Anda di halaman 1dari 7

Wage Rudolf Soepratman adalah pengarang

lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya",


dan pahlawan nasional Indonesia.

Lahir: 9 Maret 1903, Jakarta


Meninggal: 17 Agustus 1938, Surabaya
Nama lengkap: Wage Rudolf Supratman
Kebangsaan: Indonesia
Saudara kandung: Rebo, Gijem Soepratinah
Orang Tua: Siti Senen (ibu), joemeno Senen
Sastrosoehardjo alias Abdoelmoein (ayah)
W.R Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Djoemeno
Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara KNIL Belanda.
Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem kakak sulungnya ke Makassar. Di Makassar
Soepratman disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yaitu Willem van Eldik.

Selanjutnya, selama tiga tahun Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam. Lalu, ia
melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur 20 tahun,
Ia dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian Ia mendapatkan ijazah Klein
Ambtenaar.

Dalam beberapa waktu yang lama, Soepratman bekerja di sebuah perusahaan dagang. Kemudian,
Ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita.
Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di Jakarta. Pada waktu itu, Soepratman
mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa, Ia menuangkan rasa tidak senang dengan
penjajahan namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.

Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo merupakan salah satu kota
kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Di situ tidak lama, Ia meminta berhenti lali
pulang ke Makassar. Kakak sulungnya yaitu Roekijem sangat senang sandiwara dan musik,
banyak karyanya yang ditampilkan di mes militer. Selain itu, Roekijem juga senang bermain
biola, kegemaran yang dimiliki sang kaka membuat Soepratman juga gemar bermain musik dan
membaca buku musik. W.R Soepratman tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak.

Menciptakan Lagu “Indonesia Raya”

Saat tinggal di Makassar, Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik dari kakak iparnya.
W.R Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu. Saat tinggal di Jakarta, Ia
membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, penulis karangan tersebut menantang para
ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.

Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, terciptalah lagu
Indonesia raya yang pada saat itu Ia berumur 21 tahun dan berada di Bandung. Pada malam
penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan
lagu ciptaannya secara instrumental didepan umum dan semua orang yang hadir terpukau
mendengarkannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dengan cepat menjadi terkenal , apabila ada
partai yang mengadakan kongres maka lagu tersebut selalu dinyanyikan. Lagu Indonesia Raya
merupakan perwujudan rasa persatuan dan keinginan untuk merdeka.

Wafatnya W.R. Soepratman

Karena menciptakan lagu Indonesia Raya, Soepratman menjadi buronan polisi Hindia Belanda
hingga Ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang berjudul “Matahari Terbit”, pada
awal Agustus 1938, Soepratman ditangkap saat sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para
pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya lalu Ia ditahan di penjara Kalisosok,
Surabaya. W.R soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Setelah Indonesia Merdeka, Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman ditetapkan
sebagai lagu kebangsaan. Namun sayangnya sang pencipta tidak dapat merasakan kemerdekaan
tersebut.
Kehidupan di Makassar

Wage di mata keluarga besarnya menjadi anak emas. Dialah keturunan keluarga Senen satu-
satunya yang berjenis kelamin laki-laki. Kenyataan ini menjadikannya memikul banyak harapan
keluarga. Suatu saat dia harus bisa mengangkat martabat keluarganya dengan cara melanjutkan
sekolah hingga ke jenjang tinggi. Untuk bisa mewujudkan harapan keluarganya itu, Wage pun
menurut saja dibawa kakak iparnya dan ikut hidup bersama mereka.

Sebenarnya kakak iparnya yang bernama Belanda itu tidak memiliki darah Belanda sama sekali.
Namun ia mendapatkan peruntungan nasib dengan menjabat sebagai petugas administrasi di
kantor kepolisian Belanda. Karena pekerjaan inilah ia harus menurut saja perintah atasan yang
mengharuskan ia pindah ke Makassar di Sulawesi Selatan.
Willem Van Eldik bergabung dalam korps musik di kantornya. Ia sangat menyukai musik, begitu
juga dengan istrinya yang selain bermain dan menikmati musik, ia juga menyukai sandiwara.
Sandiwara dan beberapa karya seninya banyak yang dipentaskan di daerahnya sana.

