DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
1. EGA PRATAMA
2. RAIHAN ATHIRAH
3. DINA TRI NURIYATI
4. NOVITA ALYSYAH PUTRI
5. RAHMALIA AJENG PRATIWI
6. DZAKIYYAH PUSPA PERMANA
KELAS : XI MIPA 3
MAPEL : SEJARAH INDONESIA
GURU PEMBIMBING : KHOTAMAWATI S,Pd.
BAB II
PERANG MELAWAN KOLONIALISME BELANDA
A. Perang Tondano
Perang tondano adalah perang patriotic besar dari rakyat Maesa
( Minahasa, Sulawesi Utara pada umumnya). Perang Tondano dibedakan
atas Perang Tondano I dan Perang Tondano II.
a. Perang Tondano I
Latar belakang Perang Tondano I karena VOC berusaha
memaksakan kehendak kepada rakyat Minahasa (Tondano; penduduk
yang bermukim di sekitar Danau Tondano) agar menjual berasnya
hanya kepadanya. VOC memang ingin melakukan monopoli
perdagangan beras di Sulawesi Utara. Padahal sebelum VOC
berkuasa, orang Minahasa mempunyai hubungan dagang yang baik
dengan bangsa Spanyol yang akhirnya tersingkir.
Permintaan VOC ditolak oleh rakyat Minahasa sehingga tidak
ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang Minahasa.
Peristiwa tersebut terjadi pada 1 Juni 1661.VOC terus melakukan
tekanan dan mengultimatum agar orang Minahasa menyerahkan ganti
rugi tanaman padi yang gagal panen akibat banjir (VOC sendiri yang
melakukannya); penduduk Tondano harus meninggalkan negeri
mereka yang tergeletak di atas air; pemimpin-emimpin perlawanan
dari Tondano harus diserahkan kepada VOC.
Ultimatum tidak dihiraukan sehingga VOC mundur ke
Manado. Hal ini justru menambah masalah lantaran hasil pertanian
Minahasa menumpuk, sehingga orang-orang Minahasa memutuskan
menjalin kerja sama lagi dengan VOC yang menandai akhir Perang
Tondano I.
b. Perang Tondano II
Perbedaan penafsiran terhadap Verbond ( Perjanjian) 10
Januari 1679 antara colonial Belanda dan Walak Tondano
menyebabkan terjadinya Perang Tondano II. Tanggal 10 Januari 1679
merupakan hari bersejarah bagi penduduk Minahasa. Karena pada hari
itu Minahasa secara tidak langsung telah diakui sebagai bangsa/negara
merdeka secara internasional. Berdasarkan Verbond 10 Januari 1679
Minahasa menjadi bagian dari Persekutuan Kerajaan Belanda dengan
Kerajaan Inggris yang berhadapan dengan Prancis dan Spanyol yang
menjadi musuh bersama Inggris-Belanda.
Belanda melakukan serangan pertama pada 1 September
1808. Serangan kedua terjadi pada tanggal 6 Oktober 1808, sedangkan
serangan ketiga berlangsung pada 23 Oktober 1808. Dalam tiga kali
serangan, wilayah Tondano belum bisa ditaklukkan sehingga pada
tanggal 9 April 1809 pasukan colonial kembali menyerang dari arah
danau menggunakan perahu kora-kora yang didatangkan dari
Tanawangko.
Awal Agustus 1809 pertahanan orang-orang Tondano
berhasil dikepung dari segala penjuru, baik dari arah daratan maupun
dari danau. Siang hari tanggal 4 Agustus 1809 pertahanan dan
perkampungan Tondano dibumihanguskan musuh. Semua
penghuninya tewas terbunuh.
B. Perlawanan Patimura
Perlawanan rakyat Maluku dipimpin oleh Pattimura. Adapun
latar belakang perlawanan rakyat Maluku tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Pemerintah Kolonial memberlakukan kembali penyerahan wajib
dan kerja wajib.
b. Pemerintah kolonial menurunkan tarif hasil bumi yang wajib
diserahkan, sedangkan pembayarannya tersendat-sendat.
c. Pemerintah kolonial memberlakukan uang kertas, sedangkan
rakyat Maluku telah terbiasa dengan uang logam.
d. Pemerintah kolonial menggerakkan pemuda Maluku untuk
menjadi prajurit Belanda.
Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda diawali
dengan tindakan Kapitan Pattimura yang mengajukan daftar keluhan
kepada Residen Van den Bergh. Dalam daftar keluhan tersebut berisi
tindakan semena- mena pemerintah kolonial yang menyengsarakan
rakyat. Keluhan tersebut tidak ditanggapi Belanda sehingga rakyat
Maluku di bawah pimpinan Kapitan Pattimura menyerbu dan merebut
Benteng Duurstede di Saparua. Dalam pertempuran tersebut, Residen
Van de Bergh terbunuh. Perlawanan kemudian meluas ke Ambon, Seram,
dan tempat lainnya. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak.
Namun, kemudian Belanda mengerahkan segenap kekuatannya untuk
melawan rakyat Maluku. Akhirnya pada awal Agustus 1817, Benteng
Duurstede dapat direbut kembali oleh Belanda. Namun, perlawanan
rakyat Maluku tetap berlanjut dengan cara bergerilya.
Perlawanan rakyat Maluku berakhir dengan menyerahkan
Kapitan Pattimura dengan teman-temannya kepada Residen Liman
Pietersen. Setelah Kapitan Pattimura dan teman-temannya diadili di
Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 dihukum mati di depan Benteng
Nieuw Victoria. Mereka gugur sebagai pahlawan dalam membela rakyat
yang tertindas.
C. Perang Padri
Di Sumatra Barat pada awal abad ke-19 muncul gerakan
Wahabiah yang tujuannya memurnikan ajaran agama Islam. Kelompok
pendukung gerakan Wahabiah dikenal sebagai kaum Padri. Gerakan yang
dilakukan kaum Padri ini mendapat tentangan dari kelompok penghulu
yang menganggap dirinya keturunan raja Minangkabau.
Dalam pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat
(karena cenderung mempertahankan adat, mereka dikenal dengan kaum
adat), pemerintah Belanda berpihak kepada kaum adat. Antara Residen de
Puy dan Tuanku Suruaso beserta empat belas penghulu adat mengadakan
perjanjian pada tanggal 10 Februari 1821. Dari perjanjian tersebut
pasukan Belanda menduduki beberapa daerah di Sumatra Barat. Peristiwa
tersebut menandai dimulainya Perang Padri.
Perang Padri terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Perang Padri I (Tahun 1821-1825)
Terjadinya Perang Padri I ditandai dengan serangan kaum padri
ke pos Belanda di Sumawang, Sulit Air, Enam kota, Rau, dan Tanjung
Alam. Pusat kekuatan kaum padri di Bonjol dan Alam Panjang. Di
Bonjol pada tanggal 22 Januari 1824 disepakati perjanjian
perdamaian, tetapi pasukan Belanda melakukan pelanggaran
perjanjian. Hal tersebut menimbulkan perlawanan yang lebih dahsyat
lagi dari kaum padri. Dalam perkembangannya, pada tanggal 15
November 1825 di Padang disepakati perjanjian perdamaian. Belanda
melakukan tawaran perdamaian karena pasukan Belanda ditarik ke
Jawa untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro. Adanya
peristiwa perdamaian di Padang tersebut menandai berakhirnya
Perang Padri I.
b. Perang Padri II (1830-1837)
Terjadinya Perang Padri II diawali pasukan Belanda mendirikan
pos di wilayah kekuasaan kaum padri (hal tersebut terjadi seusai
Perang Diponegoro). Pasukan padri diperkuat pasukan dari Jawa yang
dipimpin oleh Sentot Alibasya Prawirodirjo (yang membelot dari
kontrol Belanda). Benteng Bonjol pada tanggal 21 September 1837
jatuh ke tanggan Belanda. Dalam peristiwa tersebut Tuanku Imam
Bonjoltertangkap dan diasingkan. Walaupun Tuanku Imam Bonjol
tertangkap dan diasingkan, perlawanan masih tetap berlanjut dipimpin
oleh Tuanku Tambusai, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku nan Alahan.
Setelah Tuanku nan Alahan menyerah, Perang Padri II berakhir.