Anda di halaman 1dari 12

BIOGRAFI PROF. MR.

ACHMAD SOEBARDJO

1. ASAL-USUL
Menteri Luar Negeri Pertama R.I. ini, lahir di Teluk Jambe Karawang, sebuah desa
di tepi Sungai Cimanuk (Jawa Barat) pada tanggal 23 Maret 1896. Kelahirannya berawal
dari kakek-buyutnya, H. Muhammad Usman seorang pejuang perang Aceh dari Pidie. Ia
meninggalkan Aceh karena merasa tidak aman hidupnya karena di kejar-kejar oleh aparat
pemerintah kolonial Belanda dan persaingan internal kelompok pejuang.
Pada tahun 1840, Teuku Usman bersama pengikutnya dengan perahu layar sampai
di perairan Indramayu pantai utara pulau jawa. Tatkala mendekat Pantai Indramayu,
perahunya dilanda topan dan kemudian hancur berantakan. Teuku Usman bersama
pengikutnya berenang menyelamatkan diri, terdampar di pantai Panganjang di tepi sungai
Cimanuk.
Disana ia mendirikan pesantren dan menjadi tokoh di desa tersebut. Kemudian ia
menikah dengan seorang gadis dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, anak pertamanya
bernama Teuku Saleh, anak kedua bernama Abdul Karim dan anak ketiga seorang
perempuan bernama Cut Aminah.
Abdul Karim menikah dengan gadis Wardinah anak seorang pedagang kayu
bernama Haji Husein. Sesudah pernikahannya, Teuku Abdul Karim pindah ke kota
Indramayu. Disana tidak terlalu lama menetap, karena masyarakat meminta dia menjadi
khatib Masjid Jatibarang. Dalam perkawinannya Teuku Karim mempunyai 5 (lima) orang
anak yaitu: Teuku Jusuf, Ismail, Mujenal, Muchsan dan Sidua. Teuku Karim meninggal
dunia di Jatibarang.
Sepeninggal Teuku Karim, istrinya pindah ke Indramayu, kemudian ke Teluk
Agung yang jaraknya 4 km dari kota Indramayu. Ketiga anak laki-lakinya dikirim masuk
pendidikan pesantren pengajian, anak perempuan dan bungsunya yang tinggal bersama
ibunya. Ayahnya Subardjo di wilayah Indramayu tersohor sebagai qori pembaca Al-
qur’an karena suaranya yang merdu. Ia seringkali mendapat undangan dari Husli Wedena
(camat) Teluk Agung Indramayu bernama Ahmad yang pernah menjadi santri disebuah
pesantren di Surabaya. Berangkat dari santri Ahmad, Teuku Jusuf bersekolah di Negeri
Belanda yang kemudian mengantarkannya ke kader pamongpraja.
Ahmad tertaut pada kesalehan Teuku Jusuf dan menjodohkannya dengan putri
tunggalnya Wardinah, Dari perkawinan pasangan ini lahir 4 (empat) orang anak, anak
pertama perempuannya diberi nama Siti Chadijah, anak kedua Siti Alimah, disusul
Aburakhman dan yang bungsu bernama Abdul Manaf. Nama Abdul Manaf tinggal
menjadi lahir. Atas usul kawan kakeknya namanya diganti menjadi Soebardjo yang
berarti “Cemerlang” atau “Gemerlapan”. Kemudian neneknya menambahkan nama
Ahmad, sehingga lengkaplah namanya menjadi Ahmad Soebardjo.

