PENDAHULUAN
1.4 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi haid dan hifas.
2. Untuk mengetahui dan memahami amalan yang dilarang dikerjakan ketika haid dan nifas
3. Untuk mengetahui dan memahami amalan yang boleh dilakukan ketika haid dan nifas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HAID
2.1.1 Definisi haid
Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah mencapai usia 9 tahun hijriyah atau 8
tahun Masehi 8 Bulan 23 hari 19 jam 12 menit, tidak dikarenakan penyakit atau sebab melahirkan.
Sedangkan definisi haid secara klinis adalah pendarahan secara periodik (berkala) dari rahim wanita
dengan disertai pelepasan endometrium. [1]
Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan
paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari. Sedangkan paling
cepat masa sucinya adalah tiga belas atau lima belas hari dan yang paling lama tidak ada batasnya. Akan
tetapi, yang normal adalah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.
Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Alloh darah haid itu berubah menjadi makanan bagi bayi yang
tengah berada di dalam kandungannya. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil tidak mengalami masa
haid. Setelah melahirkan, dengan hikmah-Nya, Alloh SWT merubahnya menjadi air susu yang
merupakan makanan bagi bayi yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari kaum wanita menyusui
yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa melahirkan dan menyusui, maka darah yang ada tidak
berubah serta tetap berada pada tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap
bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih atau kurang dari hari-hari
tersebut).
Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : wanita yang baru
menjalani masa haid, wanita yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami keluarnya
darah istihadhah.
2.1.2 Wanita yang baru menjalani masa haid
Wanita yang baru menjalani masa haid yaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid.
Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan, hingga datang masa suci.
Apabila masa haid itu telah selesai dalam satu hari atau paling lama lima belas hari, maka ia
berkewajiban untuk mandi dan mengerjakan shalat. Apabila setelah lima belas hari darah tersebut
masih tetap mengalir keluar, maka ia dianggap mengalami masa istihadhah. Pada saat itu, hukum yang
berlaku baginya adalah hukum wanita yang mengalami istihadhah.
Apabila darah haid itu berhenti di sekitar lima belas hari, lalu ia menngalir lagi selama satu atau dua hari,
kemudian berhenti lagi seperti semula, maka cukup baginya mandi, lalu mengerjakan shalat.
Selanjutnya, hendaklah ia meninggalkan shalat pada setiap kali mengetahui darah haid itu mengalir.
Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang mengerjakan shalat, sebagaimana yang disabdakan
oleh Rosululloh :
“ Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaqun Alaih)
2.1.5 Amalan yang Dilarang untuk Dikerjakan bagi Wanita yang Menjalani Masa Haid
a. Shalat
Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang untuk mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada
hadits dari Rasulullah :
“Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaqun Alaih)
Aisyah pernah bercerita:
“Kami pernah menjalani masa haid pada zaman Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha puasa
dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (Muttafaqun Alaih)
Ibnu Mundzir mengatakan: Para Ulama telah bersepakat untuk menghapuskan kewajiban shalat bagi
wanita yang tengah menjalani masa haid. Menurut mereka, mengqadha shalat yang ditinggalkan selama
masa haid itu tidak diwajibkan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi dalam hadits yang diriwayatkan dari
Fathimah binti Abi Hubaisy:
“ Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (HR. Muttafaqun Alaih)
b. Puasa
Wanita Muslimah yang sedang menjalani masa haid tidak diperkenankan untuk menjalankan ibadah
puasa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah :
“Bukankah salah seorang diantara mereka (kaun wanita) apabila menjalani masa haid tidak mengerjakan
shalat dan tidak berpuasa? Para sahabat wanita menjawab: Benar” (HR. Al-Bukhari)
Namun demikian, wanita yang menjalani masa haid berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkan
setelah masa haidnya selesai. Ibnu Mundzir pernah meriwayatkan bahwa wanita yang tengah menjalani
masa haid berkewajiban mengqadha puasa.
c. Membaca Al-Qur’an
Bagi wanita yang menjalani masa haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an, akan tetapi tidak boleh
menyentuh mushafnya. Di samping itu ada pula hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Ibnu
Umar, yang berstatus sebagai hadits marfu’:
“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan juga yang sedang dalam junub tidak boleh sama sekali
membaca Al-Qur’an.” (HR. At-Tirmidzi)
Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Ismail bin Iyyas, Hadits ini telah di
sebutkan oleh Al-Aqili di dalam kitabnya yang berjudul Adh-Dhu’afa Al-Kabir. Ia berkata: Telah
diberitahukan kepada kami oleh Abdullah bin Ahmad, ia mengatakan: Aku pernah mengemukakan
sebuah hadits kepada ayahku, bahwa kami diberitahu oleh Al-Fadhal bin Ziyad Ath-Thasti, ia
mengatakan: Kami telah diberitahu oleh Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar,
dari Nabi, dimana beliau bersabda:
“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.”
Lalu ayahku berkata: “Hadits ini tidak dapat diterima, karena Ismail bin Iyyas merupakan perawi yang
ditolak.”
d. Menyentuh Al-Qur’an
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid menyentuh Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
“Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an), kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Al-Waqiah:79)
Juga sabda Rasulullah:
“Janganlah kamu menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Al-Atsram)
f. Thawaf
Wanita Muslimah juga diharamkan melakukan thawaf jika sedang menjalani masa haid, sebagaimana
sabda Nabi kepada Aisyah:
“Kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali kmu tidak boleh melakukan
thawaf di Ka’bah, sehingga kamu benar-benar dalam keadaan suci.” (Muttafaqun Alaih)
g. Berhubungan badan
Seorang istri Muslimah yang sedang haid tidak diperkenankan bersetubuh selama hari-hari menjalani
masa haidnya, sebagaimana firman Allah:
“Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri1) dari mereka pada waktu haid dan janganlah kalian
mendekati mereka, sebelum mereka benar-benar suci.” (Al-Baqarah:222)
h. Thalak
Menthalak istri yang sedang haid adalah haram. Karena, pelaksanaan thalak semacam ini disebut
sebagai thalak bid’ah ( thalak yang diharamkan).
j. Apabila darah haid berhenti, diperbolehkan bagi wanita Muslimah mengerjakan shalat dan puasa.
Akan tetapi, tidak diperbolehkan terhadap selain dari keduanya kecuali setelah mandi
Secara umum, dapat dikatakan bahwa jika darah haid seorang wanita Muslimah telah berhenti dan
belum melaksanakan mandi, maka tidak berlaku baginya empat hukum yang berkenaan dengan haid,
yaitu:
1. Terhapusnya kewajiban shalat, karena pada saat itu masa haid masih berlangsung.
2. Adanya halangan yang disebabkan oleh tidak sahnya taharah, karena haid.
3. Larangan mengerjakan puasa. Karena, kewajiban mandi setelah selesainya masa haid tidak lagi
melarang wanita untuk mengerjakan puasa.
4. Diperbolehkannya thalak. Karena, pengharamannya dimaksudkan untuk memperpanjang masa
iddah atau karena haid. Disamping itu, seluruh apa yang diharamkan masih tetap berlaku. Karena,
semuanya itu juga diharamkan bagi orang yang tengah berada dalam kondisi junub, dimana inilah yang
terbaik.
k. Diperbolehkan bercumbu dengan istri yang sedang haid, akan tetapi tidak boleh bersetubuh
dengannya
Bercumbu dengan istri yang sedang haid pada bagian-bagian di atas pusar dan di bawah lutut tetap
diperbolehkan. Sedangkan bersenggama dengan mereka sama sekali diharamkan.
Imam Ahmad memperbolehkan bercumbu pada bagian atas pusar dan di bawah lutut. Sementara Imam
Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Abu Hanifah mengatakan: “Hal itu tidak di perbolehkan, karena
Aisyah pernah menceritakan bahwa, Rasulullah pernah menyuruhku memakai kain sarung dan akupun
memakainya. Lalu beliau mencumbuiku, sedang aku dalam keadaan haid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Juga dari Abdullah bin Sa’ad Al-Anshari, dimana ia pernah bertanya kepada Rasulullah, tentang bagian
mana yang boleh dilakukan terhadap istri yang sedang haid? Beliau menjawab: “Apa yang berada di atas
kain” (HR. Baihaqi).
2.2 NIFAS
2.2.1 Definisi Nifas
Nifas adalah darah yan keluar dari rahim seorang wanita setelah selesai melahirkan, walaupun anak
yang dilahirkan belum berwujud manusia atau masih berupa alaqoh (darah kental) atau mudglah
(segumpal daging). [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit
adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang
kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh
Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada
seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas.
Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari,
karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti
setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita
menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah
masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu
sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut
dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali
kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si
wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari.
Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika
berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam
kitab Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia.
Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang
keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil,
dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul
Iqna':
"Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka
tidak perlu dianggap (sebagai nifas)”.
Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran
ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau
tidak demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan
kewajiban.
2.2.2 Keguguran
Apabila janin yang berada di dalam kandungan seorang ibu keluar sebelum waktunya (keguguran) dan
sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelahnya merupakan darah nifas. Sedang apabila
janin yang keluar setelahnya tidak dikategorikan sebagai darah nifas. Akan tetapi, dianggap sebagai
darah kotor yang tidak menghalangi wanita untuk mengerjakan shalat dan juga puasa.