Selain mempelajari musik yang pada akhirnya menjadikan Soepratman seorang master biola dan
gitar, Soepratman juga bersekolah. Hebatnya, ia bersekolah di sekolah Belanda. Hanya orang-
orang pribumi tertentu sajalah yang boleh menduduki bangku ELS (Europe Large School).
Soepratman berhasil menembus keketatan sekolah itu karena diakui sebagai anak oleh kakak
iparnya. Untuk memperkuat pengakuan palsu tersebut, Eldik menambahkan nama ‘Rudolf’ di
tengah nama asli Wage Supratman. Yang sampai saat ini, tiga kata namanya tersebut dianggap
sebagai nama asli oleh sebagian besar masyarakat. Pada akhirnya nama tersebut disingkat
menjadi W.R.Soepratman.

Drop Out Sekolah

Setelah menjalani sekolah selama beberapa waktu di ELS Makassar, pihak sekolah berhasil
membuktikan bahwa Soepratman bukan anak Van Eldik. Karena kebohongan yang ditutupi
itulah Soepratman harus mengalami drop out. Daripada menjadi pengangguran, akhirnya dengan
sisa semangat sebagai pelajarnya, Soepratman muda masuk ke sekolah anak Melayu di Makassar
dan mendapatkan ijazah resmi pada tahun 1917.

Semangat belajar Soepratman memang tidak bisa diragukan. Kebanyakan anak pribumi sudah
merasa sangat beruntung bisa menikmati sekolah dasar dan lanjutan lalu kembali ke rumah dan
membantu orangtuanya menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun bagi Soepratman, pendidikan
adalah kehidupan. Dengan dukungan dari kakak kandung dan iparnya, ia berhasil melanjutkan
pendidikan kursus bahasa Belanda. Soepratman menyelesaikan kursus langka tersebut dalam
waktu 2 tahun saja. Kesuksesan tersebut membawanya menyabet gelar KAE (Klein Amtenaar
Examen).

Pada tahun 1920 setelah Wage sukses menjadi orang terpelajar yang dapat menguasai bahasa
penjajah, ia melanjutkan ke Normaal School, sebuah sekolah keguruan yang dibuat untuk
menyiapkan tenaga pendidikan dan kependidikan. Di tahun itu juga Wage menjadi founder
sebuah grup musik beraliran jazz yang diberinya nama Black and White. Band jazz ini sempat
menjadi trending di wilayah Makassar sampai-sampai Wage dan teman-temannya kewalahan
menerima job dari orang-orang yang memiliki hajatan atau pesta. Band ini juga yang
melambungkan namanya di kalangan militer Makassar.

Perjalanan Karir

Dalam perjalanannya menjadi seorang guru, Wage sempat dipindah tugaskan ke kota Singkang
yang keadaannya sangat berbeda dengan Makassar. Keamanan di Singkang tidak terjamin,
kehidupannya pun amat berbeda. Karena itulah Wage kemudian ngotot kembali ke Makassar.
Sesampainya di Makassar ia harus mencopot pekerjaannya sebagai guru. Kemudian ia beralih
profesi di Firma Nedem dan menduduki posisi klerk.

Di pekerjaannya yang kedua, ternyata Wage juga tidak dapat bertahan lama. Iapun kemudian
berpindah menjadi pegawai advokat di kantor advokat milik rekan kakak iparnya. Namun rasa
kangen pada keluarga besar yang ada di Jawa membuat Wage meninggalkan pekerjaannya yang
ketiga. Ia pun memilih kembali ke rumah kakaknya yang kedua di Surabaya, Jawa Timur.

