Selanjutnya Soegondo dan adiknya (Soenarjati) diangkat anak oleh pamannya yang
bernama Bapak Hadisewojo (seorang collecteur wilayah Blora, dan tidak punya
anak, dan juga mengangkat Sudarjati dari anak saudara sepupu Keluarga Ny.
Brotoamidjojo, serta Sumijati dari anak saudara sepupu Keluarga S. Soekadji,
sehingga Bapak Hadisewojo mempunyai 4 anak angkat yang saling ikatan saudara
sepupu).
Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah atas biaya pamannya dan bea
siswa di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - didirikan
tahun 1924 - cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang). Ia
mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos Pasar Baru lainnya
di Gang Rijksman (belakang Rijswijk - sekarang Jl Juanda belakang Hotel Amaris
Stasiun Juanda), sehingga ia bisa membaca majalah Indonesia Merdeka
asuhan Mohammad Hatta terbitan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang
dilarang masuk ke Indonesia. Selama mahasiswa hidup sulit hanya punya satu baju,
yang harus dicuci dulu kalau mau kuliah.
Kuliah di RHS hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1), setelah Propadeus,
karena bea siswanya dicabut akibat kegiatan politiknya dan juga pamannya
meninggal dunia (sekarang setingkat dengan ijazah D2, karena sistem pendidikan
sekolah tinggi pada waktu itu adalah terdiri atas 4 jenjang, yaitu: Propadeus,
Candidat 1 dan Candidat 2, serta Doktoral).
Perjuangan
Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk
dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - dan tidak masuk dalam Jong Java).
Pada tahun 1926 saat Konggres Pemuda I, Sugondo ikut serta dalam kegiatan
tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada Konggres Pemuda II 1928, maka Sugondo
terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua PPI di
Negeri Belanda dan Ir. Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di Bandung.
Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Konggres, karena ia adalah anggota PPI
(Persatuan Pemuda Indonesia - wadah pemuda independen pada waktu itu dan
bukan berdasarkan kesukuan.
Saat itu Mohammad Yamin adalah salah satu kandidat lain menjadi ketua, tetapi dia
berasal dari Yong Sumatra (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris. Perlu
diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta yang
mahir berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan (seperti diketahui
bahwa notulen rapat ditulis dalam bahasa Belanda yang masih disimpan dalam
museum).
Konggres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta
menghasilkan Sumpah Pemuda 1928 yang terkenal itu, di mana Para Pemuda
setuju dengan Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA. Seperti
diketahui, bahwa Trilogi ini lahir pada detik terakhir kongres, di mana Yamin yang
duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo seraya
berbisik: Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie (saya mempunyai
rumusan resolusi yang lebih luwes). Dalam secarik kertas tersebut tertulis 3
kata/trilogi: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Selanjutnya Soegondo memberi
paraf pada secarik kertas itu yang menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggauta
lainnya yang menyatakan setuju juga.
Selain trilogi itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan
Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta
izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya ciptannya.
Karena Konggres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (misalnya Konggres dibubarkan atau para peserta ditangkap),
maka Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR
Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan
biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas
diperdengarkan (dengan biola). Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR
Supratman memainkan biola pada waktu itu.
Pada masa Kebangkitan Nasional aktif sebagai guru dan masuk partai politik. Pada
tanggal 11 Desember 1928 bersama Mr. Sunario Sastrowardoyo mendirikan
Perguruan Rakyat yang beralamat di Gang Kenari No. 15 Salemba, dan diangkat
sebagai Kepala Sekolah.
Namun pada tahun 1930 ia diminta oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi guru
Perguruan Taman Siswa Bandung. Pada waktu di Bandung tahun 1930 ia mulai
sebagai simpatisan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) pimpinan Sukarno. Tahun
1932, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Perguruan Tamansiswa Bandung. Tahun
1933 menikah dengan penulis Suwarsih Djojopuspito di Cibadak dan isterinya ikut
membantu mengajar di Perguruan Tamansiswa Bandung. Kakak iparnya adalah Mr.
A.K.Pringgodigdo, suami dari kakak isterinya (Ny. Suwarni). Pada tahun 1933 ketika
Pemerintah Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Gubernur General Mr.
Bonifacius Cornelis de Jonge, maka para aktivis politik mulai ditangkap. Ir.
Soekarno ditangkap dan diasingkan ke Flores kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Pada saat itu PNI pimpinan Ir. Soekarno beralih pimpinan pecah menjadi dua, yaitu
dilanjutkan sebagai Partindo (Partai Inonesia) pimpinan Mr. Sartono dan Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.
Sugondo memilih masuk dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) pimpinan
Syahrir. Kemudian pada tahun 1934 gilirannya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir
ditangkap dan diasingkan ke Boven Digoel kemudian dipindahkan ke Banda Neira.
Dan selanjutnya tahun 1934 itu juga, giliran Sugondo juga ditangkap, namun tidak
terbukti bahwa ia anggauta partai, sehingga ia hanya mendapat larangan mengajar
(Onderwijs Verbod) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah larangan mengajar
dicabut tahun 1935 ia pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa, namun
sepi murid, sehingga ditutup.
Setelah gagal mendirikan Sekolah Loka Siswa di Bogor, Sugondo pada tahun 1936
pindah mencari pekerjaan ke Semarang, dan ia mengajar di sekolah Tamansiswa
Semarang, sedangkan isterinya bekerja di sekolah pimpinan Drs. Sigit. Namun
kemudian akhir tahun 1936 ia pindah ke Surabaya bekerja sebagai wartawan lepas
De Indische Courant Soerabaia.
Setelah di Surabaya, tahun 1938 ia pindah lagi ke Bandung dan Sugondo diterima
menjadi guru di Handels Cologium Ksatria Instituut (Sekolah Dagang Ksatria)
pimpinan Dr. Douwes Dekker.
Ketika keadaan Eropa genting, menjelang Perang Dunia II, maka pada tahun 1940
Soegondo pindah ke Batavia ikut isterinya yang mengisi lowongan guru yang
ditinggal pergi orang Balanda. Soewarsih menjadi guru di GOSVO (Gouvernement
Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia - Sekolah Guru
Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia - sekarang SMKN 27 Pasar Baru).
Selain itu ia juga dipercaya oleh kenalannya yang pulang ke Eropa untuk menjaga
rumah di daerah Menteng (Tjioedjoengweg, sekarang Jl. Teluk Betung belakang HI).
Ia sempat bekerja di Centraal Kantoor voor de Statistiek Pasar Baru (CKS - Badan
Pusat Statistik) sebelah GOSVO tempat isterinya bekerja, dan juga sebagai
wartawan lepas De Bataviaasch Nieuwsblad.
Pada tahun 1941 oleh Mr. Soemanang dipercaya memimpin Kantor Berita
Antara(sebagai Direktur, melalui dua orang utusan Djohan Sjahroezah dan Adam
Malik yang datang meminta di rumahnya Tjioedjoengweg, sedangkan Adam Malik
tetap menjadi Redaktur/merangkap Wakil Direktur) yang beralamat pada waktu itu di
Buiten Tijgerstraat 30 Noord Batavia (Jl. Pinangsia 70 Jakarta Utara) sebelum
pindah ke Jl. Pos Utara No. 53 - Pasar Baru. Masa Penjajahan Dai Nippon 1943-
1945
Setelah tahun 1950, meskipun usianya masih 46 tahun, memilih pensiun sebagai
bekas menteri dan perintis kemerdekaan, membaca buku dan sering bertemu
dengan rekan seperjuangan dalam dan luar negeri. Pernah Presiden Sukarno
(sebagai kawan yang pernah sepondokan) tahun 1952 meminta ia datang ke
Jakarta, yang disampaikan kepada isterinya waktu datang di istana mengantarkan
kakaknya (Ny. Soewarni isteri Mr. A.K. Pringgodigdo, sekretaris kabinet), ia berujar:
Waar is Mas Gondo, laat hem maar bij mij even komen, ik zal een positie voor hem
geven (Dimana Mas Gondo, suruh dia menemui saya, akan saya beri jabatan untuk
dia), tetapi ia menolak jabatan ini, tidak ada kejelasan mengapa ia menolak. Kawan
dekatnya sebelum tahun 1955 adalah Sultan Hamengkubuwono IX yang sering
datang ke rumah naik mobil kecil warna abu-abu merk Vauxall AB-1881 dan Sutan
Syahrir yang datang menjenguknya naik pesawat kecil ke Maguwo mengemudi
sendiri bersama pelatihnya, serta setelah tahun 1965 adalah Romo Mangun (Y. B.
Mangunwijaya) yang sering bertandang (karena bertetangga dekat dengan Seminari
Yogyakarta di Kota Baru di mana ia menghabiskan waktu sehari-harinya di
rumahnya yang di Kota Baru juga).
Penghargaan Pemerintah
Atas jasa pada masa pemuda dalam memimpin Sumpah Pemuda, maka oleh
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978 diberikan Tanda Kehormatan
Republik Indonesia: berupa Bintang Jasa Utama. Selain itu, ia juga mendapat Satya
Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992.
Sudah banyak pelaku sejarah setelah 1928 yang mendapat pengakuan Pahlawan
Nasional, namun ia hingga kini belum mendapat pengakuan Pahlawan Nasional,
mengingat setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda 1928 selalu diperingati secara
resmi. Namun pihak Kemenpora sejak bulan Juli 2012 sedang mengusungnya
menjadi Pahlawan Nasional.
Dia adalah teman baik dari Sunario Sastrowardoyo dan mendirikan bulan Desember
1928 sebuah Perguruan Rakyat di Jakarta. Karena kedekatan dengan Mr. Soenario,
maka anak Sugondo kemudian diberi nama Sunaryo.
Keluarga