2. PENDIDIKAN
Karena menjadi menantu Pamong Praja, Teuku Yusuf kemudian menempuh karir
ke PamongPraja juga. Ketika Soebardjo lahir, Ayahnya telah menjabat Mantri Polisi
Pamong Praja (Sekretaris Kecamatan) Teluk Jambe. Karir ini dimulai dari magang (calon
pegawai). Dengan statusnya sebagai Pejabat Daerah, Teuku Yusuf mempunyai hak untuk
menyekolahkan ank-anaknya ke sekolah Belanda. Di Karawang belum ada sekolah
Belanda. Teuku Jusuf menyekolahkan anak-anaknya ke Batavia.
Soebardjo bersama kakak-kakaknya terpaksa mandok di Batavia. Mereka
bersekolah di tiga sekolah, yaitu Europeesche Lagere School-ELS di Kwitang, kemudian
pindah ke ELSB di Pasar Baru, dan setelah tamat di ELS, Soebardjo melanjutkan
pendidikannya di Prince Hendrik School (Sekolah Pangeran Hendrik). Kemudian pindah
ke sekolah Koning William III (KW III) di Salemba, suatu sekolah almamater para
pemimpin Indonesia dan berbagai suku bangsa. Di sekolah ini Soebardjo banyak
membaca buku. Buku yang yang paling menyentuh hatinya adalah Max Havelar yang
ditulis oleh Douwes Dekker mantan pejabat Asisten Residen Lebak (Banten). Penulis
menggunakan nama samaran Multatuli. Buku ini berkisah tentang kesewenang-wenangan
para penguasa baik Belanda maupun pribumi terhadap rakyat.
Di sekolahnya Soebardjo bersahabat dengan Max Maremis. Persahabatan terjalin
karena mereka mempunyai hobi yang sama, yaitu musik klasik. Mereka berlatih secara
tekun. Artikel pertama yang menggugah kesadaran politiknya adalah Een Eereschuld
(Hutang Budi) karya Van Deventer. Artikel ini terbit pada 1899, dalam majalah De
Nieuwe Gido. Ia mengetengahkan sebuah gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan
pendidikan pribumi agar pribumi dapat dilibatkan perannya dalam semua bidang
pekerjaan baik di lingkungan pemerintah maupun swasta. Van Deventer megusulkan agar
dilaksanakan desentralisasi pemerintah, dalam rangka membantu kemajuan penduduk.
Kesadaran politik dan kebangsaan semakin berkembang pada tahun 1913 setelah
terjadi peristiwa besar. Peristiwa itu adalah perayaan 100 tahun kebebasan Belanda dari
kekuasaan Perancis yang diadakan secara besar-besaran. Tiba-tiba saja perayaan itu
terganggu oleh selembaran tulisan yang berjudul ”Als ik een Nederland was…”
(Seandainya aku orang Belanda,,) yang ditulis bersama Tiga serangkai anggota Indische
Partij, Suwandi Suryaningrat, Dr Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker.
Soebardjo menamatkan pendidikan HBS Koning Willem III (KW III) pada tahun
1917. Pada tahun itu juga Soebardjo bergabung dengan Tri Koro Darmo organsiasi
pemuda di bawah naungan Budi Utomo. Bersamaan dengan masa Perang Dunia I di
Eropa, Pergerakan Nasional Indonesia berkembang pesat. Sarikat Islam, sebuah
organisasi pergerakan politik yang beridiologi Islam-nasional di bawah pimpinan Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi organisasi yang dominan. Hampir semua daerah
berdiri cabang Sarikat Islam, karena organisasi bertujuan memajukan kesejahteraan,
pendidikan masyarakat berdasarkan ajaran Islam.
Soebardjo amat tertarik dan terkesan pada tema-tema pidato Tjokroaminoto,
tentang kebangsaan dan keagamaan. Ia seorang Orator ulung yang menguasai
psikologi massa yang amat mengesankan Soebardjo adalah kata-katanya:
“Kita adalah bangsa yang mempunyai harga diri dan bukan bangsa kodok, yang
menongkok ditanah untuk menghormati yang lain, tanpa memandang pangkat atau
pendidikannya.”
Seusai perang Dunia ke-I, Soebardjo melanjutkan pendidikannya ke negeri
Belanda. Pelayaran ke negeri Belanda pada saat itu amat berbahaya, terutama diperairan
Eropa. Ranjau-ranjau laut belum dibersihkan. Ia tiba di Ro Herdom pada tanggal 28 Juni
1919. Beberapa orang sahabatnya menyusul kemudian yaitu Alex Meramis dan Nasir
Datuk Pamontjak. Di negeri Belanda ini ia bertemu dengan Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Soebardjo mengenang postur Tan Malaka Tingginya ± 155 cm, pundaknya lebar kuping
berdiri dan sorot matanya tajam, tampak Ia menderita sesuatu penyakit, tubuhnya kurus,
suaranya tenang dan lembut.
Pulang ke negeri Belanda dalam rangka sekolah guru untuk memperoleh diploma
Lageracte (akta pengajar tingkat rendah) yang dilanjutkan dengan Hoofdacte (akta
pengajar tingkat tinggi), Soebardjo juga bertemu dengan Sneevliet yang menjadi
pemimpin Partai Buruh Belanda. Dialah orang yang mendirikan ISDV (Indische Sosial
Demokratisehe Partij) yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Pada tahun 1908 para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan
organisasi Indische Vereniging sebagai sumbangan dari berdirinya Boedi Oetomo yang
didirikan oleh para siswa STOVIA di Batavia. Tujuan organisasi ini adalah
mengembangkan semangat kebangsaan Indonesia, memajukan kebudayaan dan sejarah.
Terbentuknya perhimpunan ini menurut Soebardjo adalah pengaruh dari kemenangan
Jepang atas Rusia. Kemenangan Jepang ini dianggap sebagai manifestasi nasionalisme
Asia. Bangsa Asia tidak selamanya inferior. Apabila mereka mampu membangkitkan
semangat dan kesadaran akan persatuan, akan mampu pula menumbangkan dominasi dan
kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Itulah pengaruh yang kuat atas lahirnya organisasi.
Pada awalnya organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan dan persaudaraan
mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Para pendirinya antara lain Raden
Panji Sosrokartono mahasiswa jurusan bahasa-bahasa timur, kakak dari R.A. Kartini.
Tokoh Indische Vereniging lainnya adalah Raden Mas Notosuroto, mahasiswa Fakultas
Hukum, bangsawan keturunan Paku Alaman. Tokoh lainnya adalah Husein
Djajadiningrat, mahasiswa jurusan bahasa-bahasa Timur, seorang keturunan Bupati
Banten, mereka adalah generasi pelopor.
Pada generasi kedua adalah Dr. Gunawan Mangunkusumo yang memimpin. Namun
organisasi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Ketua PI, Dr. Gunawan bersikap
anti Cina dan dialah yang mempelopori keluar dari Indonesiche Verband (gabungan
organisasi mahasiswa yang berasal dari indonesia). Suatu organisasi federasi pimpinan PI
beralih dari Dr. Gunawan ke Soebardjo, karena berbagai masalah pelik yang dihadapi
organisasi.
Ahmad Soebardjo mengundurkan diri pada tahun 1920 dan diganti oleh Dr.
Soetomo, pendiri Boedi Oetomo 1908 yang memimpin PI sampai tahun 1921.
Pada tahun 1921 beberapa mahasiswa datang belajar di negeri Belanda, antara lain
Muhammad Hatta, Iwa Kusuma Soemantri, Muhammad Nazif, Darmawan Mangoen
Koesoema. PI berkembang pesat tatkala dipimpin oleh para mahasiswa generasi ketiga
ini. Arah politiknya amat jelas, yaitu persatuan bangsa dan perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan. Dalam suatu rapat Soekiman (ketua PI) mengusulkan agar Soebardjo
memimpin kembali PI. Akan tetapi Ahmad Soebardjo menolak dan mengusulkan
Mohammad Hatta menjadi ketua PI. Kemudian sidang sepakat memilih Mohammad
Hatta sebagai ketua PI yang dijabatnya selama enam tahun (1925-1931).

3. Menjadi Anggota Kongres Anti Imperialisme Tahun 1927


Pada bulan Februari tahun 1927 di Brussel diadakan Kongres Anti Imperialisme.
Tindakan pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi pembebasan sudah dianggap oleh
masyarakat Anti Imperialisme dunia telah melebihi batas kemanusiaan dan keadilan.
Kongres ini membahas bagaimana cara melawan kekuatan imperial dan kolonialisme.
Pada bulan itu telah tiba di Brussel utusan dari 21 negara dari Asia, Afrika, Eropa dan
Amerika. Para utusan mewakili berbagai organisasi politik, ekonomi, buruh.
Kongres ini berlangsung selama lima hari dari tanggal 5-10 Februari 1927. Dari
daerah jajahan Inggris lahir Jawaharlal Nehru (India), Nafez Ramadan Bey (Mesir),
Mashur Baqaf Sakri (Syria) dari jajahan Perancis hadir Chodli Ben Mustafa. Dari Hindia-
Belanda mengurusi lima orang yaitu Muhammad Hatta (Ketua) dan empat orang
anggotanya yaitu Semaun (tokoh PKI), Galat Tarunamihardja, Muhammad Nazir Datuk
Paniontjak dan Ahmad Soebardjo dari Perhimpunan Indonesia.
Hasil pokok dari kongres ini adalah terbentuknya League Againts Imperialism and
For National Independence (Liga Anti Imperialisme untuk Kemerdekaan Nasional)
Kongres juga membentuk sekretariat tetap yang berkedudukan di Berlin. Pemerintah
Belanda sangat tidak menyukai terlibatnya mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dalam
gerakan ini. Dengan sigapnya polisi Belanda menangkap ketua PI, Mohammad Hatta dan
tiga orang lainnya, Muhammad Nazir Datuk Pamontjak, Ali Satroamidjojo, dan Abdul
Madjid Djojoadiningrat ditahan untuk diadili. Ahmad dan Arnold Mononutu terhindar
dari penangkapan karena berada diluar negeri Belanda. Karena ia tengah melakukan
muhibah Rusia dan Perancis.