R.Koesnendar Kartodiredjo adalah suami dari Roekinah Soepratirah, saudara perempuannya


yang tertua kedua. Di Surabaya, Wage hanya mengunjungi keluarga kakaknya yang bekerja di
kantor pelayaran saja. Hari-hari selanjutnya menyuruh Wage kembali ke Jawa bagian barat untuk
bertemu dengan ayah kandungnya. Tidak ada yang menginginkan kehidupan sebagai
pengangguran serabutan, namun itulah yang menimpa Wage Soepratman saat berada di kampong
halamannya. Band tidak lagi menjanjikan di tanah ini.
Wage mencoba peruntungan lain dengan cara melamar lowongan sebagai wartawan di sebuah
surat kabar yang berkantor di Bandung, Jawa Barat. Di surat kabar ‘Kaum Muda’ inilah bakat
musiknya kembali muncul. Ia kemudian memutuskan masuk keanggotaan sebuah grup musik. Di
perjalanannya sebagai wartawan, ia bertemu dengan banyak orang. Setelah setahun menjadi
wartawan, seorang rekan baru bernama Harun Harahap memiliki rencana membuat kantor berita
baru yang akan bermarkas di Jakarta.

Kembali ke Jakarta

Kantor berita yang didirikan oleh Harahap dinamai ‘Alpena.’ Wage ikut bekerja di kantor berita
tersebut. Karena tinggal di Jakarta yang saat itu sedang dilanda semangat kepemudaan dan
kebangkitan, akhirnya tumbuh suburlah jiwa nasionalisme Wage Soepratman. Ia berkenalan
dengan banyak tokoh pergerakan nasional dan mulai menyiapkan diri ikut berkontribusi untuk
kemerdekaan Indonesia.

Naluri kewartawanannya belum padam, malah semakin berkobar seiring ditutupnya surat kabar
Alpena yang menjadi tempatnya bekerja. Wage kemudian pindah ke surat kabar Sin Po.
Tugasnya sebagai wartawan Koran Sin Po menuntutnya untuk sanggup meliput segala
perkembangan dalam setiap rapat pemuda pergerakan nasional. Dari sinilah kemudian ia mulai
aktif terlibat dalam pergerakan nasional. Pada waktu itu usianya masih sekitar 23 tahun yang
juga bisa digolongkan sebagai pemuda.
Nasiblah yang mengharuskan Soepratman hidup melarat karena telah memilih menjadi pejuang
pergerakan nasional. Jika dulu di Makassar ia dekat dengan orang-orang Belanda dan
mendapatkan segala fasilitas yang terkesan berlebihan, sekarang ia harus bekerja mati-matian
untuk sekedar hidup di bilangan Rawamangun. Tempat tinggalnya sangat kecil, kumuh dan
bahkan dibuat dari bambu.

Menjadi Buronan

Meskipun harus menderita, entah mengapa hati kecil Soepratman sangat terikat dengan kondisi
perjuangan di Jawa. Tulisan-tulisannya yang diterbitkan di Sin Po semakin hari semakin terang-
terangan menyudutkan pemerintahan Hindia Belanda. Iapun mulai masuk ke daftar perhatian
polisi Belanda. Namun Wage masih tenang saja, ia malah menyamankan diri dengan berjualan
buku-buku bekas untuk memenuhi kebutuhannya di kota besar itu. Sama sekali tidak ada rasa
takut di hatinya karena menjadi perhatian Belanda.

Akibat saking seringnya ia bersinggungan dengan tokoh-tokoh nasional, tulisan Soepratman


semakin menggelisahkan. Pidato menggelora dari Sang Singa Podium dan kawan-kawannya
semakin mengikhlaskan hati Wage melepaskan kehidupan gemerlapnya di Makassar.
Keterlibatannya dalam dunia politik dan pergerakan nasional semakin keras menempanya. Kini
Wage tidak lagi membatasi diri sebagai wartawan yang mencari berita, namun juga ikut memberi
sumbangan pemikiran dan pendapat-pendapat untuk kemerdekaan Hindia Belanda.

Berjuang Lewat Musik

Wage Rudolf Soepratman yang memang berjiwa seni kembali bangkit dari dunianya yang lain.
Ia memberi kontribusi pada kemerdekaan melalui karya musik. Beliau menciptakan banyak lagu
bernuansa persatuan. Lagu pertama yang berhasil diselesaikannya sekarang dikenal dengan judul
‘Dari Sabang Sampai Merauke.’ Dahulu ketika Soepratman menciptakannya, lagu tersebut
berjudul ‘Dari Barat Sampai ke Timur.’

