Anda di halaman 1dari 38

W. R.

Supratman
Wage Rudolf Supratman adalah pengarang lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya dan
pahlawan nasional Indonesia. Supratman lahir di Jatinegara, Batavia, 9 Maret 1903 meninggal
di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938 pada umur 35 tahun. Ayahnya bernama Senen, sersan
di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah
satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana
ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Hari kelahiran Soepratman, 9 Maret, oleh Megawati saat menjadi presiden RI, diresmikan
sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal kelahiran ini sebenarnya masih diperdebatkan,
karena ada pendapat yang menyatakan Soepratman dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1903 di
Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa
Tengah. Pendapat ini selain didukung keluarga Soepratman dikuatkan keputusan Pengadilan
Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian
melanjutkannya keNormaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu
dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah
ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan
itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada
pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang
terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa.
Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke
Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya
yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola,
kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membacabaca buku musik. W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah mengangkat anak.
Indonesia Raya
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu
Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika
tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis

karangan

itu

menantang

ahli-ahli

musik

Indonesia

untuk

menciptakan

lagu

kebangsaan. Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu
Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu
melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928,
Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta
umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan
situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu
Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya.
Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik
mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan
perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan
bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup
dalam suasana kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai
jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir Matahari Terbit pada awal
Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di
NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia
meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.

Jiwa kebangsaan Supratman sangat tinggi. Rasa nasionalisme itu membuahkan karya bernilai
tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan
nasional. Lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan tanpa kata-kata. Hanya alunan biola
Supratman.

Violis juga Penulis


Supratman adalah seorang pemain biola. Tapi ia juga seorang penulis. Ia pernah menulis sebuah
buku yang menyatakan betapa ia tidak senang dengan penjajahan Belanda. Nama
bukunya, Perawan Desa . Buku itu akhirnya disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Suatu hari, Supratman membaca sebuah tulisan di Majalah Timbul. Penulis tulisan itu menantang
ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Semangat nasionalisme yang
tinggi membuat Supratman merasa tertantang. Tahun 1924, lahirlah lagu Indonesia Raya.

Kongres Pemuda
Pada bulan Oktober 1928, diadakan Kongres Pemuda. Kalian sudah tahu kan dari kongers ini
lahir apa? Sumpah Pemuda. Di Kongres Pemuda ini, Supratman memainkan lagu ciptaannya.

Tepatnya pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Lagu yang sangat
menggugah jiwa patriotisme itu dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sejak
itu, kalau partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, selalu dinyanyikan.
Ketika Indonesia sudah mencapai kemerdekannya, para pejuang-pejuang kemerdekaan
menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Sayang sekali, Supratman sudah
meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938. Ia tidak sempat mendengar lagu gubahannya
dikumandangkan pada hari kemerdekaan Indonesia.

Pahlawan Nasional
Jasa-jasa Supratman bukan hanya menggubah lagu kebangsaan kita. Ia adalah tokoh yang bisa
membangkitkan semangat perjuangan dan patriotisme. Pahlawan Nasional yang satu ini adalah
contoh bagus bagaimana musik pun bisa menyatukan dan membangkitkan semangat orang lain.
Supratman meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938. Setiap kamu
mendengar lagu Indonesia Raya saat upacara, ingat pula lah Wage Rudolf Supratman.

sumber : http://terselubung.blogspot.com/2010/08/biografi-sejarah-hidup-wage-rudolf-wr.html

Sugondo Djojopuspito
Sugondo Djojopuspito "Ketua Kongres Sumpah Pemuda 1928"

Sugondo Djojopuspito (lahir di Tuban, Jawa Timur, 22 Februari 1904 meninggal di


Yogyakarta, 23 April 1978 pada umur 74 tahun) adalah tokoh pemuda tahun 1928 yang
memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda, dengan
motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.

Latar Belakang dan Pendidikan


Sugondo Djojopuspito lahir di Tuban, 22 Februari 1904 anak seorang Mantri Juru Tulis Desa di
kota Tuban. Pendidikan HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di Tuban. Tahun 1919
pindah ke Surabaya untuk meneruskan ke MULO (Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun) tahun
1919-1921. Selama di Surabaya tinggal bersama Soekarno di rumah HOS Cokroaminoto. Setelah
lulus tahun 1922, melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B paspal - 3 tahun) di Yogyakarta tahun 1922-1924.
Setelah lulus AMS tahun 1925 melanjutkan kuliah ke Batavia (Jakarta) pada RHS (Rechts
Hooge School - didirikan tahun 1924 - Sekolah Tinggi Hukum - Fakultas Hukum Universitas
Indonesia sekarang). Kuliah di RHS mencapai tingkat P (propadeus - sekarang D2)

Sumpah Pemuda "28 Oktober 1928"


Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk dalam PPI
(Persatuan Pemuda Indonesia - dan tidak masuk dalam Jong Java). Pada tahun 1926 saat
Konggres Pemuda I, Sugondo ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada
Konggres Pemuda II 1928, maka Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad
Hatta sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan Ir. Sukarno (yang pernah serumah di Surabaya) di
Bandung. Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Konggres? Karena beliau adalah anggota
PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan
berdasarkan kesukuan). Saat itu Mohammad Yamin adalah salah satu kandidat lain menjadi
ketua, tetapi dia berasal dari Yong Sumatra (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris.
Perlu diketahui bahwa Moh. Yamin adalah Sekretaris dan juga salah satu peserta yang mahir
berbahasa Indonesia (sastrawan), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan dalam Bahasa

Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan (seperti diketahui bahwa notulen rapat ditulis
dalam bahasa Belanda yang masih disimpan dalam museum).
Konggres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta menghasilkan
Sumpah Pemuda 1928, di mana Para Pemuda setuju dengan Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa,
Satu Bahasa: Indonesia. Selain kesepakatan ini, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan:
Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan ini, WR Supratman
berbisik meminta ijin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya
ciptannya. Karena Konggres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (misalnya Konggres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka
Sugondo dipersilahkan memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan biola yang dimainkan
olh WR Supratman, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sugondo_Djojopuspito

BIOGRAFI DR. J. LEIMENA

Dr. Johannes Leimena adalah pahlawan Indonesiadari Indonesia timur (Maluku). Ia tokoh politik
yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri
Indonesia

yang

menjabat

sebagai

Menteri

selama

21

tahun

berturut-turut. lahir

di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905.Leimena merantau ke Batavia dimana ia meneruskan studinya


di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke
sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan
pendidikannya

keMULO Kristen,

kemudian

melanjutkan

pendidikan

kedokterannya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya- cikal
bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Geneeskunde Hogeschool (GHS - Sekolah
Tinggi Kedokteran) di Jakarta.

Riwayat Perjuangan dan aktivitas


Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen
di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan
pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti
perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk di tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV
merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950

Aktif dalam organisasi pergerakan di Jong Ambon, dan ikut mempersiapkan Kongres Pemuda
Indonesia 28 Oktober 1928
Leimena dikenal sebagai salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
Leimena bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930 sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia"
(kini RS

Cipto

Mangunkusumo).

