Anda di halaman 1dari 15

ARUNG PALAKKA

Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal di Bontoala, 6
April 1696 pada umur 61 tahun[1]) adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Saat masih
berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada
tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belandasaat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku
Bugis sebagai kekuatan maritim besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut
selama hampir seabad lamanya.
Arung Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To' Urong To-ri Sompi Patta Malampei Gammana Daeng Serang To'
Appatunru Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun pelafalan yang tepat
adalah La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka
Sultan Sa'adduddin.
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634 sebagai
anak dari pasangan La Pottobunna, Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri Suwi, Datu Mario-ri Wawo, anak
dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone Bone.
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju namun akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia
menikah dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret 1668, sebelumnya istri dari Karaeng
Bontomaronudan Karaeng Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak bertahan lama dan keduanya
bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri Watu,
Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20 Juli 1673. Istri ketiganya ini adalah putri dari La Tan-ri Bali Beowe II,
Datu Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni, Adatuwang Sidenreng. Pernikahannya yang keempat
dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684 dengan Daeng Marannu, Karaeng Laikang, putri dari Pekampi
Daeng Mangempa Karaeng Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng Bontomanompo
Muhammad.[2]
Arung Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan
matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia.
Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis Bone dengan badik yang
sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika ia bersama
pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman & keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa
Gubernur

Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial.
Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu
agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan
apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling
memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), berisikan data sejarah
tentang Batavia pada masa silam dengan sejarah yang kelam. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah
tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk
penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas
merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang
melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang
menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan
seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan
memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Menggantikan ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung Palakka sebagai hadiah
membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda sebagai Arung Pattiru, Palette dan
Palakka di Bone and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670.[2]
Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan
gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, 3 November 1672.

ANDI DJEMMA

Andi Djemma lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, 15 Januari1901 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 23
Februari1965 pada umur 64 tahun. Beliau adalah Raja (Datu) Luwu seorang tokoh Indonesia yang berjuang di
wilayahnya untuk mempertahankan NKRI.

Kedatuan Luwu adalah kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menyatakan bergabung ke dalam pangkuan
republik dan dengan mengusulkan kepada presiden RI satu permintaan yaitu Daerah Istimewa Luwu. Menjelang
kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus1945, Andi Djemma bahkan memimpin 'Gerakan Soekarno Muda' dan
memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 23 Januari1946. Tanggal itu sekarang diperingati sebagai Hari
Perlawanan Rakyat Semesta. Beliau memimpin rakyat luwu (palopo) untuk berperang angkat senjata melawan
tentara sekutu yang di boncengi oleh tentara NICA ( Nedelans Indiscehe Company Administration )

Pada 5 Oktober 1945, Andi Djemma sempat mengultimatum pihak Sekutu agar segera melucuti tentaranya dan
kembali ke tangsinya di Palopo. Ultimatum itu dibalas Gubernur Jenderal Belanda, Van Mook, dengan mengirim
puluhan bom kedalam kota Palopo.

Datu Luwu Andi Djemma bersama rakyatnya tidak gentar dengan serangan dari laut itu, Persembahan jiwa dan
raga dari Bumi Sawerigading (julukan tanah Luwu) yang tidak rela di jajah oleh pihak sekututerus berkobar
sehingga Perang pun pecah di hampir semua wilayah Luwu raya. Kota Palopo di kuasi pemuda. Untuk beberapa
jam sekutu mundur ke selatan. Sebelum bantuan yang besar datang dan menguasi kembali pusat kota Palopo.

Perlawanan semesta rakyat Luwu punya nilai historis sendiri ini karena perlawanan itu termasuk paling luas.
Perang meletus sepanjang tidak kurang 200 km. Perang dengan lokasi yang panjang itu menyulitkan sekutu.

Efek dari perang tersebut, Belanda sangat murka dan mengirim Raymond Wasterling. Merasa dipermalukan
Wasterling mengamuk dengan membantai kurang lebih 40.000 jiwa rakyat tak berdosa sepanjang Sulawesi
Selatan. Walau angka korban 40.000 jiwa itu masih diperdebatkan mengingat angka 40.000 jiwa terlalu besar.

