Sebelum VOC menyentuh Sulawesi Utara, rakyat Minahasa telah melakukan hubungan
dagang dengan bangsa Spanyol, yang juga menyebarkan agama Kristen di wilayah tersebut.
Salah satu tokoh yang diketahui berjasa dalam penyebaran agama Kristen di Minahasa
adalah Fransiscus Xaverius.
Akan tetapi, hubungan antara Minahasa dan Spanyol menjadi terganggu ketika pada abad
ke-17, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate.
Gubernur Simon Cos, yang diberi kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa
dari Spanyol, mulai menempatkan kapalnya di Selat Lembeh.
Akibat ulah VOC ini, para pedagang Spanyol dan Makassar pun tersingkir dari tempat itu.
Akibatnya, aliran sungai meluap hingga membanjiri permukiman penduduk. Akan tetapi,
rakyat Minahasa tidak tunduk begitu saja dan mengatasinya dengan mendirikan rumah
apung di sekitar Danau Tondano.
Mengetahui hal itu, VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa di Danau
Tondano dan memberikan ultimatum.
Berikut ini isi ultimatum Gubernur Simon Cos kepada rakyat Minahasa.
Masyarakat Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak karena
rusaknya tanaman padi akibat luapan Sungai Temberan
Akan tetapi, ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Minahasa, sehingga VOC
memilih untuk mundur ke Manado.
Pasalnya, hasil pertanian penduduk menjadi menumpuk karena pembeli dari bangsa
Spanyol telah diusir VOC dari Nusantara.
Masyarakat Minahasa pun tidak memiliki pilihan selain mendekat dan menjalin kerjasama
dengan VOC agar hasil pertaniannya dapat terjual.
Terbukanya perdagangan Minahasa bagi VOC ini mengakhiri Perang Tondano 1. Setelah itu,
Belanda membangun permukiman di Sulawesi Utara, lengkap dengan sebuah benteng.
2.Sarapung
3.Korengkeng
4.Lumingkewas Matulandi
Pada akhir Perang Tondano 1, pihak VOC dan rakyat Minahasa membuat perjanjian pada
1679 yang mengatur berbagai hal di sekitar hubungan dan kepentingan kedua belah pihak.
Salah satu isi perjanjian tersebut adalah bahwa Minahasa akan membantu Belanda,
terutama dalam menyalurkan sejumlah kebutuhannya.
Tindakan Belanda yang tidak sesuai perjanjian itu membuat walak-walak berselisih. Pada
1802, Carel Christoph Prediger Jr. diangkat sebagai residen Manado.
Tidak lama kemudian, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.W. Daendels, membutuhkan
pasukan dalam jumlah besar yang akan dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan
serangan Inggris.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengerahkan penduduk dari sejumlah
daerah, termasuk Minahasa.
Pada Mei 1808, Prediger segera mengumpulkan para ukung (pemimpin dalam suatu wilayah
walak atau daerah setingkat distrik) dan menyampaikan bahwa pemerintah membutuhkan
sekitar 2.000 pemuda Minahasa yang akan dikirim ke Jawa.
Ternyata, para ukung tidak mau menuruti permintaan Prediger, bahkan beberapa di
antaranya mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Salah satu tokoh Perang Tondano 2 adalah Ukung Lonto, yang memimpin perlawanan dan
menegaskan bahwa rakyat Minahasa harus melawan sebagai bentuk penolakan terhadap
program mobilisasi pemuda ke Jawa.
Perlawanan itu juga sebagai bentuk penolakan kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat
menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Pada awalnya, Prediger masih mencoba untuk menempuh cara persuasif dan berusaha
menarik dukungan dari sejumlah ukung.
Namun, melihat keadaan semakin kritis karena aksi rakyat Minahasa, Prediger tidak
memiliki pilihan selain mengirim pasukan untuk menyerang Tondano.
Selain itu, Belanda menyiapkan dua pasukan yang ditugaskan untuk menyerang dari darat
dan air.
Pada 23 Oktober 1808, pertempuran mulai berkobar dan Belanda berhasil menerobos
pertahanan rakyat Minahasa.
Serangan pun terus dilakukan baik di darat maupun air, hingga kampung pertahanan
Minawanua seperti tidak ada kehidupan lagi.
Karena kesulitan menjangkau tengah hutan, Belanda sampai mengaku akan memberikan
pengampunan kepada pemberontak asalkan mereka mau mengakui kekuasaan Belanda.
Akan tetapi, hal itu tidak pernah terjadi karena pihak Inggris lebih dulu mengambil alih
kekuasaan Belanda di Minahasa pada 1810.
Pihak Inggris memanggil tokoh Perang Tondano 2, yakni Matulandi dan Mamait, dari
persembunyian di hutan dan mengangkat mereka kembali sebagai kepala walak.
Sementara Lonto dan beberapa tokoh perlawanan lainnya yang sempat dibuang ke Ternate,
dikembalikan ke Minahasa.
Oleh Inggris, para pemberontak Belanda itu diberi izin untuk membangun permukiman di
tempat yang lama, yakni di sebelah utara Minawanua.
Sarapung
Korengkeng;
Lumingkewas Matulandi;