Anda di halaman 1dari 15

PERANG MELAWAN PENJAJAHAN

BELANDA

1. Perang Tondano
Perang yang terjadi pada tahun 1808-1809 yang melibatkan orang Minahasa di
Sulawesi utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad 19 adalah
Perang Tondano. Perang Tondano terjadi selama dua periode, yakni pada masa
pemerintahan VOC dan perang yang meletus pada abad ke-19.Perang yang
berlangsung di sekitar Danau Tondano, Sulawesi Utara, ini merupakan bentuk
perlawanan rakyat Minahasa terhadap pendudukan bangsa Belanda. Penyebab
Perang Tondano 1 adalah ambisi VOC untuk memonopoli beras di Minahasa, yang
secara berani ditentang oleh rakyatnya. Sayangnya, rakyat Minahasa terpaksa
menyerah kepada VOC karena perekonomiannya terancam.
a. Perang Tondano I ( 1808 )

Latar Belakang Perang Tondano I Sebelum VOC menyentuh Sulawesi Utara, rakyat
Minahasa telah melakukan hubungan dagang dengan bangsa Spanyol, yang juga
menyebarkan agama Kristen di wilayah tersebut. Salah satu tokoh yang diketahui
berjasa dalam penyebaran agama Kristen di Minahasa adalah Fransiscus Xaverius.
Akan tetapi, hubungan antara Minahasa dan Spanyol menjadi terganggu ketika pada
abad ke-17, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate.Gubernur Simon
Cos, yang diberi kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari
Spanyol, mulai menempatkan kapalnya di Selat Lembeh. Akibat ulah VOC ini, para
pedagang Spanyol dan Makassar pun tersingkir dari tempat itu.
Jalannya Perang Tondano I Perang Tondano 1 berlangsung antara 1661 hingga 1664. Untuk
melemahkan rakyat Minahasa, VOC tidak menggunakan kekuatan militernya, tetapi dengan
membendung Sungai Temberan.
Akibatnya, aliran sungai meluap hingga membanjiri permukiman penduduk. Akan tetapi,
rakyat Minahasa tidak tunduk begitu saja dan mengatasinya dengan mendirikan rumah
apung di sekitar Danau Tondano.
Mengetahui hal itu, VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa di Danau
Tondano dan memberikan ultimatum.
Berikut ini isi ultimatum Gubernur Simon Cos kepada rakyat Minahasa :
• Masyarakat Tondano harus menyerahkan tokoh pemberontak kepada VOC
• Masyarakat Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak
karena rusaknya tanaman padi akibat luapan Sungai Temberan
Akan tetapi, ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Minahasa, sehingga VOC
memilih untuk mundur ke Manado.

Akhir Dari Perang Tondano I : Pilihan VOC untuk mundur ke Manado ternyata
membuat keadaan masyarakat Minahasa semakin sulit . Pasalnya, hasil pertanian
penduduk menjadi menumpuk karena pembeli dari bangsa Spanyol telah diusir VOC
dari Nusantara.Masyarakat Minahasa pun tidak memiliki pilihan selain mendekat
dan menjalin kerjasama dengan VOC agar hasil pertaniannya dapat terjual.
Terbukanya perdagangan Minahasa bagi VOC ini mengakhiri Perang Tondano 1.
Setelah itu, Belanda membangun permukiman di Sulawesi Utara, lengkap dengan
sebuah benteng.
b. Perang Tondano II ( 1809 )
Latar Belakang Perang Tondano II Akar permasalahan Perang Tondano 2 sebenarnya
masihberhubungan dengan hasil akhir Perang Tondano 1. Pada akhir Perang Tondano 1,
pihak VOC dan rakyat Minahasa membuat perjanjian pada 1679 yang mengatur berbagai hal
di sekitar hubungan dan kepentingan kedua belah pihak. Salah satu isi perjanjian tersebut
adalah bahwa Minahasa akan membantu Belanda, terutama dalam menyalurkan sejumlah
kebutuhannya. Dalam perkembangannya, Belanda mulai melakukan tindakan-tindakan licik,
termasuk mencampuri urusan walak-walak Minahasa. Tindakan Belanda yang tidak sesuai
perjanjian itu membuat walak-walak berselisih. Pada 1802, Carel Christoph Prediger Jr.
diangkat sebagai residen Manado. Tidak lama kemudian, Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
H.W. Daendels, membutuhkan pasukan dalam jumlah besar yang akan dipersiapkan untuk
menghadapi kemungkinan serangan Inggris.

