Disusun Oleh :
EKA BELANDINI
XI-IPA 6
Pada tahun 1910, Iwa Kusuma Sumantri bersekolah di Erste Klasse School.
Sekolah kelas 1 di Ciamis, tapi sekolah tersebut hanya untuk kaum pribumi
menak saja. Selain bersekolah, Iwa juga privat bahasa Belanda bersama Ny
Stanler. Selanjutnya Iwa melanjutkan Pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche
School), yaitu sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda dan hanya untuk
kalangan menak pribumi saja.
Setelah keluar dari Sekolah Calon Amtenar tersebut, tahun 1916 Iwa masuk
ke Sekolah Hukum yang sesuai dengan bakat minat Iwa di Batavia. Semasa
sekolah Iwa juga aktif di organisasi pemuda „‟Tri Koro Darmo‟‟, yang nantinya
menjadi Jong Java. Seiring waktu, Iwa mendapat gemblengan politik, jiwa
kebangsaan dan rasa kasih sayang terhadap rakyat kecil tumbuh juga di
organisasi tersebut dan ia behasil menjadi ketua organisasi.
Tahun 1921 Iwa menyelesaikan sekolah hukum tersebut, lalu bekerja di
Kantor Pengadilan Negeri Bandung. Setelah enam bulan bekerja di Bandung, Iwa
dipindahkan ke Surabaya, lalu ke Jakarta. Selama bekerja di Jakarta ini Iwa
banyak menangani kasus-kasus besar, namun di satu sisi banyak menemui
ketidakadilan, seperti dalam kasus kasus Haji Hasan yang tidak mau menjual
padinya kepada pemerintah kolonial Belanda, akibatnya Haji Hasan dibuang dan
dipenjarakan. Melihat ketidakadilan ini Iwa berhenti dari pekerjaannya dan
berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.
Di Rusia, Iwa berkenalan dengan seorang gadis Rusia, lalu menikah dan
mempunya seorang putri. Setelah studinya di Negeri Belanda dan mendengar ada
pemberontakan di tanah air, Iwa memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Di
Indonesia Iwa masuk ke PNI (Partai Nasional Indonesia) dan bekerja di Kantor
Pengadilan di Jakarta.
Dari Jakarta Iwa memutuskan untuk pindah ke Medan dan membuka
kantor pengacara sendiri. Di sini Iwa juga menikah dengan perempuan bernama
Kuraesin Argawinata dan mempunyai 6 orang anak. Selain menjadi pengacara, Iwa
juga memimpin surat kabar bernama Mata Hati Indonesia yang sering mengkritik
pemerintah Hindia Belanda melalui tulisan-tulisannya.
Di Medan, Iwa juga menjadi penasihat di Persatuan Motoris Indonesia, serta
Perkumpulan Sekerja (ORBLOM) dan menjadi penasihat organisasi INPO, sebuah
organisasi kepanduan. Iwa juga membantu orang-orang Kristen Batak
memperjuangkan orang-orang Batak asli agar dapat diangkat menjadi pendeta
Kristen, karena sebelumnya hanya dimonopoli oleh orang Eropa.
Prof. Mr. Iwa Kusuma Sumantri wafat di paviliun Cendrawasih RSUP CIPTO
Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1971.
SAYUTI MELIK
Nasionalisme telah ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil. Saat itu, ayahnya
menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya
untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari
guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan
tahun itu, ia tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di
Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk
tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang
penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme.
Sayuti kerap menulis tentang politik. Akibatnya, ia ditahan berkali-kali oleh
Belanda. Pada 1926, ia ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan
selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris,
dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris, ia
ditangkap kembali oleh Belanda, dibawa ke Jakarta dan dimasukkan sel di Gang
Tengah (1937-1938).
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan
Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda,
Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan
Bung Karno ikut menyaksikan peristiwa tersebut.
Setelah selesai, pada dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi
itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya.
Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan agar Teks Proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia.
Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk
mengetiknya. Ia mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas
nama bangsa Indonesia".
CHAERUL SALEH
Pada Pemilu 1955, Partai Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang
diperebutkan. Kemudian, pada era Demokrasi Terpimpin, terbuka kembali peluang
bagi Murba. Soekarno membutuhkannya sebagai penyeimbang posisi PKI. Presiden
RI Pertama (1945-1966)Presiden Soekarno menghadiri Kongres Murba kelima,
Desember 1959. Tokoh-tokoh Murba kemudian diakomodasi dalam pemerintahan.
Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta
Besar di Moskow dan Beijing. Tan Malaka pun diangkat menjadi pahlawan
nasional pada 1963.
Chaerul Saleh yang kembali dari Jerman pada Desember 1956, diangkat
menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Kemudian, tanggal 9 April 1957
diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Veteran Kabinet Djuanda; Pada tanggal
10 Juli 1959 diangkat menjabat Menteri Muda Perindustrian Dasar dan
Pertambangan,
Kabinet Kerja I (10 Juli 1959-1960); dan Menteri Perindustrian Dasar dan
Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963). Bahkan
menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965) dan
Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (13 November
1963-1966).
Selanjutnya, pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika itu PKI
sudah semakin kuat. Untuk mengimbangi, Murba membangun kerja sama dengan
militer dan pihak lain dan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Namun anehnya, Bung Karno membubarkan BPS. Bahkan Sukarni dan
Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba pun dibekukan dan kemudian
dibubarkan pada September 1965, dengan tuduhan menerima uang US$ 100 juta
dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Namun, pada 17 Oktober 1966 Soekarno
merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.