Karena tekanan yang disebabkan oleh kekuatan yang tidak seimbang, hingga beliau terpaksa meninggalkan istana
bersama permaisyurinya, memimpin rakyatnya ber GERILYA di dalam wilayah kerajaannya, yang mengakibatkan
tertangkapnya ANDI DJEMMA oleh tentara NICA.Andi Djemma yang mempunyai lima putera itu baru tertangkap
pada 3 Juli 1946 dan diasingkan ke Ternate. Ia akhirnya meninggal di Makassar pada 23 Februari 1965.
Atas jasa-jasa beliau ini , sehingga Andi djemma di anugrahibintang kehormatan , lencana “ Bintang Gerilya “ pada
tanggal 10 november 1958dengan nomor36.822 yang di tanda tangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia
Soekarno. Sebagai daerah paling sebentar di jajah Belanda sekitar 30 tahun, Inilah persembahan wija to Luwu
(rakyat Luwu) untuk republik ini.

diKarenakan pada saat itu di wilayah luwu sedang bergejolak pemberontakan DI/TII yang di pimpin oleh Abdul
Kahhar Mudzakkar.Sehingga SampaiAndi djemma wafat, permintaan beliau kepada Soekarno untuk
membentuk Daerah Istimewa Luwu yang telah di setujui tidak pernah kunjung dalam wujud nyata sebagaimana di
harapkan Andi djemma dan masyarakat luwu.

PETTA LOLO LASINRANG (PAHLAWAN NASIONAL, PENDEKAR BUGIS, PENENTANG KOLONIAL BELANDA)

Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La
Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang
Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang.
Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang
memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke
atas (bulu sussang).
Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan daripamannya (saudara I
Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga,
La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu cirri bahwa putra
Addatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.

Diwaktu kecil La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan
lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “ Massaung “.
Menyabung ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “ (ayam yang bulunya
berwarna putih berbintik-bintik merah padabagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki
orang

Kegemaran menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La Sinrang dikenal dengan
julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular
disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.

Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone,
sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin
tertarik dengan Permian tersebut.

La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik
perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga
merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.

La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi
peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua
orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.

Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan
kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu
berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh
pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya

La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa
menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na
Arungpone.

Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang
bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh
ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan
Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi
nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “ JalloE”

Colliq Pujie (Penyalin Naskah Epos La-Galigo, dan Naskah Kuno Lainnya)

Colliq Pujié atau lengkapnya Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah seorang
perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang
dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar,
Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru IX, sejarahwan, budayawan, pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis
kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang). Menurut
sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri Colliq Pujié mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15
sudah ada orang Melayu yang menetap dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin mawin ditanah Bugis.

Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujié. Mungkin saja beliau tidak dikenal
sampai sekarang kalau saja, ia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin naskah kuno I La
Galigo yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis yang mendunia. Colliq Pujié-
lah yang membantu B.F. Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, selama 20
tahun menyalin naskah Bugis dan epos I La Galigo yang panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana
maupun Mahabrata dari India. Selain epos I La Galigo yang terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno
lainnya yang disalin oleh B.F. Mathes dan kemudian dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden
Belanda sampai sekarang. Penyalinan sebagian besar naskah tersebut dibantu oleh Colliq Pujié, sehingga riwayat
hidup Colliq Pujié sedikit demi sedikit terkuak oleh tulisan B.F. Mathes. Colliq Pujié bahkan juga menyadur karya
sastra dari Melayu dan Parsi. Colliq Pujié juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf
Lontara dan huruf Arab.

Prof. Nurhayati Rahman, seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar dalam
bukunya “Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak Zaman”
menyayangkan bahwa Colliq Pujié kurang mendapat tempat dihati bangsa Indonesia. Menurut beliau, Colliq Pujié
adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada abad ke-19 yang terlupakan.
Dr. Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris bahkan mengatakan bahwa, “terlalu kecil kalau seorang sekaliber Colliq
Pujié dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya
epos I La Galigo sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi
sumber inspirasi banyak orang dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia (Asdar Muis RMS, “Andi
Muhammad Rum, Titisan Colliq Pujié”, hal. 13).

Salah satu karya sastra Colliq Pujié berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-bilang
berjudul “Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan” telah diterjemahkan dan
ditransliterasi oleh H.A. Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas Sawerigading. Dalam buku tersebut
setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang, aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin,
dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari
3 baris, dimana baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku
kata. Terkadang juga hanya 2 baris namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam
transliterasi huruf latin. Pantun Bugis dalam buku ini adalah ungkapan curahan hati Colliq Pujié. Salah satu bait
dari 122 bait pantun dalam buku ini sebagai berikut:

Ininnawakku muwita,

Mau natuddu’ solo’,


Mola linrung muwa.