Jalannya Perang Tondano II Para ukung dari Minahasa memusatkan aktivitas perjuangan


mereka di Tondano, Minawanua. Salah satu tokoh Perang Tondano 2 adalah Ukung Lonto, yang
memimpin perlawanan dan menegaskan bahwa rakyat Minahasa harus melawan sebagai
bentuk penolakan terhadap program mobilisasi pemuda ke Jawa. Perlawanan itu juga sebagai
bentuk penolakan kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara
cuma-cuma kepada Belanda. Pada awalnya, Prediger masih mencoba untuk menempuh cara
persuasif dan berusaha menarik dukungan dari sejumlah ukung. Namun, melihat keadaan
semakin kritis karena aksi rakyat Minahasa, Prediger tidak memiliki pilihan selain mengirim
pasukan untuk menyerang Tondano. Seperti Perang Tondano 1, Belanda kembali menerapkan
strategi membendung Sungai Temberan. Selain itu, Belanda menyiapkan dua pasukan yang
ditugaskan untuk menyerang dari darat dan air. Pada 23 Oktober 1808, pertempuran mulai
berkobar dan Belanda berhasil menerobos pertahanan rakyat Minahasa. Serangan pun terus
dilakukan baik di darat maupun air, hingga kampung pertahanan Minawanua seperti tidak ada
kehidupan lagi. Dalam perkembangannya, strategi Belanda untuk membendung Sungai
Temberan ternyata justru menjadi senjata makan tuan. Pasalnya, air sungai yang meluap
mempersulit gerak pasukan Belanda.

Akhir Dari Perang Tondano II Perang Tondano II berlangsung cukup sengit hingga Agustus 1809.
Bahkan pada 5 Agustus 1809, benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama
rakyat yang berusaha mempertahankannya. Setelah itu, Belanda membantai semua penduduk
yang dijumpainya sampai habis. Dalam kelompok-kelompok terbatas, sisa pasukan Minahasa
memilih bertahan di hutan lebat yang tidak mudah untuk dijangkau Belanda. Karena kesulitan
menjangkau tengah hutan, Belanda sampai mengaku akan memberikan pengampunan kepada
pemberontak asalkan mereka mau mengakui kekuasaan Belanda. Akan tetapi, hal itu tidak
pernah terjadi karena pihak Inggris lebih dulu mengambil alih kekuasaan Belanda di Minahasa
pada 1810. Pihak Inggris memanggil tokoh Perang Tondano 2, yakni Matulandi dan Mamait, dari
persembunyian di hutan dan mengangkat mereka kembali sebagai kepala walak. Sementara
Lonto dan beberapa tokoh perlawanan lainnya yang sempat dibuang ke Ternate, dikembalikan
ke Minahasa. Oleh Inggris, para pemberontak Belanda itu diberi izin untuk membangun
permukiman di tempat yang lama, yakni di sebelah utara Minawanua.

2. Perang Pattimura

Penjajahan yang dilakukan bangsa Belanda mengundang perlawanan dari rakyat Indonesia
di berbagai daerah. Salah satunya perlawanan dari rakyat Maluku yang dipimpin oleh
Thomas Matulessy atau dikenal sebagai Kapitan Pattimura. Perlawanan Pattimura di
Saparua, Kepulauan Maluku, terjadi pada 15 Mei 1817. Saat itu, rakyat Maluku
menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan dan menyerang Benteng Duurstede di
Pulau Saparua.

Latar Belakang Perang Pattimura Perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura
terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dilatarbelakangi oleh banyak faktor, sebagai
berikut.

• Semakin diperketatnya kebijakan monopoli perdagangan, Pelayaran Hongi, dan kerja paksa,
yang membuat rakyat Maluku semakin menderita.
• Pemerintah kolonial berencana menghapus sekolah-sekolah desa dan memberhentikan guru
untuk menghemat anggaran.
• Rakyat dipaksa menyediakan garam, ikan asin, dan kopi bagi kapal-kapal perang Belanda yang
berlabuh di Ambon.
• Menurunkan harga hasil bumi, sementara pembayarannya cenderung ditunda-tunda.
• Adanya paksaan bagi para pemuda untuk menjadi serdadu Belanda di luar Maluku.
• Adanya permasalahan dalam peredaran uang kertas yang menggantikan uang loga, sehingga
semakin mempersulit kehidupan rakyat.
• Adanya sikap arogan dan sewenang-wenang dari Residen Saparua, Van den Berg.
Itulah beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perang di Maluku melawan Belanda.
Di Saparua, perang berlangsung hingga Agustus 1817, di mana Pattimura menggunakan strategi
dengan melakukan gerilya.
Melihat gigihnya perlawanan rakyat Saparua, Belanda terus mendatangkan bantuan dari
berbagai daerah.
Dengan adanya bantuan itu, Pattimura, yang awalnya unggul, mulai terkepung.
Pada November 1817, Belanda mengetahui persembunyian Pattimura dan berhasil
menangkapnya beserta para pejuang lainnya.
Pattimura dijatuhi hukuman mati pada Desember 1817 di Benteng Victoria, Ambon. Peristiwa
itu menandai berakhirnya perlawanan Pattimura terhadap Belanda.