Waktu minimal bagi sebuah janin itu terbentuk menjadi manusia sempurna adalah delapan puluh satu
hari. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasululloh SAW pernah bersabda :
“Sesungguhnya sel sperma yang telah membuahi indung telur itu berkumpul di dalam rahim ibu selama
empat puluh hari. Kemudian ia menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging, dan diutus kepadanya
malaikat yang diperintahkan untuk ditetapkan baginya empat hal, yaitu rezeki, ajal, dan amalnya dan
apakah akan sengsara atau bahagia.”
Para ulama mengatakan : “Janin tidak mungkin berbentuk sebelum jumlah hari tersebut. Yang pada
umumnya terjadi adalah, bahwa pemberian bentuk itu tidak akan terlihat sebelum 90 hari.”
Hendaklah wanita Muslimah mengetahui bahwa keguguran dalam proses kehamilan, apabila terjadi
setelah terbentuknya tubuh seperti jari, kuku, rambut atau anggota tubuh lainnya, maka kandungan itu
sudah menjadi anak dan darah yang keluar karenanya dianggap sebagai nifas. Sedang apabila
kandungan itu mengalami keguguran sebelum terbentuknya anggota tubuh dan masih berupa segumpal
darah atau segunpal daging, maka darah yang keluar karenanya tidak dianggap sebagai darah nifas.
2.2.3 Masa berlangsungnya nifas
Tidak ada batas minimal dalam masalah nifas, yaitu bisa saja terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh
kareba itu, apabila seorang wanita melahirkan, lalu tidak lama kemudian darah nifasnya berhenti, maka
ia berkewajiban mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya seprti layaknya wanita yang berada
dalam keadaan suci. Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari, sesuai dengan hadits dari Ummu
Salamah di atas.
Disunnahkan bagi wanita Muslimah untuk mandi setelah melahirkan baik yang melahirkan dengan
mengeluarkan darah maupun tidak. Demikian juga apabila mengalami keguguran pada masa-masa
kehamilan, meskipun waktunya sangat sebentar.
d. Makan dan minum bersama. Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits riwayat dari Aisyah ra :
“Aku pernah minum air dalam keadaan haid dan memberikan sisanya kepada nabi. Kemudian beliau
meletakkan mulut beliau tepat pada bekas mulutku dan meminum air tersebut (Imam Muslim)”
Selain itu, tidak dimakruhkan bagi wanita yang sedang menjalani masa haid atau nifas untuk memasak,
mencuci atau yang lainnya. Berkenaan dengan hal ini, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud , di
mana dia menceritakan :
“Aku pernah bertanya kepada Rasululloh tentang makan bersama istri yang sedang haid dan beliau pun
menjawab : diperbolehkan makan bersamanya.”(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik , bahwa orang-orang Yahudi pada masa Rasululloh apabila
mendapati istri mereka sedang haid, maka mereka tidak mau nengajak makan bersama dan tidak pula
menemaninya di rumah. Lalu salah seorang sahabat wanita bertanya kepada Rosululloh, mengenai hal
tersebut dan beliau menjawab dengan bersabda :
“Perbuatlah segala sesuatu, kecuali berhubungan badan.”(HR. Muslim)
2.2.8 Amalan yang boleh dilakukan wanita pada masa haid dan nifas
a. Mencukur rambut dan memotong kuku
b. Pergi ke pasar
c. Pergi mendengarkan ceramah agama dan belajar memahami Islam, apabila hal tersebut tidak
dilakukan di dalam masjid.
d. Berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan membaca basmalah sebelum makan minum.
e. Membawa hadits, fiqih, doa dan mengucapkan amin.
f. Membaca berbagai macam dzikir sebelum tidur
g. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an.
BAB III
PEMBAHASAN
3.5 Wanita yang mengeluarkan darah ketika usia lima puluh tahun
Apabila seorang wanita Muslimah mengeluarkan darah ketika usianya mencapai 50 tahun, maka ia tidak
perlu meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, ia perlu mengqadha puasanya sebagai tindakan
ihtiyathi (preventif). Sedang apabila ia mengeluarkan darah setelah mencapai usia 60 tahun dan ia
berkeyakinan bahwa itu bukan darah haid, maka ia boleh mengerjakan puasa dan shalat serta tidak
perlu mengqadha puasanya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Seorang wanita yang sedang menjalani masa haid ataupun nifas tidak berkewajiban untuk menjalankan
ibadah seperti puasa, shalat, ihram, dan ibadah-ibadah lainnya.
4.2 SARAN
Seorang wanita yang mengalami masa haid seharusnya mengingat kapan waktu mulai dan
berhenti hal ini bertujuan agar ia mengetahui apakah dia berkewaajiban mengqadha sholatnya atau
tidak. Selain itu, bagi wanita yang hamil seharusnya juga mengetahui hukum-hukum tentang nifas.