Anda di halaman 1dari 12

[4/10 10.

25] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): TGL 4 OKTOBER 2021

MATERI : FIQH MUSLIMAH

PEMATERI : USTH. ALVIA

BAB : *PENGERTIAN HAID, NIFAS, DAN ISTIHADHAH*

[4/10 10.45] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): HAID

Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita
pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya
proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh
Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam
jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.

Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita kebiasaannya
pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul,
namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10
hari. Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung
berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap
wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang
wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.

[4/10 10.46] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Wanita yang haid *tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf,
menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya.*

Namun ia *diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh
dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.*

[4/10 10.47] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Batasan Haid :

Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya
adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut
untuk mandi dan shalat.

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang
pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan
paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan
maksimal masa haid :

Firman Allah Ta’ala.

‫َو َي ْس َأُلوَن َك َع ِن اْلَم ِحيِض ۖ ُقْل ُه َو َأًذ ى َف اْع َت ِز ُلوا الِّن َس اَء ِفي اْلَم ِحيِض ۖ َو اَل َت ْق َر ُبوُهَّن َح َّتٰى َي ْط ُهْر َن‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab
itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan
mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir setelah
suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari
tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu
sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak
dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari tertentu
dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal
ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar
dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”

[4/10 10.49] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Berhentinya haid :

Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti keputihan)
yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan
mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak
terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.

Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan
menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :

‫َال َت ْع َج ْلَن َح َّت ى َت َر ْي َن الَقَّص َة الَب ْي َض اَء‬


“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam
Shahih Bukhari).

[4/10 10.51] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): NIFAS

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu
saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses
persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang
keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan
sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan
pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan
disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka
itu bukan nifas.

[4/10 10.53] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Batasan nifas :

Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang
wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan
bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.

Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan
kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari.
Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-
Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas
adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40
hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini
diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan
Shahih. Wallahu a’lam.

Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika
lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak
didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.

Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu tidak
boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya pada
kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf
langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer,
ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.

Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun,
berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih
banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan
hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.

[4/10 10.54] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): ISTIHADHAH

Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula
karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai
darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah
adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari
urat.

🩸Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer,
dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan
normal atau darahnya mengering.

[4/10 10.56] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti
wanita _*suci*_, sehingga ia *tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan
suami.*

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
‫ َاَفَاَد ُع الَّص َالَة؟ َفَقاَل‬،‫َج اَء َت فَاِط َم ُة ِبْن ُت َاِبى ُح َب ْي ٍش ِاَلى الَّن ِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َقَلْت يَاَر ُسْو ُل ِهللا ِاِّن ى اْم َر َاٌة ُاْس َت َح اُض َفَال َاْط ُهُر‬
‫ َف ِاَذ ا َذ َهَب َقْد ُر َه ا فَاْغ ِس ِلى َع ْن ِك‬،‫ ِاَّنَم ا َذ ِلَك ِع ْر ٌق َو َلْي َس ِباْلَح ْيَضِة َف ِاَذ اَاْق َب َلِت اْلَح ْي َض ُة َف اْت ُرِكى الَّص َالَة‬،‫ َال‬: ‫يَاَر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫الَّد َم َو َص ِّلى‬

Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak
bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya
itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah
shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”

Wallahu a’lam.

[5/10 09.59] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): TGL 5 OKTOBER 2021

MATERI : TAUHID

PEMATERI : USTH. ALVIA

BAB : MAKNA TAUHID, PEMBAGIAN TAUHID

[5/10 10.01] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Makna tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari
fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna tauhid ini tidak tepat kecuali diikuti
dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja,
kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Secara istilah syar’i, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang
benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).

Dari makna tauhid ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan
oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah
yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan
saja.

[5/10 10.02] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga
sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid
Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat

[5/10 10.04] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-
kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala
adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah
keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).

Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta,
misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan
rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan bintang-bintang, dll

[5/10 10.05] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Di nyatakan dalam Al Qur’an:

‫اْلَح ْمُد ِهَّلِل اَّلِذي َخ َلَق الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر َض َو َج َع َل الُّظُلَماِت َو الُّن وَر‬

“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang”
(QS. Al An’am: 1)

Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir,
sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini
dikhabarkan dalam Al Qur’an:

‫َو َلِئْن َس َأْلَت ُهْم َم ْن َخ َلَقُهْم َلَي ُقوُلَّن ُهَّللا‬

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah
menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)

‫َو َلِئْن َس َأْلَت ُهْم َم ْن َخ َلَق الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر َض َو َس َّخ َر الَّش ْم َس َو اْلَقَمَر َلَي ُقوُلَّن ُهَّللا‬

“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah
menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan
menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)

Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bernama Abdullah,
yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam tentunya belum lahir.

[5/10 10.06] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum
komunis atheis.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan.
Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir
jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

[5/10 10.07] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk
peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).

Dalilnya:

‫ِإَّياَك َن ْع ُبُد َو ِإَّياَك َن ْس َت ِعيُن‬

“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al
Fatihah: 5)

Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun
perbuatan.

Apa maksud ‘yang dicintai Allah’?

Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang
dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih.
Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istighotsah dan isti’anah.

Maka seorang yang bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata,
dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka
juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini
juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah.

Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َلَقْد َبَع ْث َن ا ِفي ُك ِّل ُأَّمٍة َر ُسواًل َأِن اْع ُبُدوا َهَّللا َو اْج َت ِنُبوا الَّط اُغ وَت‬

“Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah
Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

[5/10 10.10] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Tauhid Al Asma’ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam
penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an
dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah
tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diriNya, dengan tanpa
tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

‫َو ِهَّلِل اَأْلْس َم اُء اْلُحْس َن ى َف اْد ُعوُه ِبَه ا‬

“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut
nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)

*Tahrif* adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna
zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’
dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

*Ta’thil* adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang
yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.

*Takyif* adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan
makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya
sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.

[11/10 11.22] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): TGL 11 OKTOBER 2021

MATERI : FIQH MUSLIMAH

PEMATERI : USTH. ALVIA

BAB : *Pakaian yang Mesti Engkau Pakai, Saudariku!*

[11/10 11.24] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan

Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya memiliki syarat-syarat.
Jadi belum tentu setiap pakaian yang dikatakan sebagai pakaian muslimah atau dijual di toko
muslimah dapat kita sebut sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus kita kembalikan
pada syarat-syarat pakaian muslimah.

Ulama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad ini-. Lalu ada ulama yang melengkapi
syarat yang beliau sampaikan yaitu Syaikh Amru Abdul Mun’im hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat
yang para ulama sebutkan bukan mereka karang-karang sendiri. Namun semua yang mereka
sampaikan berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shohih.

[11/10 11.27] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh
kecuali wajah dan telapak tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi termasuk juga
telapak kaki.

Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga
apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang
partai politik! Yang terkahir ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

‫َو َق ْر َن ِفي ُبُيوِتُك َّن َو اَل َت َبَّر ْج َن َت َبُّر َج اْلَج اِه ِلَّيِة اُأْلوَلى‬

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang
jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan
perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat
menggoda kaum lelaki.

[11/10 11.28] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Syarat ketiga: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus
pandang yang dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar dan
tidak ketat sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Syarat keempat: tidak diberi wewangian atau parfum.

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َأُّيَم ا اْم َر َأٍة اْس َت ْع َط َر ْت َفَمَّر ْت َع َلى َق ْو ٍم ِلَي ِج ُدوا ِمْن ِر يِحَه ا َفِه َي َز اِنَي ٌة‬

“Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan
Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih). Lihatlah
ancaman yang keras ini!

Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ َو اْلُم َت َر ِّج َالِت ِمَن الِّن َس اِء‬، ‫َلَع َن الَّن ِبُّى – صلى هللا عليه وسلم – اْلُم َخ َّن ِثيَن ِمَن الِّر َج اِل‬

“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai
kaum pria.” (HR. Bukhari no. 6834)
[11/10 11.34] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau
popularitas (baca: pakaian syuhroh).

Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن َلِبَس َث ْو َب ُشْه َر ٍة ِفى الُّد ْن َي ا َأْلَبَس ُه ُهَّللا َث ْو َب َم َذ َّلٍة َي ْو َم اْلِقَياَمِة ُثَّم َأْلَهَب ِفيِه َن اًر ا‬

“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian
kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud
dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.

Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan).

Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.

Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan.

Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan .

[11/10 11.35] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu
bid’ah. Seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah sebagaimana yang
dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu
Utsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.

[18/10 13.37] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): TGL 13 OKTOBER 2021

MATERI : TAHFIDZ

PEMATERI : USTH. ALVIA

Fiqih wanita: Bagaimana sholatnya wanita?

[18/10 13.38] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): Bagaimana cara shalat bagi wanita?

Kita lihat beberapa point yang telah diterangkan oleh gurunda Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah
Al-Fauzan berikut ini.
1- Hendaknya setiap muslimah menjaga shalat pada waktunya dengan memenuhi syarat-syarat,
rukun-rukun, dan wajib-wajib shalat. Allah Ta’ala berfirman,

‫َو َأِقْم َن الَّص اَل َة َو َآِتيَن الَّز َكاَة َو َأِط ْع َن َهَّللا َو َر ُسوَلُه‬

“(Hendaklah kalian para wanita) dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-
Nya.” (QS. Al-Ahzab: 33). Ini adalah perintah kepada muslimah secara umum.

Shalat adalah rukun kedua dari rukun Islam. Shalat adalah tiang agama Islam. Siapa saja yang
meninggalkan shalat, maka ia telah keluar dari Islam karena laki-laki dan perempuan yang
meninggalkan shalat bukanlah muslim.

2- Adapun menunda pengerjaan shalat hingga keluar waktunya tanpa ada uzur syar’i termasuk
dalam menyia-nyiakan shalat. Allah Ta’ala berfirman,
‫) ِإاَّل َم ْن َت اَب َو َآَمَن َو َعِمَل َص اِلًح ا َف ُأوَلِئَك َي ْد ُخ ُلوَن اْلَج َّنَة‬59( ‫َفَخ َلَف ِمْن َب ْع ِدِه ْم َخ ْلٌف َأَض اُعوا الَّص اَل َة َو اَّت َب ُعوا الَّش َهَو اِت َفَس ْو َف َي ْلَق ْو َن َغ ًّي ا‬
)60( ‫َو اَل ُيْظ َلُموَن َش ْي ًئ ا‬

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya
(dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60)

Yang dimaksud menyia-nyiakan shalat adalah mengerjakan hingga keluar waktunya. Sehingga
ancaman yang diberikan adalah kelak ia akan mendapatkan ghayya (kerugian). Makna lain
dari ghayya adalah nama lembah di Jahannam.

3- Tidak disyariatkan azan dan iqamah bagi wanita. Karena azan disyariatkan mengeraskan suara,
padahal wanita tidak diperkenankan mengeraskan suara. Dalam kitab Al-Mughni (2:68), Ibnu
Qudamah rahimahullah menyatakan, “Sepengetahuan kami, masalah ini tidak ada beda
pendapat.”[1]

4- Setiap tubuh wanita adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya. Untuk telapak tangan dan
kakinya ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ini berlaku jika memang tidak ada laki-laki
non-mahram yang melihatnya shalat. Jika ada laki-laki non-mahram yang melihatnya shalat, maka
wajib menutup wajahnya. Sebagaimana wanita wajib menutup wajahnya dari pandangan laki-laki di
luar shalat. Intinya dalam shalat hendaklah wanita menutup kepala, pundak, leher dan tubuh lainnya
sampai kakinya juga ditutup.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َال َي ْق َب ُل ُهَّللا َص َالَة َح اِئٍض ِإَّال ِبِخَم اٍر‬


“Tidaklah diterima oleh Allah shalat seorang wanita yang sudah mengalami haidh kecuali dengan
khimar (menutupi kepala dan lehernya).”[2]

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan gamis dan kerudungnya saja, lalu tidak
memakai izar (sarung di bawahnya)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

‫ِإَذ ا َك اَن الِّدْر ُع َس اِبًغ ا ُيَغ ِّط ى ُظ ُهوَر َق َد َم ْي َه ا‬

“Boleh jika memang gamisnya lebar memanjang hingga menutupi punggung telapak kakinya.”[3]
Hadits di atas menunjukkan bahwa wajib bagi wanita saat shalat menutup kepala dan lehernya
sebagaimana dapat disimpulkan dari hadits ‘Aisyah. Hendaklah pula wanita menutupi anggota tubuh
lainnya hingga punggung telapak kakinya sebagaimana kesimpulan dari hadits Ummu Salamah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:113-114), “Apabila wanita
shalat sendirian, maka ia diperintahkan untuk menutup kepalanya. Namun kalau ia berada di rumah
dalam keadaan tidak shalat, ia boleh membuka kerudungnya. Seorang wanita menutup auratnya
dalam shalat karena menjalankan perintah Allah. Karenanya tidak boleh seseorang melakukan
thawaf keliling Ka’bah dalam keadaan telanjang walaupun ia melakukannya sendirian di malam hari.
Begitu pula seseorang tidak boleh shalat dalam keadaan telanjang walaupun ia shalat sendirian.
Maka dapat diketahui bahwasanya menutup aurat dalam shalat berbeda dengan menutup aurat di
luar shalat, yang satu punya bahasan sendiri berbeda dengan lainnya.”

5- Wanita hendaklah menghimpitkan anggota badannya ketika ruku’ dan sujud, tidak membuka atau
merenggangkannya karena hal ini lebih menutupi aurat wanita.

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam Al-Majmu’ (3:455), “Imam


Syafi’i rahimahullah dalam Al-Mukhtashar menyatakan bahwa tidak ada bedanya antara laki-laki dan
perempuan dalam cara mengerjakan shalat kecuali wanita disunnahkan untuk merapatkan anggota
tubuhnya dengan lainnya atau menghimpitkan antara perut dan pahanya saat sujud. Ini juga
dilakukan ketika ruku’ dan dilakukan pada setiap shalat"

[18/10 13.38] ‫( ألفيارني أكتافيا‬Alvia): 6- Shalat wanita secara berjamaah dengan diimami sesama wanita,
tentang hukum hal ini para ulama berbeda pendapat, ada yang melarang dan ada yang
membolehkannya. Kebanyakan ulama menyatakan hal itu tidak terlarang. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan pada Ummu Waraqah untuk mengimami orang-orang yang
ada di rumahnya.

Wanita masih dibolehkan mengeraskan suara jika tidak ada laki-laki non-mahram yang
mendengarnya.

7- Boleh bagi wanita keluar dari rumah untuk mengerjakan shalat berjamaah di masjid bersama
jamaah pria. Namun shalat wanita di rumahnya lebih baik karena di rumah itu lebih tertutup.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َال َت ْم َن ُعوا ِنَس اَء ُك ُم اْلَمَس اِج َد َو ُبُيوُتُهَّن َخ ْيٌر َلُهَّن‬


“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Namun shalat di rumah mereka itu
lebih baik bagi mereka.”[4]

Semoga bermanfaat, masih berlanjut nantinya pada edisi berikutnya insya Allah. Hanya Allah yang
memberi taufik dan hidayah.

[1] Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak sah azan kecuali dari seorang muslim
yang berakal dan laki-laki. Adapun orang kafir dan gila tidaklah sah mengumandangkan azan karena
mereka bukanlah orang yang diperintahkan beribadah. Azan dari wanita juga tidak diperkenankan
karena wanita tidak disyariatkan untuk azan, sama seperti orang gila tadi tidak diperkenankan pula
untuk azan. Begitu pula seseorang yang mengalami kerancuan jenis kelamin (ambiguous
genitalia atau bahasa Arabnya ‘khuntsa’, pen.), tidak boleh mengumandangkan azan karena tidak
bisa dihukumi sebagai laki-laki. Ini semua juga menjadi pendapat dalam madzhab Syafi’i. Kami tidak
mengetahui khilaf dalam hal ini.” (Al-Mughni, 2:68)

[2] HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Abu Daud, no. 640. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if.

[4] HR. Abu Daud, no. 567; Ahmad, 2:76. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Juga ada hadits lainnya yang menunjukkan shalat di rumah bagi wanita itu lebih utama.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َص َالُة اْلَم ْر َأِة ِفى َب ْي ِتَه ا َأْف َض ُل ِمْن َص َالِتَه ا ِفى ُحْج َر ِتَه ا َو َص َالُتَه ا ِفى َم ْخ َد ِع َه ا َأْف َض ُل ِمْن َص َالِتَه ا ِفى َب ْي ِتَه ا‬

“Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah
rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih
utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َخ ْيُر َمَس اِج ِد الِّن َس اِء َقْع ُر ُبُيوِتِه َّن‬


“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297.
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).

Anda mungkin juga menyukai