Tak

lama

ia

dipindahtugaskan

di

Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus. Setelah itu dipindahkan ke Rumah Sakit
Zending Immanuel Bandung. Di rumah sakit ini ia bertugas dari tahun 1931 sampai 1941.
Menjabat sebagai ketua Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dari tahun 1945-1957.
Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di
Indonesia, kini PGI), juga pada tahun 1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua
yang membidangi komisi gereja dan negara.
Leimena dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung)
hingga tahun 1973. Setelah purna tugas di DPA ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga
Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika
Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat
menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula menjabat
Direktur Rumah Sakit DGI Cikini.
Jabatan
Menteri Muda Kesehatan pada Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
Wakil Menteri Kesehatan pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 -27 Juni 1947)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 - 11 November 1947)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November1947 - 29 Januari 1948)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
Menteri Negara pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Republik Indonesia Serikat/RIS (20 Desember 1949 - 6
September 1950)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951 - 3 April 1952)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli1953)
Menteri Kesehatan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus1955 - 24 Maret 1956)
Menteri Sosial pada Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 10 Juli 1959)

Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja I (10 Juli 1959 - 18 Februari1960)


Wakil Menteri Utama merangkap Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 - 6
Maret 1962)
Wakil Menteri Pertama I pada Kabinet Kerja III (6 Maret 1962 - 13 Desember 1963)
Wakil Perdana Menteri II pada Kabinet Kerja IV (13 November 1963- 27 Agustus 1964)
Menteri Koordinator pada Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966)
Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Koordinator, dan Menteri Perguruan Tinggi &
Ilmu Pengetahuan pada Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966 - 28 Maret 1966)
Wakil Perdana Menteri untuk urusan Umum pada Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25
Juli 1966)
J. Leimena meninggal dunia di Jakarta Pada tanggal 29 Maret 1977. Sebagai penghargaan
kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 pada
tahun 2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr. Leimena.

Prof. Soenario Sastrowardoyo

Tokoh Pemuda Saksi Dua peristiwa Penting


Mungkin hanya sedikit orang mengenal Prof. Sunario Sastrowardoyo sebagi tokoh pemuda yang
turut menggaungkan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Profesor kelahiran Madiun, Jawa
Timur, 28 Agustus 1902 ini meski tidak setenar seperti Soekarno atau Hatta, adalah satu-satunya
tokoh muda yang terlibat langsung dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional.
Pertama, Manifesto 1925 dan kedua, Kongres Pemuda II. Manifesto Politik 1925 dicetuskan oleh
organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia di Leiden, Belanda. Soenario menjabat sebagai
Sekretaris II, sedangkan Hatta adalah Bendahara I. dan ketuanya Soekiman Wirjosandjojo.
Soenario pertama kali mengecap pendidikan di Frobel School(Sekolah Taman Kanak-kanak) di
Madiun tahun 1908. Di sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Nn.
Acherbeek dan Nn. Tien.
Setelah lulus, ia melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) atau setara Sekolah Dasar di
Madiun tahun 1909 1916. Soenario tinggal di rumah kakeknya, pensiunan Mantri bernama
Sastrosentono. Soenario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang
membuat orang tuanya bangga.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, atau Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, setara dengan Sekolah Menengah Pertama selama setahun. Setelah
itu ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan di Rechtschool (setingkat dengan
SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) tahun 1917. Selama bersekolah di sana, Soenario
aktif sebagai anggota Jong Java.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke Belanda.


Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal laut sampai ke Genoa, lalu
meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam.
Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan tukar kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di
Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr.
atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada
tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom.
Akhir Desember ia pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis
pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Kemudian, ia menjadi penasihat
panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan dalam
kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah Pergerakan Pemuda dan Persatuan
Indonesia.
Tahun 1945 setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat).
Kiprahnya di tanah air terus berlanjut. Soenario menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada
periode 1953-1955. Di masa jabatannya itu Soenario penah menjabat sebagai Ketua Delegasi RI
dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konferensi ini dicatat sebagai salah
satu pertemuan yang sangat bersejarah . Ia juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi
kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan Perdana Menteri RRT (Republik Rakyat Tiongkok)
Chou En Lai.
Setelah menjadi Menteri Luar Negeri , dia mengemban jabatan sebagai Duta Besar RI untuk
Inggris pada tahun 1956 hingga 1961. Jabatan lain di Kabinet selain Menteri Luar Negeri ,
adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956) dan juga
sempat berperan sebagai Menteri Perdagangan di kabinet Djuanda (1957-1959) Dalam bidang
Akademik, Soenario juga besar jasanya dalam mendirikan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Ketika itu, dia bersama Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Dr. Soleiman,
Dr. Buntaran, dan Dr. Soeharto bermaksud mendirikan Balai Perguruan Tinggi Swasta di
Yogyakarta.
Pertemuan tersebut diikuti oleh beberapa pertemuan berikutnya, salah satunya adalah pertemuan
di Gedung KNI Malioboro, tanggal 3 Maret 1946. Dalam pertemuan ini, diumumkan berdirinya

Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang terdiri atas Fakultas Hukum dan Fakultas
Kesusasteraan.
Selain menjabat sejumlah posisi dalam kabinet, Soenario juga pernah menjadi Guru Besar
bidang politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang
(1963-1966).
Pada 1968, Sunario memprakarsai pertemuan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta
kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie
Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat
ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat
Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.
Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah
karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila.
Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan
A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945. (yayat)
Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903
meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 ) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia
dimakamkan di Talawi, Sawahlunto Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di
Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno. Ia menikah dengan
Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan
Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman penjajahan,
Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah
dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya
kesusastraan Belanda.

Biodata Muhammad Yamin

Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal
berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada bentukbentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ;
maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu
yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa
Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan
seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .

Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat
penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa
Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa
muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam
Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pionir-pionir utama bahasa
Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.

Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih
menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang
lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga
menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath
Tagore.

[sunting] Politik

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia kemudian
bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan
beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan
bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia.
Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas
untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat
utama dalam kesusasteraan inovatif.

Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat Tenaga
Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada
tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup Sarawak,
Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda.
Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden
Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan
yang penting dalam pemerintahannya.

Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang
terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.

Amir Syarifuddin Harahap

Dirangkum oleh: Sri Setyawati


Mungkin tidak banyak dari kita yang mengenal sosok perdana menteri Indonesia yang beragama
Kristen ini secara mendalam. Padahal, kiprahnya di dunia pemerintahan cukup berpengaruh.
Bahkan, namanya dicantumkan dalam buku-buku pelajaran sejarah Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah. Seperti apakah kehidupan tokoh ini? Hal-hal positif apa yang bisa kita
pelajari dari tokoh ini?
Tokoh yang pernah menduduki posisi sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-2 ini adalah Amir
Syarifuddin Harahap. Dia dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 27 April 1907.
Ayahnya, Djamin Baginda Soripada Harahap, adalah seorang kepala adat dari Pasar Matanggor,
Padang Lawas dan seorang jaksa di Medan. Ibunya bernama Basunu Siregar keturunan BatakMelayu. Pada saat itu, orang-orang Batak hijrah secara besar-besaran ke Deli untuk bekerja di
perkebunan.
Amir Syarifuddin bersekolah di ELS (setingkat SD) di Medan. Dia tamat dari ELS tahun 1921.
Pada tahun 1926, dia diajak oleh sepupunya, Todung Sutan Gunung Mulia -- pendiri penerbit
Kristen BPK Gunung Mulia, untuk melanjutkan studi ke Leiden, Belanda.

Saat berada di Belanda, Amir dan Todung tinggal di rumah Dirk Smink, seorang guru Kristen
Calvinis. Setelah beberapa waktu berada di Belanda, Amir mulai tertarik dengan ajaran Kristen
dan dengan tekun dia mempelajari ajaran-ajaran Kristen. Setelah itu, dia memutuskan untuk
bertobat dan minta dibaptis di Indonesia. Saat di Belanda, Amir juga aktif berorganisasi.
Organisasi pertama yang dia ikuti adalah Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Sementara
untuk menumbuhkan imannya, dia cukup sering bergabung dalam diskusi-diskusi Kelompok
Kristen. Berbekal dari pengalamannya ini, dia memelopori lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI) setelah dia kembali di Indonesia. Amir adalah seorang orator yang
berwawasan luas dan memiliki selera humor tinggi. Dia sangat pintar bergaul dan bersosialisasi
dengan semua kalangan, baik orang dewasa maupun anak-anak.
Pada September 1927, Amir kembali menginjakkan kaki di Indonesia karena masalah keluarga,
padahal pendidikannya di Belanda belum tamat. Setelah berada di Indonesia, Amir mendaftarkan
diri di Sekolah Hukum di Batavia (sekarang Jakarta). Selama mengambil studi di tempat itu,
Amir tinggal berpindah-pindah, ia pernah menumpang di tempat Todung, asrama pelajar
Indonesisch Clubgebouw, dan Mr. Muhammad Yamin.
Semakin dewasa, Amir semakin banyak berkecimpung dalam dunia politik. Dia mendirikan
Partai Indonesia (Partindo) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Selain pintar berorasi,
Amir juga pintar dalam hal kepenulisan. Dia sempat menjadi penulis dan redaktur "Poedjangga
Baroe" [Sebuah majalah sastra Indonesia yang didirikan Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan
Takdir Alisjahbana (STA), terbit bulan Juli 1933 - Februari 1942, Red.]. Pada tahun 1928-1930
dia menjadi pemimpin redaksi majalah Perhimpunan Pemoeda Pelajar Indonesia (PPPI). Dalam
media massa, Amir menggunakan nama samaran "Massa Actie". Bersama sejumlah orang
Kristen, Amir juga pernah menerbitkan "Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa Al-Maseh".
Sebelum Jepang menyerang Hindia Belanda, Amir mengikuti garis Komunis Internasional agar
kelompok sayap kiri (kelompok yang biasanya dihubungkan dengan aliran sosialis atau
demokrasi sosial, yang didasari oleh komunisme maupun filsafat marxisme, namun menolak bila
mereka dihubungkan dengan komunisme atau bahkan dengan anarkisme) menggalang aliansi
dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Oleh karena hal ini, anggota-anggota
kabinet Gubernur Jenderal memanggilnya, dan menggalang semua kekuatan antifasis untuk
bekerja sama dengan dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang.

Pada Januari 1943, ia tertangkap oleh fasis Jepang karena dituduh memimpin gerakan bawah
tanah, yang dibiayai oleh Van der Plas (Belanda). Amir mendapatkan eksekusi hukuman mati
dari Jepang, namun dengan intervensi Ir. Soekarno, hukuman tersebut batal dilakukan.
Perjuangan Amir tidak sampai di situ. Bersama Sanusi Pane dan teman-temannya sesama etnis
Batak, Amir mendirikan organisasi yang disebut "Jong Batak". Amir dan teman-temannya
membangun semangat baru bagi pemuda Tanah Batak.
Sebelum diangkat menjadi perdana menteri (3 Juli 1947 29 Januari 1948), Amir ditunjuk untuk
menjabat Menteri Pertahanan dari Partai Sosialis dalam Kabinet Sjahrier (12 Maret 1946). Dia
juga pernah ditunjuk sebagai wakil bangsa Indonesia dalam perjanjian Renville (perjanjian
antara Indonesia-Belanda).
Pada tanggal 19 Desember 1948, Amir menghembuskan napas terakhir. Penguburannya tidak
dilakukan dengan tanda kehormatan apa pun. Bahkan, di atas pusaranya tidak dituliskan
namanya. Hal ini terjadi karena dia dianggap sebagai salah satu antek Partai Komunis Indonesia
(PKI). Dia dikuburkan di Desa Ngaliyan, Karanganyar, Jawa Tengah. Dia tidak menerima tanda
jasa dan keluarganya juga tidak mendapat santunan apa pun. Kehidupan keluarga Amir sangat
memprihatinkan. Namun, 2 tahun setelah meninggal, tepatnya pada tanggal 15 November 1950,
atas perintah Presiden Soekarno, pusaranya digali kembali dan dilakukan proses identifikasi.
Setelah itu, diadakan serah terima kerangka kepada keluarga dan dimakamkan kembali.
Tragisnya, ada sekelompok pemuda yang merusak makam Amir dan ditutupi dengan potongan
rel kereta api. Di samping kuburnya sudah digunakan untuk makam-makam baru, sehingga
keluarga tidak bisa memindahkan makam Amir. Setelah bertahun-tahun, keluarga Amir bisa
melakukan pemugaran dengan bantuan dari lembaga Ut Omnes Unum Sint Institute. Lembaga
ini didirikan 17 pemuda Batak dan saat ini diketuai oleh Jones Batara Manurung. Pemugaran
tepatnya dimulai pada tanggal 12 Agustus 2008. Setelah pemugaran selesai, pada tanggal 14
November diadakan ibadah syukur di Gereja Dagen Palur, Solo. Acara tersebut dihadiri para
undangan dari berbagai gereja, LSM, organisasi kemahasiswaan di Solo dan Yogyakarta.
Meskipun nama Amir dicantumkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah, namun buku
yang mengupas biografi Amir Syarifuddin sangat jarang ditemukan. Salah satu buku yang
pernah menuliskan tentang hidupnya, "Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan
Kemerdekaan", yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan pada tahun 1984 pun dilarang
beredar.

Kebenaran sejarah mengungkap bahwa ideologi politik Amir memang komunis, tetapi dia bukan
antiagama. Para pemimpin agama antikomunislah yang menyebutnya ateis. Amir percaya pada
Tuhan, tidak ada tanda-tanda dia ateis. Akan tetapi, kekristenan Amir memang tidak banyak
terekspos. Setelah bertobat, Amir pernah mendapatkan kesempatan untuk berkhotbah.
Khotbahnya selalu disampaikan dengan semangat nasionalisme. Salah satu orang Jepang yang
dia idolakan adalah Toyohiko Kagawa, reformator Kristen dan aktivis buruh yang panutan.
Menurut Kagawa, yang mendasar dalam kekristenan adalah hidup dalam kasih dan mau peduli
dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Bukan hanya memprioritaskan pada
pembangunan tempat ibadah yang besar dan mewah. Baginya, Tuhan Yesus adalah tokoh teladan
yang harus diikuti. Dengan penuh kerendahan hati rela melayani sesama.