4. Kembali ke Tanah Air


Setelah 7 (tujuh) tahun belajar dan berjuang dalam organisasi PI di negeri Belanda,
pada bulan April 1934 Ahmad Soebardjo kembali ke tanah air. Pekerjaan yang dipilih
oleh Soebardjo setelah menamatkan studie hukum ?
Sebagai seorang yang pernah menjadi aktivitis Perhimpunan Indonesia (PI), hati
nuraninya menolak bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, padahal lowongan untuk
jabatan di pemerintahan sangat terbuka bagi seseorang yang berpendidikan tinggi.
Akhirnya ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono,
seniornya di Semarang. Banyak juga mantan anggota PI yang bekerja di pemerintahan,
antara lain Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Akhmad Mochtar dari Semarang.
Kemudian Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Iskaq
(Tjokro Hadisoerjo).
Pada tahun 30-an itu Soebardjo menyaksikan surutnya perjuangan pergerakan
nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, dan Muhammad Hatta saling berbeda
pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka mempunyai dasar yang sama
yaitu Non Kooperasi.
Partai Nasional Indonesia pecah menjadi tiga kelompok, kelompok pertama ingin
tetap berjuang secara bawah tanah, yang mayoritasnya mantan anggota Serikat Rakyat dan
PRI. Kelompok kedua dibawah pimpinan Mr. Sartono yang menekankan perjuangan
melalui organisasi politik (dalam bentuk partai) adalah lebih efektif, mereka kemudian
membangun Partai Indonesia (Partindo) yang moderat. Kelompok ketiga mendirikan
partai baru Pendidikan Nasional Indonesia yang di mentori oleh Muhammad Hatta dan
Sutan Sjahrir. Soebardjo datang menemui mereka secara pribadi, Ia menemui Soekarno,
mendekati Sartono dan juga menemui Hatta. Pergerakan nasional lumpuh akibat dari
kebijakan politik Gubernur Jenderal P.C. De Jonghe. Oleh karena itu Soebardjo bersikap
wait and see tidak masuk kelompok manapun. Namun pemerintah Hindia-Belanda tetap
mencurigainya sebagai orang komunis. Ia merasa setiap gerak langkahnya diamati oleh
Politicks Inlichtingen Drenst (PID) atau Dinas Penyelidik Politik dari Kepolisian Hindia
Belanda.
Peristiwa perintah meninggalkan Banjarmasin dari Asisten Residen, ketika ia
membela perkara pembunuhan membenarkan dugaannya. Pada tahun 1935 Soebardjo
meninggalkan kantor pengacara Mr. Iskaq, dan pindah ke Malang mendirikan kantor
pengacara sendiri dan menjauhkan diri dari aktivitas politik. Kantor Pengacara Soebardjo
di Malang tidak sukses, karena kalah bersaing dengan kantor-kantor Pengacara yang
dibuka lebih dulu. Soebardjo jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Soekoen.
Belum pulih benar dari sakitnya Soebardjo menerima surat dari Mr. Soedjono yang
tinggal di Tokyo, Soedjono meminta agar Soebardjo berkunjung ke Jepang karena
berbagai tekanan keadaan. Soebardjo yang merasa terjepit, surat Soedjono dianggap
sebagai berkah, untuk bisa melepaskan diri dari stress, tekanan keadaan dan kejiwaan.
Harapannya adalah untuk memperoleh ongkos hidup yang layak di negara asing itu,
namun kendalanya ia tidak mempunyai simpanan yang cukup untuk hidup, sebelum ia
memperoleh pekerjaan. Bekerja sebagai apa dan dimana, itulah pertanyaan yang selalu
terbesit dalam batin Soebardjo. Akhirnya pada bulan September 1935, ia berangkat ke
Jepang bersama dengan keluarga kakaknya yang mengantar dua putrinya Herawati dan
Saptarita untuk bersekolah di Jepang.
Tiba di Tokyo ia terkesan atas kemajuan Jepang, gedung-gedung pencakar langit
telah berdiri dengan megahnya. Dengan perantaraan Mr. Soedjono, Soebardjo
diperkenalkan dengan para cendekiawan Jepang. Melalui ceramah-ceramah umrah di
Nihon Bunka Renmei dan Society for International Cultural Relations dia memperoleh
penghasilan. Ada yang lebih mengesankan, sejumlah cendekiawan Jepang mampu
berbahasa Belanda, Inggris, Jerman secara baik. Koleksi perpustakaannya sangat lengkap,
hampir semua buku dan artikel tentang Hindia Belanda tersedia dalam koleksi.
Penelitian tentang Hindia-Belanda rupanya sangat intensif bahkan sampai nama-nama
Kepala Distrik, hal ini diketahuinya tatkala tentara Jepang baru memasuki Indonesia.
Pemikiran dan konsep-konsep tradisi digali dan dikembangkan. Sikap anti barat orang
Jepang sangat kuat. Japanese Society of Cultural Relations menjadi perantara untuk
mengundang sejumlah orang-orang penting Hindia-Belanda seperti Dr. Soetomo,
Soekardjo Wirjopranoto, Pangeran Suyono Hendraningrat dan beberapa tokoh lagi.
Setelah satu tahun tinggal di Jepang sejak bulan September 1935, pada Bulan
September 1936 kembali Achmad Soebardjo ke Tanah Air. Ia memilih Kota Bandung
sebagai tempat tinggalnya yang baru, bekerja secara penuh sebagai pengacara,
meninggalkan semua kegiatan Politik, namun ia masih merasa tidak lepas dari
pengawasan PID.
Mengingat ia pernah tinggal setahun di Jepang. Pada pertengahan tahun 30-an ini
hubungan Jepang Hindia-Belanda bertambah memburuk. Peristiwa berulang, Soebardjo
mengajukan protes kepada asisten Residen. Para polisi penyelidik ini dianggap
menghalangi seseorang mencari kehidupan, asisten residen minta maaf selama satu tahun
di Bandung Soebardjo telah mempunyai penghasilan yang stabil.
Kegemarannya menulis bangkit kembali ketika ia bertemu dengan wartawan senior
yang berhaluan sosialis Mr. D. M. G. Koch. Selain wartawan ia juga penulis buku Om de
Vujhed (Menuju Kemerdekaan). Buku ini berisi tentang sejarah perjuangan pergerakan
Nasional Bangsa Indonesia. Hubungannya dengan Mr. D.M.G. Koch mengantarkan
Soebardjo untuk menulis kembali sejumlah artikel dalam Kritiek en Opbouw (Kritik dan
Pembangunan).
Setelah tiga tahun tinggal di Bandung, Soebardjo meninggalkan pekerjaan sebagai
Pengacara, dan kemudian bekerja pada “Radio Ketimuran”, sebagai penyusun program
(Progammer) masalah-masalah sosial-kebudayaan. Disamping tugas pokoknya, Soebardjo
kembali melakukan aktivitas jurnalistik.
Situasi politik menjadi tidak kondusif. Perang telah pecah di Eropa, negeri Belanda
diduduki oleh Jerman pada bulan Mei 1940. Ratu dan Pemerintah Belanda mengungsi ke
London dan pada saat itu Soebardjo masih bekerja di Radio Ketimuran, salah satu seksi
dari Nederlandsch Indische Radio Omraf Maatschappij (NIROM). Pemerintah Hindia
Belanda membentuk kesatuan pertahanan udara atau Lucht Bescherminof Drenst, untuk
melindungi kota dari serangan udara.

5. Masa Pendudukan Jepang.


Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda berakhir untuk selama-lamanya setelah
menyerah tanpa syarat di Kalijati, Sabang pada tanggal 8 Maret 1942. Pasukan Jepang
memasuki Jakarta dengan parade kemenangan yang disambut penduduk sebagai
pembebas. Beberapa waktu kemudian Soebardjo bertemu dengan Soedjono. Ia meminta
agar Soebardjo menyusun memorandum singkat sebagai petunjuk hubungannya dengan
Sanseikanbu (Pemerintahan Militer Jepang) Kepada Kolonel Miyoshi. Sementara itu
Soebardjo ditawari bekerja pada kantor penasehat Hatta. Tetapi tidak lama kantor ini
bubar setelah terbentunya Poetera (Poesat Tenaga Rakyat). Soebardjo tidak bergabung
dalam Poetra yang dipimpin oleh Empat Serangkai (Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara,
K.H. Mas Mansur).
Setelah Kantor Penasehat Hatta dibubarkan, ada dua orang Jepang Ishii dan
Nishijima datang ke rumah Soebardjo. Dua orang Jepang itu ternyata dari kantor
Penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) dibawah pimpinan Laksamana Muda
Maeda, Tadashi. Mereka meminta Soebardjo melakukan penelitian tentang masalah bahan
makanan, untuk kepentingan perang dan hubungannya dengan reaksi petani. Tugas
tambahan yang ditawarkan kepada Soebardjo sejarah pergerakan nasional dan kebijakan
pemerintah kolonial Belanda. Tawaran ini diterima oleh Soebardjo, kantornya di Jl.
Prapatan 60. Ia diberi kebebasan untuk memilih pembantu-pembantunya. Beberapa orang
yang dipilih adalah Embah Soediro, sebagai sekretaris, Etty Abdurachman, kemenakan
Soebardjo, Ahmad Soerjo saudara sepupu istrinya, Tasti Kusumo Utojo, Mr. Suwandi,
saudara sepupu Paku Alam dan BRM Suryodarmojo, Putera Paku Buwono XI.
Tugas untuk Soebardjo pada dasarnya adalah pengumpulan data dan sejarah
pergerakan nasional yang meliputi konsep nasionalisme dan sikap bangsa Indonesia
terhadap kelompok Rasial. Dari tugas ini hubungan pribadi Soebardjo dengan Laksamana
Maeda menjadi akrab. Pandangan pribadi Maeda yang luwes terhadap masalah aspirasi
nasional berbeda dengan pandangan yang kaku dari Jenderal-Jenderal Angkatan Darat
(Rikugun). Kebijakan Angkatan Darat dianggap tidak mempunyai pertimbangan
kemanusiaan dan masa bodoh, bahkan mencelakakan kehidupan rakyat.
Soebardjo dengan didampingi oleh Nishijima, yang fasih berbahsa Indonesia dan bekas
manajer Toko Chioda di Bandung, melakukan perjalanan keliling Jawa. Setelah “Janji
Kemerdekaan” Koiso, bulan September 1943, melalui Nishijima, Maeda menyampaikan
rencananya akan menyelenggarakan kursus kepada Soebardjo. Atas informasi tersebut
Soebardjo menghubungi Soekarno dan Hatta, sekaligus meminta kedua tokoh ini
berpartisipasi secara aktif. Beberapa tokoh lain yang dihubungi oleh Soebardjo adalah
Sutan Sjahrir, Mr. R.P. Singgih, Sanusi Pane Suwondo, Iwa Kusuma Sumantri dan
Muhammad Said.
Dari pendekatan Soebardjo tersebut, lahir Asrama Indonesia Merdeka yang
berlokasi di Jalan Gunung Sahari, Gedung Dai San Ka (Biro III) dari Kaigun Bukanfu.
Para pesertanya terdiri atas pemuda. Wikana ditunjuk sebagai pengawas asrama. Asrama
Indonesia Merdeka diresmikan oleh Laksamana Maeda pada bulan Oktober 1944.
Rencananya terselenggara sampai dua angkatan, berakhir pada bulan Mei 1945. Seluruh
aktivitas kursus dan juga kantor Soebardjo, sebagai pengendali kursus tidak seorang
Jepang pun yang melakukan intervensi. Bahkan kantor ini menjadi tempat diskusi politik
yang aman.

6. Menjadi Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


Sesuai dengan janji Koiso, pada bulan Maret 1945 Jepang membentuk BPUPKI
yang bertugas menyusun rancangan Konstitusi negara Indonesia yang akan merdeka.
Hampir semua tokoh pergerakan diangkat sebagai anggotanya. Jumlahnya 61 orang, yang
dipimpin oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Soebardjo termasuk yang dipilih dengan
nomor urut 42. Soebardjo menjelaskan bahwa Soekarno berjasa meletakkan dasar
pandangan hidup atau filosofi rakyat Indonesia mengenai kehidupan dan dunia, yang
terumus dalam sila-sila Pancasila. Kemudian diperdaulatkan, teori apa yang akan menjadi
dasar negara Indonesia. Ada tiga teori yaitu teori individualis, teori klas, teori negara
kesatuan.
Setelah masing-masing melakukan curah pendapat dan tukar pendapat, Soekarno
membentuk kelompok panitia sembilan orang yang disebut Panitia Sembilan. Soebardjo
mengusung gagasan Kongres menentang Imperialisme di Brussel pada bulan Februari
1927 yakni Imperialisme dan kolonialisme hendaklah dihapuskan. Ada gagasan lain yaitu
tentang menentukan nasib sendiri yang mengdopsi gagasan Presiden Amerika Serikat
Woodrow Wilson pada tahun 1917. Dan dalam sublimasi gagasan itu lahirlah paragraf
pertama dari rancangan pembukaannya. Menurut Soebardjo, Panitia Sembilan
menghadapi kesulitan ketika mencari kompromi antara ideologi nasionalis dan konsepsi
Islam mengenai negara dan masyarakat.
Pada sidang kedua Panitia Sembilan yang berlangsung selama 1 (satu) minggu
(tanggal 10-17 Juli 1945), menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Menolak teori-teori individualis, didasarkan atas pertimbangan. Teori tersebut bisa
menciptakan penindasan seseorang terhadap orang lain, termasuk menciptakan politik
ekspancionis, militer, ekonomi.
2. Menolak teori Karl Marx, Engels dan Lenin yang bertentangan dengan falsafah hidup
bangsa Indonesia.
3. Menolak terhadap suatu bentuk negara Islam bagi Indonesia karena tidak memisahkan
antara negara dan agama, sekalipun mayoritas rakyat indonesia memeluk agama Islam,
pemeluk agama yang merupakan minoritas tidak akan merasa sebagai warga negara
kelas dua. Toleransi beragama berdasarkan falsafah hidup bangsa, (Pancasila)
merupakan satu-satunya saluran kearah tercapainya suatu kehidupan yang saling
berdampingan secara damai.
Selanjutnya Teori apa yang diterima? Teori Adam Muller, Hegel (Abad 18-19)
yang mengemukakan Teori Negara Kesatuan. Menurut teori ini negara tidak semata-mata
menjamin kepentingan individu, kelas atau kelompok, bagaimanapun kuatnya kelompok
itu. Tetapi negara memberikan jaminan atas kepentingan masyarakat secara keseluruhan
sebagai satu kesatuan, struktur sosial dan negara disatukan, seluruh kelas, bagian-bagian
serta semua anggota masyarakat secara erat dirangkaikan sebagai satu kesatuan yang
organik
Soebardjo menyatakan bahwa tokoh kunci teori ini adalah Prof. Dr. Mr. Supomo
dan Mr. Muhammad Yamin. Soebardjo menandaskan bahwa pada pertengahan tahun
1945 ini, eskalasi perang telah mencapai titik terdahsyat, sehingga badan penyelidik tidak
sempat membahas secara mendalam fasal-fasal dalam batang tubuh rancangan Undang-
Undang Dasar Negara. Tugas Badan Penyelidik sebenarnya telah selesai dan berhasil
menyusun rancangan Undang-Undang Dasar Negara secara utuh, pada Bulan Juli 1945.
7. Menjelang Proklamasi Kemerdekaan
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Soebardjo bersama sejumlah tokoh dan penduduk
Jakarta menyambut kedatangan Dr. Radjiman, Soekarno-Hatta, di Bandar Udara
Kemayoran. Masih ada tiga orang lagi yaitu Mr. Teuku Moh. Hassan, Dr. Amir, dan Mr.
Abas, yang ikut serta dalam rombongan Rajiman. Mereka adalah anggota PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang mewakili Sumatera.
Setelah turun dari pesawat, Soekarno memberikan pidato singkat,
“Jika beberapa waktu yang lalu saya menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka
sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya menyatakan kepada kamu bahwa
Indonesia akan merdeka sebelum tanaman tersebut berbunga”.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, di Jakarta terdengar desas-desus bahwa Jepang telah
menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Soekarno dan Hatta berusaha untuk mencari
kebenaran desas-desus itu, mendatangi Sunseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer).
Tetapi tidak bertemu Pejabat Jepang yang dimaksud, yaitu Jenderal Yamamoto Moichiro.
Mereka datang ke Kantor Soebardjo dengan harapan memperoleh informasi dari
Soebardjo. Soebardjo mengusulkan agar mereka dapat konfirmasi dari Laksamana Maeda.
Soekarno, Hatta, dan Soebardjo datang menemui Maeda. Jawaban Maeda tidak tegas,
tidak membantah, dan tidak membenarkan desas-desus tersebut. Mereka meninggalkan
kantor Maeda pada sore hari tanpa hasil. Karena masih ada tugas mendesak yang harus
diselesaikan yaitu membahas penyelenggaraan sidang Badan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945 yang akan mengesahkan Rancangan Undang-
undang Dasar Negara yang disusun oleh BPUPKI.
Sementara itu Soebardjo masih penasaran ingin memperoleh informasi yang jelas.
Ia menduga laksamana Maeda karena jabatan dan sumpahnya menolak membocorkan
kebenaran berita tersebut yang masih dinilai rahasia. Soebardjo mencoba mengontak
bawahan Maeda dikantor Kaigan Bukanbu, barang kali mereka mau bicara.
Pada sore hari, Soebardjo datang ke asrama mereka, disana telah ada Dr. Buntara
dan Iwa Kusuma Sumantri, dengan maksud yang sama. Orang-orang jepang itu pun juga
tidak bisa memberikan informasi. Soebardjo kemudian mengajak Hatta untuk menemui
Soekarno pada malam itu. Mereka diterima Soekarno pukul 11.00 malam. Ia duduk
dikelilingi oleh sejumlah pemuda antara lain Wikana. Para pemuda menginginkan agar
kemerdekaan Indonesia di proklamasikan pada malam itu juga dengan nada mengancam.
Tetapi Soekarno menolak, karena harus di bicarakan dulu dalam siding PPKI. Ancaman
Wikana dijawab oleh Soekarno, “Ini batang leherku, seretlah saya kepojok itu dan
potonglah leherku malam ini juga!”. Wikana mundur.
Kemudian Hatta memperingati dengan berkata, “Jika sodara tidak setuju apa yang
saya katakan dan mengira sodara telah siap dan sanggup memproklamasikan, mengapa
sodara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Soekarno
untuk melakukan itu?”. Wikana terdiam, drama menjelang proklamasi itulah yang
disaksikan oleh Soebardjo. Seusai menyaksikan drama proklamasi tersebut Soebardjo dan
Hatta meninggalkan rumah Soekarno, waktu telah menunjukan waktu malam.

8. Peristiwa Rengasdengklok
Pada parihari pukul 08.00, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah
Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu dibawa
kemana, padahal setelah para pemuda mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana
ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pada pukul 10.00
akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat
terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta.
Soebardjo berpikir lebih jauh, bahwa ia harus menghubungi pimpinan Angkatan Laut
Jepang dalam usaha pencarian Soekarno dan Hatta. Soebardjo khawatir kedua pemimpin
ini ditangkap oleh angkatan darat. Hanya angkatan laut yang bisa menolong
membebaskannya.
Kemudian seorang anggota stafnya Soediro memberi tahu angkatan laut. Nishijima
menerima laporan Soediro. Soebardjo sendiri kemudian datang secara pribadi kepada
Laksamana Maeda, belum sempat terucap salam Maeda mendahului bertanya, “Kenapa
tuan datang sendiri dan tidak dengan tuan Soekarno dan Hatta? Saya berjanji kepada
tuan-tuan kemarin untuk menyampaikan bentuk resmi tentang penyerahan kami!”
Soebardjo menjawab “Kami datang untuk memberi tahu tuan, tutup halangannya mereka
dari kota”. Maeda terkejut, tidak berkata apa-apa lalu termenung.
Dari rumah Maeda, Soebardjo bergegas menuju kantornya di Jalan Prapatan.
Kantor Daisanka memang tempat yang aman bagi rapat-rapat yang membahas masalah-
masalah sosial maupun aktivitas politik. Soebardjo kemudian memerintahkan
sekretarisnya, agar memanggil Wikana. terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat
terhadap Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan
semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta”
jawab Wikana. “Apakah akibat dari tindakan tersebut sudah kamu putuskan?” Tanya
Soebardjo. “Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan
semua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana.
Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-
Hatta. Wikana tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna.
Maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-
Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana.
Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan
dengan damai, karena jika tidak akibatnya merugikan perjuangan kita. Wikana dan Pandu
keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima, Shigetada datang dan
rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut akan mendukung
Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa saat kemudian Wikana, Pandu, dan seorang anggota Tentara Peta, Jusuf
Kunto datang meyakinkan Soebardjo bahwa tindakan itu bermaksud menyelamatkan
Soekarno dan Hatta. Soebardjo menyatakan kepada mereka, “Jika atas dasar keselamatan
saudara membawa Soekarno dan Hatta keluar kota, saudara tidak usah khawatir
keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini. Karena saya percaya bahwa Angkatan
Laut akan memberikan dukungan andaikata mereka mendapat kesulitan dari Angkatan
Darat. Tolonglah beritahu saya, dimana mereka berdua disembunyikan. Saya akan
mengantarkan mereka kembali ke Jakarta, sehingga dapat memulai Proklamasi
Kemerdekaan. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas usaha ini.” Pandu kemudian
menyatakan bahwa Soebardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan
melarang menemui Soekarno-Hatta tanpa ditemani orang yang mereka kenal. Jusuf Kunto
yang ditunjuk untuk menemui Soebardjo. Sementara Nishijima yang berada diluar
ruangan mengkhawatirkan keselamatan Soebardjo. Ia menawarkan diri untuk
mendampingi Soebardjo, namun ditolaknya secara halus.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro
kearah Jatinegara terus kearah Timur. Sepanjang perjalanan mereka diam, berhenti
dibeberapa pos yang dijaga oleh Tentara PETA. Tiba di pinggiran Kota Karawang, Kunto
memerintahkan pengemudi membelok kearah Rengasdengklok, Kota Kawedanan di
Pantai Utara.
Tiba pada waktu Maghrib, istirahat dirumah Wedana. Jusuf Kunto mohon diri
meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan mengenakan seragam PETA,
Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog singkat, Soekarni menyatakan bahwa
tindakan yang dilakukan bukan prakarsa pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi.
Soebardjo dan Soedira mengikuti Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA
Rengasdengklok, Cundonco Subeno. Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan
Soebardjo ke Rengasdengklok bukan untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi
dengan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan pertamanya adalah apa maksud kedatangannya
di Rengasdengklok. Beberapa pertanyaan mendasar yang diingat Soebardjo antara lain:
“Bisakah saudara mengatakan kepada kami Bahwa Jepang sudah menyerah? Apakah
saudara datang atas nama Kaigan? Apakah saudara bisa memproklamasikan
kemerdekaan sebelum tengah malam?. Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo
menjaminkan dirinya untuk siap ditembak.
Seusai acara interogasi tersebut, Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan
dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo,
Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah menyerah? Soebardjo
memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda. Kemudian
diputuskan untuk segera kembali di Jakarta.
Dengan tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta
pada pukul 21.00. Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir
disergap oleh tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke
rumah Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo tiba di
rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih atas
penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.

9. Mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan


Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul sebelum rombongan dari
Rengasdengklok memasuki rumah ini. Soekarno dan Hatta bersama Maeda meninggalkan
rumah. Tidak lama kemudian muncul Dr. Buntaran Martoatmodjo, sayuti Melik dan Iwa
Kusuma Sumantri. Sukarni bersama rombongannya tiba kembali di rumah Maeda pada
pukul 01.00. Ia mengajak Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri untuk menemui Sjarir di
sebuah rumah di Jalan Bogor Lama (Jl. Minangkabau). Ternyata Sjahrir tidak ada di
tempat. Soebardjo bertemu dengan beberapa Pemuda, Chairul Soleh, Adam Malik, Pandu
Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo. Karena tidak ketemu, mereka bertiga kembali ke
rumah Maeda. Soekarno, Hatta, dan Maeda belum kembali kerumah, beberapa orang
anggota PPKI telah hadir.
Pada kurang lebih pukul 02.00, Soekarno, Hatta dan Maeda tiba kembali bersama
Kolonel Miyoshi, Perwira penghubung Angkatan Darat yang mantan Diplomat. Kemudian
mereka berunding. Soekarno, Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap
meja bundar, di belakangnya duduk Soediro, Soekarni, dan B.M. Diah, baru kemudian
Soebardjo memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon (Kepala
Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, dan Mayor Jenderal Nishimura,
Otoshi, samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil. Nishimura
berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak ada boleh kegiatan politik sesudah tanggal
15 Agustus 1945.
Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini diputuskan bahwa proklamasi
kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang.
Kemudian Maeda, Nishijima, dan Miyoshi tinggal di tempat. Ketika Soekarno, Hatta,
Soebardjo akan menyusun redaksi (teks) Proklamasi, Soekarno betanya kepada Soebardjo,
“Masih ingatkah saudara teks dari bab Pembukaan UUD kita?”. “Ya, saya ingat tetapi
tidak lengkap.” Jawab Soebardjo. “Tidak apa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat
yang menyangkut Proklamasi, bukan seluruh teksnya.” Kata Soekarno. Kemudian
Soekarno mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang Soebardjo ucapkan.
“Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan”. Soekarno kemudian
menambahkan “Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain akan diselenggarakan
dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno tidak menuliskan rakyat,
tetapi Bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk mengetiknya, Ia kemudian pergi
ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang lain sedang duduk-duduk. Dia diminta
oleh Soekarni untuk mengetiknya yang kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik.
Seusai diketik teks ketikan diserahkan kepada Soekarni selanjutnya diserahkan kepada
Soebardjo, kemudian diterima oleh Soekarno.
Seusai pengetikan teks para hadirin yang terdiri atas anggota PPKI dan pemuda
menuju ke ruang besar. Bagian depan antara lain Dr. Radjiman, Prof. Supomo, Dr.
Ratulangi, Mr. Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri. Di antara para pemuda,
B.M. Diah, Adam Malik, Mando Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampingi
oleh Hatta membacakan Teks Proklamasi. Soekarni yang telah membaca sebelumnya
mengkritik sebagai teks lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak mempunyai
kepercayaan diri, ia tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia tidak percaya bahwa
Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan cara sukarela kita harus
merebutnya dari tangan mereka, terjadi perdebatan setelah penilaian Soekarni.
Para anggota PPKI menentang perubahan teks. Soekarno menawarkan siapa yang
membubuhkan tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang menandatangani teks
Soekano dan Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada. Soekarno menolak
pembacaan teks Proklamasi akan dilakukan di rumahnya, tetapi di Jl. Pegangsaan Timur
No. 56 pada pukul 10.00. Subardjo merasa bahwa tugasnya telah selesai. Setelah saling
bersalaman, mereka meninggalkan rumah Maeda pada kira-kira pukul 06.00.
Pada pagi hari itu, menjelang pukul 10.00 dua utusan Soekarno datang menjemput.
Karena terlalu capek, Soebardjo memutuskan untuk melanjutkan istirahatnya, setelah dua
hari diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara tatkala Soekarno yang
didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus
1945.

10. Menjadi Menteri Luar Negeri


Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan yang luar biasa pada tanggal 18
Agustus 1945. Para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berkumpul di
Pejombon. Mereka mewakili rakyat Indonesia mengesahkan Undang-undang yang telah
diselesaikan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, memilih Soekarno
sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Pada hari berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden Soekarno menunjuk
Soebardjo sebagai ketua panitia kecil, yang beranggota 2 (dua) orang yaitu Soebardjo
Kartohadikusumo dan Alex Andries Maramis . Tugas panitia kecil adalah merumuskan
organisasi pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil menyampaikan saran agar
pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen. Dan setelah dibahas pada sidang Pleno,
diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu mengusulkan tambahan enam orang
Menteri Negara, berhubung Negara dalam situasi Revolusioner. Tugas Menteri Negara
bersifat khusus, dapat bergerak cepat apabila ada situasi darurat, mereka dapat diutus oleh
pemerintah pusat ke daerah-daerah, usul ini diterima oleh presiden, namun yang diangkat
hanya lima orang.
Setelah sidang presiden membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama ini terdiri
atas 18 Menteri, 13 Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara. Soebardjo
ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah
membangun kementerian, karena sebelumnya tidak ada seorang Indonesia pun pernah
bekerja di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal
pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, karena tidak ada pilihan lain.
Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politik luar negeri suatu negara yang
merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya tentara sekutu di
Indonesia. Oleh karena itu baik presiden, wakil presiden, dan menteri luar negeri terus
menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah Negara demokrasi dan mentaati
semua hukum hubungan Internasional. Atlantic Charter, Diagram PBB diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke seluruh jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah
bagaimana lahirnya dan eksistensi Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh
dunia Internasional.
Kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda sudah berakhir sejak bulan Maret 1942 dan
pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Di samping pengakuan
kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia telah bertekad mempertahankan
Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun. Tekad bangsa ini berhasil, tatkala
tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan
protokol Dotsdam, terlebih dulu mengakui secara de facto Negara Republik Indonesia dan
memberitahu Kementerian Luar Negeri rencana kedatangannya. Peristiwa itu dianggap
sebagai sukses pertamanya dalam kampanye Kementerian Luar Negeri.

11. Testtamen Politik


Masih pada bulan Agustus 1945, Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo kedatangan
seorang tamu, ia adalah Tan Malaka yang dikiranya telah meninggal dunia. Kehadiran
Tan Malaka menarik simpati para pengagumnya. Beberapa orang ingin menemuinya
antara lain Sayuti Melik, Iwa Kusuma Sumantri, Gatot Tarunamihardja dan Presiden
Soekarno.
Pada suatu pertemuan Presiden Soekarno menyampaikan ke khawatirannya
kemungkinan ia akan ditangkap tentara sekutu, Soekarno minta kepada Tan Malaka agar
memberi petunjuk kepada para pemimpin perjuangan tentang taktik dan strategi
perjuangan. Tan Malaka menyanggupi apabila diberi surat tugas resmi.
Beberapa hari kemudian Ahmad Soebardjo yang ditanya mengenai surat tugasnya,
melaporkan kepada Soekarno. Ahmad Soebardjo diberitahu bahwa Soekarno akan datang
kerumah Soebardjo. Soekarno datang bersama Hatta, Tan Malaka bertanya tentang surat
tugasnya, kemudian Soekarno menjawab ia datang akan menyusun surat tugas itu
bersama-sama. Soebardjo menyediakan kertasnya, Soekarno mempersilahkan Tan Malaka
menulis dengan kalimatnya sendiri. Kemudian draf surat tugas tulisan Tan Malaka
diserahkan kepada Soekarno. Setelah dibacanya diserahkan kepada Hatta, Soekarno
mengusulkan agar judul surat itu diubah dengan Amanat Soekarno-Hatta. Dari beberapa
nama yang disebut dalam surat itu Hatta mengusulkan dengan Sjahrir dan Wongsonegoro,
isi pokok amanat Soekarno-Hatta adalah “apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
Soekarno-Hatta, maka pimpinan perjuangan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma
Sumantri, Sjahrir dan Wongsonegoro”. Surat amanat itu kemudian dikenal dengan nama
Testamen Politik (Surat Wasiat Politik) yang disaksikan proses penyusunannya oleh
Soebardjo.
Pada tanggal 19 September 1945, Soebardjo menemui Sukarni dan menyatakan
pradarsanya bahwa perlu ada satu pernyataan tekad dari rakyat dalam bentuk rapat
raksasa. Soekarni setuju berjanji akan mengerahkan massa kelapangan Ikada, rapat ini
mempunyai bobot politik sebagai jawaban kedatangan pasukan AFNEI di Jakarta
Soebardjo juga meminta kepada Presiden agar diadakan sidang kabinet untuk membahas
rencana rapat raksasa dengan massa yang jumlahnya puluhan ribu. Presiden setuju, namun
masih diliputi kebimbangan memperhitungkan kemungkinan resiko yang akan dihadapi.
Sidang kabinet diadakan pada pukul 16.00 dirumah Presiden karena masalah ini
masih terjadi perdebatan, sidang diundur sampai pukul 22.00, Presiden menghubungi
pimpinan tentara Jepang, tidak berhasil. Akhirnya Soebardjo mengusulkan agar semua
anggota kabinet ikut hadir dalam rapat raksasa ini. Semua setuju, massa yang jumlahnya
ribuan telah berkumpul dilapangan Ikada, para menteri mendahului berangkat. Soebardjo,
Iwa Kusuma Sumantri, Ki Hajar Dewantara menggunakan satu mobil, Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden berangkat dengan satu mobil, sebelum memasuki lapangan mobil
ditahan sebentar oleh Kimpeilais. Presiden naik keatas panggung, Ia berpidato sangat
singkat, meminta rakyat agar taat kepada pemerintah dan tunduk kepada perintah-perintah
pemerintah dan tunduk kepada disiplin. Masyarakat mengikuti perintah Presiden dan
meninggalkan lapangan Ikada dengan tertib.
Soebardjo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet pertama selama
empat bulan, karena perubahan dari kabinet Presidensial. Peristiwa rapat raksasa tanggal
19 September memberi dampak yang dahsyat. Peristiwa yang sama diikuti oleh daerah-
daerah terutama ketika mendengar berita pasukan AFNEI bersama NICA mendarat di
Jakarta.
Bulan September dan Oktober adalah bulan perlawanan pemuda dan bulan yang
penuh ketegangan. Soebardjo sebagai Menteri Luar Negeri mengirimi radio para
pemimpin Partai Buruh yang berkuasa. Menteri menyatakan bahwa proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan azas-azas demokrasi. Radio kedua pun
dikirim pada tanggal 9 Oktober 1945, yang menyatakan sikap pemerintah RI tidak
keberatan atas pendaratan tentara Inggris (AFNEI) untuk melaksanakan tugas. “Kami
tidak memusuhi sesuatu bangsa, tetapi kami memusuhi penjajah dari siapapun juga“.
Di Jakarta insiden bersenjata meluas. Rakyat menolak dan marah kepada tentara
sekutu yang “membawa” NICA. Beberapa Perwira Inggris menjadi korban penembakan.
Menteri Luar Negeri Soebardjo dipanggil oleh Panglima AFNEI Letjen. Christison ke
Markas Besar AFNEI (sekarang Gedung Perhubungan Laut Jl. Merdeka Timur).
Christison meminta agar tentara Indonesia diberi uniform, untuk membedakan
gerombolan liar dan tentara resmi. Disamping perlawanan fisik menentang kehadiran
NICA, menteri luar negeri menyarankan kepada Presiden untuk menegaskan kembali
sikap pemerintah Indonesia kepada dunia internasional melalui RRI, sehinnga pada 25
Oktober 1945 Presiden menegaskan:
1. Bangsa Indonesia hanya menghendaki pengakuan kemerdekaan.
2. Menolak kedatangan Belanda. Orang-orang Belanda harus dikumpulkan disuatu
tempat.
3. Pengakuan de Facto RI harus dinyatakan dengan perbuatan.
Insiden bersenjata berlanjut di Surabaya, pasukan AFNEI mengerahkan
kekuatannya untuk “menghukum para perusuh” yang adalah arek-arek surabaya yang
berjuang mempertaruhkan kemerdekaan. Peristiwa yang sama terjadi di Bandung,
Semarang, Medan dan beberapa kota lain di Indonesia

12. Tragedi Revolusi


Pada bulan November 1945 terjadi penggantian kabinet. Menurut Soebardjo
perubahan pemerintahan ini di latar belakangi oleh pergantian pemerintah di Inggris dan
Belanda yang berhaluan sosialis. Sutan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri,
sebagaimana seorang sosialis Sjahrir, menurut Soebardjo melakukan kebijakan politik
yang evolusioner, yang menekankan “taktik diplomasi”. Sebaliknya rakyat bersemangat
evolusioner untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Pada kabinet baru ini
Soebardjo ditawari sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, ia menolak karena perbedaan
prinsip. Soebardjo kemudian pindah ke Yogyakarta, disini melalui Dr. Sukirman ia
berkenalan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang kebetulan sedang mencari
penasehat politik. Bersama beberapa kawannya Iwa Kusuma Sumantri, Ki Hajar
Dewantoro, kemudian menjadi anggota Badan Penasehat Panglima Besar.
Pada akhir bulan Juni 1946, anggota Badan Politik Panglima Besar, menghadiri
Rapat Partai Buruh di Blitar. Dalam Perjalanan kembali ke Yogyakarta dia memperoleh
informasi bahwa ia akan ditangkap oleh Pemuda Sosialis Indonesia, organisasi para
militer Partai Sosialis Sjahrir. Soebardjo tidak melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta, Ia
tinggal di kompleks Tasikmadu Kartasura. Rupanya keberadaannya diketahui oleh polisi,
ia ditangkap dibawa ke Tawangmangu kesebuah kompleks tempat peristirahatan
(bungalow). Di tempat tersebut ternyata telah beberapa tokoh yang sealiran dengan
Soebardjo. Pengikut Tan Malaka antara lain Iwa Kusuma Sumantri, Muhammad Yamin,
dan Sayuti Melik.
Pada akhir bulan Juni 1946 mereka dipindah kepenjara Wirogunan Yogyakarta.
Pada tanggal 03 Juli 1946 dibebaskan dari penjara oleh Jenderal Mayor Soedarsono, dan
dibawa kesuatu penginapan. Dalam percakapannya dengan Muhammad Yamin, bahwa
Yamin telah menulis sebuah petisi yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno. Isi
petisi itu agar Presiden me-Ruseffle. Kabinet Sjahrir meninggalkan politik berunding
dengan Belanda dan melaksanakan politik konfrontasi merdeka 100%.
Pada tanggal 3 Juli 1946, kelompok ini menghadap kepada Presiden Soekarno.
Dipihak istana kepresidenan dan aparat keamanan telah mengetahui rencana mereka.
Setiba di istana mereka ditangkap, sejak hari itu Soebardjo dan kawan-kawannya menjadi
tahanan pemerintah. Ada generasi yang lebih muda antara lain Adam Malik dan Chairul
Saleh.

13. Dari Penjara ke Penjara.


Setelah ditahan beberapa saat di Yogyakarta, Soebardjo dan kawan-kawannya
diangkat dengan Truch menuju Tretes, suatu tempat peristirahatan di Jawa Timur. Tidak
lama disini, kemudian dipindahkan ke penjara Magelang. Karena ada desas-desus Belanda
akan menyerbu Magelang, Soebardjo dan kawan-kawannya di pindahkan ke penjara
Ponorogo, kemudian dipindahkan lagi ke rumah penjara Mojokerto dan yang terakhir
pindah ke rumah penjara Madiun.
Pada tanggal 17 Agustus 1948, Soebardjo dan kelompoknya memperoleh amnesti
dari Presiden, dibebaskan dari rumah penjara. Baru merasakan udara bebas beberapa
bulan di Yogyakarta, pecah aksi militer Belanda II. Ia ditangkap oleh intelijen Militer
Belanda atau Inlichtnigen Verligheid Groep (IVG) dan dimasukkan rumah penjara
Ambarawa, Ia baru bebas setelah ada resolusi PBB, bahwa semua tahanan politik harus
dibebaskan.

14. Kembali ke Departemen Luar Negeri.


Setelah memperoleh kebebasan, Soebardjo kembali ke Departemen Luar Negeri.
Pada bulan September 1951 Ia diangkat sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam
konferensi perdamaian dengan Jepang di San Francisco yang membahas berbagai masalah
hubungan bilateral dan pampasan perang.
Pada Tahun 1953 Beliau diangkat sebagai Direktur Akademi Dinas Luar Negeri
(ADLN). Setelah selama 2 (dua) tahun sukses membangun pendidikan dan mendidik para
calon diplomat, Soebardjo diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik
Federasi Switzerland.

15. Wafat dan Penghargaan


Ahmad Subardjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina,
Kebayoran Baru, Jakarta pada tanggal 15 Desember 1978 akibat flu yang menimbulkan
komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatannya di Cipayung, Bogor. la menerima
tanda penghargaan diantaranya yaitu:
a. Order of Merit dari Pemerintah Mesir, Tahun 1954
b. Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, Tahun 1961
c. Bintang Mahaputra Adipradana, Tahun 1973
d. Bintang Republik Indonesia Utama, Tahun 1992
Atas jasa-jasanya Pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor : 058/TK/Tahun 2009 tanggal 6 November
2009.

Anda mungkin juga menyukai