Jalannya Perang Pattimura / Perang Maluku Protes rakyat di bawah pimpinan Pattimura diawali
dengan penyerahan daftar keluhan-keluhan kepada Belanda. Daftar itu ditandatangani oleh 21
penguasa orang kaya, patih, raja dari Saparua dan Nusa Laut. Namun tidak mendapat tanggapan
dari Belanda. Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira seratus orang, di antaranya Pattimura berkumpul di
hutan Warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng di Saparua dan membunuh semua
penghuninya. Pada tanggal 9 Mei berkerumunlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat tersebut.
Dipilihnya Pattimura sebagai kapten.
    Serangan perang maluku dimulai pada tanggal 15 Mei 1817 dengan menyerbu pos Belanda di
Porto. Residen Van den Berg dapat ditawan, namun kemudian dilepas lagi. Keesokan harinya rakyat
mengepung benteng Duurstede dan direbut dengan penuh semangat. Seluruh isi benteng itu dibunuh
termasuk residen Van den Berg beserta keluarga dan para perwira lainnya. Rakyat Maluku berhasil
menduduki benteng Duurstede. Setelah kejadian itu, Belanda mengirimkan pasukan yang kuat dari
Ambon lengkap dengan persenjataan di bawah pimpinan Mayor Beetjes. Ekspedisi ini berangkat
tanggal 17 Mei 1817. Dengan perjalanan yang melelahkan, pada tanggal 20 Mei 1817 pasukan itu
tiba di Saparua dan terjadilah pertempuran dengan pasukan Pattimura. Pasukan Belanda dapat
dihancurkan dan Mayor Beetjes mati terjebak

Belanda berusaha mengadakan perundingan dengan Pattimura namun tidak berhasil sehingga
peperangan di maluku terus berkobar. Belanda terus-menerus menembaki daerah pertahanan
Pattimura dengan meriam, sehingga benteng Duurstede terpaksa dikosongkan. Pattimura mundur,
benteng diduduki Belanda, tetapi kedudukan Belanda dalam benteng menjadi sulit karena terputus
dengan daerah lain. Belanda minta bantuan dari Ambon. Setelah bantuan Belanda dari Ambon yang
dipimpin oleh Kapten Lisnet dan Mayer datang, Belanda mengadakan serangan besar-besaran
(November 1817).

Akhir Perang Maluku


    Serangan Belanda tersebut, menyebabkan pasukan Pattimura saat perang maluku semakin
terdesak. Banyak daerah yang jatuh ke tangan Belanda. Para pemimpinnya juga banyak yang
tertangkap yaitu Rhebok, Thomas Pattiwael, Pattimura, Raja Tiow, Lukas Latumahina, dan Johanes
Mattulessi. Pattimura sendiri akhirnya tertangkap di Siri Seri yang kemudian dibawa ke Saparua.
Belanda membujuk Pattimura untuk diajak kerja sama, namun Pattimura menolak. Oleh karena itu,
pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di depan benteng Victoria Ambon.
Sebelum digantung, Pattimura berkata ”Pattimura8Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi sekali
waktu kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit”.
    Tertangkapnya para pemimpin rakyat Maluku yang gagah berani tersebut menyebabkan
perjuangan rakyat Maluku melawan Belanda melemah dan akhirnya Maluku dapat dikuasai oleh
Belanda.

