Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

3STUDI FIQH

“HAID, NIFAS dan ISTIHADHAH”

NAMA : AISYAH

KELAS : V ATPH

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami

panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,

dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fiqih tentang

haid, nifas, dan istihadhah.

Makalah Fiqih ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai

pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan

banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah

ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari

segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami

menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah Fiqih

ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Fiqih tentang haid, nifas, dan istihadhah dapat

memberikan manfaat.

Patokbeusi,April 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II MASA KELUAR, BERHENTI, DAN KEBIASAAN DARAH HAIDL,

ISTIHADLOH DAN NIFAS

2.1 Masa keluar, berhenti dan kebiasaan darah istihadloh

2.2 Masa keluar, berhenti dan kebiasaan darah nifas

BAB III HUKUM WANITA HAIDL, ISTIHADLOH, NIFAS BERDASARKAN MASA

KELUAR, BERHENTI, KEBIASAAN DAN WARNA DARAH

3.1 Hukum wanita nifas berdasarkan masa keluar, berhenti, kebiasaan dan warna

darah

BAB IV KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WANITA HAIDL, NIFAS DAN

ISTIHADLOH

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pada masa sekarang, masyarakat seringkali salah paham mengenai hukum-

hukum

yang terkait tentang masalah haidl, nifas dan istihadloh. Banyak dari masyarakat

bahkan tidak mengetahui dan tidak mampu membedakan antara haidl. Nifas dan istihadloh.

Padahal, masalah ini sangatlah penting untuk dimengerti oleh seluruh wanita, pria yang sudah

beristri, para mu’alim, para da’i dan kita semua. Hal ini dikarenakan masalah ini sangat erat

kaitannya dengan ibadah fardlu ‘ain, seperti sholat dan puasa. Seharusnya para wanita sudah

harus mengetahui permasalahan ini ketika mereka sudah berumur 9 tahun yang sudah mulai

memasuki umur haidl.

Pada kenyataannya, orang-orang dewasa masih banyak pula yang belum mengerti

masalah ini. Mereka juga tidak mengerti masalah mandi yang benar, sholat dan puasa yang

wajib diqodlo’i, warna darah dan sifat-sifat darah. Padahal, hal-hal tersebut dapat mentukan

masa keluar, berhenti, kebiasaan , kategori dan kewajiban serta larangan bagi wanita yang

haidl, istihadloh dan nifas. Sebagian wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji

(kemaluan) di luar kebiasaan bulanannya (haidh) dan bukan karena melahirkan. Darah ini

diistilahkan dengan darah istihadhah.

Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, istihadhah adalah darah yang

mengalir dari farji wanita di luar waktunya dan berasal dari urat yang dinamakan ‘adzil

(Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 4/17). Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatinya

dengan darah yang keluar dari farji wanita di luar kebiasaan bulanannya, disebabkan urat

yang terputus. (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 3/57) Keluarnya darah istihadhah ini merupakan

4
hal yang lazim dijumpai para wanita. Bukan hanya di masa sekarang, namun sejak dulu dan

dialami pula oleh para wanita dari kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

Wasallam.

Menurut Al Imam Ash Shan`ani rahimahullah, jumlah shahabiyyah yang mengalami

istihadhah di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencapai sepuluh orang, demikian

menurut perhitungan ahlul ilmi, (Subulus Salam, 1/161). Bahkan ada yang menghitungnya

lebih dari sepuluh. Oleh karena itu, makalah ini dibuat dengan tujuan supaya pembaca dapat

mengetahui dan memahami hukum-hukum yang terkandung dalam permasalahan haidl, nifas

dan istihadloh ini.

5
BAB II

MASA KELUAR DARAH HAID, NIFAS DAN ISTIHADHAH

2.1 Masa keluar, berhenti dan kebiasaan darah istihadhah

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya seorang wanita yang mengeluarkan

darah yang tidak memenuhi syarat syarat haid maka darah itu disebut istihadhah.

Maka jika seorang wanita mengeluarkan darah tidak sampai 24 jam baik terus

menerus maupun putus – putus, keluar kurang dari umur haid, lebih dari 15 hari dan

bertempat pada waktu tidak mungkin bisa haid maka itu disebut darah istihadhah.

Adapun masa berhenti darah istihadah sama seperti berhentinya darah haid,

yakni dilihat dari mulai berhentinya darah.

Masa lama keluar darah istihadhah dapat ditentukan melalui jenis-jenis

mustahadhah.

2.2 Masa keluar, berhenti dan kebiasaan darah nifas

Keluarnya darah nifas itu terjadi pada wanita setelah melahirkan, yakni setelah

kosongnya Rahim dari anak yang dikandung, meskipun masih berupa darah

bergumpal (alaqoh) atau daging menggumpal (mudghoh) . waktu keluarnya darah tadi

sebelum 15 hari melahirkan (wiladah)

Darah yang keluar antara 2 anak kembar bukanlah darah nifas tetapi darah haid

jika memenuhi syarat – syarat darah haid, jika tidak memenuhi maka termasuk darah

rusak atau istihadhah.

Sama halnya dengan darah yang keluar karena sakit ketika melahirkan, darah

yang keluar tersebut dihukumi darah haid jika memenuhi syarat – syarat haid.

Jika stelah melahirkan tidak langsung mengeluarkan darah tetapi bersih (naqo’)

terlebih dahulu mengeluarkan darah, maka diperinci sebagai berikut. Jika keluar darah

belum melebihi 15 hari maka disebut darah nifas, lalu masa diantara mlahirkan dan

6
keluarnya darah dihitug nifas tetapi tdak dihukumi nifas (nifas a’dadan la khukman).

Tapi, jika keluar darah setelah melebihi 15 hari maka disebut darah haid jika

memenuhi syarat haid.

Jika terjadi darah nifas telah selesai sebelum melebihi 60 hari sejak melahirkan,

lalu keluar darah lagi maka diperinci sebagai berikut. Jika keluar darah sebelum 60

hari serta jarak waktu diantara terhenti darah dan keluar lagi kurang 15 hari, maka

darah yang akhir termasuk darah nifas. Tapi jika keluarnya setelah 60 hari maka darah

yang akhir adalah darah haid meskipun terhentiny hanya sebentar jika memenuhi

syarat-syarat terakhir.

Nifas itu paling sedikit adalah setetes (majjah), asal ada darah yang keluar

meskipun sedikit. Adapun umumnya lama nifs 40 hari dn paling lama 60 hari. Oleh

karena itu, jika keluar darah nifas berlangsung lebih dari 60 hari, maka termasuk

istihadhah dalam nifas (istihadhah fin nifas).

7
BAB III

HUKUM WANITA HAID, ISTIHADHAH DAN NIFAS BERDASARKAN

MASA KELUAR, BERHENTI, KEBIASAAN DAN WARNA DARAH.

3.1 Hukum nifas berdasarkan masa keluar, berhenti, kebiasaan dan warna darah

Darah yang keluar setelah melahirkan dihukumi nifas meskipun hanya setetes,

asal tidak melebihi 60 hari. jika keluar darah nifas berlangsung lebih dari 60 hari,

maka termasuk istihadhah dalam nifas (istihadhah fin nifas). Artinya, masih campur,

sebagian nifas, sebagian dari istihadhah dan sebagian lagi darah haid. Tidak boleh

dihukumi yang 60 hari nifas, lalu kelebihannya istihadhah, sebagaimana halnya darah

haid yang melebihi 15 hari.

Contoh :

Seorang wanita setelah melahirkan pertama kali mengeluarkan darah hitam 30

hari, lalu darah merah 40 hari, maka nifasnya 30 hari.

Kalau pertama kali nifas dan tidak bisa membedakan antara darah qowi dan do’if,

maka nifasnya di kembalikan pada nifas yang paling sedikit yaitu setetes. Kalau sudah

pernah nifas dan bisa membedakan darah qowi dan do’if, maka nifasnya di

kembalikan ke darah qowi, bukan kepada adat.

Kalau sudah pernah nifas dan darahnya satu macam atau tidak dapat

membedakan darah qowi dan doif serta ia ingat kepada adat (mu’tada goiru

mumayizah) maka nifasnya di kembalikan kepada adatnya, baik adat tadi baru sekali

atau telah berulang kali, kalau adat yang berulang kali tadi tidak berbeda-beda. Tetapi

kalau adat yang kedua atau lebih tadi berbeda – beda maka di perinci seperti pada bab

istihadhah di dalam haid.

8
BAB IV

KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WANITA HAID, NIFAS DAN ISTIHADHAH

Wanita yang haidl dan nifas diharamkan melakukan beberapa perkara sebagai

berikut, antara lain :

1. Sholat (tidak wajib qodlo’)

2. Sujud syukur

3. Sujud tilawah

4. Thowaf

5. Puasa (wajib qodlo’)

6. I’tikaf

7. Masuk masjid apabila khawatir mengotori masjid

8. Membaca Al-Qur’an

9. Menyentuh Al-Qur’an

10. Menulis Al-Qur’an (menurut beberapa pendapat)

11. Bersuci

12. Mendatangi orang sakaratul maut (menurut imam Al-Muhamili)

13. Bersetubuh

14. Dijatuhi talaq

15. Istimta’ antara pusar dan lutut

Orang yang haidl atau nifas diharamkan bersuci karena dianggap mempermainkan

ibadah (tala’ubu bil ‘ibadah). Oleh karena itu, seorang wanita setelah melahirkan lalu

nifas sebelum mandi wiladah, maka diharamkan mandi wiladah selama masih

mengalami nifas. Begitu juga halnya dengan seorang istri setelah bersetubuh tiba-tiba

9
kedatangan haidl, sedangkan belum melakukan mandi janabat, maka diharamkan

untuk bersuci.(Al-Jamal, Juz 1, Hal. 237)

Orang yang haidl atau nifas diperbolehkan membaca Al’Qur’an dengan syarat

tidak menyegaja, seperti niat dzikir, berdo’a, mencari barokah, menghafal, atau

meluruskan bacaan. Oleh karena itu, seorang penghafal Al-Qur’an, jika khawatir lupa

akan hafalannya, maka ia diperbolehkan mengulang hafalannya di dalam hati atau

berbisik. (I’anatut Tholibin, Juz 1, Hal. 114; Bajuri, Juz 1, Hal. 166 dan 114;

Bughyatul Musytarsyidin, Hal. 26)

Wanita yang haidl dan nifas juga diperbolehkan menyentuh dan membawa Al-

Qur’an yang disertai tafsirnya, jika yakin bahwa tafsirannya lebih banyak dari Al-

Qur’annya(menurut Imam Romli dan Ibnu Hajar) atau ragu-ragu dalam

perbandingannya (menurut Ibnu Hajar). Sedangkan terjemah Al-Qur’an hukumnya

tidak sama dengan tafsir. Oleh karena itu, haram menyentuh dan membawa Al-Qur’an

terjemah bagi wanita yang haidl, nifas, maupun hadats kecil.

Wanita yang haidl atau nifas jika telah selesai keluar darah, baik di tengah-tengah

masuk waktu sholat maupun tengah malam yang dingin, maka ia wajib untuk segera

mandi (bersuci) apabila hendak melakukan sholat atau ibadah lain yang mewajibkan

bersuci. Tidak diperbolehkan menunda sampai terjadi qodlo’ apalagi jika tidak

dikerjakan sama sekali.

Wanita yang istikhadloh tidak dihalangi untuk melakukan perkara yang

diharamkan sebab haidl, ia tetap diwajibkan melaksanakan sholat, puasa, membaca

Al-qur’an, dan lain-lain. Adapun wanita yang istikhadloh ketika hendak sholat harus

melakukan beberapa perkara yang telah diterangkan dalam bab istikhadloh diatas.

Apabila darah yang keluar itu banyak sampai tembus (nerembes, istilah Jawa), jika

darahnya keluar ketika ia telah bertakbiratul ihram, maka sholatnya tidak batal

10
11

Anda mungkin juga menyukai