Anda di halaman 1dari 10

BIOGRAFI

TOKOH SEKITAR PROKLAMASI

Tugas Ini Disusun Guna Memenuhi Salah Tugas Mata Pelajaran :


SEJARAH

Disusun Oleh :

EKA BELANDINI
XI-IPA 6

SMA NEGERI I KAWALI


TAHUN PELAJARAN 2020/2021
IWA KOESOEMASOEMANTRI

Prof. Iwa Koesoemasoemantri, S.H., LL.M.,


Ph.D. atau Iwa Kusumasumantri, adalah seorang
politikus Indonesia. Iwa lulus dari sekolah hukum di
Hindia Belanda dan Belanda sebelum menghabiskan
waktu di sebuah sekolah di Uni Soviet.

Iwa Kusuma Sumantri lahir pada hari Rabu,


30 Mei 1899 di Ciamis. Beliau merupakan putra
sulung dari Keluarga Raden Wiramantri. Walaupun
berasal dari keluarga menak, dalam pergaulannya
Iwa sangat ramah dan luwes, tidak pernah
membeda-bedakan pergaulan mana dari kalangan
atas maupun kalangan bawah.

Pada tahun 1910, Iwa Kusuma Sumantri bersekolah di Erste Klasse School.
Sekolah kelas 1 di Ciamis, tapi sekolah tersebut hanya untuk kaum pribumi
menak saja. Selain bersekolah, Iwa juga privat bahasa Belanda bersama Ny
Stanler. Selanjutnya Iwa melanjutkan Pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche
School), yaitu sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda dan hanya untuk
kalangan menak pribumi saja.

Selesai Sekolah Dasar tersebut, Iwa melanjutkan pendidikannya ke Sekolah


Calon Amtenar, yaitu OSVIA (Opledingschool Voor Inlandsche Amtenaren), tahun
1915 di Bandung. Tapi di sini sebetulnya Iwa sangat tidak betah, karena selain
pergaulannya, perpeloncoannya tidak sehat. Setelah lulus, akan bekerja di bawah
pemerintah kolonial, dan ini tidak sesuai dengan hati nurani Iwa. Karena tidak
ingin mengecewakan orang tuanya, Iwa mencoba bertahan di sekolah tersebut,
namun hanya bertahan selama 1 tahun saja.

Setelah keluar dari Sekolah Calon Amtenar tersebut, tahun 1916 Iwa masuk
ke Sekolah Hukum yang sesuai dengan bakat minat Iwa di Batavia. Semasa
sekolah Iwa juga aktif di organisasi pemuda „‟Tri Koro Darmo‟‟, yang nantinya
menjadi Jong Java. Seiring waktu, Iwa mendapat gemblengan politik, jiwa
kebangsaan dan rasa kasih sayang terhadap rakyat kecil tumbuh juga di
organisasi tersebut dan ia behasil menjadi ketua organisasi.
Tahun 1921 Iwa menyelesaikan sekolah hukum tersebut, lalu bekerja di
Kantor Pengadilan Negeri Bandung. Setelah enam bulan bekerja di Bandung, Iwa
dipindahkan ke Surabaya, lalu ke Jakarta. Selama bekerja di Jakarta ini Iwa
banyak menangani kasus-kasus besar, namun di satu sisi banyak menemui
ketidakadilan, seperti dalam kasus kasus Haji Hasan yang tidak mau menjual
padinya kepada pemerintah kolonial Belanda, akibatnya Haji Hasan dibuang dan
dipenjarakan. Melihat ketidakadilan ini Iwa berhenti dari pekerjaannya dan
berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Namun karena beasiswanya dari pemerintah kolonial Belanda tidak


kunjung datang, Iwa memutuskan melanjutkan pendidikannya dengan biaya
sendiri. Dari hasil bekerjanya di Bandung, Surabaya, dan Jakarta, serta bantuan
uang dari orang tuanya dan pamannya di Medan, yaitu Dr. Abdul Manap, Iwa
berangkat ke Belanda melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas
Leiden pada tahun 1922.
Berkat ketekunannya Iwa dapat menyelesaikan pendidikannya hanya dalam
3 tahun dan di tahun 1925 meraih gelar Meester in de Rechten (Mr). Di sini Iwa
aktif dalam organisasi Indische Vereeniging yang nantinya berubah nama menjadi
PI (Perhimpunan Indonesia). Tujuan organisasi ini yaitu merdeka dan mematahkan
kekuasaan kolonial.