(Lihatlah keadaan bathinku,

Walaupun dihempas arus deras (kesusahan),

Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar)

Colliq Pujié juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno, kumpulan adat
istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang paling indah adalah
Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Bahkan karyanya tentang
sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya
berjudul La Toa diterbitkan oleh Mathes dalam buku Boegineesche Christomatie II. Peneliti Belanda lainnya yang
pernah dibantu oleh Colliq Pujié adalah A. Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi
Selatan. Keluasan pengetahuan, kepiawaian, dan kecerdasan Colliq Pujié telah mengangkat derajat intelektulitas
orang Bugis dimata orang Eropa pada abad ke-19. B.F. Mathes berkali kali menyebut nama Colliq Pujié sebagai
bangsawan Bugis ratu yang benar benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche
Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).

Tentang I La Galigo, menurut R.A. Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La Galigo Cyclus
Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 menyebutkan
bahwa epos I La Galigo adalah karya sastra terbesar dan terpanjang didunia setara dengan Mahabrata, Ramayana
dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani. Menurut Sirtjof Koolhof pada pengantar buku I La Galigo terbitan
Djambatan, naskah I La Galigo terdiri dari 300.000 larik/ bait sementara Mahabrata hanya kurang lebih 200.000
bait.

Sebagai tambahan informasi, di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, tersimpan 4.049
naskah lontara Bugis dan Makassar yang semuanya sudah di microfilm-kan, terdiri dari lontara paseng (pesan),
attoriolong (petuah orang dulu), akkalaibinengeng (sex education), kutika (ramalan/ astrologi), tasauf dan ilmu
agama, tata cara bercocok tanam, lontara Baddili Lompo (pengetahuan persenjataan dan strategi perang),
pengobatan tradisional, tabiat binatang dan arsitektur dan beberapa penggalan kisah dalam epos I La Galigo.
Sangat disayangkan bahwa minat mahasiswa sangat kurang untuk meneliti naskah lontara Bugis dan Makassar.
Malah banyak peneliti asing dari berbagai negara yang meneliti produk budaya Bugis dan Makassar yang berupa
naskah kuno lontara. Mungkin untuk mengkaji lebih dalam tentang kehidupan Colliq Pujié seseorang harus ke
Belanda karena disanalah segala informasi yang terekam yang tersimpan, tentang sosok Colliq Pujié yang
mengagumkan.

RANGGONG DAENG ROMO

RANGGONG Daeng Romo lahir di Kampung Bone-Bone, Polongbangkeng, Sulawesi Selatan, pada tahun 1915. Ia
merupakan anak dari pasangan Gallarang Moncokomba Mangngulabba Daeng Makkio dengan Bati Daeng Jimo.

Setelah menyelesaikan pendidikan di salah satu pesantren Cikoang, Ranggong Daeng Romo kemudian
melanjutkan pendidikan di Hollandsch Inlandsch School (HIS, setara dengan sekolah dasar) dan lulus pada tahun
1929.

Setelah Indonesia merdeka, persisnya pada tanggal 16 Oktober 1945, Ranggong Daeng Romo memimpin
Angkatan Muda Bajeng, untuk membakar semangat para pemuda dalam melawan penjajahan tentara
Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

Dua bulan kemudian, Rabu, 5 Desember 1945, ia diangkat menjadi Komandan Barisan Gerakan Muda Bajeng,
yang kegiatannya tak hanya pada bidang kemiliteran, tetapi juga di bidang pemerintahan. Dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan, ia bersama Gerakan Muda Bajeng tak jarang mengalami bentrok senjata dengan
pasukan kolonial Belanda. Dengan mengerahkan 100 pasukan Gerakan Muda Bajeng, ia menyerang pangkalan
serdadu kolonial Belanda di Pappu, Takalar, Kamis, 21 Februari 1946.

Keesokan harinya, Ranggong Daeng Romo kembali melakukan serangan terhadap pasukan kolonial Belanda di
Polleke yang hendak mendirikan pertahanan. Sekitar 300 orang ia kerahkan dalam pertempuran tersebut.
Belanda kembali dipukul mundur.
Pada 1 Maret 1946, sebanyak 20 orang pasukan kolonial NICA tewas akibat serangan yang dilancarkan oleh
Ranggong Daeng Romo. Seminggu kemudian, serangan kembali digencarkan ke pertahanan kolonial di Pappu
Takalar.

Serangan demi serangan yang dilancarkan Ranggong Daeng Romo terus berlanjut sampai Juni 1946. Pada tanggal
17 Juli 1946, semua laskar di Sulawesi Selatan bersatu dengan nama Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia
Sulawesi (Lapris), dan Ranggong Daeng Romo dipilih sebagai Panglima Lapris. Saat Lapris terbentuk, pasukan
kolonial Belanda dibikin tak berkutik. Pasukan tempur khusus tersebut mampu membuat langkah NICA menjadi
berantakan. Operasi militer secara besar-besaran pun kerap dilakukan Ranggong Daeng Romo.