Lagu terakhir yang sempat dibuatnya berjudul ‘Matahari Terbit.’ Namun lagu paling fenomenal
yang membuat nyawanya terancam adalah ‘Indonesia Raya.’ Efek dari lagu Indonesia Raya
tersebut benar-benar berhasil menyatukan rakyat Indonesia. Pembuktiannya bisa dilihat saat
Kongres Pemuda II.Sebenarnya Indonesia Raya sudah selesai di tahun 1926 dan Wage hampir
membawakannya pada Kongres Pemuda I tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926. Sayangnya Wage
muda masih kurang percaya diri. Akhirnya ia baru membawakan instrument Indonesia Raya di
Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda di tanggal 28 Oktober tahun 1928.

Keberaniannya menguat karena Soegondo Djojopoespito menyuruhnya membawakan instrumen


lagu Indonesia Raya dengan diiringi tim paduan suara ‘Indonesia Merdeka.’Lagu tersebut
berhasil membangkitkan jiwa persatuan para pemuda dari seluruh nusantara. Akhirnya lagu
Indonesi Raya dinyanyikan di setiap pertemuan pergerakan nasional. Seharusnya Wage
mendapatkan penghargaan dari semua pihak dan rakyat Indonesia. Namun saat itu, nyawanya
semakin terancam karena Indonesia Raya semakin sering dinyanyikan. Meskipun Belanda sudah
melarang menyanyikannya di luar ruangan dan menyuruh menghapus kata ‘merdeka,’ namun
rakyat tidak pernah menghiraukan.

Akhir Hayat

Kejaran polisi Belanda mengharuskannya berpindah tempat tinggal terus menerus. Ia terus
berusaha mempertahankan diri karena Ir. Soekarno pernah menyuruhnya terus berjuang untuk
kemerdekaan dalam pertemuan di pengadilan Bandung. Selepas itu Ir. Soekarno harus
mendekam dalam penjara sesuai dengan putusan hakim. Perkenalannya dengan dr. Soetomo juga
semakin mengobarkan stamina perjuangannya.
Terakhir kali Wage melarikan diri ke Surabaya. Di sana ia sakit dan tidak kunjung sembuh.
Namun ia masih tetap ngotot memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu polisi berhasil
meringkusnya di jalan Embong Malang ketika Wage memimpin paduan suara yang disiarkan
oleh NIROM (RRI). Polisi militer Belanda dengan puas menjebloskannya ke penjara Kalisosok.

Di penjara, kesehatan Wage semakin memprihatinkan. Ia dipulangkan dan takdir menghentikan


penderitaannya tepat pada tanggal 17 Agustus 1938 jam 00.00 dan pasarannya Rabu Wage. Ia
meninggal dengan meninggalkan pesan pada sahabatnya. Wage mengatakan dia ikhlas berjuang
untuk kemerdekaan Indonesia meskipun ia belum sempat menikmati kemerdekaan, namun ia
yakin suatu saat Indonesia pasti merdeka.

Tempat meninggalnya di Jalan Mangga 21 Surabaya dijadikan museum W.R. Soepratman yang
menyimpan duplikat biola legendarisnya. Wage dimakamkan di TPU Kapas. Lalu berpindah ke
Jalan Tambak Segaran Wetan pada tanggal 20 Mei 1953. Setelah ia diakui oleh pemerintah,
makamnya kembali dipindahkan di Kenjeran pada tanggal 25 Oktober 1953. Ia meninggal tanpa
sempat mencicipi manisnya kemerdekaan sekaligus manisnya berkeluarga. Bahkan ia tidak
mengangkat seorang anak pun dalam sejarah hidupnya. Namun sumbangsihnya yang turut
mewarnai sejarah bendera merah putih akan selalu dikenang seluruh rakyat Indonesia.

Wage Rudolf Soepratman adalah pengarang


lagu kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya",
dan pahlawan nasional Indonesia.

Lahir: 9 Maret 1903, Jakarta


Meninggal: 17 Agustus 1938, Surabaya
Nama lengkap: Wage Rudolf Supratman
Kebangsaan: Indonesia
Saudara kandung: Rebo, Gijem Soepratinah
Orang Tua: Siti Senen (ibu), Djoemeno Senen
Sastrosoehardjo alias Abdoelmoein (ayah)

Anda mungkin juga menyukai