Anda di halaman 1dari 12

Dr.

Supomo



Supomo lahir pada tanggal 22 Januari 1903 di Sukoharjo, Surakarta. Sebagai
putra keluarga priyayi, Ia berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS
(Europeesche Lagere School) di Boyolali(1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere
Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di
Bataviasche Rechtsschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk
sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diperbantukan pada
Ketua Pengadilan Negeri Sragen.
Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van
Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia
dan ahlihukum internasional, salah satu konseptor Liga Bangsa Bangsa. Thesis doktornya
yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest
Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas
sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-
hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta. Ditulis dalam
bahasa Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini
dibungkus dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-
argumen kolonial sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa
subyektivitas Soepomo sangat kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Franz Magnis-
Suseno "Etika Jawa" dan tulisan-tulisan Ben Anderson dalam Language and
Power sebagai tambahan acuan tentang etika Jawa untuk memahami cara pandang dan
strategi agency Soepomo).



Muhammad Yamin


Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera
Barat. Yamin merupakan pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkenal di
Indonesia. M. Yamin memiliki pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika ia
bersekolah di Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di
sekolah guru. M. Yamin juga mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertanian
Bogor, Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht
Hogeschool) Jakarta.
M. yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair
terkemuka angkatan pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade
1920 yang sebagian dari karyanya menggunakan bahasa melayu. Karya-karya tulis M.
Yamin diterbitkan dalam jurnal Jong Sumatra. Ia juga merupakan salah satu pelopor
puisi modern.
M. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di
mana akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan
cikal bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat
M. yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara, di
antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-
1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (19531955), Menteri Urusan
Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua
Dewan Pengawas IKBN Antara (19611962). M. Yamin meninggal pada tanggal 17
Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten
Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia menjabat sebagai Menteri
Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973 sesuai
dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.


Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat

Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879. Ia
adalah putra dari seorang penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta bernama Ki
Sutodrono dan ibunya adalah seorang wanita berdarah Gorontalo. Meski bukan berasal
dari kaum bangsawan, namun semangat belajarnya sangat tinggi. Ia berhasil
mengenyam pendidikan hingga ke negeri Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika. Ia
berhasil memperoleh gelar dokternya di negeri Belanda pada usia 20 tahun. Sedangkan
gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) ia peroleh dari Kesultanan Yogyakarta karena
jasanya bertugas di sebuah rumah sakit di Yogyakarta pada masa pemerintahan Hindia
Belanda.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga merupakan tokoh pergerakan nasional, meski
kiprahnya tak setenar Ir. Soekarno ataupun Bung Hatta. Ia merupakan salah satu pendiri
Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketua di tahun 1914-1915. Ia juga mewakili Boedi
Oetomo menjadi anggota dalam Volksraad bentukan Belanda sampai tahun 1931.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat mulai pindah ke Ngawi pada tahun 1934. Ia
memilih menetap di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi karena
keprihatinannya melihat warga Ngawi yang terserang penyakit pes. Sejak saat itu ia
mengabdikan dirinya menjadi dokter ahli penyakit pes. Selain itu dr. Radjiman juga
pernah memberdayakan dukun bayi di Ngawi untuk mencegah kematian ibu saat
melahirkan dan juga bayinya. Ia sangat peduli terhadap kesehatan masyarakat,
terutama mereka yang tidak mampu. Ia juga dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Pada tanggal 20 September 1952, Dr. Radjiman Wedyodiningrat menghembuskan napas
terakhirnya di Dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi. Jenazahnya dimakamkan di Desa Mlati,
Sleman, Yogyakarta, berdekatan dengan makam dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang
yang telah membesarkannya. Rumah kediaman dr. Radjiman Wedyodiningrat di Ngawi
kini sudah menjadi situs yang berusia 134 tahun. Rumah tersebut dulunya juga pernah
disinggahi Bung Karno dua kali semasa hidup dr. Radjiman Wedyodiningrat.



Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim



Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota
BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH. M. Hasyim Asyari, pendiri NU, ini lahir di
Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 dan wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada
usia 38 tahun. Ayahanda Abdurrahman Wahid ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet
(Kabinet Hatta, Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman).
Mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua
Pesantren Tebuireng (1947 1950) ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren
dan pendidikan Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
Pada tahun 1939, ia ikut berperan pada saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam
Ala Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan
Belanda. Pada 24 Oktober 1943 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) sebuah organisasi menggantikan MIAI.
Saat pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif
membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut
mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH.
A. Kahar Muzakkir. Tahun 1945 ia pun menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal
19 April 1953.






Abdul Kahar Muzakkar

Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul
Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 meninggal 3
Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya La Domeng) adalah seorang figur
karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam
Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada
masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia
dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.
Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung
dengan Darul Islam (DI), hingga dikemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi
Selatan dan Tenggara.
Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak
mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota
pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya,
mengakibatkan para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita
kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.






A A Maramis


Ketika dilahirkan pada tahun 1897, tidak ada seorang pun yang berani menduga
bahwa anak itu kelak akan menjadi tokoh yang disegani dan disenangi. Secara diam-
diam ia tumbuh di besarkan di tengah-tengah keluarga petani yang kebetulan memiliki
kemampuan ekonomi di atas rata-rata petani Minahasa pada zaman itu. Ia memperoleh
perlakuan kasih saying dari kedua orang tuanya. Begitu halnya dengan saudara
saudaranya.
Setelah cukup usianya maka ia disekolahkan seperti anak-anak lain pada
umumnya. Sementara menuntut ilmu di ELS dimana diajarkan bahasa Belanda, ibunya
meninggal dunia. Ia merasa sangat kehilangan dengan meninggalnya ibunya yang amat
dicintainya. Ayahnya kemudian kawin lagi. Kota Jakarta memiliki arti teersendiri
untuknya, disamping Manado. Di sana ia harus tinggal dan bergaul di rumah keluarga
Belanda, selain harus menuntut ilmu dan mengikat persahabatan dengan kawan-kawan
sekolahnya di HBS. Ia mulai mengerti mengapa ia harus belajar bahasa dan kebudayaan
Belanda.
Kegunaan praktis bahasa dan kebudayaan Belanda dan wawasan kenasionalan
yang baru dan mulai melembaga, telah menempa jiwanya Alex Maramis yang sedang
beranjak dewasa. Setelah lulus HBS, maka bertiga dengan Ahmad Soubardjo dan Datuk
Pamanjuntak dari Sumatra Barat, mereka pergi ke negeri Belanda untuk menuntut ilmu.
Tapi di negeri Belanda situasinya berbeda dengan di Jakarta, apalagi Manado. Udara
kebebasan yang mereka hirup di Eropa sama sekali tidak pernah mereka alami di
Indonesia. Para mahasiswa kita mulai bergerak kea rah persatuan dan kesatuan diman
Alex Maramis berada di tengah-tengah arus yang sedang membanjir itu. Indische
Vereninging yang mereka bentuk sejak 1908 di ganti atas persetujuan bersama menjadi
Perhimpunan Indonesia. Kebanggaan identitas Indonesia telah berkecambah dan mulai
menguasai alam pikirannya.
Sebagai seorang sarjana hukum, Alex Maramis kembali ke Indonesia pada tahun
1924. Sebenarnya dapat bekerja untuk kepentingan colonial, tetapa hal itu tidak
dilakukukannya. Satu-satunya cara adalh bekerja sebagai Advokat dan pengacara di
mana ia dapat langsung mendengar keluhan-keluhan rakyat tertindas., sebagaimana
yang dilakukan oleh ayahnya. Namun masa lalu telah membuat Alex Maramis siap untuk
mencintai dan di cintai seorang janda muda keturunan Belanda: Elizabet Marei Diena
Veldhoedt. Kedunya sepakat untuk menikah pada tahun 1928, dua tahun setelah Alex
Maramis pindah ke Palembang. Sekarang ia mempunyai seorang anak tiri yang dibwaw
masuk istrinya ke lingkungan keluarga mereka. Sebagai awal tanda kasihnya terhadap
anak itu, ia menamakannya Lexy Maramis.
Sejalan dengan keanggotannya dalam Perhimpunan Indonesia, maka ketika PNI
di bentuk tahun 1927, ia masuk menjadi anggota. Ketika para pimpinan partai itu di
tangkap dimana-mana, ia sedang di Palembang dan terhindar dari tindakan pemerintah
colonial pada waktu itu. Sejak masih di negeri Belanda, ia sudah berkata kepada teman-
teman seperjuangannya dalm Perhimpunan Indonesia bahwa perjuangan tidak hanya
membutuhkan perjuangan yang matang dan sasaran yang jelas. Di lain pihak,
perjuangan membutuhkan pula kesiapan dana untuk menunjang perjuangan itu sendiri,
suatu hal yang tidak dilakukan oleh PNI. Hal ini nyata dengan diangkatnya Alex Maramis
dalam tiga masa jabatan sebagai Menteri Keuangan dimasa revolusi diman perjuangan
nasional sangat membutuhkan dukungan dana. Pada masa itu, ia ikut mendirikan KRIS
dan mengantar penyelundupan emas dan opium ke luar negeri setelah berhasil
menembus blikade musuh.
Dalam beberapa situasi yang kritis dan menentukan, ia selalu tampil ke depan. Ia
ikut menandatangani Piagam Jakarta. Sebagai Menteri keuangan, ia mengambil alih
jabatan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri agar PDRI dapat berfungsi
melanjutkan perjuangan pada masa itu. Kejujuran dan hasil perjuangannya selam
menjabat Menteri keuangan, di lengkapi pahit getir yang di kecapnya. Antar lain sebagai
Duta Istimewa dengan kuasa penuh untuk memeriksa administrasi keuangan dan dan
personil di perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri. Jabatannya sebagai
Penasehat Delegasi ke perundingan KMB di negeri Belanda. Aknirnya menjadi Duta
Besar di berbagai Negara. Ke semua jabatan itu menuntut pengabdian yang tinggi dan
jiwa besar seorang pemimpin seperti Alex Maramis ini.
Selama itu ia tetap menjadi seorang suami yang di kasihi, seorang ayah tiri yang
bijaksana, dan seorang anggota keluarga Maramis yang paling menyenangkan. Penuh
disiplin pribadi, jujur dalam nerbagai jabatan, Diplomat yang pandai dan tahu harga diri
nasional. Tepatlah ia apabila orang menilainya Sepi Ing Pmrih, Rame Ing Gawe. Tidak
pernah ia menuntut jasa atau mengih janji. Alex Maramis, tokoh yang pernah
memegang berbagai jabatan menteri dan duta besar, puluhan tahun lamanya
hidupmiskin beserta keluarganya, jauh dari tanah air. Dan pada tahun 1977, ia di
pianggil pulang ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Sempurnalah sudah kehadirannya di
dunia ini.






Abikusno Tjokrosuyoso


Abikusno Tjokrosuyoso, hidup antara tahun 1899-1968, ia merupakan ahli
bangunan (arsitek), juga tokoh PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), serta pejuang
kemerdekaan Indonesia. Duduk dalam pimpinan partai setelah saudaranya HOS
Cokroaminoto wafat tahun 1934.
Ia mengalami masa perpecahan partai menjadi PARII, PII, Barisan Penyadar PSII,
dan kelompok Kartosuwiryo. Dalam pimpinan partai, ia pernah menjadi Ketua Lajnah
Tanfidzyah dan ketua Departemen Ekonomi. Ia mewakili partai dalam GAPI (Gabungan
Politik Indonesia).
Menjelang runtuhnya pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan,
Abikusno ikut menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 dan kemudian duduk
sebagai anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ia menjabat Menteri
Perhubungan dalam Kabinet pertama RI (19 Agustus-November 1945).
Ia ikut getah percobaan kudeta dari golongan Persatuan Perjuangan yang
dipimpin Tan Malaka bulan Juli 1946, karena namanya dicantumkan sebagai Menteri
Bangunan Umum dalam daftar nama calon-calon menteri dalam kabinet yang hendak
dipaksakan pada Kepala Negara (terkenal sebagai peristiwa 3 Juli di Yogya). Akibatnya ia
ikut menjadi tahanan pemerintah bersama 145 orang lainnya.
Ia dibebaskan kembali pada 17 Agustus 1948. Pada Konferensi Meja Bundar, ia
duduk sebagai penasehat delegasi RI, kemudian Abikusno melawat ke Suriname
sehubungan dengan kewarganegaraan tiga ratus ribu orang Indonesia yang berada di
sana. Pada bulan Oktober 1949 Raden Abikusno Tjokrosuyoso wafat dalam usia 69
tahun dan dimakamkan di Surabaya.





Ahmad Subarjo

Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23
Maret 1896 meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah
Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester
in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23
Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan
Aceh dari Pidie. Kakek Ahmad Soebardjo dari pihak ayah adalah ulama di wilayah
tersebut, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri
Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Ahmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia
keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya
memberinya nama Ahmad Subardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri
setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah
Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di
Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini
setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah
Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat
almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.








Sejarah BPUPKI



Memasuki awal tahun 1944, kedudukan Jepang dalam perang Pasifik semakin
terdesak. Angkatan Laut Amerika Serikat dipimpin Laksamana Nimitz berhasil
menduduki posisi penting di Kepulauan Mariana seperti Saipan, Tidian dan Guan yang
memberi kesempatan untuk Sekutu melakukan serangan langsung ke Kepulauan Jepang.
Sementara posisi Angkatan Darat Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jendral Douglas
Mac Arthur melalui siasat loncat kataknya berhasil pantai Irian dan membangun
markasnya di Holandia (Jayapura). Dari Holandia inilah Mac Arthur akan menyerang
Filipina untuk memenuhi janjinya. Di sisi lain kekuatan Angkatan Laut Sekutu yang
berpusat di Biak dan Morotai berhasil menghujani bom pada pusat pertahanan militer
Jepang di Maluku, Sulawesi, Surabaya dan Semarang. Kondisi tersebut menyebabkan
jatuhnya pusat pertahanan Jepang dan merosotnya semangat juang tentara Jepang.
Kekuatan tentara Jepang yang semula ofensif (menyerang) berubah menjadi defensif
(bertahan). Kepada bangsa Indonesia, pemerintah militer Jepang masih tetap
menggembar gemborkan (meyakinkan) bahwa Jepang akan menang dalam perang
Pasifik.
Pada tanggal 18 Juli 1944, Perdana Menteri Hideki Tojo terpaksa mengundurkan
diri dan diganti oleh Perdana Menteri Koiso Kuniaki. Dalam rangka menarik simpati
bangsa Indonesia agar lebih meningkatkan bantuannya baik moril maupun materiil,
maka dalam sidang istimewa ke-85 Parlemen Jepang (Teikoku Ginkai) pada tanggal 7
September 1944 (ada yang menyebutkan 19 September 1944), Perdana Menteri Koiso
mengumumkan bahwa Negara-negara yang ada di bawah kekuasaan Jepang
diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari. Janji kemerdekaan ini sering disebut
dengan istilah Deklarasi Kaiso. Pada saat itu, Koiso dianggap menciptakan perdamaian
dengan Sekutu, namun ia tak bisa menemukan solusi yang akan menenteramkan militer
Jepang atau Amerika.
Sejak saat itu pemerintah Jepang memberi kesempatan pada bangsa Indonesia
untuk mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan Hinomaru (bendera
Jepang), begitu pula lagu kebangsaan Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu
Kimigayo. Di satu sisi ada sedikit kebebasan, namun di sisi lain pemerintah Jepang
semakin meningkatkan jumlah tenga pemuda untuk pertahanan. Selain dari organisasi
pertahanan yang sudah ada ditambah lagi dengan organisasi lainnya seperti: Barisan
Pelajar (Suishintai), Barisan Berani Mati (Jikakutai) beranggotakan 50.000 orang yang
diilhami oleh pasukan Kamikaze Jepang yang jumlahnya 50.000 orang (pasukan berani
mati pada saat penyerangan ke Pearl Harbour).
Pada akhir 1944, posisi Jepang semakin terjepit dalam Perang Asia Timur Raya
dimana Sekutu berhasil menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Jepang, seperti Papua
Nugini, Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, bahkan Kepulauan Saipan yang
letaknya sudah sangat dekat dengan Jepang berhasil diduduki oleh Amerika pada bulan
Juli 1944. Sekutu kemudian menyerang Ambon, Makasar, Manado, Tarakan, Balikpapan,
dan Surabaya.

Menghadapi situasi yang kritis itu, maka pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah
pendudukan Jepang di Jawa yang dipimpin oleh Panglima tentara ke-16 Letnan Jenderal
Kumakici Harada mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan
pembentukan badan tersebut adalah menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan
penting tentang ekonomi, politik dan tata pemerintahan sebagai persiapan untuk
kemerdekaan Indonesia.

Walaupun dalam penyusunan keanggotaan berlangsung lama karena terjadi
tawar menawar antara pihak Indonesia dan Jepang, namun akhirnya BPUPKI berhasil
dilantik 28 Mei 1945 bertepatan dengan hari kelahiran Kaisar Jepang, yaitu Kaisar
Hirohito. Adapun keanggotaan yang terbentuk berjumlah 67 orang dengan ketua Dr.
K.R.T. Radjiman Widiodiningrat dan R. Suroso dan seorang Jepang sebagai wakilnya Ichi
Bangase ditambah 7 anggota Jepang yang tidak memiliki suara. Ir. Soekarno yang pada
waktu itu juga dicalonkan menjadi ketua, menolak pencalonannya karena ingin
memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam perdebatan, karena biasanya peranan
ketua sebagai moderator atau pihak yang menegahi dalam memberi keputusan tidak
mutlak.

Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkanlah upacara peresmian BPUPKI
bertempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon Jakarta, dihadiri oleh Panglima
Tentara Jepang Wilayah Ketujuh Jenderal Itagaki dan Panglima Tentara Keenam Belas di
Jawa Letnan Jenderal Nagano. BPUPKI mulai melaksanakan tugasnya dengan melakukan
persidangan untuk merumuskan undang-undang dasar bagi Indonesia kelak. Hal utama
yang dibahas adalah dasar negara bagi negara Indonesia merdeka.

Selama masa tugasnya BPUPKI hanya mengadakan sidang dua kali. Sidang
pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 di gedung Chou Sang In di
Jalan Pejambon 6 Jakarta yang sekarang dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila.
Pada sidang pertama, Dr. KRT. Rajiman Widyodiningrat selaku ketua dalam pidato
pembukaannya menyampaikan masalah pokok menyangkut dasar negara Indonesia
yang ingin dibentuk pada tanggal 29 Mei 1945.

Ada tiga orang yang memberikan pandangannya mengenai dasar negara
Indonesia yaitu Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Supomo dan Ir. Soekarno.
KLIPING
PKN







Kelompok 2
Nama :
1. Novita Kartika Anggraeni
2. Della Friska Anggraeni
3. Dhea Ayu Febriani
4. Ellyza Eka P.
5. Lavira Dewi C. R.

SDN Danurejo 1
Mertoyudan Magelang

Anda mungkin juga menyukai