Di dalam PI ada tokoh-tokoh seperti Moh. Hatta, Achmad Soebardjo, Gatot


Tanumiharja, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Nasif, Darmawan Mangunkusumo,
dan Sukirman. Nantinya organisasi ini berperan dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Selama di Belanda, Iwa juga pernah ditugaskan oleh PI untuk pergi
ke Moskow, Rusia, untuk mempelajari Program Front Persatuan. Iwa pergi ke
Moskow bersama Sukirman.

Di Rusia, Iwa berkenalan dengan seorang gadis Rusia, lalu menikah dan
mempunya seorang putri. Setelah studinya di Negeri Belanda dan mendengar ada
pemberontakan di tanah air, Iwa memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Di
Indonesia Iwa masuk ke PNI (Partai Nasional Indonesia) dan bekerja di Kantor
Pengadilan di Jakarta.
Dari Jakarta Iwa memutuskan untuk pindah ke Medan dan membuka
kantor pengacara sendiri. Di sini Iwa juga menikah dengan perempuan bernama
Kuraesin Argawinata dan mempunyai 6 orang anak. Selain menjadi pengacara, Iwa
juga memimpin surat kabar bernama Mata Hati Indonesia yang sering mengkritik
pemerintah Hindia Belanda melalui tulisan-tulisannya.
Di Medan, Iwa juga menjadi penasihat di Persatuan Motoris Indonesia, serta
Perkumpulan Sekerja (ORBLOM) dan menjadi penasihat organisasi INPO, sebuah
organisasi kepanduan. Iwa juga membantu orang-orang Kristen Batak
memperjuangkan orang-orang Batak asli agar dapat diangkat menjadi pendeta
Kristen, karena sebelumnya hanya dimonopoli oleh orang Eropa.

Karena kepedulian dan dedikasinya Iwa sulit dilupakan oleh masyarakat


Medan. Tapi pemerintah kolonial Belanda melihat itu sebagai ancaman dan
memenjarakan Iwa di Medan pada tahun 1929 selama satu tahun. Setelah itu Iwa
pindah penjara ke Glodok dan penjara Struis-Wyck di Batavia.

Dari penjara di Jakarta, Iwa bersama keluarganya dibuang dan diasingkan


ke Banda Neira selama 10 tahun 7 bulan. Selama itu Iwa memperdalam agama
Islam dan belajar bahasa Arab dari sahabatnya, yaitu Syekh Abdulah bin
Abdurahman, serta menulis buku yaitu “Nabi Muhammad dan 4 Khalifah”. Lalu
pada tahun 1941, Iwa dipindahkan ke Makasar sebagai tahanan Politik.
Pada masa pendudukan Jepang di Makassar, terjadi pembersihan kaum
intelektual Indonesia. Iwa memutuskan untuk kembali ke Pulau Jawa bersama
keluarganya dengan menumpang perahu Bugis yang tidak terlalu besar. Iwa
berlayar selama lima hari dengan istri yang sedang hamil. Sungguh perjuangan
yang besar.

Sesampai di pelabuhan Surabaya, Iwa beserta keluarganya memutuskan


pulang kampung ke Ciamis. Untuk menghidupi keluarganya, Iwa memutuskan
pergi ke Jakarta menjadi advokat bersama Mr. A.A. Maramis yang merupakan
pemimpin pergerakan nasional pula.
Setelah Kemerdekaan Indonesia, Iwa dua kali menjabat menjadi menteri di
dua Kabinet berbeda, yaitu Menteri Sosial dan Perburuhan dan Menteri
Pertahanan. Setelah itu Iwa pensiun dari dunia perpolitikan Indonesia dan
selanjutnya menjabat menjadi Rektor pertama Uniersitas Padjajaan (1958-1961).
Di kampus ini pula Iwa mendapatkan gelar profesornya.

Prof. Mr. Iwa Kusuma Sumantri wafat di paviliun Cendrawasih RSUP CIPTO
Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1971.
SAYUTI MELIK

Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih


dikenal sebagai Sayuti Melik, dicatat dalam sejarah
Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Dia adalah
suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang
wartawati dan aktivis perempuan di zaman
pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.

Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, 22


November 1908. Ia anak dari pasangan Abdul
Mu'in (Partoprawito) seorang bekel jajar atau
kepala desa di Sleman dan Sumilah. Sayuti
memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro
(Setingkat SD) di Desa Srowolan, sampai kelas IV
dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di
Yogyakarta.

Nasionalisme telah ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil. Saat itu, ayahnya
menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya
untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari
guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan
tahun itu, ia tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di
Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk
tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang
penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme.
Sayuti kerap menulis tentang politik. Akibatnya, ia ditahan berkali-kali oleh
Belanda. Pada 1926, ia ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan
selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris,
dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris, ia
ditangkap kembali oleh Belanda, dibawa ke Jakarta dan dimasukkan sel di Gang
Tengah (1937-1938).

Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti dan


terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya, pada 19
Juli 1938 mereka menikah.

Sayuti dan SK Trimurti mendirikan Koran Pesat di Semarang yang terbit


tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih
kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari
redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga
langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan
mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas
tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel
Belanda (PID). Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel
Japan, Trimurti ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang
komunis.
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam
penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Para pemuda pejuang,
termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah
seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Sukarno (bersama Fatmawati
dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya
adalah agar Ir. Sukarno dan Moh Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.

Di sini, mereka kembali meyakinkan Sukarno bahwa Jepang telah


menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr Ahmad Soebardjo
melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke
Rengasdengklok. Mereka menjemput Sukarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta.
Mr Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru
memproklamasikan kemerdekaan.

Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan
Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda,
Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan
Bung Karno ikut menyaksikan peristiwa tersebut.
Setelah selesai, pada dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi
itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya.
Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan agar Teks Proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia.
Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk
mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas
nama bangsa Indonesia".
CHAERUL SALEH

Chaerul Saleh gelar Datuk Paduko Rajo adalah


seorang pejuang dan tokoh politik Indonesia yang
pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri,
menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai
1966. Ia juga menelurkan ide negara kepulauan
dengan batas teritorial 12 mil laut yang di-sahkan
pada 13 Desember 1957.
Chaerul Saleh lahir di Sawah Lunto, Sumatera
Barat, 13 September 1916. Dia salah seorang tokoh
perumus naskah proklamasi. Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) itu
pernah juga menjabat Wakil Perdana Menteri III,
Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November
1963-1966). Politisi yang dianugerahi pangkat
Jenderal Kehormatan TNI AD, itu meninggal dalam
status tahanan di Jakarta, 8 Februari 1967.

Chaerul Saleh bersama Wikana, Sukarni dan beberapa pemuda lainnya,


menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak
kedua tokoh itu segera menyatakan dan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia setelah kekalahan Jepang dari Sekutu pada Agustus 1945.
Tokoh proklamasi bernama lengkap Chaerul Saleh Datuk Paduko Rajo, itu
mengawali pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Medan dan kemudian
diselesaikannya di Bukittinggi (1924-1931). Kemudian dia melanjutkan ke HBS
bagian B di Medan dan diselesaikannya di Jakarta (1931-1937). Lalu melanjutkan
lagi ke Fakultas Hukum di Jakarta (1937-1942).
Dia menjabat Ketua Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (1940-1942).
Kemudian setelah Jepang menduduki Indonesia, dia jadi anggota panitia
Seinendan, dan masuk menjadi anggota Angkatan Muda Indonesia yang dibentuk
Jepang. Namun, kemudian berbalik menjadi anti Jepang dan bertujuan Indonesia
Merdeka. Dia pun ikut membentuk Barisan benteng, dan anggota PUTERA dan
Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Selanjutnya, dia menjabat Wakil
Ketua Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda. Chaerul Saleh bersama-sama dengan
teman-temannya turut aktif dalam persiapan proklamasi.

Presiden RI Pertama (1945-1966)Kemerdekaan RI. Ia bersama Wikana,


Sukarni dan pemuda lainnya dari Menteng 31 menculik Soekarno dan Hatta dalam
Peristiwa Rengasdengklok untuk mendesak segera menyatakan dan menyiarkan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus1945.

