ACHMAD SOEBARDJO
1. ASAL-USUL
Menteri Luar Negeri Pertama R.I. ini, lahir di Teluk Jambe Karawang, sebuah desa
di tepi Sungai Cimanuk (Jawa Barat) pada tanggal 23 Maret 1896. Kelahirannya berawal
dari kakek-buyutnya, H. Muhammad Usman seorang pejuang perang Aceh dari Pidie. Ia
meninggalkan Aceh karena merasa tidak aman hidupnya karena di kejar-kejar oleh aparat
pemerintah kolonial Belanda dan persaingan internal kelompok pejuang.
Pada tahun 1840, Teuku Usman bersama pengikutnya dengan perahu layar sampai
di perairan Indramayu pantai utara pulau jawa. Tatkala mendekat Pantai Indramayu,
perahunya dilanda topan dan kemudian hancur berantakan. Teuku Usman bersama
pengikutnya berenang menyelamatkan diri, terdampar di pantai Panganjang di tepi sungai
Cimanuk.
Disana ia mendirikan pesantren dan menjadi tokoh di desa tersebut. Kemudian ia
menikah dengan seorang gadis dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, anak pertamanya
bernama Teuku Saleh, anak kedua bernama Abdul Karim dan anak ketiga seorang
perempuan bernama Cut Aminah.
Abdul Karim menikah dengan gadis Wardinah anak seorang pedagang kayu
bernama Haji Husein. Sesudah pernikahannya, Teuku Abdul Karim pindah ke kota
Indramayu. Disana tidak terlalu lama menetap, karena masyarakat meminta dia menjadi
khatib Masjid Jatibarang. Dalam perkawinannya Teuku Karim mempunyai 5 (lima) orang
anak yaitu: Teuku Jusuf, Ismail, Mujenal, Muchsan dan Sidua. Teuku Karim meninggal
dunia di Jatibarang.
Sepeninggal Teuku Karim, istrinya pindah ke Indramayu, kemudian ke Teluk
Agung yang jaraknya 4 km dari kota Indramayu. Ketiga anak laki-lakinya dikirim masuk
pendidikan pesantren pengajian, anak perempuan dan bungsunya yang tinggal bersama
ibunya. Ayahnya Subardjo di wilayah Indramayu tersohor sebagai qori pembaca Al-
qur’an karena suaranya yang merdu. Ia seringkali mendapat undangan dari Husli Wedena
(camat) Teluk Agung Indramayu bernama Ahmad yang pernah menjadi santri disebuah
pesantren di Surabaya. Berangkat dari santri Ahmad, Teuku Jusuf bersekolah di Negeri
Belanda yang kemudian mengantarkannya ke kader pamongpraja.
Ahmad tertaut pada kesalehan Teuku Jusuf dan menjodohkannya dengan putri
tunggalnya Wardinah, Dari perkawinan pasangan ini lahir 4 (empat) orang anak, anak
pertama perempuannya diberi nama Siti Chadijah, anak kedua Siti Alimah, disusul
Aburakhman dan yang bungsu bernama Abdul Manaf. Nama Abdul Manaf tinggal
menjadi lahir. Atas usul kawan kakeknya namanya diganti menjadi Soebardjo yang
berarti “Cemerlang” atau “Gemerlapan”. Kemudian neneknya menambahkan nama
Ahmad, sehingga lengkaplah namanya menjadi Ahmad Soebardjo.
2. PENDIDIKAN
Karena menjadi menantu Pamong Praja, Teuku Yusuf kemudian menempuh karir
ke PamongPraja juga. Ketika Soebardjo lahir, Ayahnya telah menjabat Mantri Polisi
Pamong Praja (Sekretaris Kecamatan) Teluk Jambe. Karir ini dimulai dari magang (calon
pegawai). Dengan statusnya sebagai Pejabat Daerah, Teuku Yusuf mempunyai hak untuk
menyekolahkan ank-anaknya ke sekolah Belanda. Di Karawang belum ada sekolah
Belanda. Teuku Jusuf menyekolahkan anak-anaknya ke Batavia.