Wikana

Wikana, Tokoh Dibalik Proklamasi Yang Terlupakan NASIONALPROKLAMASIWIKANA


Moyo 17 Agu '12 Shares 0 17 Agustus merupakan tanggal bersejarah bagi Indonesia. Di tanggal
tersebut, 67 tahun lalu terjadi peristiwa yang merupakan tonggak awal lepasnya Indonesia dari
cengkraman penjajah. Jumat, 17 Agustus 1945, Ir.Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta
membacakan teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Kemudian, bendera
Merah Putih yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati dikibarkan. Namun peristiwa Proklamasi tak
hanya milik Soekarno dan Hatta saja, banyak tokoh yang punya andil besar serta cukup
menentukan jalannya pembacaan teks proklamasi. Salah satunya, seseorang bernama Wikana.
Wikana lahir di Sumedang, 18 Oktober 1914, adalah sosok pahlawan kemerdekaan yang
mungkin tidak banyak orang tahu. Pria Sunda ini bersama Chaerul Saleh, Sukarni dan pemuda
lainnya dari Menteng 31, menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Dengan tujuan agar
kedua tokoh ini segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan setelah kekelahan Jepang dari
Sekutu di tahun 1945. Wikana pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 melakukan peran
paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945
bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya.
Selain itu Wikana juga mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno
di Pegangsaan 56. Ia juga sangat tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari
menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana yang membujuk kalangan militer Jepang
untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Walau mempunyai peran

besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, hingga saat ini Wikana belum ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional

Read more at http://uniqpost.com/45700/wikana-tokoh-dibalik-proklamasi-yang-terlupakan/

Mr. Mohammad Roem

Mengenal Tokoh Diplomasi RI Mr. Mohammad Roem


Posted 27 Juli 2011 by Litania Ager in Mengenal Tokoh. Tinggalkan sebuah Komentar
Mohammad Roem menjabat Menteri Luar NegeriIndonesiadalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah
menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang
menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.
Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk Mengenang Tokoh Diplomasi
Mohammad Roem, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,Jakarta.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohammad
Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban
Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak
pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.
Sebagai diplomat, kala itu, Mohammad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia
bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaanIndonesiatidak kecil.
Perjanjian antara PemerintahIndonesiadan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian
Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut

menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian
tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaanIndonesia.
Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesiadalam ruang kemerdekaan. Meski
pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam
kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya
dimiliki para pemimpin Indonesiasaat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)
Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)
Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan peristiwa ketika Roem dan
teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir, Sjafrudin dan lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan
Soekarno di Madiun. Tidak terlepas dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka
tidak diadili.
Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia tidak berada dibawah
Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen. Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua
KNI daerah Jakarta Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar
pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945.
Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya dijelaskan hanya Soekarno yang bisa
membubarkan rakyat yang sudah berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000
orang itu.
Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat sampai akhir
hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat
menjadi delegasiIndonesiadalam perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana
tertulis dalam notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang menyangkut hukum
tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar
jangan lolos menguntungkan Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus
membela Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti Linggarjati.
Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang langsung protes karena pada tanggal 12
November 1946 malam dalam kunjungan delegasi Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn
guna menghadap Soekarno, tiba-tiba Soekarno menyetujui naskah Linggarjati padahal masih
perlu dirundingkan lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai diplomat dalam perundingan
Renville, pernyataan bersama (bukan perundingan) antara Mohammad Roem dan Van Roijen
serta Roem adalah anggota delegasi utama yang dipimpin Hatta dalam Konperensi Meja Bundar.

Setelah itu Roem adalah ketua Komite pembentukan pemerintahan RIS dan yang paling
bergengsi, sesuai hasil KMB, Roemlah yang diangkat sebagai Komisaris Agung pertama di Den
Haag Belanda.
Dalam zaman Soeharto, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat musyawarah Parmusi
di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru tidak sudi kalau Partai itu dipimpin Roem
dan SekJen Lukman Harun. Perjalanan sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat tua ini
benar-benar istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal 24 September
1983 dalam usia 75 tahun.
Dirinya adalah salah seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai jebolan Jong Islammieten Bond,
sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa akhir.
Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu
itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah RepublikIndonesiasebagai ketua tim juru
runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van
Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama
Perundingan Roem-Royen.
Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung,
Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara.
Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa
kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (HollandInlandscheSchool) Temanggung sampai
kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.
Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya
yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, Zeg, Inlander!. Dasar pribumi, begitu kirakira artinya.
Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan
dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah
makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorongdorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, Inlander! Inlander! Akibat dorongan itu Roem
jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap
ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.

Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan
bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah
Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah
berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama
Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong
Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian
pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk
kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah
atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi
Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau
Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.
Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada
tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia
bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam
partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).
Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik
sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi.
Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau
pengkaderan.
Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) diJakarta.
Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu
Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda Barisan
Hizbullah di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan
Masyumi.
Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang
mempertahankan kemerdekaanIndonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau
Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota

Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada


fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asyari, pendiri
Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.
Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat
orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.
Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam
perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem
diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April
1949.
Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya
Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.
Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir
(1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo
(1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno.
Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam
pemberontak PRRI.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus
1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian
pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan diIndonesiaserta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan
beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh
Pemerintahan Presiden Soekarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan
Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis
buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil
Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.

Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua
Partai MusliminIndonesia(Parmusi). Ini adalah partai jelmaan Masyumi yang didirikan oleh
para mantan kader Masyumi.
Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin
Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas
desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi
Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M
Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat
bersama para warga Bulan Bintang.
Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota
Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of
Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar
Negeri Islam di Tripoli (1977).
Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat
ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982)
menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, Oleh karena itu tidak ada
perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam, kata Amien Rais.
Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama.
Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara
substansial ada. Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka
sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri,
yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara,
sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna Saya rasa selama tidak lebih dari
tiga bulan itu di dunia pernah ada Negara Islam atau Islamic State, tidak dalam nama,
melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada diChicagomenyuratinya, sehingga
berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi
berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal24 September 1983.

Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji
Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul
Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem.
Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam.
Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam,
meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah
Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 Sejarah )
Mengenal Kembali Mr, Mohammad Roem

Roem dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1908 di Parakan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah dari
pasangan Dulkarnaen Djojosasmito (seorang Lurah) dan Siti Tarbijah. Pada tahun 1920 Roem
sempat dipindahkan ke kota Pekalongan karena wabah penyakit yang menyerang desanya. Di
kota Pekalongan inilah Roem berhasil menyelesaikan sekolahnya di H.I.S.
Tahun 1924 Roem lulus dalam ujian masuk sekolah STOVIA. Di tahun yang sama Roem
bergabung menjadi anggota organisasi Jong Java. Tahun 1925 bergabung dengan JIB (Jong
Islmieten Bond). Di dalam JIB inilah Roem mulai mengenal tokoh-tokoh besar seperti Agus
Salim dan HOS Cokroaminoto.
Tahun 1927 Roem berhasil menamatkan pendidikan pada bagian Persiapan di Stovia, tetapi
kemudian pindah ke AMS (Algemene Middelbare School Sekolah Menengah Umum tingkat
atas). Lulus dari AMS tahun 1930 kemudian meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran GHS
(Geneeskundige Hoge School) di Salemba, Jakarta.
Di GHS Roem gagal dalam menyelesaikan ujiannya, karena itu lalu ia berhenti menjadi
mahasiswa GHS dan beristirahat selama 2 tahun. Dalam masa-masa inilah ia mulai aktif dalam
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Roem juga menempuh pendidikan di RHS (Rechts Hoge
School) mulai tahun 1932 dan selesai tahun 1939. Roem juga terhitung sebagai aktivitis dan
pengurus Partai Penyadar yang didirikan oleh Agus Salim tahun 1937.
Roem tercatat tidak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial baik Belanda maupun Jepang.
Ia mendirikan kantor pengacara sendiri yaitu Mr. Mohamad Roem di Jakarta.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Roem menjabat sebagai ketua Komite Nasional (KNI) Jakarta
Raya, mirip suatu ketua DPR-darurat di waktu itu.

Pada peristiwa Ikada September 1945 Roem turut mengambil peran. Walikota Jakarta yang
pertama, Suwirjo, berkantor berdekatan dengan lapangan Ikada. Ketika ia melihat semakin
banyak massa yang menumpuk di lapangan Ikada ia pun melaporkannya kepada pemerintah RI
yang saat itu sedang bersidang. Suwirjo kemudian diinstruksikan untuk membicarakan keadaan
tersebut dengan pembesar-pembesar Jepang.
Sebagai ketua KNI Jakarta raya maka diajak-sertalah Roem oleh Suwirjo. Dalam pembicaraan
dengan pihak Jepang, tampak jika Jepang tidak akan mengizinkan rapat itu. Tetapi massa telah
banyak berkumpul dan hanya Soekarno-Hatta lah yang akan didengar oleh rakyat. Awalnya juga
Jepang tidak mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir. Setelah berunding sebentar Jepang
kemudian mengizinkan Soekarno-Hatta untuk hadir di rapat itu dan dengan syarat rapat tidak
boleh berlangsung lebih dari 15 menit.
Setelah menyampaikan hasil pembicaraan kepada pemerintah RI, maka dengan berkendara
beberapa mobil berangkatlah jajaran pemerintah RI menuju Ikada. Roem dan Suwirjo ikut serta
dalam rombongan mobil paling belakang. Rapat akbar bersejarah itu akhirnya berjalan dengan
damai dan tertib tanpa pertumpahan darah.
Ada satu peristiwa tragis yang dialami Roem ketika Belanda yang membonceng tentara Inggris
mulai masuk ke Jakarta. Roem waktu itu tinggal dan berkantor di jl. Kwitang no. 10. Tanggal 21
November 1945, beberapa hari setelah Roem menghadiri pemakaman jenazah 13 polisi korban
serbuan NICA, tiba-tiba saja kediamannya diserbu oleh tentara NICA. Waktu itu di rumah Roem
terdapat bebarapa orang antara lain Pirngadi (kelak brigjen TNI), Adik dan Islam Salim (putra
Agus Salim), Sayoga, dan beberapa orang lagi.
Mendengar kedatangan NICA semuanya pun melarikan diri meloncati tembok belakang rumah.
Roem, Ibu Roem, dan Sayoga tetap berada di rumah bersembunyi di kamar tidur. Ketika Belanda
mulai mengobrak-abrik rumah dengan alasan mencari orang dan senjata, Roem memberanikan
diri membuka pintu kamar, pada saat itulah Belanda melepaskan tembakan ke arah Roem. Roem
terkapar berlumuran darah tak sadar diri. Sayoga dibawa paksa Belanda dan setelah itu kabarnya
tak terdengar lagi, kelihatannya sudah dieksekusi oleh Belanda.
Semua orang mengira Roem sudah meninggal, para wanita yang ada disitu disuruh pergi oleh
Belanda, Ibu Roem mengungsi ke kediaman Agus Salim, jadi Roem ditinggal sendiri saja waktu
itu. Sore hari ketika keadaan reda baru datanglah para pemuda sekitar menolong Roem.

Keadaan Roem sangat gawat, Roem harus menjalani perawatan dan terapi berbulan-bulan
lamanya sampai ia diajak kembali oleh Kasman Singodimedjo ke Yogyakarta, waktu itu Kasman
menjabat sebagai Kepala Kehakiman Kementerian Pertahanan. Dari situlah Roem mulai duduk
dan aktif sebagai Ketua Bagian Politik Partai Masyumi. Tiga bulan kemudian Roem bergabung
sebagai Menteri Dalam Negeri dalam kabinet Syahrir ke III.
Posisi Roem sebagai seorang menteri luar negeri dalam pemerintahan Syahrir ke III membuatnya
banyak terlibat dalam perundingan Linggarjati. Roem terkenal rewel dan alot dalam perundingan
Linggarjati ini. Sikapnya itu sangat menjengkelkan ketua delegasi Belanda yaitu Prof.
Schemerhorn. Dalam bukunya Schemerhorn banyak melayangkan pujian kepada Syahrir atas
sikapnya yang tidak banyak menuntut tetapi tiada pujian bagi Roem. Schemerhorn menamakan
sikap Roem itu sebagai Roem begon hiertegen te steigeren (Roem mulai meronta-kuda).
Bahkan sampai menjelang berakhirnya proses perjanjian Linggarjati Roem masih tetap saja
rewel dan menjengkelkan pihak Belanda. Ada satu kejadian yang di kemudian hari membuat
Schemerhorn merasa malu, yaitu insiden kertas merah jambu.
Ketika suatu sidang akan ditutup dan kedua delegasi sudah payah, Roem masih berbicara dan
mengajukan usul terhadap rumusan mengenai pasal 1 Persetujuan Linggarjati. Roem menuliskan
usulan tersebut dalam kertas warna merah jambu. Karena Schemerhorn sudah berdiri dan hendak
meninggalkan sidang maka jawabnya tukas saja: Berikan saja pada Tuan Samkalden,
kedengarannya menarik juga, nanti kita bicarakan lebih lanjut.
Pada pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan akan berlangsung pendek saja, ternyata
berlangsung seret dengan tuntutan Roem tentang isi kertas merah jambu yang ia serahkan pada
pertemuan sebelumnya. Samkalden menyatakan tidak menerima kertas itu dan tidak ingat
tentangnya. Tetapi belakangan hari Schemerhorn tahu bahwa kertas itu disimpan oleh Samkalden
dengan baik di lemari-lemari surat. Kebohongan Samkalden inilah yang membuat hati nurani
Schemerhorn berasa tidak enak.
Peran Roem dalam berbagai perundingan tidak berhenti disini, setelah kejatuhan kabinet Syahrir
dan diikuti juga kejatuhan kabinet Amir Syarifudin. Pucuk pemerintahan dipegang oleh Hatta.
Atas usul PBB dimulailah kembali perundingan dengan Belanda pada pertengahan bulan Maret
1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Roem dan sebagai wakilnya ditunjuk Mr. Ali
Sastroamidjojo. Tetapi perundingan ini banyak menemui kebuntuan sehingga tidak
menghasilkan suatu keputusan penting.

Puncak dari semuanya adalah agresi militer Belanda II yang terjadi tanggal 19 Desember 1948.
Belanda menduduki pusat pemerintahan Republik yaitu kota Yogyakarta dan menawan para
pemimpin Republik. Tidak terkecuali Roem juga ikut ditawan.
Mr. Ali Sastroamidjojo melukiskan dalam memoirnya : Kurang lebih seminggu sesudah kami
ditawan di gedung negara, suasana menjadi hangat. Sebab sampai jauh malam pejuang-pejuang
kita melepaskan tembakan-tembakan ke arah gedung itu. Terang tembakan-tembakan itu
dimaksudkan sebagai siasat untuk membebaskan kami, terutama presiden dan wakil presiden.
Komandan pasukan penjagaan tempat tawanan menjadi gelisah. Pada kira-kira pukul 2 pagi
menjelang tanggal 30 Desember 1948 kami dibangunkan dan dikumpulkan dalam kamar tamu
dibagian depan sebelah kanan yang semua lampu-lampunya dinyalakan. Di kamar itu kami
dikepung oleh beberapa serdadu Belanda yang menodongkan karabijn mereka ke arah kami.
Oleh karena lampu terang benderang tentulah dari tempat-tempat pejuang kita bersembunyi yaitu
di gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos yang letaknya 200-300 m dari tempat kami ditawan,
terlihat dengan jelas apa yang akan terjadi dengan kami, apabila sebutir peluru saja dari para
pejuang itu mengenai salah satu serdadu Belanda. Maka tembakan-tembakan mereka berhenti
tiba-tiba. Baru kira-kira pukul 5 pagi kami diperbolehkan kembali ke kamar kami masingmasing.
Pada tanggal 31 Desember 1948 kira-kira pukul 06.30 pagi, kami sudah berkumpul di ruangan
makan untuk bersarapan. Tetapi tahu-tahu kami harus menyaksikan keberangkatan Bung Karno,
Bung Hatta, Saudara-saudara Mr. Assaat, Komodor Suryadarma, Mr. Pringgodigdo, Sutan
Syahrir dan Haji Agus Salim diangkut menggunakan 3 buah jeep dan dikawal oleh serdaduserdadu Belanda bersenjatakan lengkap.
Dua hari kemudian Mr. Mohammad Roem dan saya mendapat giliran. Pagi-pagi benar kami
disuruh untuk turut dengan seorang perwira Belanda naik Jeep dan dibawanya ke jurusan
Maguwo. Hendak dibawanya kemana kami tidak diberitahu.., begitu sekilas kisah yang
diutarakan oleh Mr. Ali Sastroamidjojo.
Roem ditawan bersama dengan Hatta, Ali Sastroamidjojo, Mr. Assaat, Mr. Pringgodigdo dan
Komodor Suryadarma di Menumbing, Bangka dalam dua ruangan berukuran 66 meter dan
410 meter. Mereka inilah yang disebut kelompok Menumbing. Roem melukiskan bahwa
keadaan para pemimpin Republik yang menjadi tawanan di Menumbing cukup terkendali berkat

wibawa dan kebijaksanaan Hatta. Ini tentu berlainan dengan keadaan di kelompok Prapat dimana
Sukarno dan Syahrir berseteru.
Atas usaha keras diplomasi para wakil Indonesia di luar negeri dan desakan dunia internasional
maka dibukalah kembali rencana-rencana perundingan Indonesia-Belanda. Tercatat bahwa
Sukarno-Hatta menolak undangan Dr. Beel, wakil Belanda, untuk mengadakan suatu Konferensi
Meja Bundar di Belanda yang sedianya akan dilangsungkan tanggal 12 Maret 1949. Para
pemimpin Republik mengharapkan bahwa kedaulatan pemerintahan Republik di Yogyakarta
harus dikembalikan secara penuh terlebih dahulu baru dirintis ke arah Konferensi Meja Bundar.
Untuk menuju kearah sana maka ditunjuklah Roem sebagai ketua delegasi dari Indonesia, lihat
juga sebelum terjadi aksi Agresi Militer II Belanda Roem telah ditunjuk sebagai ketua delegasi
perundingan. Ada usulan awal untuk menjadikan Syahrir sebagai ketua delegasi karena
ditakutkan Roem tidak akan sanggup menghadapi kekuatan delegasi dari Belanda. Tapi usulan
ini juga ditolak karena Syahrir sendiri semenjak perundingan Renville tidak pernah mau duduk
sebagai anggota delegasi. Akhirnya Syahrir ditetapkan sebagai penasihat. Penunjukan Syahrir
sebagai penasihat disarankan untuk dibuatkan satu surat pengesahan dari pemimpin Republik
untuk memperkuat kedudukan Syahrir, dengan alasan terdapat beberapa anggota yang tidak
terlalu simpatik dengan Syahrir.
Surat pengesahan inilah yang kemudian menimbulkan konflik baru antara Sukarno dengan
Syahrir. Ketika Surat Pengesahan sudah ditandatangani oleh Sukarno, kemudian dibawa ke
Jakarta oleh Roem untuk diberikan kepada Syahrir, berkata Syahrir dengan sengit, Apa dia
(Sukarno) itu. Mengapa dia yang harus mengangkat saya. Yang seharusnya mengangkat saya
adalah Syafruddin (Kepala PDRI di Sumatra), Roem pun kesal dibuatnya, terlebih-lebih
Sukarno setelah mendengar berita itu. Semua itu terjadi menjelang perundingan Roem-Roijen.
Bahkan pada saat perundingan berlangsung setiap kali diadakan rapat Syahrir tidak pernah
datang, walaupun sudah diundang oleh ketua delegasi.
Perundingan Roem-Roijen dimulai pada tanggal 14 April 1949 atas prakarsa Komisi Tiga
Negara PBB. Delegasi Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem dan delegasi Belanda diwakili
oleh Dr. J.H. Van Roijen dan ketua KTN adalah Cochran. Pidato yang disampaikan Roijen
lemah lembut, sedangkan pidato yang disampaikan Roem tegas dan keras. Ali Sastroamidjojo
melukiskannya dengan kata agak seram.

Perundingan yang berlangsung di Hotel Des Indes ini berakhir secara resmi pada tanggal 7 Mei
1949 pukul 17.00. Isi perundingan itu sebagai berikut :
Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk:
Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang
gerilya.
Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak
bersyarat.
Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:
Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer.
Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak
akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik.
Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik
kembali ke Yogyakarta.
Hasil perundingan ini menimbulkan pro dan kontra. Terutama dari pihak TNI yang tidak setuju
dengan istilah Pengikut republik yang bersenjata (lihat kembali hasil perundingan RoemRoijn). Panglima Sudirman langsung melontarkan protes keras kepada Roem. Para pemimpin
PDRI pun ikut menyatakan kekecewaannya karena perundingan-perundingan yang dilakukan
oleh para pemimpin di Bangka tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan para pemimpin PDRI.
Mereka khawatir sebuah perundingan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang ditawan
dengan pihak musuh akan banyak mengundang kerugian.
Terlepas dari kekurangan maupun kelemahan hasil perundingan itu akhirnya semua harapan para
pemimpin Republik dapat berjalan lancar. Tanggal 6 Juli 1949 para Pemimpin Republik yang
dibuang ke Bangka kembali ke Yogyakarta yang artinya kedaulatan Republik sudah
dikembalikan seperti sebelum agresi mliter II. Roem tidak ikut serta dalam rombongan dari
Bangka karena ia harus tinggal di Jakarta untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan Belanda
kepada Indonesia dalam waktu dekat.

Pada tanggal 24 Juli 1949 terbentuklah susunan delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar dengan
ketua Mohammad Hatta dan Roem bertindak sebagai wakil ketua. KMB berlangsung di Den
Haag dari tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir tanggal 2 November 1949. Pada tanggal itu juga
Roem dan T.B. Simatupang segera dikirim kembali ke Indonesia untuk segera melaporkan hasil
konferensi kepada Presiden Sukarno.
Penyerahan kedaulatan secara De Jure sendiri secara resmi dilakukan tanggal 27 Desember 1949
baik di Belanda, diwakili Mohammad Hatta, maupun di Indonesia, diwakili oleh Sri Sultan
Hamengkubowono IX.
sumber :
http://www.askarlo.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=66:mengenangkembali-mohamad-roem-bagian-i&catid=45:edukasi&Itemid=82
Mohammad Roem adalah salah satu tokoh populer sebagai negosiator dalam perundingan RoemRoyen tahun 1949. Ia pahlawan nasional yang terkenal sebagai diplomat ulung dalam
perundingan-perundingan yang melibatkan Indonesia dan Belanda sekaligus pemimpin Indonesia
pada masa Perang Revolusi. Ia lahir di Parakan Temanggung 16 Mei 1908.

Menempuh pendidikan di Geneeskunding Hogeschool dan Rechts School (Sekolah Hukum) di


Jakarta. Di zaman pergerakan nasional, Mr. Mohammad Roem aktif di berbagai organisasi
seperti Jong Islamieten Bond dan Sarekat Islam. Di awal kemerdekaan beliau merupakan
anggota delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati pada tahun 1946 dan Perundingan
Renville pada tahun 1948.

Karier ,Jabatan dan riwayat perjuangan


Pemimpin delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Roijen pada tahun 1949
Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni1947)
Pemimpin delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen (1949)
Menteri Luar Negeri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret1951)
Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
Wakil Perdana Menteri I pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret1956)

S. Mangunsarkoro

Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro (lahir 23 Mei 1904 meninggal 8


Juni 1957 pada umur 53 tahun) adalah pejuang di bidang pendidikan nasional, ia dipercaya
menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1949 hingga tahun 1950.
Kehidupan Awal
Ki Sarmidi Mangunsarkoro lahir 23 Mei 1904 di Surakarta. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga
pegawai Keraton Surakarta. Pengabdian Ki Sarmidi Mangunsarkoro kepada masyarakat, diawali
setelah ia lulus dari Sekolah Guru "Arjuna" Jakarta langsung diangkat
menjadi guru HIS Tamansiswa Yogyakarta.
Kemudian pada Th 1929 Ki Sarmidi Mangunsarkoro diangkat menjadi Kepala Sekolah HIS Budi
Utomo Jakarta. Satu tahun kemudian, atas permintaan penduduk Kemayoran dan restu Ki Hadjar
Dewantara, ia mendirikan Perguruan Tamansiswa di Jakarta. Perguruan Tamansiswa di Jakarta itu
sebenarnya merupakan penggabungan antara HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun yang duaduanya dipimpin oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro, dan dalam perkembangannya Perguruan
Tamansiswa Cabang Jakarta mengalami kemajuan yang pesat hingga sekarang.
Pengabdian taman siswa
Pada upacara Penutupan Kongres atau Rapat Besar Umum Tamansiswa yang pertama
di Yogyakarta pada 13 Agustus 1930, Ki Sarmidi Mangunsarkoro bersama-sama Ki Sadikin, Ki S.
Djojoprajitno, Ki Poeger, Ki Kadiroen dan Ki Safioedin Soerjopoetro atas nama Persatuan
Tamansiswa seluruh Indonesia menandatangani Keterangan Penerimaan penyerahan "Piagam
Persatuan Perjanjian Pendirian" dari tangan Ki Hadjar Dewantara, Ki Tjokrodirjo dan Ki

Pronowidigdo untuk mewujudkan usaha pendidikan yang beralaskan hidup dan penghidupan
bangsa dengan nama Tamansiswa yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Sebagai salah satu orang yang terpilih oleh Ki Hadjar Dewantara untuk memajukan, menggalakkan
serta memodernisasikan Tamansiswa yang berdasarkan pada rasa cinta tanah air serta berjiwa
nasional, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mempunyai beberapa pemikiran demi terlaksananya cita-cita
pendidikan Tamansiswa.
Selanjutnya pada tahun 1931 Ki Sarmidi Mangunsarkoro ditugasi untuk menyusun Rencana
Pelajaran Baru dan pada tahun 1932 disahkan sebagai Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Atas dasar
tugas tersebut maka pada tahun 1932 itu juga ia menulis buku Pengantar Guru Nasional. Buku
tersebut mengalami cetak ulang pada tahun 1935.
Dalam Daftar Pelajaran Mangunsarkoro yang mencerminkan cita-cita Tamansiswa dan Pengantar
Guru Nasional itu di dalam arus pergerakan nasional di Indonesia khususnya diAsia pada umumnya,
dapat disimpulkan pemikirannya mewakili salah satu aspek dari kebangunan nasionalisme yaitu
"aspek kebudayaan", yang pada hakikatnya merupakan usaha menguji hukum-hukum kesusilaan
dan mengajarkan berbagai pembaharuan disesuaikan dengan alam dan zaman. Dua aspek lainnya
adalah "aspek sosial ekonomis" yaitu usaha meningkatkan derajat rakyat dengan menumbangkan
cengkeraman ekonomi bangsa-bangsa Eropa Barat, sedangkan pada "aspek politik" yaitu usaha
merebut kekuasaan politik dari tangan Pemerintah Kolonialisme Belanda.
Pada tahun 1947 Ki Sarmidi Mangunsarkoro diberi tugas oleh Ki Hadjar Dewantara untuk memimpin
penelitian guna merumuskan dasar-dasar perjuangan Tamansiswa, dengan bertitik tolak dari Asas
Tamansiswa 1922. Dalam Rapat Besar Umum Tamansiswa Tahun 1947 hasil kerja Panitia
Mangunsarkoro bernama Pancadarma itu diterima dan menjadi Dasar Tamansiswa, yaitu: Kodrat
Alam, Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Perjuangan
Perjuangan Ki Sarmidi Mangunsarkoro dalam bidang pendidikan, di antaranya pada tahun 19301938 menjadi Anggota Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan penganjur gerakan
Kepanduan Nasional yang bebas dari pengaruh kolonialisme Belanda. Selanjutnya pada tahun
1932-1940 ia menjabat sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur
Tamansiswa merangkap Pemimpin Umum Tamansiswa Jawa Barat. Pada tahun 1933 Ki Sarmidi
Mangunsarkoro memegang Kepemimpinan Taman Dewasa Raya di Jakarta yang secara khusus
membidangi bidang Pendidikan dan Pengajaran.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro semakin dikenal di lingkungan pendidikan maupun di lingkungan politik
melalui Partai Nasional Indonesia (PNI). Ki Sarmidi Mangunsarkoro pada tahun 1928 ikut tampil
sebagai pembicara dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 menyampaikan pidato
tentang Pendidikan Nasional, yang mengemukakan bahwa anak harus mendapat pendidikan

kebangsaan dan dididik secara demokratis, serta perlunya keseimbangan antara pendidikan di
sekolah dan di rumah.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro pernah terpilih menjadi Ketua PNI Pertama sebagai hasil Kongres
Serikat Rakyat Indonesia (SERINDO) di Kediri dan menentang politik kompromi
dengan Belanda (Perjanjian Linggarjati dan Renvile). Sewaktu terjadi agresi Belanda II di
Yogyakarta, Ki Sarmidi Mangunsarkoro pernah ditahan IVG dan dipenjara di Wirogunan.
Menteri pendidikan
Pada waktu Kabinet Hatta II berkuasa pada Agustus 1949 sampai dengan Januari 1950, Ki Sarmidi
Mangunsarkoro mendapat kepercayaan menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
(PP dan K) RI. Sewaktu menjabat Menteri PP dan K, beliau mendirikan dan meresmikan
berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, mendirikan
Konservatori Karawitan di Surakarta, dan ikut membidani lahirnya Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta.
Kepercayaan Pemerintah terhadap reputasi dan dedikasinya kepada Negara, membawa Ki Sarmidi
Mangunsarkoro kembali dipercaya menjadi Menteri PP dan K RI pada masaKabinet Halim sejak
Januari 1950 sampai September 1950, dan beliau berhasil menyusun dan memperjuangkan di
parlemen Undang Undang No 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
untuk seluruh Indonesia. UU No 4/1950 itu disahkan dan sekaligus menjadi Undang Undang
Pendidikan Nasional pertama.
Pribadi
Pribadi Ki Sarmidi Mangunsarkoro yang tetap sederhana, berpikiran dan berwawasan kebangsaan
dan rasa nasional yang tebal tercermin dalam penampilannya sehari-hari yang selalu memakai peci
agak bulat, kumis tebal, kemeja Schiller putih serta bersarung Samarinda serta memakai sandal.
Penampilan yang sangat sederhana, beliau terapkan juga pada waktu menjadi Menteri PP dan K,
yaitu tidak mau bertempat tinggal di rumah dinas menteri. Apabila menghadiri acara jamuan
kepresidenan, di jalan raya maupun pergi ke Jakarta yang selalu tidak ketinggalan memakai sarung
dan peci.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro wafat 8 Juni 1957 di Jakarta, dimakamkan di makam Keluarga Besar
Tamansiswa Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya, Alm Ki Sarmidi
Mangunsarkoro menerima tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana dari Pemerintah, dan juga
penghargaan dari Tamansiswa dan rakyat.

Karya

Di sepanjang hidupnya, Ki Sarmidi Mangunsarkoro menulis beberapa buku-buku mengenai


pendidikan nasional, kebudayaan dan juga politik. Hal ini seiring dengan perhatian beliau yang
begitu besar pada ketiga bidang tersebut. Buku-buku tulisan beliau antara lain :
1. Pendidikan Nasional (Keluarga, Jogjakarta, 1948)
2. Masjarakat Sosialis (Pelopor, Jogjakarta, 1951)
3. Dasar-Dasar Pendidikan Nasional (Pertjetakan Keluarga, 1951)
4. Kebudajaan Rakjat (Usaha Penerbitan Indonesia, 1951)
5. Dasar Sosiologi dan Kebudajaan untuk Pendidikan Indonesia Merdeka(Prapancha,
Jogjakara, 1952)
6. Ilmu Kemasjarakatan (Prapancha, 1952)
7. Sosialisme, Marhaenisme dan Komunisme (Wasiat Nasional, Jogja, 1955)
8. Inti Marhaenisme (Wasiat Nasional, Jogja, 1954)
9. Guru Tak Berkarakter ratjun Masjarakat : Sumbangan dari Kementerian Penerangan RI
oentoek guru Nasional yang Membentuk Djiwa Nasional (ditulis bersama dg Asaat gelar
Datuk Mudo, Kementerian Penerangan RI, kata Pengantar 1950)
10. Dasar Sosisologi dan Kebudajaan untuk Rakjat Indonesia (Prapancha, 1952

Sayuti Melik

Sayuti Melik lahir di Kadisobo, Rejodani, Sleman Yogyakarta, 25 November 1908 dan meninggal di
Jakarta, 2 Maret 1989. Ayahnya bernama Abdul Muin alias Partoprawito, sedang ibunya bernama
Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, hingga kelas IV
dan diteruskan sampai mendapat ijazah di Yogyakarta.
Tahun 1920-1924 Sayuti Melik melanjutkan pendidikan Sekolah Guru di Solo. Di sana ia belajar
nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun
itu, ia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama
yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai
ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme. Perkenalannya
yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Selanjutnya kehidupan Sayuti Melik lebih banyak dinikmati di penjara. Pada tahun 1926 ditangkap
Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun
1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris
ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).
Kemudian tahun 1939-1941 dipenjarakan di Sukamiskin Bandung dan terlibat "Pers delict". Ketika
Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942 ia dipenjarakan lagi karena dituduh menyebarkan pamflet gelap
PKI akhirnya menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia ia dibebaskan. Ia menjadi anggota susulan
PPKI dan turut hadir dalam peristiwa perumusan naskah Proklamasi. Teks proklamasi tulisan tangan
Bung Karno diketik oleh Sayuti Melik dengan beberapa perubahan kata.
Setelah kemerdekaan Sayuti Melik menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada
tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap sebagai
orang dekat "Persatuan Perjuangan" serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam "Peristiwa 3
Juli 1946" namun setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi
Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Setelah selesai KMB, ia
dibebaskan. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dariAngkatan

'45 dan menjadi Wakil Cendekiawan. Tahun 1961 ia menerima Bintang Maha Putera Tingkat V. Sebagai
kolumnis beberapa surat kabar, ia mencoba menulis artikel yang berjudul "Belajar Memahami
Soekarnoisme". Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan
Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung
Karno. Akhirnya pada tahun ia 1965 ditangkap dan diperiksa oleh Kejaksaan Agung.
Pada jaman Orde Baru, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPR dan DPR (1971-1977), sebagai
Wakil dari Golongan Karya. Pada tanggal 11 Maret 1984 ia mendapat penghargaan selaku Pinisepuh
Golongan Karya dan sebelumnya ia telah menerima tanda penghargaan antara lain tanggal 19 Mei 1973
tanda Bintang Mahaputra Adipradana II dari Presiden Soeharto, tanggal 1977 Piagam dalambidang
Jurnalistik dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 23 Desember 1982 mendapat penghargaan
Satya Penegak Pers dari PWI Pusat. Kunjungannya ke luar negeri lebih banyak dilakukan sewaktu
menjalankan tugas kewartawanan, antara lain Eropa Barat, Eropa Timur, Amerika Serikat, Australia dll.
Sumber:
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2782/Sayuti-Melik
http://id.wikipedia.org/wiki/Sayuti_Melik

Anda mungkin juga menyukai