerahkan tokoh pemberontak kepada VOC
2) orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 nbudak sebagai ganti rugi
rusaknya tanaman padi.
Simon Cos kecewa karena ultimatum tidak diindahkan .Pasukan VOC kemudian dipindahkan ke
Manado. Setelah itu rakayat Tondano menghadapi masalah dengan hasil panen yang menumpuk tidak
laku terjual kepada VOC. Dengan terpaksa kemudian mereka mendekaati VOC, maka terbukalah
tanah Tondano bagi VOC. Berakhirlah perang Tondano I. Orang Tondano memindahkan
perkampungannya kedataran baru yang bernama Minawanua (ibu negeri)
Perang tondano dimulai dari 1 Januari 1661, namun mengalami puncak perlawanan pada 14
Januari 1807-5 Agustus 1809
Dasar perlawanan, tidak inginnya ada monopoli, tidak maunya terbentuk tentara
Perlawanan dilakukan secara terbuka, hampir seluruh Walak yang ada di Minahasa ikut serta
dalam perang ini, meskipun beberapa ada yang masih bersifat kooperatif dengan Belanda.
Sepanjang perlawanan, masayarak Minahasa menggunakan senjata tradisional dan meriam
bekas peninggalan dari bangsa portugis dan spanyol.
Adanya rasa antipati terhadap bangsa putih, karena bangsa yang terdahulu bersikap tidak baik
dengan mereka (merkosa, beli barang dengan harga terlalu murah dll dkk)
Mengapa Disebut Perang Tondano?
Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat masih adanya persepsi di kalangan tertentu
orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-akan pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa
besar Perang Tondano hanya Orang Tondano yang bermukim di Minawanua. Padahal, pemakaian
istilah Perang Tondano bukan berarti yang terlibat dalam perang hanya Walak Tondano, akan tetapi
hampir seluruh Walak di Minahasa telah berperanserta menunjukkan solidaritasnya sebagai TouMinahasa berjuang bersama Walak Tondano melawan Kompeni Belanda.
Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang penulis asal Tondano Giroth Wuntu (1963), bahwa
pada hakekatnya Perang Tondano (PT) adalah perang patriotik yang besar dari rakyat Maesa
(Minahasa pada umumnya) melawan penjajahan Belanda, yang telah berlangsung secara berulangulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1
Juni 1661, dan berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.

Para pemimpin Perang Tondano, selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas Matulandi
(semuanya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon,
dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai organisator dan atau otak (de ziel) dari
perlawanan melawan kompeni Belanda, selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang
dicari-cari oleh pihak kompeni Belanda untuk ditangkap.
Seperti juga yang terungkap dalam dokumen Perang Tondano, akhirnya Tewu ditangkap menemani
Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal menjadi
penghuni penjara di Benteng Fort-Amsterdam. Mereka ditangkap oleh Belanda ketika selagi
mengikuti musyawarah di Benteng Belanda tersebut. Mereka ditangkap karena keduanya dengan
tegas menentang usaha dari Residen Schierstein yang hendak mengubah substansi perjanjian atau
Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui oleh Jacob Claesz, kepada David van Peterson
dinyatakan: Bahwa orang-orang Minahasa bukan merupakan orang taklukan atau bawahan, tetapi
yang berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni Belanda.
Dengan demikian, perlulah diungkapkan di sini bahwa disebut Perang Tondano yang secara historis
telah berlangsung sejak tahun 1661, dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809, didasarkan atas:
1.

Puncak petualangan kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah Walak
Tondano;

2.

Waktu perang pecah, kita belum mengenal istilah Minahasa sebagaimana kita mengartikannya
sekarang ini. Memang pada dekade terakhir dari abad kedelapan belas, istilah Minahasa memang
sudah dipakai. Tapi, masih dalam arti Landraad/Vergadering van Volkshoofden (Musyawarah para
Ukung dan Kepala Walak. Karenanya menurut sejarawan Dr.E.C. Godee Molsbergen, Residen
Predigger, arsitek Perang Tondano itu hanya memakai istilah Manadosche onlusten; sedangkan
sejarawan Dr.H.J. de Graaf menyebutnya Volksopstand in Manado.