3. PERANG PADRI

Perang Padri berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan


Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Latar belakang sejarah Perang Padri berawal dari
masalah agama (Islam) dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur tangan.
Sejarah atau latar belakang Perang Padri dimulai pada tahun 1803 ketika tiga orang
Minangkabau pulang dari Makkah setelah selesai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka
dikenal dengan nama Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Kronologi dan Tokoh yang
terlibat pada Perang Padri Berbagai upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil hingga
akhirnya meletuslah perang pada tahun 1803. Puncak perang saudara ini terjadi pada tahun
1815, di mana Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan
Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah. 
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari
ibu kota kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan Kaum Adat. Saat itu Kaum Padri dipimpin
oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku lintau,
Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun yang merupakan tokoh
terkemuka dari Harimau nan Salapan. 
Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam
perang ini. Kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada
pemerintah Kolonial Belanda. Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan
Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri untuk keluar dari Pagaruyung.
Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der
Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10
Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun
pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam.
Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan
Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada tanggal 5
September 1822.
Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus
mendapat serangan dari Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau. Namun Kaum Padri melakukan perlawanan dengan gigih, sehingga
pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.
Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin
Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun
1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. 
Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang
disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu tengah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik
di wilayah Eropa maupun Jawa yaitu Perang Diponegoro yang menguras dana pemerintah.
Selama masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah satu
pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang
sesungguhnya adalah penjajah Kolonial Belanda.
Gavin W. Jones dkk dalam Buku Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural
Contestations in Southeast Asia (2009) menuliskan bahwa perdamaian dan kesepakatan untuk
bersatu antara kaum Padri dan kaum Adat akhirnya tercapai. 
Kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal
dengan nama "Plakat Puncak Pato".
Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan
agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an. Perang saudara yang berlangsung dari tahun
1803 hingga tahun 1821 yang telah merugikan kedua belah pihak baik harta maupun korban jiwa
pun berakhir. Akhir dari Perang Padri
Setelah perang Diponegoro berakhir, kekuatan Belanda pun memulih dan kembali mencoba
untuk menundukan Kaum Padri. Keinginan kuat Belanda untuk menguasai perkebunan kopi di
kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Diketahui nagari Pandai Sikek merupakan daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata
api. Belanda juga membangun benteng Fort de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat
kedudukannya.
Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan
penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda. Belanda yang menyadari
keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut,
melainkan untuk berdagang serta menjaga keamanan.
Sebagai alasan Belanda dalam menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah dan
memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi serta menjualnya
kepada Belanda.
Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan hingga pada tahun 1837
Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda. Bahkan Tuanku Imam Bonjol
berhasil ditipu dan ditangkap. Kemudian beliau diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa
hingga wafat di sana.
Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan Hulu)
yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 28 Desember 1838.
Perang Padri pun dianggap selesai dengan kemenangan jatuh ke pihak Kolonial Belanda,
sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke Negeri
Sembilan di Semenanjung Malaya. Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax
Netherlandica di bawah kendali Hindia Belanda.

4. Perang Diponegoro
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa atau dalam bahasa Inggris
disebut dengan The Java War dan dalam bahasa Belanda disebut dengan De Java Oorlog,
merupakan perang besar dan berlangsung selama 5 tahun dari tahun 1825 hingga tahun 1830 di
Pulau Jawa. Latar Belakang Perang Diponegoro

Perang Diponegoro atau Perang Jawa berawal dari sikap Pangeran Diponegoro yang tidak
menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan.

Di sisi lain, kerajaan seakan tak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial
Belanda, tetapi kalangan pejabat keraton justru hidup mewah serta tidak memperdulikan
penderitaan rakyat. Kronologi dan Tokoh yang Terlibat

Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun, terhitung dari tahun 1825 hingga tahun
1830. Hal ini diawali dari peristiwa pada tanggal 20 Juli 1825, di mana pihak istana mengutus
dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran
Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. 
Saat itu Pangeran Diponegoro serta sebagian besar pengikutnya berhiasil lolos, tapi
kediamannya di Tegalrejo habis dibakar. Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke Gua
Selarong di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya. 
Perang Diponegoro melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan
priyayi yang menyumbangkan uang serta barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang.
Kaum pribumi yang terlibat perang dengan berbekal semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi
ditohi tekan pati” yang memiliki arti "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.
Dalam perjuangan melawan Belanda, Pangeran Diponegoro tidak sendiri, tetapi dibantu oleh
Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan

Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden


Tumenggung Prawirodigdoyo seorang Bupati Gagatan. Hanya dalam waktu tiga minggu setelah
penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro sudah dapat melakukan penyerangan dan berhasil
menduduki keraton Yogyakarta.
Keberhasilan ini disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal
berkobarnya Perang Diponegoro. Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu,
Pekalongan, Semarang, dan Rembang.
Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Meluasnya gerakan
perlawanan yang dicetuskan Pangeran Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di
seluruh Jawa.
Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya dan perang atrisi
(penjemuan). Pada puncak peperangan di tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000
orang serdadu yang menjadi sebuah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bagi Belanda, Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan mengerahkan berbagai
jenis pasukan, mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, serta artileri, yang berlangsung sangat
sengit. Ditahun yang sama, pasukan Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap oleh Belanda. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada Belanda. Bahkan pada
tanggal 21 September 1829, Belanda sempat membuat sayembara dengan hadiah uang
sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan bagi siapa saja yang dapat
menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati. 

Foto : lukisan penangkapan Diponegoro (foto repro)

Pada tanggal 16 Februari 1830, menyadari posisinya yang semakin lemah akhirnya Pangeran
Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yaitu Kolonel Jan Baptist
Cleerens.
Pada tanggal 20 Februari 1830, pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan
kesepakatan dan Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal
De Kock.
Meskipun pertemuan dengan Jenderal De Kock telah terjadi beberapa kali, namun mata-mata
Belanda yang ditempatkan di kesatuan Diponegoro melaporkan bahwa Pangeran Diponegoro
tetap bersikeras menginginkan Belanda mengakuinya sebagai sultan Jawa bagian Selatan.
Hingga akhirnya pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louis
du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan
merencanakan penangkapan Diponegoro.
Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Pada akhirnya, setelah pengkhianatan yang terjadi, Pangeran Diponegoro
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan. Penyerahan
diri Pangeran Diponegoro pun menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau perang Jawa
pada tahun 1830.

Akhir Perang Diponegoro

Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Gedung


Karesidenan Semarang yang berada di Ungaran, sebelum akhirnya dibawa ke Batavia pada
tanggal 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux.
Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di stadhuis sekarang
bernama Gedung Museum Fatahillah. 
Dari Batavia, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada tanggal 30 April
1830 dan tiba pada tanggal 3 Mei 1830 untuk kemudian ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam.
Pada tahun 1834, Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar dan terus diasingkan hingga
wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

5. Perlawanan di Bali
Pendudukan Belanda di Nusantara identik dengan kesewenangannya dalam
mengusik adat dan peraturan daerah.Hal tersebut juga terjadi di Bali, Hak Tawan
Karang yang telah berlaku sebelum Belanda datang diusik eksistensinya oleh
Belanda.Hak Tawan Karang adalah tradisi Bali yang menyebutkan bahwa kapal
beserta isinya yang karam dan terdampar di pesisir Bali adalah hak milik raja
setempat.
Latar Belakang Perlawanan Bali Pemerintah kolonial Belanda menganggap tradisi
Hak Tawan Karang tidak dapat diterima dan mengajukan untuk menghapus Hak
Tawan Karang. Atas bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian
untuk menghapus Hukum Tawan Karang. Namun, sampai tahun 1844 Raja Buleleng
dan Karangasem masih menolak penghapusan tersebut dan masih menerapkan Hak
Tawan Karang. Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C
Ricklefs, latar belakang perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda
adalah :Dipaksakannya penghapusan Hak Tawan Karang kepada kerajaan-kerajaan
di Bali.
Kerajaan Buleleng tidak terima atas tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh Belanda
karena 2 kapal Belanda yang karam di perairan Bali diakuisisi oleh Kerajaan
Buleleng.
Jalannya Perlawanan Bali Armada Belanda terdiri dari 1.700 prajurit gabungan
dari Batavia dan Surabaya dan dipimpin oleh komandan tertinggi Van Den
Bosch. Selama 2 hari, pasukan dari kerajaan Buleleng, Karangasem dan
Kalungkung bertempur mati-matian mempertahankan kedaulatan Bali.
Namun, karena persenjataan Belanda yg lebih lengkap dan modern, maka para
pejuang mengalami kekalahan. Kekalahan tersebut menyebabkan Raja
Buleleng I Gusti Ngurah Made dan Ketut Jelantik mundur ke daerah Jagaraga.
Pihak Bali juga terpaksa menandatangani perjanjian damai oleh Bali pada
1847. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda untuk menyerang
Jagaraga dari 2 sisi depan dan belakang.

Akhir perlawanan
Belanda telah mengetahui pengingkaran perjanjian damai oleh Bali pada 1847. Pada tanggal 15
April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga dari 2 sisi, depan
dan belakang.
Pertempuran di Jagaraga berlangsung selama 2 hari dan kekuatan dari aliansi kerajaan Bali
dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Raja Buleleng dan Ketut Jelantik melarikan diri menuju
Karangasem untuk meminta bantuan dari Raja Karangasem. Namun, Belanda dan pasukannya
tetap mengejar Raja Buleleng dan Ketut Jelantik. Mereka terbunuh dalam upaya
mempertahankan diri dari Belanda.

6. Perang Banjar

Perang Banjar atau Perang Banjar-Barito adalah sebuah peristiwa sejarah di mana rakyat


Kalimantan khususnya Kesultanan Banjar berperang melawan para penjajah Belanda.Perang
Banjar terjadi di wilayah Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan pada tahun 1859 hingga
1905.Dari pihak rakyat, Perang Banjar melibatkan keturunan Kesultanan Banjar yang didukung
kekuatan dari rakyat yang berasal dari berbagai daerah di batang banyu di sepanjang aliran
Sungai Barito.Dahsyatnya Perang Banjar pada saat itu terlihat dari jumlah korban tewas baik di
pihak Belanda maupun rakyat Banjar Barito.Tokoh yang terlibat dalam Perang Banjar ini antara
lain Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II.

