Anda di halaman 1dari 19

1. Dr.

Soetomo

dr. Soetomo atau Soebroto (30 Juli 1888 – 30 Mei 1938 ) adalah tokoh pendiri Budi
Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia. Soebroto mengganti namanya menjadi
Soetomo saat masuk ke sekolah menengah.
Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo mendirikan
perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia
bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.
Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Dokter Sutomo
merampungkan studinya di STOVIA pada tahun 1911. Sejak saat itu, Sutomo resmi menjadi
dokter dan berpindah-pindah tugas dari satu daerah ke daerah lain. Sutomo juga tercatat sebagai
salah satu tenaga medis yang menangani wabah pes di Malang. Dalam menjalankan tugas
mengobati rakyat, Sutomo tidak pernah memungut biaya pengobatan. Pada tahun 1917, Sutomo
menikah dengan seorang perawat Belanda.
Dua tahun kemudian, dia berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi hingga tahun
1923. Di Belanda, Sutomo bergabung dengan Indische Vereeniging yang kemudian menjelma
menjadi Perhimpunan Indonesia. Bahkan dalam periode 1920-1921, Dokter Sutomo dipercaya
untuk memimpin Perhimpunan Indonesia. Sepulangnya ke Tanah Air, Sutomo bekerja sebagai
dosen di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), di Surabaya. Sutomo juga mendirikan
Indonesian Study Club (ISC) pada tahun 1924. ISC mengalami perkembangan pesat sejak
didirikan. Maka pada tahun 1930, namanya diganti menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI).
Melalui PBI, Sutomo banyak membantu rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Namun Sutomo tidak sempat menyaksikan bangsa merdeka dan terbebas dari penjajah. Dokter
Sutomo meninggal dunia pada 30 Mei 1938. Dia dimakamkan di Bubutan, Surabaya.

1
2. HOS Tjokroaminoto

Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto (16 Agustus 1882 – 17 Desember 1934), lebih
dikenal di Indonesia sebagai H.O.S. Tjokroaminoto, adalah seorang nasionalis Indonesia. Ia
menjadi salah satu pemimpin Sarekat Dagang Islam, yang didirikan oleh Samanhudi, yang
menjadi Sarekat Islam, yang mereka dirikan bersama.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M.
Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Magetan pada saat itu. Kakeknya, R.M.
Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo, Mertuanya adalah R.M.
Mangoensoemo yang merupakan wakil bupati Ponorogo. Beliau adalah keturunan langsung dari
Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo
Setelah lulus dari sekolah rendah, ia melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja
di Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi. Tiga tahun kemudian, ia
berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja
sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah
kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin.
Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang
sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni
tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya
yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya
yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti

2
Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin
menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan
ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato
hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya
terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia
dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI
di Banjarmasin.

3
3. Abdul Wahid Hasyim

K.H. Abdul Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19 April 1953) adalah pahlawan nasional yang
pernah menjabat sebagai Menteri Negara dan juga pernah sebagai Menteri Agama pada era orde
lama. Ia adalah ayah dari presiden keempat, Abdurrahman Wahid dan anak dari Muhammad
Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pahlawan nasional Indonesia. Selain itu pada
tahun 1951 ia menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ia menikah di
usia 25 tahun dengan Solichah, putri KH. Bisri Syansuri dan dikaruniai 6 orang anak.
Abdul Wahid Hasyim tidak menempuh pendidikan sekolah dasar di sekolah yang didirikan
oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu Hollandsch-Inlandsche School. Ini terjadi karena ayahnya
yaitu Hasyim Asy'ari, dikenal sebagai tokoh anti-sekolah yang didirikan oleh penjajah.
Sejak kecil, Abdul Wahid Hasyim belajar di Madrasah Salafiyah di Pondok Pesantren
Tebuireng. Ia telah berhasil mengkhatamkan Al Quran di usia 7 tahun. Kemudian setelah lulus
dari madrasah, ia diminta oleh ayahnya untuk membantu mengajar adik-adik dan santri-santri
pesantren seusianya.
Pada usia 13 tahun, ia belajar pendidikan Islam di Pondok Pesantren Siwalan Panji
di Kabupaten Sidoarjo. Namun, ia hanya dapat bertahan selama sebulan. Ia kemudian pindah
belajar ke Pondok Pesantren Lirboyo. Di pondok pesantren ini pun, ia hanya bertahan dalam
waktu yang singkat. Akhirnya, pulang untuk belajar mandiri di rumahnya sendiri. Abdul Wahid
Hasyim mempelajari bahasa Arab hingga mahir. Setelahnya ia mempelajari alfabet
Latin sekaligus belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Pada tahun 1932 ia belajar di Makkah bersama sepupunya, Muchammad Ilyas, ialah yang
mengajari Wahid dalam belajar Bahasa Arab hingga ia fasih berbahasa Arab. Sehingga ia
menguasai tiga bahasa asing, yakni Arab, Inggris, dan Belanda.
Selain keaktifannya dalam gerakan politik dan sumbangsihnya terhadap perjuangan
melawan penjajah secara diplomatis, pada tahun 1944 ia mendirikan sebuah Sekolah Tinggi