Namun, pada Jumat, 28 Februari 1947, pasukan kolonial NICA akhirnya berhasil memukul mundur pasukan Lapris
yang terkenal gagah berani itu. Dalam pertempuran tersebut, panglima sekaligus pemimpin gerilya Sulawesi
Selatan, Ranggong Daeng Romo tewas. Setelah berjuang mati-matian melawan kolonial Belanda, Ranggong Daeng
Romo terkapar bersimbah darah. Jenazahnya dimakamkan di Lengger, Takalar, Sulawesi Selatan.
OPU DAENG RISADJU

Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Opu
Daeng Risadju memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risaju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan
Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah memang merupakan anggota keluarga bangsawan Luwu. Opu
Daeng Risaju merupakan anak dari Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng yang lahir di
Palopo pada 1880.

Tidak seperti bangsawan pada umumnya, meskipun berasal dari keluarga bangsawan, Opu Daeng Risaju tidak
pernah mengecap pendidikan Barat. Pendidikan yang didapat oleh Opu Daeng Risaju lebih ditekankan pada
persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama.

Ia juga mendapatkan pendidikan mengenai tata cara kehidupan bangsawan baik di dalam istana maupun di luar
lingkungan istana, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi keluarga bangsawan. Opu Daeng Risaju juga
mendapatkan pengajaran terkait tata cara kepemimpinan, bergaul, berbicara, dan memerintah rakyat
kebanyakan. Selain mempelajari moral yang berlandaskan adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju juga
mempelajari peribadatan dan akidah dalam agama Islam. Dalam tradisi Luwu itu sendiri, agama dan budaya
merupakan satu kesatuan. Karenanya, sejak kecil Opu Daeng Risaju terbiasa membaca Al-Quran hingga tamat dan
mempelajari ilmu-ilmu keagamaan seperti nahwu, syaraf dan balagah. Opu Daeng Risaju juga mempelajari fiqih
dari buku karangan Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi
Selatan. Opu Daeng Risaju tidak sendiri dalam mempelajari Islam, melainkan dibimbing juga oleh seorang ulama.

Suami Opu Daeng Risaju, H. Muhammad Daud, merupakan seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah.
Suami Opu Daeng Risaju ini merupakan anak dari rekan dagang ayahnya. H. Muhammad Daud kemudian diangkat
menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki
pengetahuan yang luas tentang agama.

Opu Daeng Risaju juga merupakan wanita yang aktif dalam Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Opu Daeng
Risaju kemudian mendirikan cabang PSII Palopo yang diresmikan pada 14 Januari 1930. Opu Daeng Risaju terpilih
sebagai ketua PSII Palopo dalam rapat akbar yang dihadiri aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat,
pemuka masyarakat, masyarakat umumnya, hingga pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo.

Akan tetapi, pada masa pendudukan Jepang, tidak banyak kegiatan yang Opu Daeng Risaju lakukan di PSII. Ini
disebabkan karena pemerintahan Jepang melarang adanya kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan,
termasuk PSII.

Opu Daeng Risaju mulai kembali aktif pada masa revolusi di Luwu. Revolusi ini diawali dengan kedatangan
Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Sulawesi Selatan yang berkeinginan untuk menajajah kembali
Indonesia. Pemberontakan terhadap NICA mulai terjadi pada saat tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe
untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya.

Merasa tidak puas dengan ini, tentara NICA kemudian mendatangi masjid dan menginterogasi orang-orang di
dalam masjid. Akan tetapi, karena masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, NICA memutuskan
untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran.

Melihat hal ini, para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA di Palopo untuk segera kembali ke
tangsinya dan tidak berkeliaran di kota. Karena ultimatum ini tidak digubris oleh tentara NICA, timbullah konflik
senjata yang sangat besar antara tentara NICA dan para pemuda pada tanggal 23 Januari 1946. Konflik senjata ini
kemudian merambat ke kota-kota lainnya di Palopo, salah satunya ialah kota Beloppa tempat Opu Daeng Risaju
tinggal. Peran Opu Daeng Risaju dalam perlawanan terhadap tentara NICA di Belopa sangatlah besar. Opu Daeng
Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

Tindakan ini membuat tentara NICA kewalahan dan mengupayakan berbagai cara untuk menangkap dan
menghentikan aksi Opu Daeng Risaju. Tentara NICA bahkan membuat pengumuman yang menyatakan bahwa
pihak tentara NICA akan memberikan imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju yang kala
itu sedang bersembunyi, baik dalam keadaan hidup atau pun mati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang
menggubris pengumuman tersebut.
Opu Daeng Risaju kemudian tertangkap oleh tentara NICA di Lantoro dan dibawa menuju Watampone dengan
cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju lalu ditahan di penjara Bone selama satu bulan tanpa
diadili, kemudian dipindahkan ke penjara Sengkan, lalu dipindahkan lagi ke Bajo. Saat di Bajo, Opu Daeng Risaju
mengalami penyiksaan oleh Kepala Distrik Bajo, Ladu Kalapita. Di sana, Opu Daeng Risaju dibawa ke sebuah
lapangan dan dipaksa untuk berdiri tegap menghadap matahari.

Kalapita lalu mendekati Opu Daeng Risaju yang kala itu berusia 67 tahun dan meletakkan laras senapannya pada
pundak Opu Daeng Risaju. Kalapita kemudian meletuskan senapannya dan mengakibatkan Opu Daeng Risaju
jatuh tersungkur di antara kedua kaki Kalapita yang masih berusaha menendangnya. Setelah penyiksaan itu, Opu
Daeng Risaju kembali dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang mirip penjara darurat bawah tanah. Akibat
penyiksaan yang dilakukan Kalapita ini, Opu Daeng Risaju menjadi tuli seumur hidup. Opu Daeng Risaju kemudian
dibebaskan tanpa diadili setelah 11 bulan menjalani tahanan. Opu Daeng Risaju kemudian kembali ke Bua dan
menetap di Belopa.

Pada tahun 1949, setelah kedaulatan RI mendapat pengakuan, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti
anaknya Haji Abdul Kadir Daud. Dalam PSII pun Haji Abdul Kadir Daud tak lagi aktif sejak 1950 dan hanya menjadi
sesepuh di organisasi tersebut. Opu Daeng Risaju wafat di usianya yang ke 84, tepatnya pada 10 Februari 1964.
Pemakamannya dilakukan di perkuburan raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa ada upacara kehormatan, sebagaimana
yang biasanya dilakukan terhadap sosok pahlawan yang wafat.

LA MADDUKELLENG

La Maddukkelleng (lahir: di Belawa, Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 - wafat di Siengkang, 1765) adalah seorang
ksatria dari lingkungan kerajaan Wajo dan merupakan Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI
No. 109/TK/Thn 1998 pada tanggal 6 November 1998.

Selama di perantauan La Maddukkelleng masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La
Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat La Banna To Assa sebagai panglimanya. Mereka
membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La
Maddukkelleng menikahi puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja
Kutai (Sultan Muhammad Idris).

Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing
Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat,
Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang
putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To
Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya
kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan
raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.

Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung
Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taamenghadap Sultan Pasir dengan membawa surat
yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tetapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan
peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah
leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.

Setelah sekian lama berpetualang, La Maddukkelleng bertekad pulang ke tanah leluhurnya (Wajo),
mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja
dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam
baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu
pasukan laut (Marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (Kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh
Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan
orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan
perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai serta Bugis Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu singgah
di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi "Noorduyn" dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali
armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734.
Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat
dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara Pulau Lae
Lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam.
Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, "Johan
Santijn" (1733-1737)

mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju Pulau Lae
Lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui
pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng
Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan
Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan
rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju
Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak
tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan
menyampaikan bahwa Topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana.
Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja
perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam
Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja
Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa
berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat
Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri maradeka "Merdeka" di mana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya
masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo,
sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Sengkang. Karena La Maddukkelleng
masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke
Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya
mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai
pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan
rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat
tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam
perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La
Maddukkelleng dijuluki Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe yang artinya tuan/orang yang memerdekakan
tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut
untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), ia diangkat
sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya tersebut dilaksanakan di Paria pada hari Selasa tanggal 8
November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang
yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone,
juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
PONG TIKU

Pong Tiku (atau Pontiku dan Pongtiku; 1846 – 10 Juli 1907), dikenal dengan nama Ne' Baso, adalah pemimpin dan
gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian selatan, sekarang bagian dari Indonesia.

Tiku adalah putra penguasa Pangala'. Setelah Tiku menduduki kerajaan Baruppu', ia menjadi raja, lalu menguasai
Pangala' setelah ayahnya meninggal dunia. Lewat perdagangan kopi dan persekutuan dengan Suku Bugis di
dataran rendah, Tiku mendapatkan kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar. Semasa Perang Kopi (1889–
1890), kota Tondon diserang oleh penguasa lain, namun direbut kembali pada hari yang sama. Ketika pasukan
Belanda menyerbu Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku dan pasukannya melancarkan serangan dari benteng. Ia
ditangkap pada bulan Oktober 1906. Bulan Januari 1907, ia kabur dan menjadi buronan sampai Juni tahun itu. Ia
dieksekusi mati beberapa hari setelah tertangkap.

Tiku merupakan pemimpin pemberontakan terlama di Sulawesi. Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz menganggap
Tiku sebagai ancaman bagi kestabilan pemerintahan Belanda di kawasan itu. Van Heutsz mengutus Gubernur
Sulawesi untuk memimpin penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku menjadi simbol pemberontakan Toraja. Ia
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesiapada tahun 2002.

Khawatir akan persaingan dari kerajaan Luwu dan Bone di Utara dan Sidenreng dan Sawitto di Selatan, Tiku
berupaya memperkuat pertahanan negaranya. Kerajaan yang dipimpinnya menyepakati beberapa perjanjian
dagang. Akan tetapi, masuknya suku Bugis memicu ketegangan antarnegara yang memuncak pada Perang
Kopi tahun 1889. Tiku berpihak pada kerajaan-kerajaan selatan yang dipengaruhi Bugis.

Pemimpin militer Bone, Petta Panggawae, dan pasukan Songko' Borrong pimpinannya menyerbu Pangala' dan
bersekutu dengan Pong Maramba', seorang penguasa kecil. Panggawae menduduki ibu kota Tondon dan
menjarahnya. Tiku dan warga sipil terpaksa meninggalkan wilayah tersebut. Tiku, dibantu pemimpin Sidenreng,
Andi Guru, merebut kembali sisa-sisa Tondon malam itu juga. Perang berakhir tahun 1890 setelah utusan
Belanda – mewakili pemerintah kolonial di Jawa – tiba di Bone. Namun demikian, negara-negara yang masih
berdiri saat itu mulai berebut kekuasaan atas perdagangan senjata dan budak; setiap negara saling menukarkan
senjata dengan budak. Tiku juga terlibat dalam perdagangan ini.

Tiku akhirnya bersekutu dengan pemimpin Bugis di sekitarnya agar mengurangi ketegangan dan meningkatkan
perdagangan. Ia juga mempelajari sistem penulisan dan bahasamereka sehingga Tiku dapat berkomunikasi
dengan para pemimpin Bugis. Pada waktu itu, Tiku sudah menguasai sejumlah wilayah.Untuk menghindari
terulangnya penyerbuan Tondon, Tiku mulai membangun tujuh benteng serta beberapa pos pemantau dan
gudang di wilayahnya Benteng-benteng Toraja ini dirancang untuk mencegah serbuan ke lembah yang mengarah
ke pusat penduduk. Benteng milik Tiku tersebar antara wilayah timur dan barat kerajaannya. Ia menerapkan
sistem pajak untuk mendanai pertahanan kerajaan. Pemilik sawah wajib menyerahkan dua per tiga hasil buminya,
sedangkan petani lainnya menyerahkan sepuluh persennya saja.

Serbuan Belanda

Pada 1905, tanah-tanah Bugis dan Toraja sebelumnya telah disatukan dalam empat wilayah utama, yang salah
satunya dibawah kepemimpinan Tiku. Pada bulan Juli tahun tersebut, raja Gowa, sebuah negara tetangga, mulai
mengumpulkan prajurit untuk bertarung melawan para tukang invasi dan mempertahankan sisa-sisa tanah Toraja
dari penaklukan. Ma'dika Bombing, seorang pemimpin dari negara selatan, menunjuk Tiku sebagai asistennya.
Sebulan setelah para pengirim kabar disebar, para pemimpin berkumpul di Gowa untuk membuka rencana aksi.
Hasilnya, para penguasa lokal berhenti berperang satu sama lain dan berfokus pada Belanda, yang memiliki
kekuatan unggul; namun, konflik-konflik internal tak secara keseluruhan mereda. Pada saat sebuah pertemuan
dilangsungkan, Belanda mulai membuat penyerduan ke Luwu. Tiku, memerintahkan pengusiran Belanda dari kota
pertahanan Rantepo dengan mulai menghimpun pasukannya dan menempatkan pada pertahanan-
pertahanannya.

Pada Januari 1906, Tiku mengirim para pengintai ke Sidareng dan Sawitto, sementara Belanda yang melakukan
invasi, menyelidiki cara bertempur mereka. Ketika para pengintai melaporkan bahwa pasukan Belanda memiliki
kekuatan yang besar dan tampaknya menggunakan kekuatan sihir saat melawan pasukan Bugis, ia
memerintahkan para pasukan di benteng-bentengnya untuk bersiap dan mulai mengumpulkan cadangan
makanan berupa beras; sebulan kemudian, Luwu jatuh ke tangan pasukan Belanda, yang membuat pasukan Tiku
berpindah ke tempat yang lebih pelosok. Pada bulan Februari, para pasukan Tiku, yang dikirim ke kerajaan-
kerajaan selatan, mengabarkan bahwa tak lama lagi kepemimpinan koheren dan dua kerajaan kalah melawan
bangsa Eropa. Kabar tersebut membuat Tiku menghimpun pasukan yang lebih banyak lagi dan membentuk
dewan militer yang beranggotakan sembilan orang, dengan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya.

Pada Maret 1906, kerajaan-kerajaan lainnya semuanya runtuh, meninggalkan Tiku sebagai penguasa Toraja
terakhir. Belanda mengambil alih Rantepao tanpa perlawanan, tanpa menyadari bahwa penyerahan kota tersebut
diatur oleh Tiku. Melalui sebuah surat, Kapten komandan Belanda Kilian meminta Tiku untuk menyerah, sebuah
permintaaan yang enggan ditepati Tiku. Menyadari bahwa Tiku memiliki pasukan dan sejumlah benteng, Kilian
tidak berniat untuk melakukan serangan secara langsung. Sehingga, pada April 1906, ia mengirim sebuah
kelompok ekspedisioner ke Tondon. Namun pendekatan kelompok tersebut ditolak, setelah pada tengah malam
pasukan Tiku menyerang kamp Belanda di Tondon; peristiwa tersebut memaksa pasukan Belanda untuk mundur
ke Rantepao sementara pasukan Tiku mengejar serta membuat banyak korban menderita di sepanjang jalan.

Aksi militer Tiku berdasarkan pada pengalamannya bertarung dengan penguasa lain. Sementara itu, Belanda dan
pasukan pribumi campuran mereka, tak berhasil mengalahkan pasukan Tiku dan tak tahan dengan cuaca dingin
yang terbilang tinggi.

Perlawanan pertama
Pasukan ekspedisioner gagal melakukan kesepakatan terbuka antara Tiku, yang bersembunyi di bentengnya di
Buntu Batu, dan pasukan Belanda. Tiku mengirim mata-mata kepada pasukan Belanda di Rantepao. Pada 22 Juni,
mata-mata melaporkan bahwa pada malam sebelumnya sebuah batalion Belanda yang terdiri dari sekitar 250 pria
dan 500 pengangkut berangkat ke desa tersebut, berjalan ke atas selatan menuju benteng Tiku di Lali' Londong.
Tiku memerintahkan agar jalanan disabotase, di mana perjalanan pada saat itu membutuhkan waktu dari satu
sampai lima hari. Pada malam 26 Juni, pasukan Tiku menyerang pasukan Belanda di luar Lali' Londong, sebuah
serangan di mana Belanda belum mempersiapkan apapun; tidak ada yang dibunuh pada serangan tersebut. Pagi
berikutnya, Belanda mempersiapkan sebuah pengepungan di Lali' Londong, menggunakan granat tangan dan
tangga. Meskipun tidak biasanya pasukan Belanda tidak menggunakan granat terhadap pemimpin wilayah
lainnya, pada siang harinya, benteng tersebut ditaklukan.

Gubernur-Jenderal J. B. van Heutsz memerintahkan Gubernur Sulawesi untuk menangkap Tiku karena gerilyawan
tersebut menyebabkan wajahnya tercoreng.

Kekalahan tersebut mendorong Tiku memperkuat pasukannya.] Para pasukan Toraja dipersenjatai dengan
senapan, tombak, pedang, dan ekstrak lada cabai, yang disemprotkan ke mata lawan dengan menggunakan
sebuah pipa yang disebut tirik lada, atau sumpit, untuk membutakan mereka. Tiku sendiri dipersenjatai dengan
sebuah senapan Portugis, tombak, dan labo. Dia mengenakan baju besi pelindung, sebuah sepu (penjaga
selangkangan), dan songkok dengan tonjolan yang berbentuk tanduk kerbau, dan membawa perisai yang dihiasi.
Bersama dengan tentaranya, Tiku menggali lubang yang diisi dengan bambu yang dibuat di sepanjang rute
pasokan Belanda; sehingga orang-orang yang berjalan di atas lubang akan jatuh dan tertusuk. Namun, hal
tersebut tidak menghentikan penyerbuan Belanda. Pada 17 Oktober 1906, dua benteng lainnya, Bamba Puang
dan Kotu, runtuh, setelah beberapa serangan gagal Belanda sejak bulan Juni. Sebagai kampanye melawan Tiku,
yang menjadi kampanye yang sangat panjang ketimbang kebanyakan kampanye lainnya pada masa penjajahan,
yang menggerogoti otoritas Belanda di Sulawesi, Gubernur-Jenderal J. B. van Heutsz memerintahkan Gubernur
Sulawesi Swart untuk memimpin serangan secara pribadi.