Penyebab Perang Banjar Kedatangan Belanda yang ikut campur dalam urusan
Kesultanan Banjar menimbulkan banyak permasalahan.Kondisi ini kemudian memuncak dengan
adanya perlawanan dari Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II dalam Perang
Banjar.Apabila dirangkum, maka penyebab terjadinya Perang Banjar antara lain:
• Rakyat menjadi sasaran eksploitasi dari Belanda dan Kesultanan Banjar
• Munculnya konflik perebutan tahta Kesultanan Banjar akibat intervensi Belanda
• Sikap sewenang-wenang dari Tamjidillah yang ditunjuk Belanda sebagai Sultan Banjar

Kronologi Perang Banjar


Sebagai penerus kerajaan Daha yang sebelumnya bercorak Hindu, pengaruh Islam masuk ke
Kesultanan Banjar pada sekitar akhir abad 15 berkat peran dari Kerajaan Demak.
Kesultanan Banjar memiliki wilayah kekuasaan di sekitar Kalimantan Selatan dan sebagian
Kalimantan Tengah.Dalam buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia
(2012) karya Daliman, disebutkan bahwa pelabuhan-pelabuhan dagang Kesultanan Banjar pada
abad 15 M selalu ramai dengan kapal-kapal dagang internasional.Kesultanan Banjar juga
memiliki hasil sumber daya alam seperti emas, intan, lada, rotan dan damar yang melimpah.
Hal inilah yang kemudian mendorong Belanda untuk mulai merencanakan strategi agar dapat
menguasai Kesultanan Banjar.
1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, Belanda dan Kesultanan Banjar mulai melakukan
interaksi pada sekitar tahun 1840-an.
Setelah itu, Belanda mulai dengan strategi melakukan campur tangan di beberapa wilayah
Kesultanan Banjar dan memadamkan sengketa-sengketa yang ada.Sebagai imbalan, Belanda
mendapatkan hak khusus untuk mencampuri urusan dalam negeri Kesultanan Banjar.Kondisi
tersebut berlangsung lama hingga akhirnya perlawanan rakyat Banjar dimulai saat Belanda
mengangkat Pangeran Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar pada tahun 1859.Padahal, waktu itu
sosok yang seharusnya naik tahta menjadi Sultan Banjar adalah Pangeran Hidayatullah II.
Belanda kemudian meminta Pangeran Hidayatullah II untuk keluar dari
persembunyiannya.Pangeran Hidayatullah II yang keluar dari persembunyiannya untuk
menyelamatkan keluarganya justru ditangkap Belanda dan diasingkan menuju ke Cianjur.Hal itu
tak membuat menghentikan Pangeran Antasari perlawanan. Ia terus melakukan perlawanan di
daerah-daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.Pangeran Antasari juga mendirikan
tujuh unit benteng di Teweh untuk memperkuat pertahanan rakyat. Perang Banjar mulai meredup
ketika Pangeran Antasari mulai melemah karena terserang penyakit paru-paru dan
cacar.Perjuangannya terus dilakukan hingga Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober
1862.Gusti Mat Seman, Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung Durrahman
melanjutkan perjuangan di Perang Banjar hingga titik darah penghabisan.Perang Banjar berakhir
pada tahun 1905 dengan kemenangan berada di pihak Belanda yang berhasil menghapus
Kesultanan Banjar.

Dampak Perang Banjar

Dampak Perang Banjar adalah terjadi penyatuan gerakan rakyat di bawah pimpinan Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayatullah II. Meski sudah melakukan perlawanan denga gigih dan
pantang menyerah, pada akhirnya Belanda bisa mengatasi keadaan.Akibat kemenangan Belanda
pada perang tersebut, Kesultanan Banjar  kemudian dihapuskan. Keputusan ini diambil Belanda
demi menghindari konflik lebih lanjut dan menghindari meletusnya perlawanan rakyat
Kalimantan Selatan. Belanda juga menghapuskan pemerintahan-pemerintahan bawahan dari
Kesultanan Banjar sehingga tidak ada penerus kerajaan. Pihak belanda kemudian menerapkan
aturan-aturan baru di bawah Residentie Zuider en Ooster Afdeelingvan Borneo (Keresidenan
Bagian Selatan dan Timur Pulau Borneo).Berbagai sumber daya di Kalimantan kemudian
dikuasai dan dimonopoli oleh Belanda yang mengakibatkan rakyat menderita.Eksploitasi besar-
besaran kemudian terjadi karena Belanda mengambil sumber daya alam secara paksa berupa
rempah-rempah, perkebunan, dan tambang batu bara.

7. Perang Aceh
Aceh merupakan daerah pertama masuknya Islam di nusantara. Aceh juga pernah menjadi
kerajaan Islam yang mendapat pengakuan dari Syarif Mekkah atas nama khalifah Turki.
A.Latar Belakang Perang Aceh
Aceh memiliki kedudukan yang strategis. Aceh menjadi pusat perdagangan. Daerahnya luas
dan memiliki hasil penting seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan. Karena itu dalam
rangka mewujudkan pax neerlandica Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh sultan
yang pernah berkuasa tetapi ingin mempertahankan kedaulatan Aceh. Semangat dan tindakan
Sultan beserta rakyatnya yang demikian itu memang secara resmi didukung dan dibenarkan
oleh adanya traktat London tanggal 17 Maret 1824 detik traktat London itu adalah hasil
kesepakatan antara Inggris dan Belanda yang isinya antara lain bahwa Belanda setelah
mendapatkan kembali tanah jajahannya di Kepulauan Nusantara tidak dibenarkan
mengganggu kedaulatan Aceh isi traktat London itu secara resmi menjadi kendala bagi
Belanda untuk menguasai Aceh. Apalagi pada tahun 1825 Inggris sudah menyerahkan
Sibolga dan Natal kepada Belanda titik Dengan demikian, Belanda Sudah berhadapan
langsung wilayah kesultanan Aceh titik Belanda tinggal menunggu waktu yang tepat untuk
dapat melakukan intervensi di Aceh titik Belanda mulai kasak usuk Untuk menimbulkan
kekacauan di Aceh titik politik adu domba juga Mulai diterapkan perkembangan politik yang
semakin menohok kesultanan Aceh adalah ditandatanganinya traktat Sumatera antara
Belanda dengan Inggris pada tanggal 2 November 1871 titik hal ini jelas merupakan ancaman
bagi kesultanan Aceh titik dalam posisi yang terus terancam ini Aceh berusaha mencari
sekutu dengan negara-negara lain. Pada tahun 1873 Aceh mengirim utusan yakni Habib
Abdurrahman pergi ke Turki untuk meminta bantuan senjata langkah-langkah Aceh itu
diketahui oleh Belanda titik oleh karena itu Belanda mengancam dan meng ultimatum agar
kesultanan Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda Aceh tidak menghiraukan
ultimatum itu karena Aceh dinilai membangkang pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
melalui komisaris Nieuwenhuijzen mengumumkan perang terhadap Aceh pecahlah
pertempuran antara Aceh melawan Belanda beberapa persiapan di Aceh sebenarnya sudah
dilakukan misalnya membangun pos-pos pertahanan. Meningkatkan jumlah pasukan di
beberapa tempat strategis titik sejumlah 3000 pasukan disiagakan di pantai dan 4000 pasukan
disiagakan di lingkungan istana senjata dari luar juga sebagian juga telah berhasil
dimasukkan ke Aceh seperti 5000 peti mesiu dan sekitar 1394 peti senapan.
B. Syahid atau Menang
Agresi tentara Belanda terjadi pada tanggal 5 April 1873 tentara Belanda di bawah pimpinan
Jenderal Mayor J. H. R. Kohler terus melakukan serangan terhadap pasukan Aceh pasukan
Aceh yang terdiri atas para uleebalang, ulama dan rakyat terus mendapat tempuran dari
pasukan Belanda. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Aceh mampu memberikan
perlawanan sengit. Pertempuran terjadi di kawasan pantai dan kota. Bahkan, pada tanggal 14
April 1973 terjadi pertempuran sengit antara pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku imeum
lueng bata melawan tentara Belanda di bawah pimpinan Kohler untuk memperebutkan
Masjid Raya Baiturrahman dalam pertempuran memperebutkan Masjid Raya Baiturrahman
ini pasukan Aceh berhasil membunuh Kohler di bawah pohon dekat masjid tersebut. Karena
kekuatan para pejuang Aceh tidak semata-mata terletak pada kekuatan pasukannya, tetapi
juga karena Hakikat kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosial budaya
yang sesuai dengan ajaran Alquran.para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada
dua pilihan "Syahid atau Menang" pada tanggal 9 Desember 1873 belanda melakukan agresi
atau Serangan yang kedua.serangan ini dipimpin oleh j.van Swieten. Pertempuran sengit
terjadi istana dan juga terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Pada tanggal 6 Januari 1874
Masjid itu dibakar. Para pejuang dan ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda
kemudian menuju istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki istana
setelah istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah 2 bersama para pejuang yang lain
meninggalkan istana menuju ke Leueung bata dan diteruskan ke pagar aye (sekitar 7 km dari
pusat kota Banda Aceh). Tetapi pada tanggal 28 Januari 1874 Sultan meninggal karena
wabah kolera. Para pejuang Aceh tidak mengendorkan semangatnya semangat juang semakin
meningkat seiring pulangnya Habib Abdurrahman dari Turki pada tahun 1877. Tokoh ini
kemudian menggalang kekuatan bersama Tengku Cik Di Tiro.pasukannya terus melakukan
serangan-serangan ke pos-pos Belanda.
C. Perang Sabil
Perang Sabil merupakan perang melawan Kaphee Belanda (kafir Belanda), perang Suci untuk
membela agama, perang untuk mempertahankan tanah air, Perang Jihad untuk melawan
kezaliman di muka bumi. Dengan digelorakan Perang Sabil, perlawanan rakyat Aceh
semakin meluas. apalagi dengan seruan Sultan Muhammad Daud Syah yang menyerukan
gerakan amal untuk membiayai perang, telah menambah semangat para pejuang Aceh. Di
Aceh bagian barat tampil Teuku Umar beserta istrinya Cut Nyak Dien. Pasukan Aceh dengan
semangat jihadnya telah menambah kekuatan untuk melawan Belanda. Belanda mulai
kewalahan di berbagai medan pertempuran. Belanda mulai menerapkan strategi baru yang
dikenal dengan konsentrasi stelsel atau stelsel konsentrasi. Peristiwa itu membuat Belanda
semakin marah dan geram sementara untuk menghadapi semangat Perang Sabil Belanda juga
semakin kesulitan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk melaksanakan usulan Snouck
Horgronje untuk melawan Aceh dengan kekerasan. Perlu diketahui bahwa sebelum itu
Belanda telah meminta Snouck Hurgronje agar melakukan kajian tentang seluk beluk
kehidupan dan semangat juang orang-orang Aceh

8. Perang Batak
Kerajaan masyarakat Batak yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja, pusat
pemerintahannya ada di bakkara. Sejak tahun 1870 yang menjadi raja adalah patuan bosar
Ompu Pulo batu yang bergelar Sisingamangaraja XII. Pada tahun 1878 Sisingamangaraja XII
angkat senjata memimpin rakyat Batak untuk melawan Belanda.
A.Latar Belakang Perang Batak
Belanda mulai memasuki tanah Batak seperti Mandailing, Padang Lawas, sipiro bahkan
sampai Tapanuli. Hal ini jelas merupakan ancaman serius bagi kekuasaan raja Batak,
Sisingamangaraja XII. Masuknya dominasi Belanda ke tanah Batak ini juga disertai dengan
penyebaran agama Kristen. Pada tahun 1877 Raja Sisingamangaraja XII berkampanye
keliling ke daerah-daerah untuk menghimbau agar masyarakat mengusir para zending yang
memaksakan agama Kristen kepada penduduk. Akibat kampanye Raja Sisingamangaraja
telah menimbulkan akses pengusiran para zending. Bahkan ada penyerbuan dan pembakaran
terhadap pos zending di silindung. Kejadian ini telah memicu kemarahan Belanda dan dengan
alasan melindungi para zending, pada tanggal 8 Januari 1878 Belanda mengirim pasukan
untuk menduduki silindung. Pecahlah Perang Batak.
B.Jalannya Perang Batak
Kali pertama pasukan Belanda yang dipimpin oleh Kapten Schelten menuju Bahal Batu.
Rakyat Batak di bawah pimpinan langsung Raja Sisingamangaraja melakukan perlawanan
terhadap gerakan pasukan Belanda di bahal Batu. Di samping itu, dikembangkan benteng
buatan yang ada di perkampungan. setiap kelompok Kampung dibentuk 4 persegi dengan
pagar keliling terbuat dari tanah dan batu. Pertempuran pertama terjadi di bahal Batu.
Sisingamangaraja dengan pasukannya berusaha memberikan perlawanan sekuat tenaga.
Tutup tetapi nampaknya kekuatan pasukan Batak tidak seimbang dengan kekuatan tentara
Belanda, sehingga pasukan Sisingamangaraja ini harus ditarik mundur. Perang Batak ini
semakin meluas ke daerah-daerah lain. Setelah berhasil menggagalkan berbagai serangan dari
pasukan Sisingamangaraja, Belanda mulai bergerak Bakkara. Bakkara merupakan benteng
dan istana Kerajaan Sisingamangaraja. Sisingamangaraja dengan sisa pasukannya bergerak
menuju huta puong. Pada Juli tahun 1889 Sisingamangaraja kembali angkat senjata melawan
ekspedisi Belanda. Di huta puong ini pasukan Sisingamangaraja bertahan cukup lama. Tetapi
pada tanggal 4 September 1899 Huta Puong juga jatuh ke tangan Belanda. Tahun 1907
pasukan Belanda di bawah komando Hans Christoffel memfokuskan untuk menangkap
Sisingamangaraja. Sisingamangaraja berhasil dikepung rapat di daerah segitiga baru,
Sidikalang dan singkel. Dengan beban psikologis yang berat Sisingamangaraja Tetap
Bertahan, tidak mau menyerah. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907 siang pasukan Belanda
dikerahkan untuk menangkap Sisingamangaraja di pos pertahanannya di Aik sibulbulon di
daerah Dairi. Tetapi dalam pertempuran itu Sisingamangaraja tertembak mati. Begitu juga
putrinya Lovian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan patuan. Dengan demikian
berakhirlah Perang Batak

Anda mungkin juga menyukai