Anda di halaman 1dari 5

4 keadaan wanita yang mengalami istihadhah

1. Wanita yang memiliki kebiasaan haid teratur sebelum tertimpa darah


istihadhah.
Yang harus ia lakukan tatkala tertimpa istihadhah adalah menjadikan masa
haid sesuai dengan kebiasaan haid sebelumnya. Adapun hari lainnya
dianggap sebagai istihadhah berlaku hukum-hukum istihadhah yaitu tetap
shalat, puasa, boleh jima’dan berwudhu setip kali akan shalat.
Contoh:
Ibu Dewi terbiasa haid tepat waktu tanggal 1-6 di awal bulan hijriyyah. Namun
di bulan ini, Ibu Dewi mengalami istihadhah sehingga darah terus menerus
keluar sampai akhir bulan masih mengeluarkan darah. Yang dilakukan Ibu
Dewi adalah menjadikan tanggal 1- 6 sebagai masa haid sebagaimana
kebiasaan haid sebelumnya dan sisanya tanggal 7-30 dianggap sebagai
darah istihadhah.
Dalinya:
Hadis ‘Aisyah radhiyallah’anha beliau berkata, “Bahwa fathimah binti Abu
Hubaisy bertanya,
‫ ولكن َدعي الصالة قْد َر األيام التي كنت‬، ‫ إن ذلك ِع ْر ق‬. ‫ ال‬: ‫ إني أستحاض فال أطهر أفأدع الصالة ؟ قال‬، ‫” يا رسول هّللا‬
‫تحيضيَن فيها ثم اغتسلي وصلى‬
“Ya Rasulullah sesungguhnya saya mengalami istihadhah, sehingga saya tidak pernah
suci. Apakah saya harus meninggalkan shalat ?’ Jawab Nabi
shallallahu’alaihiwasallam, ‘Tidak, itu adalah darah urat (yang terputus). Akan
tetapi tinggalkan shalat selama hari yang biasa engkau haid sebelumnya kemudian
mandilah lalu shalatlah.” (Muttafaq Alaih)
Dalam riwayat At-Tirmidzi, Nabi shallallahu’alahi wasallam bersabda,
‫إنما ذلك عرق وليست بالحيضة فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصالة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي‬
“Itu hanyalah darah urat yang terputus dan bukan darah haid. Jika datang masa haid,
tinggalkanlah shalat. Jika telah selesai masa haid, bersihkanlah darah tersebut lalu
shalatlah.’”
Dalil lainnya, sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam kepada Ummu Habibah
binti Jahsy yang sedang tertimpa darah istihadhah,
‫إمُك ثي قْد ر ما كانت تحبُسك حيضتك ثم اغتسلي وصلي‬
“Tinggalkan shalat selama masa haid yang menghalangimu. Kemudian mandi dan
shalatlah.” (HR. Muslim)
Kesimpulan: wanita istihadhah yang memiliki kebiasaan haid yang jelas maka
masa haidnya merujuk pada masa haid sebelum tertimpa istihadhah lalu
mandi dan tak perlu mempedulikan darah yang terus keluar.
2. Wanita tersebut tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas atau memiliki
kebiasaan tetapi lupa atau sejak pertama kali haid sudah tertimpa istihadhah.
Untuk menentukan masa haid wanita jenis ini adalah dengan cara
membedakan sifat darah haid dengan darah istihadhah (cara tamyiz).
Bagaimana cara membedakannya?
Perbedaan darah haid dengan darah istihadhah diketahui dengan melihat
sifat darah:
– Warna darah: darah haid berwarna hitam sedangkan istihadhah berwarna
merah.
– Kekentalan: darah haid kental dan menggumpal sedangkan darah
istihadhah encer.
– Bau: darah haid memiliki bau busuk (tidak sedap) sedangkan darah
istihadhah tidak berbau karena merupakan darah urat yang normal.
– Beku: darah haid tidak membeku ketika terkena udara luar karena telah
membeku sebelumnya di dalam rahim kemudian meluruh dan mengalir.
Berbeda dengan darah istihadhah yang dapat membeku karena merupakan
darah urat. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti’, 1: 423)
Baca: Ciri-ciri Beserta Perbedaan Darah Haid dan Istihadhah
Jika salah satu sifat darah diatas diketahui maka sudah cukup untuk
menentukan jenis darah apakah darah haid ataukah istihadhah.
Misalnya tanggal 1-6 bulan Muharram, darah memiliki bau tak sedap
sedangkan tanggal 7-30 tidak berbau maka tanggal 1-6 darah haid,
sedangkan tanggal 7-30 darah istihadhah.
Tanggal 1-6 bulan Shafar darah yang keluar berupa gumpalan hitam
sementara tanggal 7-30 darah encer merah maka tanggal 1-6 termasuk darah
haid sedangkan tanggal 7-29 darah istihadhah. (Lihat Risalah Fiddima’, hal.41)
Contoh kasus:
Asiah gadis ABG yang baru menginjakkan kaki di masa baligh. Pertama kali
haid tanggal 1-6. Setelah tanggal 6 Asiah langsung tertimpa istihadhah
(mengeluarkan darah terus menerus). Sehingga Asiah tidak memiliki
kebiasaan masa haid sebelumnya. Oleh karena itu yang harus dilakukan
Asiah adalah membedakan darah. Jika darah yang keluar memiliki tanda-
tanda seperti tanda darah haid maka dihukumi sebagai haid. Sebaliknya jika
tanda darah seperti darah istihadhah maka dihukumi sebagai istihadhah dan
berlaku hukum-hukum istihadhah.
Dalilnya:
Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abu Hubaisy,
‫ فإذا كان ذلك فأمسكي عن الصالة فإذا كان اآلخر فتوضئي وصلِّي ؛ فإنما هو ِع ْر ق‬، ‫إذا كان دم الحيضة فإنه أسوَد ُيْع َر ُف‬
“Darah haid adalah darah hitam sebagaimana diketahui. Jika darah yang keluar
demikian maka tinggalkan shalat. Namun jika darahnya memiliki sifat yang lain
(merah, encer) maka berwudhulah lalu shalatlah karena itu sesungguhnya darah urat
(yang terputus). (HR. Abu Dawud dan An-Nasai. Dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban dan Al-Hakim)
Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata tentang hadis
diatas,
‫ وهو أْو لى من رِّدها إلى عادة غالب النساء‬، – ‫وهذا الحديث وإن كان في سنده ومتنه نظر فقد َع ِمَل به أهل العلم – رحمهم هّللا‬
“Hadis ini meskipun dari sisi sanad dan matannya perlu dikaji ulang, namun
para ulama rahimahullah mengamalkannya. Cara tamyiz (dengan
membedakan sifat darah) tentu lebih utama daripada mengembalikan masa
haid wanita tersebut pada kebiasaan haid umumnya wanita.’ ( Risalah
Fiddima’, hal.41)
3. Wanita yang memiliki kebiasaan haid yang jelas sekaligus dapat membedakan
sifat darah.
Lalu manakah cara yang harus ditempuh? Dengan kembali berpatokan
kepada kebiasaan haid sebelumnya (cara adat) ataukah dengan melihat sifat
darah (cara tamyiz)?
Para ulama berbeda pendapat akan hal ini:
Pertama, pendapat yang mendahulukan tamyiz daripada adat. Pendapat ini
yang dipilih Imam Asy Syafi’I dan merupakan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad. Mereka berdalil dengan hadis Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
‫إن دم الحيض أسوَد ُيْع َر ُف‬
“Sesunggguhnya darah haid itu hitam sebagaimana diketahui.”
Alasan kedua, karena tamyiz memiliki tanda-tanda yang nampak secara jelas.
Kedua, pendapat yang mendahulukan adat daripada tamyiz.
Pendapat ini yang dinilai kuat oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah dengan
alasan:
Pertama, hadis yang menyebutkan tentang tamyiz (membedakan darah
dengan sifat-sifatnya) adalah hadis yang diperselisihkan ulama tentang
kesahihannya.
Alasan kedua, mendahulukan adat daripada tamyiz lebih meyakinkan bagi
wanita itu sendiri. Karena darah hitam, kental dengan bau tak sedap
terkadang keluar tidak tentu, berubah-rubah, berpindah dari akhir bulan ke
awal bulan atau terputus-putus, sehari berwarna hitam sehari berwarna
merah.
Contoh kasus:
Hanifa memiliki kebiasaan haid yang rutin di awal bulan selama tujuh hari. Di
bulan Shafar ini, Hanifa haid tanggal 1-7 dengan warna darah hitam,
menggumpal dan bau tak sedap. Hari ke 8-10 Hanifa masih melihat darah
hitam. Setelah hari ke 10 darah yang keluar merah segar dan encer. Apa
yang harus dilakukan Hanifa?
Menurut pendapat yang dikuatkan Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah, kasus
seperti Hanifa ini harus kembali berpatokan kepada adat/kebiasaan haid
sebelum tertimpa istihadhah. Yaitu menjadikan masa haid dari tanggal 1-7.
Adapun tanggal 8 dan seterusnya diianggap istihadhah meskipun darah yang
keluar berwarna hitam.
4. Wanita yang tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas dan juga tidak mampu
membedakan darah karena darah terus menerus keluar dengan ciri yang sama
sejak pertama kali keluar, atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap
sebagai haid.
Lalu apa yang harus dilakukan wanita tersebut?
Ulama berbeda pendapat tentang hal ini:
Pendapat pertama,
Berpatokan pada kebiasaan haid umumnya para wanita yaitu haid enam atau
tujuh hari.
Dalilnya:
Hadis Hamnah binti Jahsy radhiyallahu’anha tatkala bertanya kepada
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
‫ أنعُت لك ( أصُف لك‬. ‫ فقال‬، ‫ إني أستحاُض حيضًة كبيرة شديدة فما ترى فيها قد منعتني الصالة والصيام‬: ‫يا رسول هّللا‬
‫ « إنما هذا‬: ‫ » وفيه قال‬. ‫ هو أكثر من ذلك‬: ‫ قالت‬، ‫ فإنه يذهب الدم‬، ‫استعمال ) الكرسف ( وهو القطن ) تضعينه على الفرج‬
‫ ثم اغتسلي حتى إذا رأيِت أنك قد طُهرت واستنقيت‬، ‫رْك َض ة من َر َك َض ات الشيطان فتحيضي ستة أيام أو سبعة في علم هّللا تعالى‬
‫فصلي أربًعا وعشرين أو ثالًثا وعشرين ليلة وأيامها وصومي‬
“Ya Rasulullah, saya megalami istihadhah sangat deras sekali. Apa pendapat Anda
tentangnya. Sungguh darah ini menghalangiku dari shalat dan puasa.”
Nabi shallallahu’alahi wasallam menjawab, ‘Aku beritahukan kepadamu
(gunakanlah) kapas lalu letakkanlah di kemaluan. karena kapas tersebut dapat
menyerap darah.’
Hamnah menimpali, ‘Darahnya lebih banyak dari itu.’
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Ini hanyalah gangguan setan. Jadikan
masa haid enam atau tujuh hari menurut ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah
sampai engkau merasa telah bersih dan suci. Lalu shalatlah selama 24 atau 23 hari
di malam dan siangnya dan puasalah.” (Hadis riwayat Ahmmad, Abu Dawud, At
Tirmidzi beliau menilai shahih, Ahmad beliau juga menilai shahih dan dinilai
hasan oleh Al-Bukhari)
Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Enam atau tujuh hari” disini bukan
untuk pilihan akan tetapi untuk ijtihad. Hendaknya wanita menilai faktor yang
lebih dekat dengan keadaan dirinya. Dengan cara melihat kondisi wanita lain
yang serupa kondisi fisiknya, lebih dekat umurnya, hubungan
kekeluargannya, melihat kondisi darah yang lebih dekat dengan ciri-ciri darah
haid serta perimbangan lainnya. Jika masa haid lebih dekat dengan enam hari
maka masa haid enam hari. Jika lebih masa haid dekat dengan tujuh hari
maka masa haid nya tujuh hari. (Risalah Fiddia‘hal.44)
Contoh:
Tuti, anak gadis yang baru saja mengalami haid. Pertama keluar tanggal 5
bulan Shafar. Darah terus menerus keluar dengan sifat yang sama baik
warna, bau, kekentalan. Sehingga Tuti tidak bisa membedakan mana darah
haid dan mana darah istihadhah. Tuti juga tidak memiliki kebiasaan haid
sebelumnya karena ini haid pertama. Apa yang harus dilakukan Tuti?
Tuti wajib menjadikan masa haid setiap tanggal 5 setiap bulan selama enam
atau tujuh hari sesuai dengan pertimbangan yang lebih dekat dengan kondisi
dirinya.
Pendapat kedua,
Menjadikan masa haid selama 15 hari dan sisanya istihadhah. Karena batas
maksimal haid adalah 15 hari. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas
ulama (Syafi’iyyah dan Hanabilah).
Dalam kitab Al Mudawwanah dinyatakan,
‫ أكثر ما تترك المرأة الصالة‬:‫قال ابن نافع عن عبد هللا بن عمرو عن ربيعة ويحيى بن سعيد وعن أخيه عبد هللا أنهما كانا يقوالن‬
.”‫للحيضة خمس عشرة ليلة ثم تغتسل وتصلي‬
Ibnu Nafi berkata dari Abdullah bin Amr dari Rabiah dari Yahya bin Said dan
dari saudaranya Abdullah bahwa keduanya berkata, “Waktu maksimal
seorang wanita meninggalkan shalat karena haid sebanyak lima belas malam
kemudian hendaknya ia mandi dan shalat.”
Dalam kitab Kisyaful Qina disebutkan,
‫ ما زاد على الخمسة عشر استحاضة‬:‫ الحيض خمسة عشر يومًا بلياليهن؛ لقول علي‬:‫وأكثره أي‬
Batas maksimal masa haid adalah 15 hari dengan malam-malamnya.
Berdasarkan perkataan Ali, “Darah yang keluar lebih dari 15 hari adalah darah
istihadhah.”

Anda mungkin juga menyukai