4
Islam di Jakarta yang saat itu pengasuh sekaligus pimpinannya dipegang oleh oleh KH. A. Kahar
Moezakkir.
Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba
ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid
membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Dengan semangat
memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada
ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial.
Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah
nidzamiyah. Meskipun ayahandanya, Hadratush Syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum
akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian
Wahid menjadi ketua MIAI.
Menjelang kemerdekaan tahun 1945 di usianya yang masih 23 tahun, ia menjadi
anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara,
pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-
Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.
Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari bunyi
rumusan "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran
seorang Wahid Hasyim. Pada mulanya rumusan sila pertama tersebut ditolak oleh penduduk
Indonesia yang beragama non-muslim, karena tidak hanya umat Islam saja yang ikut berperan
dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia, namun dari berbagai pihak. Kemudian Wahid
mengusulkan diubahnya sila pertama yang berbunyi "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi
Pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Wahid memang dikenal sebagai tokoh yang
moderat, substantif, dan inklusif.
Wahid Hasyim menjadi Menteri Negara Republik Indonesia periode 1945–1949. Jabatan
ini merupakan hasil penunjukan langsung oleh Presiden Soekarno. Kemudian ia menjadi Menteri
Agama selama tiga periode kabinet secara berurutan. Periode pertama yaitu Kabinet Hatta mulai
pada 20 Desemnber 1949 hingga 6 September 1950. Periode kedua yaitu Kabinet Natsir sejak 6
September 1950 hingga 27 April 1951. Periode ketiga dalam Kabinet Sukiman mulai 27 April
1951 hingga 3 April 1952.
Pada tahun 1939, Nahdlatul Ulama menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia),
sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan Belanda. Saat
pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi
Ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku
pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan
umat Islam mewujudkan kemerdekaan.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-19 di Palembang pada tahun 1951, Wahid Hasyim
terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan Rais 'Aam KH. A.
Wahhab Hasbullah.

5
4. Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EBI: 2 Mei
1889 – 26 April 1959) adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,guru
bangsa, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti
halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman. Ia
merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III. Ia
menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School. Sekolah ini merupakan sekolah
dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa. Ia sempat melanjukan pendidikan
kedokteran di STOVIA. Namun, ia tidak menamatkannya karena kondisi kesehatan yang buruk.
Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Ia pernah
bekerja untuk surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong salah seorang penulis yang handal pada
masanya. Gaya tulisannya bersifat komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu
itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik
yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas

6
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia
bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya
untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang berencana untuk ia dirikan. Pada
tanggal 3 Juli 1922, ia akhirnya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di Yogyakarta.
Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah
memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam
dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Tanggal 17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada Sekolah Polisi Republik
Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan Magelang, oleh P.J.M. Presiden Republik Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Indonesia yaitu Soekarno, Ki Hadjar Dewantara
diangkat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama. Pengangkatannya pada tahun
1956. Lalu, pada tanggal 19 Desember 1956, ia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas Gadjah Mada.
Ki Hadjar Dewantara juga ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas jasa-jasanya
dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Selain itu, tanggal 2 Mei yang merupakan hari
kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ketetapan hari tersebut disahkan
dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959 bersamaan dengan
penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Surat keputusan tersebut diterbitkan tanggal
28 November 1959.
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959.
Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara. Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa
Agung Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29
April 1959. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang bertindak sebagai inspektur
upacara.

