Anda di halaman 1dari 3

Perang Tondano

Perang Tondano adalah perang yang berlangsung antara Suku Minahasa dengan Pemerintah
Kolonial Belanda pada tahun 1808-1809, Yang terjadi di wilayah Danau
Tondano semenanjung Sulawesi utara.

Penyebab Perang

Dicabutnya perjanjian verbound 10 Januari 1679.

Jalannya Perang

Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang
Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX.
Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi
pemuda untuk dilatih menjadi tentara “ (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)

Perang Tondano I

Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap.
Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa Barat
orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-
orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Katolik. Hubungan dagang
orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang
antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC
telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Ternate Simon Cos
mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh
Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi
pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang
mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan
Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina

VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada
VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan
beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak
ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.

Perang Tondano II

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels.
Daendels yang mendapat mandate untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam
jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan
pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang.
Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orangorang Madura, Dayak dan
Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera
mengumpulkan para ukung. (Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah
setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah
2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak
setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan
kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin
mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas
perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah
Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai
bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta
menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-
cuma kepada Belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali
mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano,
Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan.
Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang
dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23
Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau
Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi
danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang
Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang
tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda
merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat
membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda
sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai
mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul
dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang
dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh
Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu
juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang
Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di
danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam
suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak
kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan
perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para
pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih
mati dari pada menyerah.

Akhir Perang

Kekalahan rakyat Minahasa dan Tanah Minahasa kehilangan kemerdekaannya ke


tangan Hindia Belanda.

Anda mungkin juga menyukai