Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadas adalah istilah untuk hal-hal yang bisa menghalangi sahnya shalat seseorang atau dengan kata
lain,hadas adalah kondisi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan shalat jika berada
dalam keadaan tersebut,atau shalatnya batal jika kondisi itu terjadi saat shalat.
Dalam ilmu fikih,hadas dibagi menjadi dua macam yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil
menyebabkan seseorang harus melaksanakan wudu untuk melaksanakan shalat. Sedangkan hadas besar
menyebabkan seseorang melakukan mandi oleh orang Indonesia dinamai dengan mandi besar- juga
wudu jika akan melaksanakan shalat.
Junub,haid,dan nifas merupakan hal-hal yang menyebabkan hadas besar. Oleh karena itu,penting bagi
umat islam mengetahui apa itu haid,nifas,dan istihadhah serta bagaimana cara bersuci dari hadas besar.

1.2 Masalah dan Pembatasan Masalah


Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah masalah haid dan nifas. Yang mana dalam pemaparannya
nanti dibatasi pada definisi haid dan nifas ; amalan yang dilarang dikerjakan ; dan amalan yang boleh
dikerjakan ketika haid dan nifas.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dinamakan haid dan nifas?
2. Apa saja amalan yang dilarang dikerjakan ketika haid dan nifas ?
3. Apa saja amalan yang boleh dilakukan ketika haid dan nifas ?

1.4 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi haid dan hifas.
2. Untuk mengetahui dan memahami amalan yang dilarang dikerjakan ketika haid dan nifas
3. Untuk mengetahui dan memahami amalan yang boleh dilakukan ketika haid dan nifas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HAID
2.1.1 Definisi haid
Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah mencapai usia 9 tahun hijriyah atau 8
tahun Masehi 8 Bulan 23 hari 19 jam 12 menit, tidak dikarenakan penyakit atau sebab melahirkan.
Sedangkan definisi haid secara klinis adalah pendarahan secara periodik (berkala) dari rahim wanita
dengan disertai pelepasan endometrium. [1]
Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan
paling lama lima belas hari. Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari. Sedangkan paling
cepat masa sucinya adalah tiga belas atau lima belas hari dan yang paling lama tidak ada batasnya. Akan
tetapi, yang normal adalah dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.
Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Alloh darah haid itu berubah menjadi makanan bagi bayi yang
tengah berada di dalam kandungannya. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil tidak mengalami masa
haid. Setelah melahirkan, dengan hikmah-Nya, Alloh SWT merubahnya menjadi air susu yang
merupakan makanan bagi bayi yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari kaum wanita menyusui
yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa melahirkan dan menyusui, maka darah yang ada tidak
berubah serta tetap berada pada tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap
bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih atau kurang dari hari-hari
tersebut).
Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : wanita yang baru
menjalani masa haid, wanita yang telah terbiasa menjalaninya dan wanita yang mengalami keluarnya
darah istihadhah.
2.1.2 Wanita yang baru menjalani masa haid
Wanita yang baru menjalani masa haid yaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid.
Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan, hingga datang masa suci.
Apabila masa haid itu telah selesai dalam satu hari atau paling lama lima belas hari, maka ia
berkewajiban untuk mandi dan mengerjakan shalat. Apabila setelah lima belas hari darah tersebut
masih tetap mengalir keluar, maka ia dianggap mengalami masa istihadhah. Pada saat itu, hukum yang
berlaku baginya adalah hukum wanita yang mengalami istihadhah.
Apabila darah haid itu berhenti di sekitar lima belas hari, lalu ia menngalir lagi selama satu atau dua hari,
kemudian berhenti lagi seperti semula, maka cukup baginya mandi, lalu mengerjakan shalat.
Selanjutnya, hendaklah ia meninggalkan shalat pada setiap kali mengetahui darah haid itu mengalir.
Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang mengerjakan shalat, sebagaimana yang disabdakan
oleh Rosululloh :
“ Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaqun Alaih)

2.1.3 Wanita yang Biasa Menjalani Masa Haid


Wanita yang Biasa Menjalani Masa Haid yaitu, wanita yang mempunyai hari-hari tertentu pada setiap
bulannya untuk menjalani masa haidnya. Pada hari-hari tersebut, ia harus meninggalkan shalat, puasa,
dan hubungan badan. Apabila ia melihat darah berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh
setelah hari-hari haidnya tersebut, maka ia tidak perlu menghitungnya sebagai darah atau haid. Hal ini
sesuai dengan ucapan Ummu Athiyah:
“Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna kekuning-kuningan atau yang berwarna
keruh setelah lewat masa bersuci.” (HR. Al-Bukhari)
Apabila ia melihat darah yang berwarna kekuning-kuninga dan yang berwarna keruh itu pada saat
tengah menjalani masa haid, maka darah tersebut termasuk darah haid, sehingga ia belum diharuskan
untuk mandi, melaksanakan puasa dan shalat.
Sebagian dari para ulama berpendapat bahwa wanita yang menjalani haid melebihi dari hari yang biasa
dijalani setiap bulannya, maka hendaklah ia bersuci selama tiga hari dan setelah itu laksanakan mandi
serta krjakan shalat, selama keluarnya darah tesebut tidak lebih dari lima belas hari. Karena, apabila
melebihi lima belas hari, maka dikategorikan sebagai wanita yang mengalami masa istihadhah serta
tidak perlu bersuci, akan tetapi cukup dengan melaksanakan mandi dan menerjakan shalat.
Sebagian dari ulama yang lain berpendapat, bahwa keluarnya darah yang melebihi kebiasaan masa haid
itu tidak harus meninggalkan shalat karenanya, kecuali jika terjadinya berulang-ulang, dua atau tiga kali.
Sehingga pada saat itu, masa haidnya berubah menjadi masa istihadhah. Ini merupakan pendapat yang
jelas dan lebih kuat (rajih).

2.1.4 Wanita yang Mengalami Istihadhah


Wanita yang Mengalami Istihadhah yaitu, wanita yang mengeluarkan darah sebara terus-menerus
melebihi kebiasaan masa berlangsungnya haid. Apabila sebelum mengalami istihadhah seorang wanita
Muslimah sudah menjalani haid yang menjadi kebiasaan pada setiap bulannya dan ia mengetahui hari-
hari yang biasa terjadi pada masa haidnya tersebut, maka ia harus meninggalkan shalat selama masa
haidnya berlangsung pada setiap bulannya. Setelah selesai menjalani masa hidnya itu, ia harus mandi,
mengerjakan shalat, mengganti hutang puasanya danboleh berhubungan badan. Akan tetapi, jika ia
tidak mempunyai kebiasaan dari masa haid yang tetap dan lupa akan masa atau jumlah hari
berlangsungnya haidyang biasa dijalaninya, sedang darah yang mengalir padanya itu berubah-ubah
warnanya, terkadang hitam dan terkadang merah, maka ketika darah yang keluar itu berwarna hitam, ia
tidak perlu mandi, mengerjakan shalat, puasa dan melakukan hubungan badan. Namun, ia diharuskan
mandi dan mengerjakan shalat setelah berhentinya darah hitam tersebut, selama tidak lebih dari lima
belas hari.
Sedang apabila darah yang keluar dapat dibedakan antara sebagian dengan sebagian lainnya, maka ia
diharuskan untuk meninggalkan shalat, puasa dan berhubungan badan pada setiap bulannya selama
berlangsungnya masa haid yang pada umumnya dijalani oleh kaum wanita, yaitu enam atau tujuh hari.
Setelah itu, diwajibkan atasnya mandi dan mengerjakan shalat.
Wanita yang mengalami masa istihadhah harus berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat.
Kemudian memakai cawat (celama dalam atau pembalut wanita) dan selanjutnya boelah mengerjakan
shalat, walaupun darah masih tetap mengalir. Di samping itu juga, tidak dianjurkan untuk berhubungan
badan, kecuali pada kondisi yang sangat mendesak. Dalil yang menjadi landasan mengenai masalah ini
adalah hadits dari Ummu Salamah:
“Bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah mengnai seseorang wanita yang selalu
mengeluarkan darah, maka Rasulullah bersabda: Hitunglah berdasarkan bilangan malam dan hari hari
masa haid pada setiap bulannya berlangsungnya, sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang
menimpanya itu. Maka tinggalkanlah shalat sebanyak bilangan haid yang biasa dijalaninya setiap bulan.
Apabila, ternyata melewati dari batas yang berlaku, maka hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat
(pembalut) dan mengerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’I dengan isnad hasan)
Hadits diatas ditujukan bagi wanita yang mengalami masa istihad-dhah yang mempunyai kebiasaan
masa haid teratur.
Di samping ada juga hadits dari Fathimah binti Abi Jahsyin, dimana ia pernah mengalami masa
istihadhah dan Rasulullah bersabda kepadanya:
“ Jika darah haid, maka ia berwarna hitam seperti diketahui banyak wanita. Jika yang keluar darah
seperti itu, maka tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar adalah darah lain (warnanya yakni darah
istihadhah), maka berwudlulah setelah mandi dan laksanakan shalat. Karena, darah tersebut adalah
penyakit.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Juga hadits Hamnah binti Jahsyin, dia menceritakan:
“ Aku pernah mengalami istihadhah, darah yang keluar itu sangat banyak. Lalu aku datang kepada Nabi
untuk meminta fatwa kepadanya. Maka beliau bersabda: Sesungguhnya darah itu keliar akibat hentakan
ari setan. Jalanilah masa haidmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah
melihat bahwa dirimu telah suci dan bersih, maka shalatlah pada dua puluh empat atau dua puluh tiga
berikutnya (pada masa suci) serta puasalah. Cara seperti itu yang boleh kamu lakukan. Di samping itu,
lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa masa haid setiap
bulannya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
Hadits ini ditujukan bagi wanita yang tidak mempunyai kebiasaan dari masa haid yang teratur dan darah
yang keluar dari dirinya pun tidak dapat dibedakan.

2.1.5 Amalan yang Dilarang untuk Dikerjakan bagi Wanita yang Menjalani Masa Haid
a. Shalat
Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang untuk mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada
hadits dari Rasulullah :
“Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaqun Alaih)
Aisyah pernah bercerita:
“Kami pernah menjalani masa haid pada zaman Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha puasa
dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (Muttafaqun Alaih)
Ibnu Mundzir mengatakan: Para Ulama telah bersepakat untuk menghapuskan kewajiban shalat bagi
wanita yang tengah menjalani masa haid. Menurut mereka, mengqadha shalat yang ditinggalkan selama
masa haid itu tidak diwajibkan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi dalam hadits yang diriwayatkan dari
Fathimah binti Abi Hubaisy:
“ Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (HR. Muttafaqun Alaih)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Mu’adzah dimana ia bercerita:


“Aku pernah bertanya kepada Aisyah, bagaimana hukum wanita haid yang mengqadha puasa dan tidak
mengqadha shalat? Aisyah bertanya: Apakah engkau wanita merdeka? Aku menjawab: Tidak, akan
tetapi aku hanya sekedar bertanya. Lalu Aisyah berkata: Kami pernah menjalani haid pada masa
Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.”
(Muttafaqun Alaih)
Lebih lanjut Aisyah mengatakan, bahwa hal itu ia sampaikan kepada Mu’adzah, karena golongan
Khawarij berpendapat; wanita yang mengalami masa haid itu harus mengqadha shalatnya.

b. Puasa
Wanita Muslimah yang sedang menjalani masa haid tidak diperkenankan untuk menjalankan ibadah
puasa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah :
“Bukankah salah seorang diantara mereka (kaun wanita) apabila menjalani masa haid tidak mengerjakan
shalat dan tidak berpuasa? Para sahabat wanita menjawab: Benar” (HR. Al-Bukhari)
Namun demikian, wanita yang menjalani masa haid berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkan
setelah masa haidnya selesai. Ibnu Mundzir pernah meriwayatkan bahwa wanita yang tengah menjalani
masa haid berkewajiban mengqadha puasa.

c. Membaca Al-Qur’an
Bagi wanita yang menjalani masa haid diperbolehkan membaca Al-Qur’an, akan tetapi tidak boleh
menyentuh mushafnya. Di samping itu ada pula hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Ibnu
Umar, yang berstatus sebagai hadits marfu’:
“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan juga yang sedang dalam junub tidak boleh sama sekali
membaca Al-Qur’an.” (HR. At-Tirmidzi)
Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Ismail bin Iyyas, Hadits ini telah di
sebutkan oleh Al-Aqili di dalam kitabnya yang berjudul Adh-Dhu’afa Al-Kabir. Ia berkata: Telah
diberitahukan kepada kami oleh Abdullah bin Ahmad, ia mengatakan: Aku pernah mengemukakan
sebuah hadits kepada ayahku, bahwa kami diberitahu oleh Al-Fadhal bin Ziyad Ath-Thasti, ia
mengatakan: Kami telah diberitahu oleh Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar,
dari Nabi, dimana beliau bersabda:

“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.”
Lalu ayahku berkata: “Hadits ini tidak dapat diterima, karena Ismail bin Iyyas merupakan perawi yang
ditolak.”

d. Menyentuh Al-Qur’an
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid menyentuh Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
“Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an), kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Al-Waqiah:79)
Juga sabda Rasulullah:
“Janganlah kamu menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Al-Atsram)

e. Berdiam diri dalam masjid


Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan masalah mandi, bahwa wanita yang sedang haid tidak
boleh berdiam diri di dalam masjid, dan diperbolehkan jika hanya sekedar berlalu saja.

f. Thawaf
Wanita Muslimah juga diharamkan melakukan thawaf jika sedang menjalani masa haid, sebagaimana
sabda Nabi kepada Aisyah:
“Kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali kmu tidak boleh melakukan
thawaf di Ka’bah, sehingga kamu benar-benar dalam keadaan suci.” (Muttafaqun Alaih)
g. Berhubungan badan
Seorang istri Muslimah yang sedang haid tidak diperkenankan bersetubuh selama hari-hari menjalani
masa haidnya, sebagaimana firman Allah:
“Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri1) dari mereka pada waktu haid dan janganlah kalian
mendekati mereka, sebelum mereka benar-benar suci.” (Al-Baqarah:222)

h. Thalak
Menthalak istri yang sedang haid adalah haram. Karena, pelaksanaan thalak semacam ini disebut
sebagai thalak bid’ah ( thalak yang diharamkan).

i. Iddah dengan perhitungan bulan


Allah SWT berfirman:
“Hendaklah istri-istri yang di thalak dapat menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru.” (Al-Baqarah:
288)
Demikian juga dengan firman-Nya yang lain:
“Istri-istri yang tidak mengalami masa haid lagi (menopause) di antara kalian, apabila merasa ragu
tentang masa iddahnya, maka iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula wanita-wanita yang tidak
haid.” (Ath-Thalaq:4)
Syarat iddah dengan perhitungan bulan adalah tidak haid, karena haid dapat membatalkan kesucian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa keluarnya darah itu menyebabkan seorang wanita berhadats dan jelas
akan mengakibatkan batalnya kesucian, sebagaimana halnya dengan kencing.
Hukum nifas sama dengan haid, baik itu yang menyangkut hal-hal yang wajib, haram, maupun yang
digugurkan. Dalam masalah ini, kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat. Hanya saja terjadi
perbedaan pendapat di dalam masalah kewajiban membayar kafarat atas perbuatan menyetubuhi istri
yang sedang menjalani masa nifas, seperti halnya istri yang sedang haid. Selain itu, juga diperbolehkan
bercumbu selain pada bagian kemaluan. Karena, nifas itu adalah darah haid yang tertahan karena proses
kehamilan, lalu keluar sebagai darah nifas dan ditetapkan hukumnya sama seperti haid, kecuali dalam
masa perhitungan iddahnya. Sebab, iddah itu berdasarkan quru’, sedangkan nifas tidak. Selain itu, juga
karena iddah berakhir dengan adanya kehamilan. Hal lain yang membedakannya dari haid adalah bahwa
nifas tidak menunjukkan seseorang telah mencapai usia baligh, sedangkan haid dapat dijadikan sebagai
petunjuk bagi balighnya seseorang. Karena, nifas itu tidak akan terjadi sebelum adanya proses
kehamilan.

j. Apabila darah haid berhenti, diperbolehkan bagi wanita Muslimah mengerjakan shalat dan puasa.
Akan tetapi, tidak diperbolehkan terhadap selain dari keduanya kecuali setelah mandi
Secara umum, dapat dikatakan bahwa jika darah haid seorang wanita Muslimah telah berhenti dan
belum melaksanakan mandi, maka tidak berlaku baginya empat hukum yang berkenaan dengan haid,
yaitu:
1. Terhapusnya kewajiban shalat, karena pada saat itu masa haid masih berlangsung.
2. Adanya halangan yang disebabkan oleh tidak sahnya taharah, karena haid.
3. Larangan mengerjakan puasa. Karena, kewajiban mandi setelah selesainya masa haid tidak lagi
melarang wanita untuk mengerjakan puasa.
4. Diperbolehkannya thalak. Karena, pengharamannya dimaksudkan untuk memperpanjang masa
iddah atau karena haid. Disamping itu, seluruh apa yang diharamkan masih tetap berlaku. Karena,
semuanya itu juga diharamkan bagi orang yang tengah berada dalam kondisi junub, dimana inilah yang
terbaik.

k. Diperbolehkan bercumbu dengan istri yang sedang haid, akan tetapi tidak boleh bersetubuh
dengannya
Bercumbu dengan istri yang sedang haid pada bagian-bagian di atas pusar dan di bawah lutut tetap
diperbolehkan. Sedangkan bersenggama dengan mereka sama sekali diharamkan.
Imam Ahmad memperbolehkan bercumbu pada bagian atas pusar dan di bawah lutut. Sementara Imam
Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Abu Hanifah mengatakan: “Hal itu tidak di perbolehkan, karena
Aisyah pernah menceritakan bahwa, Rasulullah pernah menyuruhku memakai kain sarung dan akupun
memakainya. Lalu beliau mencumbuiku, sedang aku dalam keadaan haid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Juga dari Abdullah bin Sa’ad Al-Anshari, dimana ia pernah bertanya kepada Rasulullah, tentang bagian
mana yang boleh dilakukan terhadap istri yang sedang haid? Beliau menjawab: “Apa yang berada di atas
kain” (HR. Baihaqi).

l. Kafarat bagi istri yang haid yang disetubuhi suaminya


Apabila istri yang disetubuhi itu tidak senang atau tidak mengetahuinya, maka tidak ada kafarat (denda)
baginya, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Diberikan maaf bagi umatku atas kesalahan dan kelupaan serta apa-apa yang dipaksakan kepada
mereka.”
Akan tetapi, apabila ia merasa senang atasnya, maka ia harus membayar setengah dinar emas murni
dalam bentuk apapun dan menyerahkannya kepada orang-orang miskin, seperti halnya pada ketentuan-
ketentuan kafarat-kafarat yang lain. Wallahu A’lam Bishshawab.
Hukum kafarat dalam masalah haid sama seperti hukum kafarat pada nifas.

m. Wanita hamil tidak memiliki masa haid


Apabila wanita Muslimah yang sedang hamil mengeluarkan darah, maka berarti itu merupakan darah
kotor dan bukan darah haid. Demikian dikatakan oleh Sa’id bin Al-Musayyib dan Al-Auza’I yang
diriwayatkan dari Aisyah. Yang benar menurut sumber dari Aisyah, apabila seorang wanita hamil
mengeluarkan darah, maka tidak diwajibkan atasnya mengerjakan shalat. Yaitu apabila ia mengeluarkan
darah pada satu atau dua hari sebelum melahirkan. Karena yang dmikian itu merupakan darah darah
nifas, sehingga ia harus meninggalkan kewajiban shalat.
Sementara Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i berpendapat: “Darah yang dikeluarkannya itu adalah darah
haid.” Pendapat ini juga diriwayatkan dari Az-Zuhri, Qatadah dan Ishaq. Karena, itu merupakan darah
yang datang secara tiba-tiba, sehingga menjadi darah haid seperti halnya wanita-wanita yang tidak
hamil.
Hukum nifas sama seperti hukum yang berlaku pada haid, baik mengenai amalan yang diharamkan
maupun amalan yang digugurkan. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat. Yang menjadi
perbedaan adalah mengenai kewajiban membayar kafarat atas persetubuhan yang dilakukan terhadap
istri yang sedang menjalani masa nifas, sebagaimana halnya wanita yang sedang haid.
Walau demikian, diperbolehkan mencumbui istri hamil yang mengeluarkan darah seperti ini pada
bagian-bagian selain kemaluan. Karena, darah yang keluar tersebut adalah darah haid yang terhenti
karena kehamilan, kemudian darah itu keluar, sehingga hukumnya tetap demikian. Kecuali dalam masa
iddah, karena iddah itu dihitung dengan quru’ sedangkan nifas tidak. Selain itu, karena masa iddah
menjadi selesai setelah proses kehamilan berakhir.

n. Istri pada masa mengalami istihadhah yang disetubuhi suaminya


Bagi wanita yang mengalami istihadhah, ia diharuskan mandi sama seperti mandinya wanita yang selesai
dari menjalani masa haidnya dan kemudian berwudhu pada setiap kali aka mengerjakan shalat.
Demikian menurut pendapat Imam Malik dan Asy-Syafi’i yang didasarkan riwayat Aisyah, dimana ia
bercerita:
“Fathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah seraya bertanya: wahai Rasulullah, aku sedang
mengalami istihadhah dan tidak pernah suci, apakah aku harus meninggalkan shalatku? Nabi menjawab:
Sesungguhnya darah yang keluar itu adalah darah yang mengalir dari pembuluh darah dan bukan darah
haid. Sedang apabila datang waktu haidmu, maka tinggalkan shalat dan apabila masa haidmu telah
selesai, maka mandi dan dirikan shalat.” (Muttafaqun Alaih)
Mengenai masalah ini penulis berpendapat, bahwa seorang istri yang sedang mengalami istihadhah
diperbolehkan berhubungan badan dengan suaminya. Sedang untuk mengetahui darah yang keluar itu
istihadhah atau haid, wanita Muslimah dapat melihatnya dari perbedaan dua warna darah, haid dan
istihadhah. Akan tetapi, ia juga diperbolehkan untuk meninggalkan shalat dan suaminya pun
diperboleehkan untuk tidak menyetubuhinya.
Apabila ia tidak bisa membedakan antara kedua warna tersebut, maka hendaklah ia melihat, apakah
darah yang keluar mempunyai waktu tertentu, sehingga ia boleh menahan diri selama masa itu
berlangsung. Jika istihadhah itu dimulai pada diri seorang Muslimah sejak awal dari masa haid
pertamanya berakhir dan darah itu terus mengalir, maka hendaklah ia menanyakan kepada salah satu
teman wanitanya.