Soebardjo bersama kakak-kakaknya terpaksa mandok di Batavia. Mereka
bersekolah di tiga sekolah, yaitu Europeesche Lagere School-ELS di Kwitang, kemudian
pindah ke ELSB di Pasar Baru, dan setelah tamat di ELS, Soebardjo melanjutkan
pendidikannya di Prince Hendrik School (Sekolah Pangeran Hendrik). Kemudian pindah
ke sekolah Koning William III (KW III) di Salemba, suatu sekolah almamater para
pemimpin Indonesia dan berbagai suku bangsa. Di sekolah ini Soebardjo banyak
membaca buku. Buku yang yang paling menyentuh hatinya adalah Max Havelar yang
ditulis oleh Douwes Dekker mantan pejabat Asisten Residen Lebak (Banten). Penulis
menggunakan nama samaran Multatuli. Buku ini berkisah tentang kesewenang-wenangan
para penguasa baik Belanda maupun pribumi terhadap rakyat.
Di sekolahnya Soebardjo bersahabat dengan Max Maremis. Persahabatan terjalin
karena mereka mempunyai hobi yang sama, yaitu musik klasik. Mereka berlatih secara
tekun. Artikel pertama yang menggugah kesadaran politiknya adalah Een Eereschuld
(Hutang Budi) karya Van Deventer. Artikel ini terbit pada 1899, dalam majalah De
Nieuwe Gido. Ia mengetengahkan sebuah gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan
pendidikan pribumi agar pribumi dapat dilibatkan perannya dalam semua bidang
pekerjaan baik di lingkungan pemerintah maupun swasta. Van Deventer megusulkan agar
dilaksanakan desentralisasi pemerintah, dalam rangka membantu kemajuan penduduk.
Kesadaran politik dan kebangsaan semakin berkembang pada tahun 1913 setelah
terjadi peristiwa besar. Peristiwa itu adalah perayaan 100 tahun kebebasan Belanda dari
kekuasaan Perancis yang diadakan secara besar-besaran. Tiba-tiba saja perayaan itu
terganggu oleh selembaran tulisan yang berjudul ”Als ik een Nederland was…”
(Seandainya aku orang Belanda,,) yang ditulis bersama Tiga serangkai anggota Indische
Partij, Suwandi Suryaningrat, Dr Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker.
Soebardjo menamatkan pendidikan HBS Koning Willem III (KW III) pada tahun
1917. Pada tahun itu juga Soebardjo bergabung dengan Tri Koro Darmo organsiasi
pemuda di bawah naungan Budi Utomo. Bersamaan dengan masa Perang Dunia I di
Eropa, Pergerakan Nasional Indonesia berkembang pesat. Sarikat Islam, sebuah
organisasi pergerakan politik yang beridiologi Islam-nasional di bawah pimpinan Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi organisasi yang dominan. Hampir semua daerah
berdiri cabang Sarikat Islam, karena organisasi bertujuan memajukan kesejahteraan,
pendidikan masyarakat berdasarkan ajaran Islam.
Soebardjo amat tertarik dan terkesan pada tema-tema pidato Tjokroaminoto,
tentang kebangsaan dan keagamaan. Ia seorang Orator ulung yang menguasai
psikologi massa yang amat mengesankan Soebardjo adalah kata-katanya:
“Kita adalah bangsa yang mempunyai harga diri dan bukan bangsa kodok, yang
menongkok ditanah untuk menghormati yang lain, tanpa memandang pangkat atau
pendidikannya.”
Seusai perang Dunia ke-I, Soebardjo melanjutkan pendidikannya ke negeri
Belanda. Pelayaran ke negeri Belanda pada saat itu amat berbahaya, terutama diperairan
Eropa. Ranjau-ranjau laut belum dibersihkan. Ia tiba di Ro Herdom pada tanggal 28 Juni
1919. Beberapa orang sahabatnya menyusul kemudian yaitu Alex Meramis dan Nasir
Datuk Pamontjak. Di negeri Belanda ini ia bertemu dengan Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Soebardjo mengenang postur Tan Malaka Tingginya ± 155 cm, pundaknya lebar kuping
berdiri dan sorot matanya tajam, tampak Ia menderita sesuatu penyakit, tubuhnya kurus,
suaranya tenang dan lembut.
Pulang ke negeri Belanda dalam rangka sekolah guru untuk memperoleh diploma
Lageracte (akta pengajar tingkat rendah) yang dilanjutkan dengan Hoofdacte (akta
pengajar tingkat tinggi), Soebardjo juga bertemu dengan Sneevliet yang menjadi
pemimpin Partai Buruh Belanda. Dialah orang yang mendirikan ISDV (Indische Sosial
Demokratisehe Partij) yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Pada tahun 1908 para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda mendirikan
organisasi Indische Vereniging sebagai sumbangan dari berdirinya Boedi Oetomo yang
didirikan oleh para siswa STOVIA di Batavia. Tujuan organisasi ini adalah
mengembangkan semangat kebangsaan Indonesia, memajukan kebudayaan dan sejarah.
Terbentuknya perhimpunan ini menurut Soebardjo adalah pengaruh dari kemenangan
Jepang atas Rusia. Kemenangan Jepang ini dianggap sebagai manifestasi nasionalisme
Asia. Bangsa Asia tidak selamanya inferior. Apabila mereka mampu membangkitkan
semangat dan kesadaran akan persatuan, akan mampu pula menumbangkan dominasi dan
kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Itulah pengaruh yang kuat atas lahirnya organisasi.
Pada awalnya organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan dan persaudaraan
mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Para pendirinya antara lain Raden
Panji Sosrokartono mahasiswa jurusan bahasa-bahasa timur, kakak dari R.A. Kartini.
Tokoh Indische Vereniging lainnya adalah Raden Mas Notosuroto, mahasiswa Fakultas
Hukum, bangsawan keturunan Paku Alaman. Tokoh lainnya adalah Husein
Djajadiningrat, mahasiswa jurusan bahasa-bahasa Timur, seorang keturunan Bupati
Banten, mereka adalah generasi pelopor.
Pada generasi kedua adalah Dr. Gunawan Mangunkusumo yang memimpin. Namun
organisasi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Ketua PI, Dr. Gunawan bersikap
anti Cina dan dialah yang mempelopori keluar dari Indonesiche Verband (gabungan
organisasi mahasiswa yang berasal dari indonesia). Suatu organisasi federasi pimpinan PI
beralih dari Dr. Gunawan ke Soebardjo, karena berbagai masalah pelik yang dihadapi
organisasi.
Ahmad Soebardjo mengundurkan diri pada tahun 1920 dan diganti oleh Dr.
Soetomo, pendiri Boedi Oetomo 1908 yang memimpin PI sampai tahun 1921.
Pada tahun 1921 beberapa mahasiswa datang belajar di negeri Belanda, antara lain
Muhammad Hatta, Iwa Kusuma Soemantri, Muhammad Nazif, Darmawan Mangoen
Koesoema. PI berkembang pesat tatkala dipimpin oleh para mahasiswa generasi ketiga
ini. Arah politiknya amat jelas, yaitu persatuan bangsa dan perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan. Dalam suatu rapat Soekiman (ketua PI) mengusulkan agar Soebardjo
memimpin kembali PI. Akan tetapi Ahmad Soebardjo menolak dan mengusulkan
Mohammad Hatta menjadi ketua PI. Kemudian sidang sepakat memilih Mohammad
Hatta sebagai ketua PI yang dijabatnya selama enam tahun (1925-1931).
8. Peristiwa Rengasdengklok
Pada parihari pukul 08.00, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah
Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu dibawa
kemana, padahal setelah para pemuda mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana
ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pada pukul 10.00
akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat
terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta.
Soebardjo berpikir lebih jauh, bahwa ia harus menghubungi pimpinan Angkatan Laut
Jepang dalam usaha pencarian Soekarno dan Hatta. Soebardjo khawatir kedua pemimpin
ini ditangkap oleh angkatan darat. Hanya angkatan laut yang bisa menolong
membebaskannya.
Kemudian seorang anggota stafnya Soediro memberi tahu angkatan laut. Nishijima
menerima laporan Soediro. Soebardjo sendiri kemudian datang secara pribadi kepada
Laksamana Maeda, belum sempat terucap salam Maeda mendahului bertanya, “Kenapa
tuan datang sendiri dan tidak dengan tuan Soekarno dan Hatta? Saya berjanji kepada
tuan-tuan kemarin untuk menyampaikan bentuk resmi tentang penyerahan kami!”
Soebardjo menjawab “Kami datang untuk memberi tahu tuan, tutup halangannya mereka
dari kota”. Maeda terkejut, tidak berkata apa-apa lalu termenung.
Dari rumah Maeda, Soebardjo bergegas menuju kantornya di Jalan Prapatan.
Kantor Daisanka memang tempat yang aman bagi rapat-rapat yang membahas masalah-
masalah sosial maupun aktivitas politik. Soebardjo kemudian memerintahkan
sekretarisnya, agar memanggil Wikana. terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat
terhadap Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan
semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta”
jawab Wikana. “Apakah akibat dari tindakan tersebut sudah kamu putuskan?” Tanya
Soebardjo. “Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan
semua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana.
Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-
Hatta. Wikana tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna.
Maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-
Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana.
Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan
dengan damai, karena jika tidak akibatnya merugikan perjuangan kita. Wikana dan Pandu
keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima, Shigetada datang dan
rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut akan mendukung
Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa saat kemudian Wikana, Pandu, dan seorang anggota Tentara Peta, Jusuf
Kunto datang meyakinkan Soebardjo bahwa tindakan itu bermaksud menyelamatkan
Soekarno dan Hatta. Soebardjo menyatakan kepada mereka, “Jika atas dasar keselamatan
saudara membawa Soekarno dan Hatta keluar kota, saudara tidak usah khawatir
keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini. Karena saya percaya bahwa Angkatan
Laut akan memberikan dukungan andaikata mereka mendapat kesulitan dari Angkatan
Darat. Tolonglah beritahu saya, dimana mereka berdua disembunyikan. Saya akan
mengantarkan mereka kembali ke Jakarta, sehingga dapat memulai Proklamasi
Kemerdekaan. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas usaha ini.” Pandu kemudian
menyatakan bahwa Soebardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan
melarang menemui Soekarno-Hatta tanpa ditemani orang yang mereka kenal. Jusuf Kunto
yang ditunjuk untuk menemui Soebardjo. Sementara Nishijima yang berada diluar
ruangan mengkhawatirkan keselamatan Soebardjo. Ia menawarkan diri untuk
mendampingi Soebardjo, namun ditolaknya secara halus.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro
kearah Jatinegara terus kearah Timur. Sepanjang perjalanan mereka diam, berhenti
dibeberapa pos yang dijaga oleh Tentara PETA. Tiba di pinggiran Kota Karawang, Kunto
memerintahkan pengemudi membelok kearah Rengasdengklok, Kota Kawedanan di
Pantai Utara.
Tiba pada waktu Maghrib, istirahat dirumah Wedana. Jusuf Kunto mohon diri
meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan mengenakan seragam PETA,
Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog singkat, Soekarni menyatakan bahwa
tindakan yang dilakukan bukan prakarsa pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi.
Soebardjo dan Soedira mengikuti Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA
Rengasdengklok, Cundonco Subeno. Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan
Soebardjo ke Rengasdengklok bukan untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi
dengan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan pertamanya adalah apa maksud kedatangannya
di Rengasdengklok. Beberapa pertanyaan mendasar yang diingat Soebardjo antara lain:
“Bisakah saudara mengatakan kepada kami Bahwa Jepang sudah menyerah? Apakah
saudara datang atas nama Kaigan? Apakah saudara bisa memproklamasikan
kemerdekaan sebelum tengah malam?. Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo
menjaminkan dirinya untuk siap ditembak.
Seusai acara interogasi tersebut, Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan
dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo,
Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah menyerah? Soebardjo
memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda. Kemudian
diputuskan untuk segera kembali di Jakarta.
Dengan tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta
pada pukul 21.00. Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir
disergap oleh tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke
rumah Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo tiba di
rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih atas
penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.