3.

Berdasarkan cerita rakyat, peristima itu diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan istilah yang
telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (lihat Supit 1991).
Latar

Belakang

Perang

Tondano

dan

Implikasinya

Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan kompani
Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa khususnya Walak
Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan kolonial asing sebelumnya,
yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tonaas, antara lain
Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tonaas Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan
terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa semua orang kulit putih
(kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian juga pada perang ketiga, dipicu oleh
tertangkapnya Ukung Pangalila kepala Walak Tondano, dan Ukung Sumondak kepala Walak
Tompaso.
Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Tondano keempat
(terakhir), adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk kepentingan militer HindiaBelanda (lihat Wenas 2007). Dikemukakan oleh Supit (1991), para penulis barat dalam tulisan
sepintas senantiasa menyatakan bahwa penyebab terjadinya peristiwa itu, adalah karena masalah
rekrutering atau ketentuan menjadi serdadu bagi para pemuda Minahasa untuk dikirim ke Jawa
guna menghadapi perjuangan tentara Inggris. Sejarawan Dr. H.J de Graaf, menyatakan atas hal ini :
Maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari suku-suku pemberani dalam

peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan suku Dayak. Bila yang datang melapor
secara suka rela tidak segenap hati/memadai, pemaksaan dilakukan. Suatu tindakan yang telah
mengakibatkan

pecahnya

pemberontakan

rakyat

di

Manado/Minahasa.

Kecuali itu, Dr. E.C. Godee Molsbergen, yang pada tahun 1928 ditugaskan oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk menulis sejarah Minahasa dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Persahabatan
Minahasa-Belanda/Verbond

10

Januari

1679

kedua

ratus

lima

puluh,

menulis

Walaupun Predigger dengan pembawaannya yang lemah lembut menghindari bentrokan dengan
penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas pendaftaran yang tidak bijaksana dan
terciptanya cerita yang tidak-tidak mengenai tujuan perekruta
n. Ditambah dengan hutang lama, disebabkan penerimaan sandang dengan uang muka, hubungan
baik

dengan

Pemerintah

Hindia-Belanda,

menjadi

rusak

sama

sekali.

Apabila disimak secara kritis makna terjadinya Perang Tondano itu, bahwa sesungguhnya bukan
karena alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan
kolonial tersebut. Akan tetapi, akar masalahnya terletak pada pelanggaran-pelanggaran kolonial
Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10 Januari 1679. Hal
ini menunjukkan bahwa secara antropologis, orang Minahasa sudah sejak tempo doeloe tetap
konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap kebenaran dan keadilan) yang tidak
mengenal kompromi dengan pelanggaran adat, siapa pun pihak yang melakukan pelanggaran adat
yang

dimaksud

(seireen).

Bagi orang Minahasa Verbond tersebut sudah menjadi bagian dari adat Minahasa yang menjamin
kelanjutan hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh para pemimpin Minahasa, merupakan
pengingkaran kompani Belanda terhadap Verbond

yang sudah mereka sepakati bersama.

Pengingkaran ini adalah suatu penghinaan yang fantastis terhadap kebenaran dan keadilan. Apalagi
mereduksi nilai-nilai kepemimpinan sosial orang Minahasa, di mana posisi kepala walak dikondisikan
sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10 September 1699/amandemen pasal 9),
sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua kebijakan kompani Belanda. Padahal dalam
konteks status peranan, menjadi kepala walak, bukanlah jabatan yang diberikan atas dasar turunan
(ascribed); tetapi menjadi kepala walak diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat atas dasar
kinerja (achieved).

Anda mungkin juga menyukai