Anda di halaman 1dari 18

Kata Pengantar

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah Lampung dengan baik.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk,
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan.

Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca selanjutnya


sebagai sumber referensi dan juga menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya bisa menjadi lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 15 September 2019


Penyusun

1
Daftar Isi
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.........................................................................................................1
DAFTARISI.....................................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................................................3

A. Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................3
C. Manfaat Makalah............................................................................................................................3

BAB II ISI.......................................................................................................................................................4

A. Sejarah Lampung.............................................................................................................................4
B. Asal Usul Lampung..........................................................................................................................7
C. Bahasa Lampung……………………………………………………………………………………………………………………….14
D. Suku Lampung................................................................................................................................14
E. Adat Istiadat...................................................................................................................................14
F. Aksara Lampung……………………………………………………………………………………………………………………….15
G. Suku Bangsa Lampung………………………………………………………………………………………………………………16

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................................................18

A. KESIMPULAN..................................................................................................................................18
B.
DAFTARPUSTAKAN.........................................................................................................................18

2
BAB I PENDAHULLUAN
A. Latar Belakang
Dalam pelajaran Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal di Unila terdapat materi
tentang Sejarah Lampung. Seorang Mahasiswa harus menguasai materi tentang
Sejarah Lampung, Pakaian Adat Lampung, Bahasa Lampung, Adat Istiadat, Suku
Lampung,dll agar Mahasiswa tahu adat Lampung dan sesuai dengan alurnya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Sejarah Lampung?
2. Pakaian Adat Lampung?
3. Adat Lampung ?
4. Suku Lampung ?
5. Bahasa Lampung ?

C. Manfaat Makalah
Manfaat dari makalah ini adalah :
1. Memahami Adat Lampung
2. Memahami Sejarah Lampung
3. Memahami Pakaian Adat Lampung
4. Memahami Bahasa Lampung

3
BAB II ISI
A.Sejarah Lampung
Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14
tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang
tergabung dengan Provinsi Sumatra Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 maret 1964 tersebut secara
administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatra Selatan, tetapi daerah
ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang
sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah
khasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini. Oleh karena itu pada zaman
VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Tatkala Banten di bawah pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1683) Banten
berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa,
Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam upaya meluaskan wilayah kekuasaan
Banten mendapat hambatan karena dihalang-halangi VOC yang bercokol di
Batavia. Putra Sultan Agung Tirtayasa yang bernama Sultan Haji diserahi tugas
untuk menggantikan kedudukan mahkota kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja tidak menyenangkan VOC,
oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk uasai kesultanan Banten. Usaha VOC
ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji sehingga berselisih paham dengan
ayahnya Sultan Agung Tirtayasa. Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri,
Sultan Haji meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya Sultan Haji akan
menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada
tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji
dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan Haji menghasilkan
sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain
menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas
daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus
memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang
sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan
membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan Banten. Ekspedisi
Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan
4
lada yag dicari-carinya. Agaknya perdagangan langsung antara VOC dengan
Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak semua
penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan Haji
yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan
Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai
musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah benar Lampung berada di
bawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui bahwa penguasaan
Banten atas Lampung tidak mutlak.
Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau
kadangkadang disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan
perdagangan hasil bumi (lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada tiap-tiap
desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak berada di bawah
koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan Sultan Banten atas
Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli
arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada, dengan demikian jelas hubungan
Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan
lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah
Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena
Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah
Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen
Belanda untuk Lampung.
Dalam pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten semakin kuat, dan oleh karena
itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil di pimpin oleh
Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan bahwa:

 Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200


setahun.
 Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula
sebesar f. 600 tiap tahun.
 Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa
yang sampai saat itu berada di bawah pengaruhnya.
Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap
melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.

5
Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk
menangkap Radin Inten, tetapi dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng
Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi karena pada saat
itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830), maka Belanda
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825 Radin Inten
meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin
Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833 Belanda menyerbu
benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya. Baru pada tahun
1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer Belanda dan dengan
kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, tetapi penduduk daerah Lingga
ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma
kemudian di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan perlawanan, "Jalan Halus"
dari Belanda dengan memberikan hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin
perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak membawa hasil. Belanda tetap merasa
tidak aman, sehingga Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari orang-
orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan-kepentingan Belanda di
daerah Telukbetung dan sekitarnya. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra
Radin Imba Kusuma sendiri yang bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus,
sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara
Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung.
Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet
dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan pengangkutan hasil-hasil
perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Telukbetung
menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode
perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan
merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih
berganti. Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini
pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I
Provinsi Lampung.
Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya
sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi
provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah
itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.yang ada sekaranga
6
adalah bandar lampung menjadi salah satu objek wisata yang menerik di antara nya
pulau pasir,pasir putih dan lembah hijau.
B.SEJARAH ASAL USUL NAMA LAMPUNG
Wilayah Kabupaten Lampung Tengah terletak persis dibagian tengah dari Provinsi
Lampung. Berbagai riwayat, hikayat maupun cerita-cerita rakyat berlatar belakang
sejarah daerah telah pula mewarnai sosok Lampung Tengah. Sehingga dari sisi
historis sejarah Kabupaten Lampung Tengah tidak terlepas dari sejarah Lampung
secara umum.
Asal Muasal Kata Lampung
Sejarah asal mula kata Lampung berasal dari beberapa sumber. Salah satu sumber
menyebutkan bahwa pada zaman dahulu provinsi ini bila di lihat dari daerah lain
seperti melampung/terapung. Sebab wilayahnya sendiri pada waktu itu sebagian
besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan hanya dihubungkan deretan Bukit Barisan
di tanah Andalas. Karena daerah ini pada saat itu tampak terapung, lalu muncullah
sebutan lampung (melampung).
Sumber lain berdasarkan sebuah legenda rakyat menyebutkan, zaman dulu di
daerah ini ada seorang yang sakti mandraguna serta memiliki kepandaian yang
sulit ada tandingannya bernama Mpu Serutting Sakti. Sesuai dengan namanya,
salah satu kesaktian Mpu tersebut dapat terapung diatas air. Kemudian di ambil
dari kepandaian Mpu Serutting Sakti itu, tersebutlah kata lampung (terapung).
Riwayat lain menyebutkan bahwa pada zaman dahulu ada sekelompok suku dari
daerah Pagaruyung Petani, dipimpin kepala rombongan bernama Sang Guru Sati.
Suatu ketika Sang Guru Sati mengembara bersama ketiga orang anaknya, masing-
masing bernama Sang Bebatak, Sang Bebugis dan Sang Bededuh. Karena kala itu
tanah Pagaruyung sudah dianggap tak dapat lagi mampu memberikan penghidupan
yang layak, lalu ketiga keturunan ini akhirnya mencari daerah kehidupan baru.
Dalam riwayat ini disebutkan, Sang Bebatak menuju ke arah utara, menurunkan
garis keturunan suku bangsa Batak. Sang Bebugis menuju ke arah timur,
menurunkan garis keturunan suku bangsa Bugis dan Sang Bededuh menuju ke arah
timur-selatan yang merupakan garis keturunan suku Lampung.
Singkat cerita, keturunan berikutnya dari Sang Guru Sati lalu tinggal di Skala
Brak. Saat rombongan tersebut memasuki sebuah daerah yang di sebut dengan
Bukit Pesagi, Appu Kesaktian, salah seorang ketua rombongan menyebut kata
“lampung”; maksudnya menanyakan siapa bermukim di tempat ini.

7
Kemudian dalam pertemuan ini, pertanyaan yang dilontarkan Appu Kesaktian di
jawab oleh Appu Serata Dilangit yang sudah lebih dulu menetap di sana dengan
kata “wat” yang dalam bahasa daerah berarti ada. Artinya, tempat tersebut ada
yang menghuni. Karena terjadi selisih paham, kedua tokoh itu bersitegang namun
mereka akhirnya menjalin persaudaraan. Selanjutnya nama “lampung” selalu
diucapkan dan jadi nama tempat.

Versi lain dari cerita rakyat Lampung yang penuturannya hampir sama dengan
kedatangan Appu Kesaktian di Bukit Pesagi adalah cerita tentang Ompung
Silamponga. Dalam kisahnya diceritakan, di daerah yang sekarang dinamakan
Tapanuli, dulu terjadi letusan gunung berapi. Karena letusan gunung berapi itu
cukup dahsyat, di tempat ini banyak penduduknya yang mati terkena semburan
lahar panas serta bebatuan yang disemburkan dari gunung berapi tersebut. Namun,
meskipun letusan itu sangat hebat, banyak juga yang berhasil menyelamatkan diri.
Letusan gunung api di daerah Tapanuli ini menurut tuturannya membentuk sebuah
danau yang kini di kenal dengan nama Danau Toba.

Adalah empat orang bersaudara, masing-masing bernama Ompung Silitonga,


Ompung Silamponga Ompung Silaitoa dan Ompung Sintalanga berhasil selamat
dari letupan gunung berapi. Mereka berempat menyelamatkan diri meninggalkan
tanah Tapanuli menuju ke arah tenggara. Dalam penyelamatan diri itu, keempat
bersaudara tersebut naik sebuah rakit menyusuri pantai bagian barat pulau Swarna
Dwipa yang sekarang bernama Pulau Sumatera. Siang malam mereka tidur diatas
rakit terus menyusuri pantai. Berbulan-bulan mereka terombang-ambing dilautan
tanpa tujuan yang pasti. Persediaan makananpun dari hari ke hari semakin
berkurang. Keempat bersaudara ini juga sempat singgah di pantai untuk mencari
bahan makanan yang diperlukan.
Entah apa sebabnya, suatu hari ketiga saudara Ompung Silamponga enggan diajak
untuk meneruskan perjalanan. Padahal ia pada waktu itu dalam keadaan menderita
sakit. Merekapun turun ke daratan dan setelah itu menghanyutkan Ompung
Silamponga bersama rakit yang mereka naiki sejak dari tanah Tapanuli. Berhari-
hari Ompung Silaponga tak sadarkan diri diatas rakit.

8
Pada suatu ketika, Ompung Silamponga sadar begitu merasakan rakit yang
ditumpanginya menghantam suatu benda keras. Saat matanya terbuka, ia langsung
kaget karena rakitnya telah berada di sebuah pantai yang ombaknya tidak terlalu
besar. Yang lebih mengherankan lagi, begitu terbangun badannya terasa lebih
segar. Segeralah dia turun ke pantai dengan perasaan senang. Ia tak tahu sudah
berapa jauh berlayar dan dimana saudaranya berada. Yang dia tahu, kini telah
mendarat di suatu tempat. Kemudian Ompung Silamponga tinggal di pantai
tersebut. Kebetulan di pantai ini mengalir sungai yang bening. Pikirnya, disinilah
tempat terakhirnya untuk bertahan hidup, jauh dari letusan gunung berapi.

Setelah sekian lamanya Ompung Silamponga menetap di sini, yang menurut cerita
tempatnya terdampar itu sekarang bernama Krui, terletak di Kabupaten Lampung
Barat, ia hidup sebagai petani. Karena merasa sudah lama bertempat tinggal di
daerah pantai, Ompung seorang diri akhirnya melakukan perjalanan mendaki
gunung dan masuk ke dalam hutan. Suatu ketika tibalah ia di sebuah bukit yang
tinggi dengan panorama yang indah. Pandangannya mengarah ke laut serta di
sekitar tempat itu.
Kegembiraan yang dirasakannya, tanpa sadar dia berteriak dari atas bukit dengan
menyebut kata Lappung. Lappung dalam bahasa Tapanuli berarti luas.
Keyakinannya, pastilah disekitar situ ada orang selain dirinya. Dengan tergesa-gesa
dia turun dari atas bukit. Sesampainya di tempat yang di tuju, Ompung bertekad
untuk menetap di dataran tersebut untuk selamanya.
Ternyata apa yang selama ini diyakininya memang benar, setelah cukup lama
tinggal di sini, Ompung akhirnya bertemu dengan penduduk yang lebih dulu
menetap di tempat ini dengan pola hidup yang masih tradisional. Tapi meskipun
demikian, penduduk itu tidak mengganggu Ompung bahkan diantara mereka
terjalin tali persahabatan yang baik. Saat datang ajal menjemput, Ompung
Silamponga meninggal di dataran itu untuk selamanya. Daerah yang di sebut
Lappung tersebut bernama Skala Brak.

Tuturan cerita rakyat di sini mengatakan, bahwa nama Lampung berasal dari nama
Ompung Silamponga. Namun ada pula yang menuturkan kalau nama Lampung di
ambil dari ucapan Ompung saat ia berada diatas puncak bukit begitu melihat
dataran yang luas.

Versi berikutnya tentang asal-usul kata Lampung disebutkan bahwa Skala Brak
merupakan perkampungan pertama orang Lampung yang penduduknya dinamakan
orang Tumi atau Buai Tumi.

9
Menurut Achjarani Alf dalam tulisannya tahun 1954 berjudul “Ngeberengoh”
tentang istilah kata Lampung, bahwa untuk menuliskan kata Lampung, selain
orang Lampung yang beradat Sai Batin maka mereka menuliskannya dengan
sebutan Lampung dan bagi orang Sai Batin menyebutkannya dengan sebutan
`Lampung’ sebagaimana dalam bahasa Indonesia. Hal ini sama dengan sebutan
“Mega-lo” menjadi kata “Menggala”.

Sebelum ajaran agama Hindu masuk ke Indonesia, beberapa sumber menyebutkan


bahwa di daerah ini semasanya telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis
yang di kenal dengan sebutan Marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut
Mega dan Mega-lo berarti Marga yang utama. Dimana masuknya pengaruh Devide
Et Impera, penyimbang yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan
Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta sedangan Pon/Pun adalah orang
yang dimuliakan.
Ketika ajaran agama Hindu masuk ke daerah Selapon, maka mereka yang berdiam
di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah lebih populer lagi di
kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta raja.
Berdasarkan catatan It-Shing, seorang penziarah dari daratan Cina menyebutkan,
dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di tanah Swarna Dwipa
(pulau Sumatera). Dimana di tempat itu walau kehidupan penduduknya masih
bersifat tradisional tapi sudah bisa membuat kerajinan tangan dari logam besi
(pandai besi) dan dapat membuat gula aren yang bahannya berasal dari pohon
Aren. Ternyata tempat yang disinggahinya tersebut merupakan bagian dari wilayah
Kerajaan Sriwijaya, yang mana kerajaan besar ini sendiri gabungan dari Kerajaan
Melayu dengan Tulang Bawang (Lampung).

Sewaktu pujangga Tionghoa It-Shing singgah melihat daerah Selapon, dari It-
Shing inilah kemudian lahir nama Tola P’ohwang. Sebutan Tola P’ohwang
diambilnya dari ejaan Sela-pun. Sedangkan untuk mengejanya, kata Selapon ini di
lidah It-Shing berbunyi: So-la-po-un. Berhubung orang Tionghoa itu berasal dari
Ke’, seorang pendatang negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak
dapat menyebutkan sebutan So maka It-Shing mengejanya dengan sebutan To.
Sehingga kata Solapun atau Selapon disebutnya Tola P’ohwang, yang kemudian
lama kelamaan sebutan Tolang Powang menjadi Tulang Bawang.

10
Kerajaan Sriwijaya berbentuk federasi yang terdiri dari Kerajaan Melayu dan
Kerajaan Tulang Bawang semasanya menerima pengaruh ajaran agama Hindu.
Sedangkan orang Melayu yang tidak menerima ajaran tersebut menyingkir ke
Skala Brak. Sebagian lagi tetap menetap di Mega-lo dengan budaya yang tetap
hidup dengan ditandai adanya Aksara Lampung.
Di antara orang Sela-pon yang menyingkir ke Skala Brak, guna untuk merapatkan
kembali hubungan dengan orang Melayu yang pindah ke Pagaruyung,
dilakukanlah pernikahan dengan seorang wanita bernama “Tuanku Gadis”. Dari
pernikahan tersebut, Selapon akhirnya mendapat istilah baru lagi menjadi
Selampung, dengan silsilahnya yang asli mereka gelari “Abung”.

Pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan agung yang wilayahnya
sangat luas. Rajanya yang pertama bernama Sri Jayanegara (680). Wilayah
daerahnya meliputi sejumlah daerah di Sumatera, Jawa Barat dan Kalimantan
Barat, bahkan nama Sriwijaya termashur hingga ke Malaysia dan Singapura
(konon di ambil dari nama panglima perang Sriwijaya yang mendarat di sana
bernama Panglima Singapura) sampai ke India.
Kemashuran Kerajaan Sriwijaya di tanah air meninggalkan beberapa bukti
kejayaan, diantaranya sebuah candi di Muara Takus Provinsi Jambi yang di kenal
dengan Candi Muara Takus, makam raja-raja di Bukit Siguntang, Bukit Besar
Palembang, Sumsel serta sejumlah prasasti (batu bertulis) yang berada di beberapa
tempat, seperti: Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang, Prasasti
Talang Tuo di Palembang, Prasasti Telaga Batu di Palembang, Prasasti Bom Baru
di Palembang, Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka, Prasasti Karang Berahi di
Jambi, Prasasti Palas Pasemah di Lampung Selatan dan Prasasti Nalanda di
Mesium Nalanda di India.
Dari sejumlah berita-berita ini diketahui, Sriwijaya memperoleh kemajuan sekitar
abad ke 7 dan 8 masehi dibawah pemerintahan Raja Balaputra Dewa dari Wangsa
Syailendra. Kemajuan-kemajuan itu, diantaranya: Membentuk armada laut yang
kuat sehingga memberikan kemudahan bagi para pedagang untuk singgah dan
berdagang dengan aman; Kapal-kapal dagang Sriwijaya berlayar hampir ke seluruh
pelabuhan di Asia; Memberikan kesempatan pada putra-putri Indonesia untuk
belajar sampai ke India (Perguruan Tinggi Nalanda).

Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran pada sekitar abad ke 11 masehi.


Lemahnya kerajaan yang sempat jaya ini dikarenakan mendapat serangan dari
Kerajaan Cola pimpinan Rajendrachola tahun 1025 dan munculnya Kerajaan
Kediri yang mengadakan ekspedisi Pamalayu ke Sumatera.

11
Dari beberapa keterangan di peroleh bahwa kata Lampung telah berulang kali
mengalami perubahan. Semula sebelum Hindu dari India masuk ke Nusantara di
sebut Selapon. Setelah Hindu masuk mendapat gelaran Cela Indra atau
Syailendra/Syailendro. Abad ke IV oleh It-Shing disebutkannya Tola P’ohwang
(Tulang Bawang). Abad ke VII di masa Tuanku Gadis mendapat gelaran
Selampung yang kemudian menjadi sebutan Lampung.

Sejarah Perkembangan Daerah


Semasa kekuasaan marga-marga Hindu/Animisme, pada abad ke 14 masehi
terdapat kekuasaan Ratu Sekar-mong (Sekromong) di Skala Brak Bukit Pesagi dan
abad 14-15 kekuasaan Paksi-pak, Ratu di Puncak, Ratu Pemanggilan, Ratu di
Balau dan Ratu di Pugung.

Semasa kekuasaan Islam dan pengaruh VOC, abad ke 15-16 masehi terdapat
kekuasaan Ratu Darah Putih, penyimbang-penyimbang Lampung seba di Banten.
Abad 16 sampai dengan 18 masehi, daerah Lampung dibawah pengaruh Banten,
lalu masuknya pengaruh kekuasaan ekonomi VOC. Tahun 1668, VOC bercokol di
tanah Lampung dan mendirikan Benteng Petrus Albertus di Tulang Bawang.
Tahun 1684, penyimbang-penyimbang marga di Lampung melakukan perdagangan
lada dengan VOC melalui pelabuhan Sungai Way Tulang Bawang. Tahun 1738,
penyimbang-penyimbang marga dari kebuaian Abung (Ratu di Puncak)
memboikot perdagangan lada dengan VOC dan melakukan pemasaran ke
Palembang. Pada saat itu, Palembang berada dibawah pemerintahan Kesultanan
Palembang Darussalam, salah satu kerajaan Islam di tanah Sumatera. Akibatnya
VOC mendirikan Benteng Valken Oog di Bumi Agung, Way Kanan.

Saat kekuasaan Raden Intan dan pengaruh Inggris pada tahun 1750 terjadi
penyerahan daerah Lampung kepada VOC oleh Ratu Fatimah. Namun Banten
tidak diakui rakyat Lampung. Lalu muncullah gerakan perlawanan Raden Intan I
dari Keratuan Darah Putih. Penyimbang-penyimbang marga di daerah Krui
akhirnya berhubungan dengan Inggris. Tahun 1799 VOC bubar, pemerintahan
marga-marga di Lampung terancam bahaya perompakan bajak laut, kelaparan dan
wabah penyakit.

12
Tahun 1801-1805, sebatin-sebatin bandar di daerah Semangka melaksanakan
perjanjian dagang dengan Inggris. Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels
mengakui kekuasaan Keratuan Darah Putih dibawah pimpinan Raden Intan I.
Tahun 1812 kekuasaan pemerintahan Inggris Raffles mengakui kekuasaan kepala-
kepala marga di daerah Lampung.
Pada tahun 1816 daerah Lampung dibawah kekuasaan Residen Belanda di Banten.
Setahun kemudian yakni tahun 1817 Assisten Residen Belanda Kruseman untuk
Lampung mengakui kekuasaan Raden Intan I. Kapten J. A. Du Bois lalu
memperkuat bentengnya di Kalianda dan Tulang Bawang. Tahun 1819-1826,
ekspedisi Kapten Hulstein ditolak berunding oleh Raden Intan I. Tahun 1826 dapat
dianggap tahun dimulainya perlawanan rakyat Lampung terhadap kekuasaan
Belanda. Perlawanan ini di pimpin Raden Imba dari Keratuan Darah Putih. Tahun
1826 sampai dengan 1856 merupakan masa perang Lampung (Perang Raden
Intan). Namun sayang, pada tanggal 5 Oktober 1856 Raden Intan II gugur dalam
peperangan menghadapi tentara jajahan dibawah pimpinan Kolonel Waleson.
Perang Lampung pun akhirnya berakhir.
Semasa administrasi pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1829-1834, J. A. Du
Bois di angkat sebagai Residen Kepala Pemerintahan Sipil/Militer untuk daerah
Lampung dan berpusat di Terbanggi Besar. Pada tahun 1847 Teluk Betung
dijadikan ibukota Keresidenan Lampung. Tanggal 21 Juni 1857 pemerintah Hindia
Belanda menetapkan pemerintahan daerah Lampung berdasarkan pada susunan
pemerintahan setempat, dengan ditandai diakuinya sistem kemasyarakatan marga
dibawah pimpinan penyimbang-penyimbang masing-masing.

Sebelum suku Lampung tersebar ke daerah-daerah Lampung seperti sekarang ini,


disebutkan bahwa nenek moyang mereka pertama kali mendiami Skala Brak, yakni
di sekitar Bukit Pesagi (Kecamatan Belalau, Lampung Utara). Pada mulanya di
sana berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tumi dengan raja-rajanya yang
menganut kepercayaan animisme dan dipengaruhi agama Hindu Bairawa. Rajanya
yang terakhir disebutkan bernama Kekuk Suik. Dengan daerah kekuasaannya yang
terakhir adalah daerah jantung Tanjung Cina sekarang. Raja tersebut dikisahkan
meninggal dunia dalam sebuah peperangan melawan anak buahnya sendiri yang
datang dari daerah Danau Ranau yang sudah memeluk ajaran agama Islam.

13
C.Bahasa Lampung
Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh
Ulun Lampung di Provinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten.
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat
dan dengan ini masih dekat berkerabat dengan bahasa Melayu, dan sebagainya.
Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, dialek
A (api) yang dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih
Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau,
Komering dan Daya (yang beradat Lampung Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai,
dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang
dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun).
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek, yaitu
Dialek Belalau atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.

D.Suku Lampung
Etnis Lampung yang biasa disebut (Ulun Lampung, Orang Lampung) secara
tradisional geografis adalah salah satu dari rumpun melayu di pulau Sumatra yang menempati
seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatra Selatan bagian selatan dan tengah
yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kayu Agung,
Tanjung Raja di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Merpas di sebelah selatan Bengkulu serta
Cikoneng di pantai barat Banten. Suku Lampung memilik sub suku yaitu Suku
Komering dan Suku Daya di Sumatra Selatan itu semua terlihat dari kesamaan budaya dan
bahasa antara Suku Lampung dan Suku Komering.

E.Adat-istiadat Masyarakat adat Lampung Saibatin


Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung,
Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Marga Punduh,
Punduh Pedada, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh,
Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung,
empat kota ini ada di Provinsi Sumatra Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas
di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir
karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing
masing terdiri dari:

 Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)


 Bandar Enom Semaka (Tanggamus)
 Bandar Lima Way Lima (Pesawaran)
 Melinting Tiyuh Pitu (Lampung Timur)

14
 Marga Lima Way Handak (Lampung Selatan)
 Pitu Kepuhyangan Komering (Provinsi Sumatra Selatan)
 Telu Marga Ranau (Provinsi Sumatra Selatan)
 Enom Belas Marga Krui (Pesisir Barat)
 Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)

Masyarakat adat Lampung Pepadun


Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:

 Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai,
Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur,
Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
 Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan).
Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan,
dan Wiralaga.
 Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau
Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami
delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang
Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
 WayKanan Buway Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima
keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Way Kanan mendiami wilayah adat: Negeri
Besar, Pakuan Ratu, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
 Sungkay Bunga Mayang (Semenguk, Harrayap, Liwa, Selembasi, Indor Gajah, Perja,
Debintang)Masyarakat Sungkay Bunga Mayang menempati wilayah adat: Sungkay, Bunga
Mayang, Ketapang dan Negara Ratu.

F.Aksara Lampung
Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki
hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku
kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda
fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tetapi tidak menggunakan tanda
dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda
mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had
Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan
Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus
konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah
KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan.
Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan
sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang
adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.

15
G. Suku bangsa
Lampung merupakan provinsi multietnis dengan 3 besar suku mayoritas,
yaitu Jawa, Lampung, dan Sunda, dimana Lampung merupakan suku asli di
provinsi ini.
Suku di Lampung

Suku Persen

Jawa   62%

Lampung   25%

Sunda   9%

Keturunan Sumatra Selatan   5.4%

Keturunan Banten   2.3%

Bali   1.4%

Minangkabau   0.9%

Batak   0.7%

Keturunan Tionghoa   0.5%

Keturunan Sumatra Lainnya   0.4%

Bugis   0.28%

Asal Luar Negeri   0.0153%

Lain-lain   0.88%

16
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa lampung kaya akan sejarah dan
pakaian adatnya, Lampung juga memiliki bahasa yang unik dan memiliki
bermacam macam masyakarat yang berada di lingkungan Lampung. Dengan ini
kita dapat mengenal lebih tentang lampung mulai dari asal usul sampai suku
bangsa yang berada di Lampung.

17
Daftar Pustaka
Setiawan, https://arif-setyiawan.blogspot.com/2016/08/makalah-sejarah-lampung.html
Adista, http://adista1999.blogspot.com/2015/08/hitman-agen-47.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Lampung#Suku_bangsa

18

Anda mungkin juga menyukai