7
5. Douwes Dekker

Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879,
sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich,
September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank
kelas kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda
dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara
itu, ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan
Jerman-Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering
berpindah-pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius
(1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir
di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883.
Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan
ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit
setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember
Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami
pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai
rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan
manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali
lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu
perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.
Setelah tidak bekerja, DD memutuskan untuk pergi ke Afrika Selatan untuk ikut dalam
Perang Boer II melawan Inggris. Perang Boer adalah perang antara Kekaisaran Britania melawan
penduduk Boer, bangsa keturunan Belanda di dua negara merdeka, Republik Transvaal dan
Negara Bebas Oranje. Namun, DD ditangkap dan sempat di penjara. Berikutnya dia dipulangkan
ke Hindia Belanda. Sejak saat itu, dia semakin terbuka terhadap perlakuan dan penindasan
kolonial Hindia Belanda terhadap pribumi. DD sering berkumpul dengan tokoh-tokoh
pergerakan, karena rumahnya di Batavia dekat dengan STOVIA.

8
Saat Boedi Oetomo didirikan, DD juga menjadi salah satu berperan di dalamnya.
Namun, haluan pergerakan Boedi Oetomo terbatas hanya kepada kebudayaan Jawa, sehingga
DD kurang mendapat ruang. Terkait haluan pergerakan Boedi Oetomo ini juga sempat dikritik
oleh Cipto Mangunkusumo, dan menjadi sebab dokter itu keluar dari organisasi tersebut.
Berikutnya, DD, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische
Partij pada tahun 1912. Ini merupakan partai politik nasionalis pertama yang menyuarakan
kemerdekaan dan pembebasan wilayah Hindia (Indonesia) dari belenggu Belanda. Indische Partij
sangat populer, sehingga dalam waktu kurang dari satu tahun sudah memiliki anggota lebih dari
5000 orang. Namun pada tahun 1913, Indische Partij dibubarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda. DD dan Cipto Mangunkusumo yang mengkritik pemenjaraan Suwardi Suryaningrat
atau Ki Hajar Dewantara pun turut kena imbas. Tokoh Tiga Serangkai itu lantas dibuang ke
Belanda.
Sepulang dari pembuangan, DD terus melanjutkan perjuangan. Kali ini perjuangannya
melalui sektor pendidikan dengan mendirikan Ksatrian Instituut. Pada saat Perang Dunia II
meletus, DD yang memiliki darah Jerman dicurigai sebagai pendukung Nazi dan diasingkan ke
Suriname. Di sana, dia dan orang-orang keturunan Jerman lainnya harus hidup sengsara dalam
kamp. Kondisi itu dia alami sampai Perang Dunia II berakhir.
Pada pertengahan tahun 1946, DD akhirnya dipulangkan ke Belanda, lantas secara
sembuny-sembunyi dia pulang ke Indonesia. Kepulangannya harus dilakukan dengan
menggunakan nama samaran. Setibanya di Tanah Air, Presiden Soekarno memberi nama baru
bagi Douwes Dekker, yaitu Danudirja Setiabudi. Danudirja dipilih agar inisial DD tetap bisa
digunakan. Berikutnya Danudirja Setiabudi sempat menjadi Menteri Negara era Kabinet Sjahrir
III, serta menjadi juru runding RI dalam sejumlah perundingan dengan Belanda. Danudirja
Setiabudi meninggal dunia pada 28 Agustus 1950, dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung,
Jawa Barat. Pemerintah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1961.

9
6. Ir. Soekarno

Ir. Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia, sekaligus tokoh proklamator
negara ini. Soekarno akrab dipanggil dengan julukan Bung Karno. Bung Karno juga dikenal
sebagai Putra Sang Fajar karena lahir saat fajar menyingsing. Bung Karno lahir di Surabaya, 6
Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Soekarno awalnya diberi nama Koesno
Sosrodihardjo. Karena sering sakit, namanya diganti menjadi Soekarno.
Soekarno merupakan putra dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
Ibunda Bung Karno merupakan bangsawan Bali. Kedua orang tua Soekarno bertemu saat sang
ayah menjadi guru di Bali. Soekarni hanya sebentar tinggal dengan kedua orang tuanya di Blitar.
Kemudian beliau pindah ke Surabaya untuk menamatkan SD. Selama di Surabaya, Bung Karno
tinggal di kediaman Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Setelah tamat, Bung karno melanjutkan
pendidikan di HBS (Hoogere Burger School). Lulus tahun 1920, Soekarno melanjutkan
pendidikan di THS (Technische Hoogeschool) di Bandung. THS ini merupakan cikal bakal
Institut Teknologi Bandung. Soekarno lulus pada 25 Mei 1926 dan mendapat gelar "Ir".
Setelah lulus, Soekarno mendirikan Biro Insinyur bersama dengan Ir. Anwari tahun 1926.
Selama di Bandung, Bung Karno aktif dalam banyak organisasi. Beliau juga mendirikan Partai
Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927. PNI adalah partai yang bertujuan untuk memerdekakan
bangsa Indonesia. Karena tujuan inilah Soekarno di penjara pada 29 Desember 1929 di penjara
Sukamiskin. Bung Karno kemudian berulang kali dipenjara karena beliau tetap teguh
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan Soekarno cukup panjang sebelum akhirnya mampu menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, bersama Mohammad Hatta dan beberapa tokoh
lainnya, beliau menyatakan kemerdekaan bangsa. Soekarno sebelumnya sudah mengemukakan
dasar negara, Pancasila, pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Dasar ini kemudian menjadi dasar
negara Indonesia. Kiprah Bung Karno tidak berhenti di lingkup negara Indonesia saja. Bung
Karno tercatat berusaha menghimpun bangsa-bangsa untuk membuat Gerakan Non Blok.
Gerakan ini beranggotakan bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Gerakan ini
merupakan hasil dari Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung.

10
Bung Karno memiliki 3 orang istri selama hidupnya. Dari ketiga istrinya, Soekarno
dikarunia 8 orang anak. Fatmawati, istri pertama Bung Karno, melahirkan Guntur, Megawati,
Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Taufan dan Bayu adalah putra Soekarno dari Hartini.
Ratna Sari Dewi, istri Soekarno berdarah Jepang, memiliki anak bernama Kartika. Bung Karno
menyerahkan jabatannya sebagai presiden Indonesia setelah terjadi gejolak politik. Gejolak ini
disebabkan oleh pemberontakan G-30-S/PKI yang menewaskan banyak perwira TNI. Soekarno
wafat di RSPAD tanggal 21 Juni 1970 karena sakit yang terus memburuk. Beliau dimakamkan di
Blitar, dekat dengan makam sang ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai.

11
7. Dr. Cipto Mangunkusumo

Cipto Mangunkusumo lahir di Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada 4 Maret
1886. Ia adalah putra tertua dari Mangunkusumo, seorang priayi yang merakyat di tanah Jawa.
Berikut biografi Cipto Mangunkusumo, dokter rakyat yang hidup di pengasingan.Cipto
Mangunkusumo merupakan lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia) atau
sekolah kedokteran di Batavia. Ia lulus dan langsung menjalani masa dinas sebagai dokter
pemerintah pada 1905.Setahun berlalu, ia ditugaskan untuk pergi ke Demak, Jawa Tengah. Cipto
Mangunkusumo sering memberikan pertolongan kepada rakyat miskin, tanpa meminta imbalan.
Ia pun mendapat julukan sebagai "dokter rakyat".
Pada 1912, Cipto Mangunkusumo mendapatkan bintang Orde van Oranje-
Nassau (Kepahlawanan Belanda) karena jasanya dalam memberantas penyakit pes di Malang,
Jawa Timur. Namun, ia menyerahkan kembali bintang jasa tersebut ke Belanda, karena tidak
diizinkan memberantas pes di Solo, Jawa Tengah.Bukan hanya mati-matian bertanggung jawab
dengan profesi dokternya, Cipto Mangunkusumo juga melebarkan sayap ke pergerakan politik
untuk memperjuangkan kemerdekaan RI. Pada 1912, ia bersama E.F.E Douwes Dekker dan
Soewandi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij. Mereka dikenal sebagai tiga serangkai.
Indische Partij menggunakan majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar de Expres pimpinan
E.F.E Douwes Dekker untuk membangkitkan rasa kebangsaan serta rasa cinta tanah air. Partai
pertama di Indonesia tersebut memiliki satu misi luar biasa, yaitu menentang politik rasial dari
pemerintah kolonial Belanda.Namun sayang, partai tersebut tidak berjalan lama. Sebab, saat
Indische Partij didaftarkan status badan hukumnya, pemerintah kolonial Belanda menolaknya
pada 11 Maret 1913. Penolakan tersebut dikeluarkan Gubernur Jenderal Indenburg.
Tidak berhasil dengan partainya, Cipto Mangunkusumo bersma kawan-kawan
revolusionernya pun kembali meluncurkan gerakan. Gerakan tersebut bersinggungan dengan