Chairul Saleh bergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan yang


dibentuk atas prakarsa Tan Malaka di Surakarta pada tanggal 4-5 Januari 1946.
Semula kelompok Persatuan Perjuangan itu bernama Volksfront. Hal mana pada
tanggal 15-16 Januari 1946 dibentuk Badan Tetap bernama Persatuan Perjuangan
(PP). Program utama PP adalah menolak perundingan tanpa dasar pengakuan
kemerdekaan 100%. Kala itu, PP didukung KNIP dan semua ormas.
Di dalam sidang KNIP di Solo, 28 Februari – 2 Maret 1946, KNIP menolak
kebijakan Perdana Mentri Syahrir yang cenderung berunding dengan Belanda
dengan hasil yang merugikan Indonesia. Akibatnya, Kabinet Syahrir jatuh.
Persatuan Perjuangan mengharapkan Tan Malaka sebagai Perdana Mentri. Adam
Malik mengajukan permohonan agar mandat diserahkan ke Tan Malaka, tetapi
ditolak Soekarno. Bahkan, Soekarno menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana
Mentri (Kabinet Syahrir II) yang dibentuk 12 Maret 1946 dengan
mengkompromikan sebagian pendapat Persatuan Perjuangan.

Atas jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal


Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain
Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya
Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu
Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.
Tetapi Persatuan Perjuangan tetap beroposisi. Kemudian pada 17 Maret
1946, beberapa tokoh politik, terutama dari Persatuan Perjuangan, ditangkap dan
ditahan. Mereka antara lain Tan Malaka, Sukarni, Abikusno Cokrosuyoso, Chairul
Saleh, M. Yamin, Suprapto dan Wondoamiseno. PP pun dibubarkan pada 4 Juni
1946, tetapi pengikut Tan Malaka tetap meneruskan oposisi. Tanggal 26 Juni 1946
pengikut Tan Malaka menculik Syahrir. Lalu, 3 Juli 1946 memaksa Soekarno
membentuk pemerintahan sesuai konsep PP. Namun, Soekarno bergeming, tetap
menunjuk Syahrir sebagai Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III) yang dilantik pada
2 Oktober 1946.
Kemudian, Kabinet Syahrir mengadakan Perjanjian Linggarjati di selatan
Cirebon pada tanggal 10 Nopember 1946. Didukung PKI, Pesindo, BTI, Lasykar
Rakyat, Partai Buruh, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Namun, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai wanita, Angkatan
Comunis Muda (ACOMA), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat,
Partai Rakyat Jelata menolak. Sementara, Dewan Pusat Kongres Pemuda tidak
menyatakan pendapat untuk menjaga anggota mereka yang berbentuk federasi.

Pada 27 Juni 1947 Syahrir mengundurkan diri dan digantikan Amir


Syarifuddin 3 Juli 1947. Namun tak sampai satu tahun, Kabinet Amir Syarifuddin
jatuh karena mengadakan Perjanjian Renville. Pada 23 Januari 1948, Amir
menyerahkan mandatnya. Sebagai penggantinya, Kabinet Hatta diumumkan 31
Januari 1948. Hatta berusaha mengakomodasi koalisi Nasasos. Hatta
menawarkan tiga kursi kepada sayap kiri, tetapi mereka menuntut 4 kursi
termasuk menteri pertahanan. Hatta menolak dan akhirnya hanya memberikan
satu kursi kepada sayap kiri yakni Supeno atas nama perorangan sebagai Menteri
Pembangunan dan Pemuda. Sisanya diduduki oleh Masyumi, PNI, Parkindo dan
Partai Katolik.

Sementara, Amir Syarifuddin beroposisi dengan membentuk FDR dan


mengadakan pemogokan Delanggu. Untuk mengimbangi FDR, Soekarno
melepaskan Tan Malaka, 3 Juli 1948. Tan Malaka dan pengikutnya mendirikan
Gerakan Rakyat Revolusioner pada tanggal 6 Juni 1948 dengan pimpinan Dr.
Muwardi (Ketua), Syamsu Harya Udaya (Wakil Ketua) dan Chairul Saleh
(Sekretaris).