o. Apabila seorang wanita lupa atas hari haidnya


Apabila seorang wanita Muslimah tidak ingat jumlah hari haidnya, maka ia boleh mandi setelah enam
atau tujuh hari dan selanjutnya boleh mengerjakan shalat serta puasa. Imam Asy-Syafi’i mengatakan:
“Dalam hal ini, secara yakin dapat dikatakan, bahwa istri atau wanita tersebut tidak sedang haid.
Sementara terhadap hari-hari yang diragukannya itu, ia harus mandi pada setiap akan mengerjakan
shalat dan boleh berpuasa. Akan tetapi, tidak boleh disetubuhi seaminya.” Adapun pendapat yang
pertama adalah lebih benar, karena sesuai dengan sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya darah itu keluar akibat hentakan setan. Jalanilah haid itu selama enam atau tujuh hari,
kemudian mandilah. Jika kamu telah mendapati dirimu berada dalam keadaan bersih, maka shalatlah
dua puluh empat atau dua puluh tiga hari (siang malam), dan puasalah, begitulah yang boleh kamu
lakukan. Disamping itu, lakukanlah sebagaimana apa yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani
masa haid pada tiap bulannya. Juga sebagaimana dia bersuci pada hari penghabisan dan masa haidnya.”
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.At-Tirnidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus hasan shahih)
Apabila seorang wanita mengeluarkan darah tidak pada masa haidnya yang biasa terjadi dan ia
mendapati jumlahnya lebih banyak, maka hendaknya ia mandi janabah setelah darah itu berhenti.
Karena, ada kemungkinan keluarnya darah itu adalah sebagai masa haidnya.
p. Wanita yang baru menjalani masa haid
Wanita muslimah yang baru menjalani masa haidnya akan lebih berhati-hati, dimana mereka sebaiknya
menahan diri selama satu hari satu malam, lalu mandi dan berwudhu pada setiap kali hendak
mengerjakan shalat. Apabila darah itu berhenti pada hari kelima belas, maka hendaklah ia mandi pada
hari berhenti mengalirnya darah tersebut. Demikianlah yang seharusnya dilakukan pada masa haid
kedua dan ketiga kalinya.
Jumlah hari dari masa haid yang dapat dijadikan sebagai kebiasaan untuk ditetapkan adalah sekali. Yaitu,
apabila seoran wanita biasa menjalani masa haidnya itu tiga hari pada setiap bulannya. Lalu ia
mendapati masa haidnya berlangsung selama lima hari pada bulan yang lain, maka ketetapan dari masa
haidnya yang berlaku adalah tiga hari, seperti pada bulan yang pertama. Akan tetapi, apabila keluarnya
darah haid itu sampai pada bulan yang ke tiga adalah selama lima hari, maka yang menjadi ketentuan
dari masa haidnya adalah lima hari. Sedang apabila kebiasaan dari masa haidnya itu lima hari, kemudian
di tengah-tengah dari hari kelima tersebut ia mendapati satu hari keluar dan satu hari yang lain
berhenti, maka semuanya itu tetap terhitung sebagai masa haid, sehingga selesai pda hari yang kelima.
Adapun darah yang keluar setelah hari kelima adalah istihadhah.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa seorang istri yang mengalami masa istihadhah secara
mutlak boleh disetubuhi oleh suaminya, tanpa adanya syarat apapun. Ini merupakan pendapat
mayoritas dari fuqaha. Wanita yang mengalami istihadhah juga diharuskan berpuasa dan mengerjakan
shalat selama istihadhah itu berlangsung. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abi bin Tsabit, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi:
“Ia meninggalkan shalat selama hari haidnya, kemudian mandi, berpuasa, dan mengerjakan shalat serta
berwudhu pada setiap hendak menunaikan shalatnya.” (HR. abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Sedangkan dari Aisyah, ia menceritakan:
“Fathimah binti Abi Jahsyin ia pernah datang kepada Nabi. Seraya menceritakan apa yang tengah
dialaminya. Maka Beliau bersabda: Mandilah, kemudian berwudhu pada setiap hendak menunaikan
shalat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Karena darah itu keluar melalui kemaluan sehingga membatalkan wudhu, maka hukumnya sama dengan
madzi. Akan tetapi yang lebih baik adalah berwudhu ketika datang waktu shalat. Karena ada
kemungkinan darah tesebut dapat keluar sewaktu-waktu, hingga dapat membatalkan wudhu. Sebab,
hadats yang keluar melalui kemaluan dapat membatalkan wudhu.

q. Menjama’ antara dua shalat


Bagi wanita yang sedang mengalami istihadhah diperbolehkan menjama’ antara dua shalat dengan satu
kali wudhu. Karena, Nabi pernah memerintahkan kepada Hamnah binti Jahsy untuk menjama’ antara
dua shalat dengan satu kali bersuci. Hal ini di qiyaskan bagi para wainta yang mengalami istihadhah.
r. Usia minimal keluarnya darah haid
Usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa haid adalah 9 tahun. Oleh karena itu, apabila
ada seorang wanita yang mengeluarkan darah melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu
bukanlah darah haid. Artinya, tidak berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkenaan dengan
masalah haid. Karena tidak ada ketetapan hukum ynga mengatur bahwa seorang wanita mampu
menjalani masa haid sebelum usia tersebut. Telah diriwayatkan dari Aisyah ra, di mana ia berkata:
“Apabila seorang anak wanita mencapai usia 9 tahun, maka ia sudah termasuk perempuan (memasuki
usia baligh). (HR. At-Tirmidzi)

s. Usia maksimal keluarnya darah haid


Usia maksimal seorang wanita dalam menjalani masa haidnya adalah 50 tahun. Oleh karena itu, apabila
melihat keluarnya darah melalui kemaluannya setelah usia 50 tahun maka dalam hal ini ada 2
penjelasan:
1. Hal itu dianggap sebagai proses sirkulasi darah yang mengalai kerusakan. Karena Aisyah pernah
menceritakan: “Apabila seorang waita telah mencapai usia 50 tahun, maka ia udah tidak mengalami
masa hiad lagi.
2. Apabila darah tersebut mengalir secara berulang-ulang. Maka ia termasuk darah haid. Maka inilah
yang paling benar. Sebab hal itu tidak jarang ditemukan dikalangan kaum wanita. Sebagaimana
diriwayatkan bahwa Hindun binti Ubaidah bin Abdelillah bin Zam’ah melahirkan Musa bin Abdellah bin
Hasan bin Hasan bin Ali .ra pada usia 60 tahun.
Sementara Ibnu Bakar mengatakan bahwa wanita yang telah berusia 50 tahun tidak akan melahirkan,
kecuali pada wanita-wanita bangsa arab dan wanita yang telah berusia 60 tahun tidak akan melahirkan
kecuali wanita Quraish. Wanita non- arab merasa putus asa pada usia 50 tahun, sedangkan wanita Arab
masih melahirkan sampai pada usia 60 tahu karena mereka jauh lebih kuat dari sisi fisik untuk
melahirkan.

2.2 NIFAS
2.2.1 Definisi Nifas
Nifas adalah darah yan keluar dari rahim seorang wanita setelah selesai melahirkan, walaupun anak
yang dilahirkan belum berwujud manusia atau masih berupa alaqoh (darah kental) atau mudglah
(segumpal daging). [2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit
adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang
kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya.
Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh
Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada
seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas.
Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari,
karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti
setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita
menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah
masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu
sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut
dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali
kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si
wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari.
Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika
berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam
kitab Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia.
Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang
keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil,
dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul
Iqna':
"Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka
tidak perlu dianggap (sebagai nifas)”.
Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran
ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau
tidak demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan
kewajiban.

2.2.2 Keguguran
Apabila janin yang berada di dalam kandungan seorang ibu keluar sebelum waktunya (keguguran) dan
sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelahnya merupakan darah nifas. Sedang apabila
janin yang keluar setelahnya tidak dikategorikan sebagai darah nifas. Akan tetapi, dianggap sebagai
darah kotor yang tidak menghalangi wanita untuk mengerjakan shalat dan juga puasa.
Waktu minimal bagi sebuah janin itu terbentuk menjadi manusia sempurna adalah delapan puluh satu
hari. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasululloh SAW pernah bersabda :
“Sesungguhnya sel sperma yang telah membuahi indung telur itu berkumpul di dalam rahim ibu selama
empat puluh hari. Kemudian ia menjadi segumpal darah, lalu segumpal daging, dan diutus kepadanya
malaikat yang diperintahkan untuk ditetapkan baginya empat hal, yaitu rezeki, ajal, dan amalnya dan
apakah akan sengsara atau bahagia.”
Para ulama mengatakan : “Janin tidak mungkin berbentuk sebelum jumlah hari tersebut. Yang pada
umumnya terjadi adalah, bahwa pemberian bentuk itu tidak akan terlihat sebelum 90 hari.”
Hendaklah wanita Muslimah mengetahui bahwa keguguran dalam proses kehamilan, apabila terjadi
setelah terbentuknya tubuh seperti jari, kuku, rambut atau anggota tubuh lainnya, maka kandungan itu
sudah menjadi anak dan darah yang keluar karenanya dianggap sebagai nifas. Sedang apabila
kandungan itu mengalami keguguran sebelum terbentuknya anggota tubuh dan masih berupa segumpal
darah atau segunpal daging, maka darah yang keluar karenanya tidak dianggap sebagai darah nifas.
2.2.3 Masa berlangsungnya nifas
Tidak ada batas minimal dalam masalah nifas, yaitu bisa saja terjadi dalam waktu yang singkat. Oleh
kareba itu, apabila seorang wanita melahirkan, lalu tidak lama kemudian darah nifasnya berhenti, maka
ia berkewajiban mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya seprti layaknya wanita yang berada
dalam keadaan suci. Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari, sesuai dengan hadits dari Ummu
Salamah di atas.
Disunnahkan bagi wanita Muslimah untuk mandi setelah melahirkan baik yang melahirkan dengan
mengeluarkan darah maupun tidak. Demikian juga apabila mengalami keguguran pada masa-masa
kehamilan, meskipun waktunya sangat sebentar.

2.2.4 Cara mengetahui kesucian


Seorang wanita Muslimah dapat mengetahui kesuciannya dengan cara memasukkan kapas ke dalam
kemaluannya, lalu mengeluarkannya kembali. Hal ini dilakukan pada saat bangun dari tidur dan ketika
hendak tidur. Yaitu untuk mengetahui, apakah dirinya dalam keadaan suci atau tidak. Atau untuk
mendapatkan bukti, apakah masih ada yang keluar setelah ia bersuci.

2.2.5 Melahirkan Dua anak


Apabila wanita Muslimah melahirkan 2 anak (kembar), maka masa nifasnya dimulai dari kelahiran anak
pertama dan bukan pada anak yang kedua. Sebagaiman Fathimah Az-Zahra ra yang pernah melahirkan
sebelum terbenamnya matahari (yaitu Hasan dan Husain), kemudian ia bersuci dari nifas dan mandi
setelah mengerjakan shalat Isya, tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dapat dikatakan, bahwa batas
minimal dari nifas adalah waktu sekejap dan batas maksimalnya adalah 40 hari.

2.2.6 Amalan yang diharamkan bagi wanita pada masa nifas


Amalan yang diharamkan bagi wanita pada masa haid diharankan pula bagi wanita yang menjalani masa
nifas, tanpa ada perbedaan di antara keduany, kecuali hal-hal yang menyangkut thalak dan iddah

2.2.7 Amalan yang mubah dilakukan wanita haid dan nifas


a. Bercumbu pada bagian-bagian selain kemaluan
b. Berdzikir kepada Alloh SWT
c. Ihram, wuquf di Arafah, semua amalan haji dan umrah kecuali thawaf di sekeliling Ka’bah. Tidak
dipperbolehkan bagi wanita yang sedang menjalani masa haid serta nifas, kecuali setelah bersuci dan
mandi. Hal ini didasarkan pada sabda Rasululloh kepada Aisyah ra :
“kerjakanlah seperti orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali melakukan thawaf di Ka’bah sehingga
kamu bersuci.”(Muttafaqun Alaib)

d. Makan dan minum bersama. Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits riwayat dari Aisyah ra :
“Aku pernah minum air dalam keadaan haid dan memberikan sisanya kepada nabi. Kemudian beliau
meletakkan mulut beliau tepat pada bekas mulutku dan meminum air tersebut (Imam Muslim)”
Selain itu, tidak dimakruhkan bagi wanita yang sedang menjalani masa haid atau nifas untuk memasak,
mencuci atau yang lainnya. Berkenaan dengan hal ini, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud , di
mana dia menceritakan :
“Aku pernah bertanya kepada Rasululloh tentang makan bersama istri yang sedang haid dan beliau pun
menjawab : diperbolehkan makan bersamanya.”(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik , bahwa orang-orang Yahudi pada masa Rasululloh apabila
mendapati istri mereka sedang haid, maka mereka tidak mau nengajak makan bersama dan tidak pula
menemaninya di rumah. Lalu salah seorang sahabat wanita bertanya kepada Rosululloh, mengenai hal
tersebut dan beliau menjawab dengan bersabda :
“Perbuatlah segala sesuatu, kecuali berhubungan badan.”(HR. Muslim)

2.2.8 Amalan yang boleh dilakukan wanita pada masa haid dan nifas
a. Mencukur rambut dan memotong kuku
b. Pergi ke pasar
c. Pergi mendengarkan ceramah agama dan belajar memahami Islam, apabila hal tersebut tidak
dilakukan di dalam masjid.
d. Berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan membaca basmalah sebelum makan minum.
e. Membawa hadits, fiqih, doa dan mengucapkan amin.
f. Membaca berbagai macam dzikir sebelum tidur
g. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an.

2.2.9 Apabila masa nifas lebih dari empat puluh hari


Apabila seorang wanita menjalani masa nifas lebih dari 40 hari dan bertepatan dengan kebiasaan masa
haid, maka darah itu dianggap sebagai darah haid. Akan tetapi, apabila tidak bertepatan dengan
kebiasaan masa haidnya, maka darah itu termasuk istihadhah dan tidak menghalanginya untuk
mengerjakan shalat maupun puasa. Berkenaan dengan ini, wanita tersebut tidak perlu mengganti shalat
yang ditinggalkan, akan tetapi cukup hanya mengganti puasa yang ditinggalkannya (apabila terjadi pada
bulan Ramadhan).

2.2.10 Apabila melahirkan tetapi tidak mengeluarkan darah


Apabila seorang wanita melahirkan dan tidak melihat adanya darah yang keluar, maka ia tetap berada
dalam keadaan suci atau tidak menjalani masa nifas. Karena, masa nifas adalah masa keluarnya darah
setelah melahirkan, sedang pada saat itu ia tidak mengeluarkannya. Untuk itu, ia berkewajiban mandi.
Sebab proses melahirkan itu sendiri merupakan masa nifas, sehingga ia tetap berkewajiban seperti
halnya kewajiban yang melekat pada pertemuan antara dua kemaluan (suami istri) meskipun tidak
mengeluarkan mani.
2.2.11 Apabila suci sebelum 40 hari
Apabila seorang wanita yang sedang menjalani masa nifas telah suci sebelum 40 hari, maka ia
diperbolehkan untuk mandi, menjalankan puasa dan mengerjakan sholat. Akan tetapi disunnahkan
untuk tidak berhubungan badan dengan suaminya sebelum 40 hari berlalu, karena dikhawatirkan
nantinya akan keluar darah kembali, sehingga hubungan badan itu terjadi pada saat nifas.

2.2.12 Apabila darah keluar kembali sebelum 40 hari


Apabila darah itu kembali keluar sebelum 40 hari, maka darah tersebut termasuk darah nifas. Pada saat
itu, ia tidak diperbolehkan mengerjakan shalat maupun puasa. Setelah darah tersebut berhenti, maka ia
boleh melaksanakan mandi dan tidak perlu mengganti shalat yang dtelah ditinggalkan, kecuali puasa.