12
rencana perayaan kemerdekaan ke-100 Belanda.Liciknya, pemerintah Belanda meminta daerah
jajahannya untuk ikut mensukseskan acara tersebut dengan memungut uang dari rakyat
jajahannya. Muak dengan cara kolonial, para pejuang kemerdekaan Indonesia itu pun mendirikan
komite bernama Inlandsche Comite tot Herdenking van Nederlands Honderjarige Vrijheid atau
Komite Bumiputera.Bumiputera berkali-kali menuliskan artikel-artikel yang memberi pesan
mengajak rakyat Indonesia tidak perlu ikut merayakan kemerdekaan Belanda, apalagi sampai
menyisihkan uang untuk perayaan tersebut.Bukan hanya itu, Bumiputera juga mengirimkan surat
kawat ke Ratu Wihelmina, yang berisi protes terhadap perayaan kemerdekaan Belanda yang
dianggap menghina kesengsaraan rakyat Indonesia. Dalam surat tersebut, Bumiputera juga
meminta dibentuknya Indisch Parlement atau Parlemen Hindia.
Tulisan Soewandi yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andaikan saya seorang
Belanda) dan tulisan Cipto Mangunkusumo berjudul Menimbang di koran de Expres menjadi
kontroversial. Karenanya, kedua orang itu bersama pemimpin redaksi, Douwes Dekker,
diasingkan ke Belanda.
Pada Juli 1914, Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang ke tanah air, karena penyakit
asmanya sering kambuh. Ia tinggal di Solo. Namun, semangatnya tidak surut, di Solo ia terus
mengecam praktik penindasan dari pemerintah kolonial Belanda.Seiring berjalannya waktu,
Cipto Mangunkusumo menjadi anggota Volksraad yang dibangun Belanda pada 1918. Belanda
menjadikan Cipto sebagai anggota, agar ia bisa menampung berbagai aliran dan berharap
kekritisannya surut.Namun keliru, Belanda justru mendapat banyak kritikan. Sebab Cipto
Mangunkusumo sudah sadar bahwa lembaga tersebut hanya untuk mempertahankan kejayaan
Belanda.Belanda kembali mengasingkan Cipto Mangunkusumo ke Bandung pada 1920. Di sana,
ia menjadi tahanan kota. Di kota bunga tersebut, Cipto bertemu dengan anak-anak muda
revolusioner, seperti Sukarno.
Kesungguhannya dalam menjalani profesi sebagai dokter dan pejuang kemerdekaan,
ternyata membawa Cipto Mangunkusumo ke pengasingan. Pada akhir 1926 hingga awal 1927,
terjadi pemberontakan komunis di beberapa tempat di Jawa dan pantai barat Sumatra.Saat
pemberontakan tersebut, Cipto Mangunkusumo pernah memberikan bantuan ke seorang pemuda.
Ternyata pemuda tersebut ikut serta dalam pemberontakan.Belanda pun tidak menyia-nyiakan
momen tersebut, dan menuduh Cipto Mangunkusumo ikut serta dalam pemberontakan. Ia pun
kembali diasingkan pada 1927, kali ini ke Banda Neira.
Tiga belas tahun hidup di Banda Neira, Cipto Mangunkusumo dipindakan ke Makassar,
dan selanjutnya ke Sukabumi. Semakin hari kondisi fisiknya pun melemah karena penyakit
asmanya.Dokter Cipto Mangunkusumo pun wafat di Batavia (sekarang Jakarta) pada 8 Maret
1943. Ia dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah.