Pada 13 September 1948, Dr Muwardi diculik dan dibunuh PKI. Pecah


perang antara Barisan Banteng (pro GRR) dengan Pesindo (FDR). Pada 17
September Kolonel Gatot Subroto ditunjuk menjadi Gubernur Militer Surakarta,
Madiun, Semarang dan sekitarnya. Perintah Gatot untuk menghentikan tembak
menembak 18 September 1948 tidak efektif karena di Madiun PKI memberontak
dipimpin Muso.
Kemudian setelah PKI ditumpas, GRR mengadakan manuver politik. M.
Yamin menganjurkan membentuk pemerintahan atas dasar triple platform, agama,
nasionalis dan sosialis, untuk memperoleh dukungan rakyat. GRR pun
berkonsolidasi. Pada 3 Oktober 1948, GRR dengan partai sehaluan yakni Partai
Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Comunis Muda
(ACOMA) dan wanita Rakyat berfusi menjadi Murba. Chaerul Saleh salah seorang
tokoh yang bergabung dalam Partai Murba, bersama Adam Malik, Sukarni, Prijono
dan lain-lain.
Ketika Agresi Militer Belanda II, Desember 1948, Murba bergerilya, Chairul
Saleh dengan Barisan Bambu Runcing di Jawa Barat, Sukarni dan kawan-kawan
di Yogya dan Jawa Tengah, Tan Malaka bergabung dengan batalion Mayor
Sabaruddin di Jawa Timur. Chairul Saleh turut bersama Divisi Siliwangi
melakukan Long March dari Presiden RI (1972-1978)Yogyakarta ke Karawang dan
Sanggabuana. Kemudian, dia bergabung dengan Divisi Tentara Nasional 17
Agustus di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wahidin Nasution.
Karena tidak setuju dengan adanya KMB, Chairul Saleh melarikan diri dari
Jakarta ke Banten bersama anggota kesatuan lainnya yang menyebabkan
terjadinya Peristiwa Banten Selatan. Bulan Februari 1950-1952, dia ditangkap dan
dipenjarakan karena dianggap sebagai pelanggar hukum Pemerintah RI.
Kemudian, setelah bebas, Soekarno memberangkatkannya melanjutkan sekolah di
Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di Jerman, dia
menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI).

Pada Pemilu 1955, Partai Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang
diperebutkan. Kemudian, pada era Demokrasi Terpimpin, terbuka kembali peluang
bagi Murba. Soekarno membutuhkannya sebagai penyeimbang posisi PKI. Presiden
RI Pertama (1945-1966)Presiden Soekarno menghadiri Kongres Murba kelima,
Desember 1959. Tokoh-tokoh Murba kemudian diakomodasi dalam pemerintahan.
Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta
Besar di Moskow dan Beijing. Tan Malaka pun diangkat menjadi pahlawan
nasional pada 1963.

Chaerul Saleh yang kembali dari Jerman pada Desember 1956, diangkat
menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Kemudian, tanggal 9 April 1957
diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Veteran Kabinet Djuanda; Pada tanggal
10 Juli 1959 diangkat menjabat Menteri Muda Perindustrian Dasar dan
Pertambangan,

Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-1960); dan Menteri Perindustrian Dasar dan
Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963). Bahkan
menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) dan
Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November
1963-1966).

Selanjutnya, pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika itu PKI
sudah semakin kuat. Untuk mengimbangi, Murba membangun kerja sama dengan
militer dan pihak lain dan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Namun anehnya, Bung Karno membubarkan BPS. Bahkan Sukarni dan
Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba pun dibekukan dan kemudian
dibubarkan pada September 1965, dengan tuduhan menerima uang US$ 100 juta
dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Namun, pada 17 Oktober 1966 Soekarno
merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.

Namun, setelah peristiwa G30S/PKI, Chaerul Saleh ditahan oleh


pemerintah Indonesia dan meninggal dengan status tahanan pada tanggal 8
Februari 1967. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai
alasan penahanannya.

Atas jasanya di bidang kemiliteran, dia mendapat pangkat Jenderal


Kehormatan TNI AD. Dia pun menerima sejumlah bintang jasa, antara lain
Bintang Gerilya, Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II, Satyalencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan, Bintang Mahaputra Tingkat III, Satyalencana Satya
Dharma, Lencana Kapal Selam RI, dan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu
Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai