Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN HAID, NIFAS, DAN ISTIHADHAH

POSTED BY ADMIN ON JUL 18, 2013 IN HAID & NIFAS | 1 COMMENT

Pembahasan soal darah pada wanita yaitu haid, nifas, dan istihadhah adalah
pembahasan yang paling sering dipertanyakan oleh kaum wanita. Dan pembahasan
ini juga merupakan salah satu bahasan yang tersulit dalam masalah fiqih, sehingga
banyak yang keliru dalam memahaminya. Bahkan meski pembahasannya telah
berulang-ulang kali disampaikan, masih banyak wanita Muslimah yang belum
memahami kaidah dan perbedaan dari ketiga darah ini. Mungkin ini dikarenakan
darah tersebut keluar dari jalur yang sama namun pada setiap wanita tentulah
keadaannya tidak selalu sama, dan berbeda pula hukum dan penanganannya.
HAID
Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari
rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan
oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah
itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita.
Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu
tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap
wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai
dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit.
Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika
keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa
darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh
setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah
akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang
keluar kemudian.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf,
dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan
membaca Al-Quran dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan

pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel,


ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali
pada kemaluannya.
Allah Taala berfirman:




Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, Dia itu adalah
suatu kotoran (najis). Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita
di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum
mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. (QS. AlBaqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata:






Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha
puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat. (HR. Al-Bukhari No. 321
dan Muslim No. 335)
Batasan Haid :

Menurut Ulama Syafiiyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam,
dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu
darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu Fatawa mengatakan bahwa


tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu.
Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati
oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya
batasan minimal dan maksimal masa haid :

Firman Allah Taala.





Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : Haid itu adalah suatu
kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci [QS. AlBaqarah : 222]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu
berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan
tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau

patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya
dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau
sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari
tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syari dari Al-Quran dan Sunnah yang
menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : Pada prinsipnya, setiap
darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan
bahwa darah itu istihadhah.
Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih
(seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai
adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih
yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun,
dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi
Aisyah radhiyallahu anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning,
dan kemudian Aisyah mengatakan :



Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih. (Atsar ini
terdapat dalam Shahih Bukhari).
NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita
melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya
sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar
karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum
dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini
senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah
yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah
nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Batasan nifas :
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut
berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan
dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan
maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.

Ulama Syafiiyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas


adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas
maksimalnya adalah 60 hari.

Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas,
Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu anhum dan para Ulama seperti Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu
Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah
nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, Para
wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka
duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40
malam. (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648).
Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh
Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu alam.

Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal
masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas.
Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih
dan jelas.

Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita
haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan
intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca
Al-Quran dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau
dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah
haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden,
umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah
haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid,
namun baunya lebih kuat daripada darah haid.

ISTIHADHAH
Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid
dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit,
sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam
Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari
kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.

Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada
umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia
hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga
ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
anha :


Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam
lalu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang
mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan
shalat? Maka jawab Rasulullah SAW: Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari)
sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah
shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu
lalu shalatlah.
Wallahu alam.
Sumber / Maraji :

Fiqhus Sunnah lin Nisaa Kamal bin As-Sayyid Salim

Fatawa Al-Marah Muslimah

Majmu Fatawa Arkanil Islam Syaikh Ibnu Utsaimin

Ahkamuth Thaharah inda An-Nisaa ala Madzhab Imam Asy-Syafii Munir


bin Husai1

Mengenal Darah Istihadhah

Definisi
Istihadhah
Secara bahasa, dikatakan: Wanita itu terkena istihadhah, kalau
darahnya terus keluar padahal adat haidnya telah berakhir.
[Mukhtar
Ash-Shihah
hal.
90]
Adapun secara istilah, maka ada beberapa definisi di kalangan
ulama. Akan tetapi mungkin bisa disimpulkan sebagai berikut:
Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang
pecah/putus, yang keluarnya bukan pada masa adat haid dan

http://www.fiqihwanita.com/pengertian-haid-nifas-dan-istihadhah/ diakses pada 19/06/2014

nifas -dan ini kebanyakannya-, tapi terkadang juga keluar pada


masa adat haid dan saat nifas. Karena dia adalah darah berupa
penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita
itu
sembuh
darinya.
Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti
keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau
dua
hari
dalam
sebulan.
[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa AlIstihadhah hal. 16-17]

Ciri-Ciri
Darah
Istihadhah
Berbeda dengan darah haid, darah istihadhah mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: Warnanya merah, tipis, baunya seperti darah
biasa, berasal dari urat yang pecah/putus dan ketika keluar
langsung mengental.

Hukum
Wanita
Yang
Terkena
Istihadhah.
Hukumnya sama seperti wanita yang suci (tidak haid dan nifas)
pada semua hal-hal yang diwajibkan dan yang disunnahkan
berupa ibadah. Ibnu Jarir dan selainnya menukil ijma ulama
akan bolehnya wanita yang terkena istihadhah untuk membaca
Al-Qur`an dan wajib atasnya untuk mengerjakan semua
kewajiban yang dibebankan kepada wanita yang suci. Lihat
nukilan ijma lainnya dalam Al-Majmu (2/542), Maalim As-Sunan
(1/217)
dan
selainnya.
Dari penjelasan di atas, kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa
darah istihadhah bukanlah najis, karena akan diterangkan bahwa
wanita yang terkena istihadhah tetap wajib mengerjakan shalat
walaupun
saat
darahnya
tengah
mengalir
keluar.
Waktu
Keluarnya
Istihadhah.
a.
Kalau keluarnya istihadhah bukan pada waktu haid atau
nifas, dalam artian waktu keduanya tidak bertemu. Misalnya
darah istihadhah keluar bukan saat masa adat haidnya, atau
darah istihadhah keluar setelah berlalunya masa nifas.
Maka di sini tidak ada masalah, masa adat haid dihukumi haid
dan setelahnya dihukumi istihadhah, demikian pula halnya
dengan
nifas.
b. Tapi kalau keluarnya istihadhah bertemu dengan masa adat
haid atau masa nifas, maka di sini hukumnya harus dirinci. Kami
katakan:
Wanita yang terkena haid (atau pada masa adat haidnya)

sekaligus terkena istihadhah, tidak lepas dari empat keadaan:


1.
Dia sudah mempunyai masa adat haid sebelum terjadinya
istihadhah. Maka yang seperti ini dia tinggal menjadikan masa
adatnya sebagai patokan. Kalau adatnya tiba maka dia dihukumi
terkena haid, dan kalau adatnya sudah berlalu maka darah yang
keluar setelahnya -apapun ciri-cirinya- dihukumi istihadhah.
Misalnya: Seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada
setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya
keluar terus-menerus tanpa bisa dibedakan mana yang haid dan
mana yang istihadhah (misalnya karena hari pertama keluar
dengan ciri-ciri haid sedang hari yang kedua dengan ciri-ciri
istihadhah dan seterusnya). Maka masa haidnya dihitung enam
hari pada setiap awal bulan, seda ng selainnya merupakan
istihadhah, sehingga dia wajib untuk mandi lalu shalat walaupun
darahnya
keluar
terus.
Ini berdasarkan sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada
Ummu
Habibah
binti
Jahsy
tatkala
dia
terkena
istihadhah, Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa haid yang
biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat. (HR.
Muslim)
2.
Tidak mempunyai adat sebelumnya -baik karena itu awal
kali dia haid (al-mubtada`ah) ataukah dia lupa adat haidnya
karena sudah lama dia tidak haid-, tapi dia mempunyai tamyiz,
yaitu darah yang keluar bisa dibedakan mana haid dan mana
istihadhah, berdasarkan ciri-ciri haid dan nifas yang telah
disebutkan.
Misalnya: Seorang wanita pada saat pertama kali mendapati
darah dan darah itu keluar terus-menerus. Akan dia dapati
selama 10 hari dalam sebulan darahnya berwarna hitam, berbau
busuk, dan tebal (kental) kemudian setelah 10 hari itu darah
yang keluar berwarna merah, tidak berbau dan encer (tipis).
Maka masa haidnya adalah 10 hari tersebut, sementara sisanya
dihukumi
darah
istihadhah.
Berdasarkan sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada
Fathimah binti Abi Hubaisy -tatkala dia terkena istihadhah-, Jika
suatu darah itu darah haid, maka ia berwarna hitam diketahui,
jika demikian maka tinggalkan shalat. Jika selain itu maka
berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit. (HR.
Abu
Dawud
dan
An
Nasai).
Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, Hadits ini, meskipun perlu
ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, namun telah

diamalkan oleh para ulama. Dan hal ini lebih utama daripada
dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
3. Dia mempunyai adat dan tamyiz sekaligus. Maka di sini ada
dua
keadaan:
a.
Adat
dan
tamyiznya
tidak
bertentangan.
Misalnya: Dia mempunyai adat haid tanggal 1-6 tiap bulan.
Ternyata darah yang keluar pada masa adatnya mempunyai ciriciri haid, sedang sisanya mempunyai ciri-ciri darah istihadhah.
Maka
ini
tidak
ada
masalah.
b.
Adat
dan
tamyiznya
bertentangan.
Misalnya: Dia mempunyai adat haid 6 hari di awal bulan, akan
tetapi darah yang keluar saat itu kadang dengan ciri haid dan
kadang dengan ciri istihadhah. Manakah yang dijadikan patokan?
Apakah adat ataukah tamyiznya? Yang kuat dalam masalah ini
adalah bahwa adatnya lebih didahulukan. Sehingga yang menjadi
masa haidnya adalah yang 6 hari, apapun warna darah yang
keluar, sedangkan sebelum dan setelah ke 6 hari ini bukanlah
haid, walaupun cirinya darah haid. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, Al-Auzai, satu pendapat dari Asy-Syafii, dan juga
pendapat Imam Ahmad, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah,
Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
4. Tidak mempunyai adat -baik karena baru pertama kali haid
(al-mubtada`ah) maupun karena lupa adat haidnya- dan tidak
pula
tamyiz.
Contoh: Ada seorang wanita yang pertama kali haid dan juga
terkena istihadhah dengan ciri-ciri darah yang tidak beraturan.
Pada hari ini berwarna hitam (ciri-ciri haid), besoknya berwarna
merah dan demikian seterusnya, dan ini terjadi sebulan penuh
atau kurang dari itu. Apa yang harus dilakukan wanita ini?
Jawab: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, Dalam kondisi ini,
hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap
bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah.
Sedang
selebihnya
merupakan
darah
istihadah.
Misalnya: Seorang wanita pada saat pertama kali melihat darah
pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat
dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui
warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan
dihitung selama enam atau tujuh hari mulai dari tanggal lima
tersebut.
Kami katakan: Sebagian ulama berpendapat lebih utama kalau

dia melihat adat kerabat wanita terdekatnya, misalnya ibunya


atau saudarinya lalu dia berpatokan kepada adat mereka.

[Lihat: Al-Muhalla: 2/181-186, Nailul Authar: 1/373-380, AdDima` Ath-Thabiiyah karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan
Shahih Fiqh As-Sunnah: 1/216-217]2

http://al-atsariyyah.com/mengenal-darah-istihadhah.html

Anda mungkin juga menyukai