13
8. KH Ahmad Dahlan

K. H. Ahmad Dahlan merupakan sosok pahlawan nasional yang sangat berjasa bagi bangsa
Indonesia melalui gerakan progresifnya. Ia adalah pendiri organisasi Islam bernama
Muhammadiyah, salah satu ormas terbesar di Indonesia.Ahmad Dahlan lahir di kampung
Kauman, Yogyakarta, di bawah naungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 1
Agustus 1868. Ia memiliki nama kecil Muhammad Darwis.Beberapa literatur menyebutkan
bahwa ia merupakan keturunan dari Ki Ageng Gribig (salah satu ulama pada zaman Mataram)
dan Maulana Ibrahim (Sunan Gresik).
Ahmad Dahlan pernah menjadi santri dari Kiai Sholeh Darat selama dua tahun bersama
dengan K. H. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sebelumnya, keduanya sudah
saling mengenal ketika belajar di sebuah pesantren di Madura di bawah asuhan Kiai Kholil
Bangkalan.Singkat cerita, keduanya kembali ke kampung masing-masing. Ahmad Dahlan ke
Yogyakarta, sedangkan Hasyim Asy'ari ke Jombang, Jawa Timur.Hingga pada suatu ketika, Sri
Sultan Hamengku Buwono VII mengutus Raden Ngabei Ngabdul Darwis (panggilan Kraton
terhadap Ahmad Dahlan) untuk menuntut ilmu di Arab Saudi. Di sana, ia berjumpa kembali
dengan kawan lamanya, Hasyim Asy'ari. Mereka berguru kepada Syekh Ahmad Khatib.
Ketika di Arab Saudi, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu
Taimiyah.
Setelah kembali ke tanah air, pada tahun 1909, Ahmad Dahlan masuk ke Organisasi Boedi
Oetomo, sebuah organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis yang berdiri satu
tahun sebelumnya. Di organisasi ini, ia menyalurkan ilmu yang dikuasainya untuk memenuhi
keperluan para anggota. Tiga tahun berselang, tepatnya tanggal 18 November 1912/8 Dzulhijjah
1330, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi keagamaan yang diberi nama Muhammadiyah.
Organisasi ini mulai menyebar ke berbagai daerah dan banyak bergerak di bidang pendidikan
dan kesehatan. Selain itu, sebagai bentuk penanaman cinta Tanah Air kepada para pemuda, ia
juga membentuk gerakan Hizbul Wathan.

14
Sebelas tahun pasca mendirikan Muhammadiyah, ia berpulang menghadap Yang
Mahakuasa, tepatnya tanggal 23 Februari 1923 di Yogyakarta. Mendiang dimakamkan di
kampung Karangkajen, Brontokusuman, Yogyakarta. Atas jasanya itu, gelar pahlawan nasional
disematkan oleh pemerintah Indonesia kepada Ahmad Dahlan pada tahun 1961.

15
9. Dr. Wahidin Soedirohoesodo

Wahidin Sudirohusodo, dr. adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya
Wahidin Sudirohusodo selalu dikaitkan dengan organisani Budi Utomo karena meskipun
Wahidin Sudirohusodo bukan merupakan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, Wahidin
Sudirohusodo menjadi salah satu penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Pria yang lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta pada tanggal 7 Januari 1852 ini
menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di Yogyakarta yang kemudian dia lanjutkan dengan
bersekolah di Europeesche Lagere School yang juga berlokasi di Yogyakarta. Setelah
menyelesaikan studinya di sekolah tersebut, Sudirohusodo memutuskan untuk masuk di Sekolah
Dokter Jawa atau yang lebih dikenal dengan STOVIA di Jakarta.
Selama hidupnya, Sudirohusodo yang diketahui merupakan keturunan Bugis-Makassar ini
sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila dia disukai banyak orang.
Dari pergaulannya inilah, Sudirohusodo akhirnya sedikit banyak mengerti penderitaan rakyat
akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai
salah satu cara yang bisa dilakukannya untuk sedikit membantu meringankan penderitaan adalah
dengan memanfaatkan profesinya sebagai dokter, selama mengobati rakyat, Sudirohusodo sama
sekali tidak memungut bayaran.
Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan
dan mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota
di Jawa. Para tokoh itu kemudian diajaknya untuk menyisihkan sedikit uang mereka yang
nantinya digunakan untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu
melanjutkan sekolahnya. Namun sayangnya, ajakan Sudirohusodo ini kurang mendapat
sambutan.

16
Perjuangan Sudirohusodo tidak sampai disitu saja. Di Jakarta, Sudirohusodo mencoba
mengunjungi para pelajar STOVIA dan menjelaskan detail gagasannya. Saat itu, Sudirohusodo
menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan
dan meninggikan martabat bangsa. Ternyata gagasan Sudirohusodo ini mendapat sambutan baik
dari para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan menyadari bagaimana buruknya
nasib rakyat Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi
yang diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena
itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin
Sudirohusodo sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1917. Jasadnya kemudian dimakamkan di desa
Mlati, Yogyakarta.

17
10. KH. Samanhudi

KH Samanhudi memiliki nama kecil Sudarno Nadi. Dia lahir di Laweyan, Surakarta, Jawa
Tengah, pada tahun 1868. Samanhudi memulai pendidikannya di Sekolah Dasar Bumiputera
kelas satu di Surabaya, Jawa Timur. Di sekolah ini, Samanhudi tidak hanya belajar tentang
pendidikan umum, namun juga pendidikan agama Islam. Selain belajar, Samanhudi juga mulai
menunjukkan minatnya di dunia perdagangan, terutama perdagangan batik. Dari minatnya inilah
Samanhudi mulai mengenal dan menjalin relasi dengan para pedaganga dari berbagai daerah
baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat. Sementara pendidikan agama Islam
ditempuh KH Samanhudi di sejumlah pondok pesantren. Saat berguru dengan KH Zainal
Musthofa ini, Samanhudi banyak bertukar pikiran tentang perjuangan rakyat Indonesia untuk
merdeka. KH Zaenal Musthofa sendiri juga merupakan Pahlawan Nasional yang memimpin
perlawanan melawan Jepang. Aktivitas perdagangan yang dijalankan KH Samanhudi
mendorongnya untuk mendirikan suatu organisasi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). SDI
didirikan oleh Samanhudi dan relasi bisnisnya pada 16 Oktober 1905, dan menjadi organisasi
pertama di Indonesia.
Latar belakang berdirinya SDI sendiri karena adanya kebijakan Belanda yang memberi
keleluasaan pedagang asing untuk berdagang di Indonesia. Kebijakan itu mendapat penentangan
dari pedagang lokal, yang menilai akan merugikan mereka. Meski berdiri sejak 1905, SDI baru
benar-benar resmi secara administratif saat membuka dua cabang di Batavia dan Buitenzorg atau
Bogor. Pendirian dua cabang itu terjadi pada tanggal 5 April 1909. Sehingga dalam beberapa
catatan SDI disebut berdiri tahun 1909. Di bawah komando KH Samanhudi, SDI berhasil
berkembang pesat dengan dibukanya cabang di beberapa kota. Memasuki tahun 1912, SDI
berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) dan mulai diketuai oleh HOS Cokroaminoto.
Perubahan nama sendiri dilakukan sebagai upaya Samanhudi dan Cokroaminoto untuk
melebarkan sayap perjuangan. Dalam lingkup SI, organisasi ini tidak hanya bergerak di bidang
perdagangan namun juga sosial, ekonomi, hingga politik. Selain itu, keanggotan dalam SI lebih
luas dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan saat SDI, anggota terbatas pada
pedagang.

18
KH Samanhudi mulai mengalami gangguan kesehatan pada tahun 1920, dan membuatnya
tidak aktif lagi di SI. Namun demikian, Samanhudi masih menyumbangkan pemikiran-
pemikirannya terhadap pergerakan nasional. KH Samanhudi juga sempat menyaksikan
kemerdekaan bangsanya pada 17 Agustus 1945. Samanhudi meninggal dunia pada tanggal 28
Desember 1956 di Klaten, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di Desa Banaran, Kecamatan
Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Barat. Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Republik
Indonesia menetapkan KH Samanhudi sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1961.
Nama Samanhudi kini diabadikan sebagai nama museum, yaitu Museum Haji Samanhudi di
Kampung Batik Laweyan, Surakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai