Anda di halaman 1dari 3

PERANG TONDANO

Perang Tondano (PT) adalah perang patriotik yang besar dari rakyat Maesa (Minahasa pada
umumnya) melawan penjajahan Belanda, yang telah berlangsung secara berulang-ulang dalam
kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1 Juni 1661,
dan berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.

Dalam sejarah, perlawanan orang Minahasa itu lebih terkkenal dengan nama "Perang Tondano" yang
dipimpin oleh Sarapung dan Korengkeng, serta Matulandi, Tewu, Lumngkewas, Sepang, Kepel termasuk
Lontoh dari Tombulu dan Mamahit dari Remboken. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh tersebut orang
Minahasa membangkitkan perlawanan menentang ketidakadilan kolonial.

Sumber sengketa waktu itu muncul ketika Belanda membutuhkan bantuan tenaga pemuda-pernuda
Minahasa untuk dikirim melawan Inggris yang sudah mengancam pulau Jawa. Orang Minahasa
berpendapat bahwa para pemuda itu lebih dibutuhkan untuk mempertahankan Minahasa dari pada
dikirim ke tempat lain. Belanda memaksa sambil memberikan iming-iming dan hadiah kepada para
pemimpin Minahasa yang mau membantu mereka.

Ternyata permintaan tenaga bantuan pemuda dan iming-iming hadiah ditolak oleh seluruh rakyat
Minahasa dalam pertemuan/musyawarah Minahasa di Tondano. Belanda menuduh tokoh-
tokoh Tondano menggagalkan politik mereka sehingga menyampaikan ancaman akan
menyerang Tondano dengan kekuatan militer. Ancaman tersebut disambut dengan
persiapan perang di pusat perlawanan Tondano. Itulah sebabnya peperangan itu terkenal dengan
sebutan "Perang Tondano".

Pasukan militer Belanda yang lebih kuat persenjataannya beberapa kali datang menyerang namun
benteng pertahanan Tondano ternyata kuat sekali, bahkan Residen Belanda bernama Prediger
dilaporkan tertembak dunia. la diganti oleh Residen Balfour yang mendatangkan bala bantuan lebih
besar dengan persenjataan lebih lengkap.

Awal Agustus 1809 pertahanan utama orang Tondano berhasil dikepung dari arah daratan maupun
dari arah danau. Pusat kekuatan Tondano di tempat yang kemudian dinamakan Minawanua menjadi
ajang pertempuran sengit beberapa hari lamanya.

Pada siang tanggal 4 Agustus 1809 pertahanan itu bobol dan pertempuran belangsung dari rumah ke
rumah. Dini hari tanggal 5 Agustus 1809 pertahanan dan perkampunganTondano dibumihanguskan
musuh.

Semua penghuninya mulai dari anggota pasukan perlawanan Tondano hingga orang-orang tua


perempuan dan anak-anak tidak ada yang tersisa. Semuanya tewas terbunuh. Sampai waktu itu, belum
pernah ada perlawanan yang seluruh warganya dimusnakan musuh, seperti halnya yang terjadi
dalam Perang Tondano.

Sejak kemerdekaan Indonesia, pemerintah dibantu oleh para ahli sejarah berusaha menulis sejarah
Indonesia, namun ternyata patriotisme dan heroisme yang muncul dalamPerang Tondano tidak pernah
menghiasi buku-buku sejarah nasional. Itulah sebabnya kisah heroik Perang Tondano perlu diangkat
untuk turut memperkuat nasionalisme Indonesia demi meningkatkan dan melestarikan semangat
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa proses perjuangan bangsa menuju terciptanya Indonesia merdeka,
adalah memakan waktu panjang yang telah diawali dengan pergerakan perlawanan bersenjata oleh
rakyat di hampir seluruh pelosok tanah air termasuk di Daerah Sulawesi Utara dikenal dengan peristiwa
bersejarah yaitu EposPerang Tondano di Minahasa yang puncaknya terjadi pada akhir perang
Tondanotahun 1809 di wilayah Minawanua di sebuah lokasi di tepi Danau Tondano yang diberi nama
Benteng Moraya. Karena di tempat itu telah terjadi pertempuran habis-habisan yang memakan korban
sangat banyak sampai tidak ada yang tersisa.

Sudah banyak pahlawanan pejuang kemerdekaan kita dicatat dan diakui sebagai Pahlawan Nasional,
namun masih lebih banyak lagi yang belum diperkenalkan dengan kadar kepahlawanannya yang tidak
kalah bobotnya sebagai pahlawan yang memelopori dan merintis perjuangan kemerdekaan Bangsa
Indonesia.

Untuk menggali sejarah itu guna diperkenalkan pada masyarakat bangsa terutama bagi generasi
mudanya dalam usaha memberi infomasi dan motivasi kepahlawanan, banyak cara dan bentuk yang
dapat dilakukan termasuk melalui karya seni budaya dan sarana komunikasi teknologi elektronika
modern film atau sinetron di televisi dan pagelaran kolosal.

Kisah perang Tondano yang berakhir pada awal abad ke XIX di saat berkuasanya VOC di bawah
pimpinan Gubernur Jenderal Daindels, telah mengundang perhatian yang cukup besar karena
perlawanan rakyat Minahasa di Sulawesi Utara terhadap penjajahan Belanda tidaklah tanggung-
tanggung.

Mereka berperang sampa tetes darah penghabisan di Benteng Moraya bersama para pemimpinnya
terdiri dari Lonto, Tewu, Matulandl, Mamahit, Korengkeng. Lumingkewas, Sarapung, Sepang, Kepel
serta lain-lainnya yang kisahnya tidak kalah dengan pahlawan nasional seperti Pattimura, Hasssanudin,
Diponegoro dan Imam Bonjol.

Pada tanggal 5 Agustus 1809, waktu sang surya menampakan cahayanya di ufuk timur, yang disinari
bukan lagi Minawanua di hari kemarin, tetapi tinggal puing-puing berserakan, ditaburi mayat-mayat,
bau amis darah dan tumpukan bara api. Tak ada lagi anak negeri yang bangun bersama sang surya
berjaga-jaga di Benteng Moraya dan Benteng Paapal. Semuanya telah musnah bersama Wanua tercinta.
Inilah akhir dari suatu perjuangan panjang rakyat Minahasa dalam mempertahankan eksistensi
martabat kebangsaannya. Hanya dengan satu kalimat dinyatakan oleh Dr. E.C. Molsborgen, yang
menggambarkan semangat dan jiwa perjuangan Minawanua: "de dappere tegenstand tegen een
overmacht had de Tondaneers niet gebaat" lihat (Supit 1991:84).

Dengan demikian, perlulah diungkapkan di sini bahwa disebut Perang Tondano yang secara
historis telah berlangsung sejak tahun 1661, dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809, 
didasarkan atas:

1.      Puncak petualangan kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah
Walak Tondano;
2.      Waktu perang pecah, kita belum mengenal istilah Minahasa sebagaimana kita
mengartikannya sekarang ini. Memang pada dekade terakhir dari abad kedelapan belas,
istilah Minahasa memang sudah dipakai. Tapi, masih dalam arti “Landraad”/”Vergadering
van Volkshoofden” (Musyawarah para Ukung dan Kepala Walak. Karenanya menurut
sejarawan Dr.E.C. Godee Molsbergen, Residen Predigger, arsitek Perang Tondano itu hanya
memakai istilah “Manadosche onlusten”; sedangkan sejarawan Dr.H.J. de Graaf
menyebutnya “Volksopstand in Manado”.
3.      Berdasarkan cerita rakyat, peristima itu diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan
istilah yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (lihat Supit 1991).

Latar Belakang Perang Tondano dan Implikasinya

Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan
kompani Belanda,  antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa
khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan
kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah
membunuh beberapa Tona’as, antara lain Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tona’as
Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan terhadap perempuan (Wewene) Minahasa.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa semua orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang
sama alias kejam. Demikian juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung
Pangalila kepala Walak Tondano, dan Ukung Sumondak kepala Walak Tompaso.

Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Tondano
keempat (terakhir), adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk
kepentingan militer Hindia-Belanda (lihat Wenas 2007).
Apabila disimak secara kritis makna terjadinya Perang Tondano itu, bahwa sesungguhnya
bukan karena alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari
sejarawan kolonial tersebut. Akan tetapi, akar masalahnya terletak pada “pelanggaran-
pelanggaran kolonial Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda
Verbond 10 Januari 1679”. 

Posisi Minahasa sebelum perang di tahun 1808-1809

Minahasa sebelumnya memiliki dasar kontrak kerja sama dengan V.O.C dalam apa yang
disebut kontrak persekutuan atau persahabatan atau dikenal dengan VERBOND 10 Januari
1679

Antara tahun 1699 sampai pada pecah perang di Minahasa lebih khusus perlawanan Waraney-
Waraney  atau Ksatria-ksatria Minahasa di Tondano pada 1808, ada jarak sekitar 109 tahun, atau
dapat diperkirakan 100 tahun setelah perjanjian atau kontrak VERDRAGG 10 September 1699 baru
muncul friksi friksi yang tajam dimana simpul utamanya letak pada masalah ekonomi.   Tetapi
sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan Belanda itu sendiri.
Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Tondano keempat
(terakhir), adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk kepentingan militer
Hindia-Belanda (lihat Wenas 2007). Dikemukakan oleh Supit (1991), “para penulis barat dalam
tulisan sepintas senantiasa menyatakan bahwa penyebab terjadinya peristiwa itu, adalah karena
masalah “rekrutering” atau “ketentuan menjadi serdadu” bagi para pemuda Minahasa untuk dikirim
ke Jawa guna menghadapi perjuangan tentara Inggris.
 

DAMPAK:

1.voc telah berhasil mempengaruhi di ternate


2.pedagang makassar yg bebas berdagang mulai tersingkir oleh voc

Anda mungkin juga menyukai