2.2.12 Apabila mengeluarkan darah setelah bersuci 15 hari


Apabila wanita Muslimah melihat darah keluar selama satu hari satu malam, setelah bersuci pada hari
ke lima belas (setelah masa nifasnya selesai,ed.), maka yang keluar itu dianggap sebagai darah haid.
Akan tetapi, apabila darah yang keluar kurang dari satu hari satu malam, maka darah itu dianggap
sebagai darah kotor dan ia boleh mengerjakan shalat atau puasa.
Apabila ia mengeluarkan darah kembali setelah 2 atau 3 hari, maka darah tersebut termasuk darah
nifas. Sedang apabila mengeluarkan darah dan pada keesokan hari suci, maka mengenai hal ini terdapat
beberapa pendapat : menurut para ulama Hanafi, keadaan seperti itu dianggap sebagai nifas. Menurut
para ulama Hanbali, keadaan seperti itu dianggap masa suci. Menurut para ulama Asy-Syafi’i, apabila
keluar tepat pada lima belas hari atau lebih, maka ia dianggap suci dari masa nifas dan apabila sebelum
dari lima belas hari, maka masih dianggap sebagai masa nifas. Sedangkan menurut para ulama Maliki,
apabila berhentinya darah itu berlangsung selama setengah bulan, maka hal itu dianggap sebagai masa
suci. Adapun darah yang keluar sesudahnya merupakan darah haid. Apabila kurang dari setengah bulan,
maka masih termasuk darah nifas. Diperkirakan masa maksimal nifas itu adalah dijumlahkannya seluruh
hari-hari dari keluarnya darah dengan pemisahan hari-hari berhentinya, sehingga keluarnya darah itu
berjumlah 60 hari. Demikian akhir dari masa nifasnya. Pada hari-hari berhentinya darah, wanita yang
menjalani masa nifas ini berkewajiban untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan oleh wanita yang
tengah berada dalam keadaan suci seperti shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya.

2.2.13 Thalak dan iddahnya wanita pada masa nifas


Iddah itu berlaku terhitung sejak dijatuhkannya thalak, tanpa dipengaruhi oleh masa nifas. Karena
apabila thalak terjadi sebelum proses melahirkan, maka masa iddah dari thalak berakhir dengan proses
kelahiran, baik menunggu kelahiran itu lama maupun sebentar dan tidak harus menunggu masa nifas.
Hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT:
“perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai melahirkan.”(Ath-Thalaq:4)
Sedang apabila thalak itu terjadi setelah proses melahirkan, maka seorang istri harus menunggu sampai
datangnya masa haid berikutnya.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Permasalahan Pertama


Apabila seorang wanita muslimah mengeluarkan darah haid beberapa saat setelah masuknya waktu
shalat, yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan shalat, akan tetapi ia belum sempat
mengerjakannya, maka shalat itu tetap terhitung kewajibannya dan ia harus mengqadhanya pada waktu
yang lain (setelah ia suci).
Apabila sebelum masa haid menjelang ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan takbiratul ihram,
maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat yang ditinggalkannya itu.
Apabila darah haid itu berhenti pada waktu shalat Ashar, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat
Dzuhurnya. Atau apabila berhenti pada waktu shalat Isya, maka ia berkewajiban untuk mengqadha
shalat Maghribnya.
Ia tidak lagi dibebani kewajiban mengerjakan shalat, apabila telah sempat mengerjakan satu raka’at
penuh, sebelum masa haid menjelang. Ketika itu, ia berkewajiban untuk mengerjakan shalat, baik
kesempatan yang diperolehnya tersebut berlangsung pada awal waktu maupun pada akhir shalatnya.
Apabila seorang wanita mengeluarkan darah haid pada sekitar satu raka’at dari pelaksanaan shalatnya
setelah tenggelam matahari, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat Maghrib, yaitu sekitar satu
raka’at sebelum mengeluarkan haid.

3.2 Permasalahan ke dua


Apabila seorang wanita telah suci dari haid pada waktu sekitar satu raka’at dari pelaksanaan shalat
sebelum terbitnya matahari, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat Subuhnya ketika sudah
dalam keadaan suci. Karena, ia sempat memasuki waktu shalat Subuh dalam keadaan suci dari haid
untuk mengerjakan satu raka’at. Akan tetapi, apabila waktu itu tidak mencukupi untuk mengerjakan
satu raka’at penuh, seperti ia mengeluarkan darah haid sesaat setelah waktu Maghrib, maka ia tidak
berkewajiban untuk mengerjakan shalat, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“barangsiapa telah melakukan satu raka’at dari shalat pada waktunya, maka ia telah mendapatkan
shalat tersebut.”(Muttafaqun Alaih)
Pengertian hadits di atas adalah bahwa orang yang mendapatkan waktu shalat kurang dari satu raka’at,
maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat secara penuh.
3.3 Permasalahan ke tiga
Barangsiapa tidak melakukan satu raka’at shalat Ashar setelah ia suci dari haid, maka ia tidak
berkewajiban untuk mengerjakan shalat Dzuhur. Ini menurut pendapat Abu Hanifah.

3.4 Wanita yang mengeluarkan darah sebelum melahirkan


Apabila wanita hamil yang mendekati masa kelahiran mengeluarkan darah, maka darah tersebut
termasuk nifas, di mana ia harus meninggalkan shalat dan puasa, sedang ia hanya berkewajiban untuk
mengqadha utang puasanya saja.

3.5 Wanita yang mengeluarkan darah ketika usia lima puluh tahun
Apabila seorang wanita Muslimah mengeluarkan darah ketika usianya mencapai 50 tahun, maka ia tidak
perlu meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, ia perlu mengqadha puasanya sebagai tindakan
ihtiyathi (preventif). Sedang apabila ia mengeluarkan darah setelah mencapai usia 60 tahun dan ia
berkeyakinan bahwa itu bukan darah haid, maka ia boleh mengerjakan puasa dan shalat serta tidak
perlu mengqadha puasanya.

BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Seorang wanita yang sedang menjalani masa haid ataupun nifas tidak berkewajiban untuk menjalankan
ibadah seperti puasa, shalat, ihram, dan ibadah-ibadah lainnya.

4.2 SARAN
Seorang wanita yang mengalami masa haid seharusnya mengingat kapan waktu mulai dan
berhenti hal ini bertujuan agar ia mengetahui apakah dia berkewaajiban mengqadha sholatnya atau
tidak. Selain itu, bagi wanita yang hamil seharusnya juga mengetahui hukum-hukum tentang nifas.

Anda mungkin juga menyukai