Setelah pengepungan yang lama, Andi Guru dan mantan letnan Tiku, Tandi Bunna' – keduanya bekerja untuk
Belanda – menghadap Tiku pada 26 Oktober dan menawarkan gencatan senjata. Meskipun awalnya enggan, Tiku
dikabarkan memenuhi permintaan masyarakat yang mengingatkannya bahwa ibunya – yang tewas dalam
pengepungan tersebut – butuh dikuburkan. Setelah tiga hari masa damai, pada malam 30 Oktober, pasukan
Belanda mengambil alih benteng tersebut, mencegat seluruh senjata, dan menangkap Tiku. Ia dan para
prajuritnya dipaksa pergi ke Tondon.

Perlawanan kedua dan kematian

Di Tondon, Tiku memulai persiapan pemakaman ibunya dengan menggunakan adat Toraja selama beberapa
bulan. Sesambil mengadakan persiapan tersebut, ia mendapatkan seorang penasihat yang mengumpulkan senjata
secara rahasia sementara yang lainnya menginginkan benteng-bentengnya di Alla' dan Ambeso. Tiku kemudian
membuat persiapan untuk melarikan diri dari penangkapan Belanda; ia juga mengembalikan seluruh harta benda
yang ia ambil ketika ia menjadi penguasa, karena ia tahu bahwa tidak akan lama menggunakannya. Ketika berada
di Tondon, pasukan Belanda memperdaya seorang pemimpin Toraja. Malam sebelum pemakaman ibunya, pada
Januari 1907, Tiku dan 300 pengikutnya melarikan diri dari Tondon untuk menuju ke arah selatan.

Setelah ia dikabari bahwa Belanda mengikutinya, Tiku memerintahkan sebagian besar pengikutnya untuk kembali
ke Tondon sementara ia dan lima belas orang lainnya, termasuk dua istrinya, melanjutkan perjalanan ke
selatan] Mereka awalnya singgah di Ambeso, namun bentengnya runtuh beberapa hari kemudian, sehingga
kemudian mereka melarikan diri ke Alla'. Benteng tersebut runtuh pada akhir Maret 1907 dan Tiku mulai berjalan
kembali ke Tondon melalui hutan. Ia dan para pemimpin lainnya, yang beretnis Bugis dan Toraja, mulai terlacak
oleh pasukan Belanda. Pemimpin lainnya ditangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara
di Makassar atau diasingkan ke Buton.] Sementara itu, Tiku, tetap bersembunyi di hutan.

Pada 30 Juni 1907, Tiku dan dua pasukannya ditangkap oleh pasukan Belanda; ia menjadi pemimpin gerilya
terakhir yang ditangkap. Setelah beberapa hari ditahan, pada 10 Juli 1907 Tiku ditembak dan dibunuh oleh
pasukan Belanda di dekat Sungai Sa'dan; beberapa laporan menyatakan bahwa ia sedang mandi pada waktu itu.
Ia dikubur di peristirahatan keluarganya di Tondol, meskipun sepupunya Tandibua' menjadi penguasa asli
Pangala', ia menjabat dibawah kepemimpinan Belanda.

EMMY SAELAN.

Emmy Saelan, demikian ia dikenal, seorang pejuang perempuan dari Sulawesi yang gugur di medan perjuangan di
kasi-kasi dekat kota Makasar pada tahun 1947. Sejak muda, Emmy Saelan tak sudi bekerja sama dengan Belanda.
Ia pun turut berkiprah dalam pemogokan “Stella Marris” sebagai protes terhadap penangkapan Dr. Sam
Ratulangi. Emmy sendiri dilahirkan di Makasar, pada 15 Oktober 1924 sebagai putri sulung dari 7 bersaudara.
Ayahnya, Amin Saelan adalah tokoh pergerakan Taman Siswa di Makasar dan penasihat organisasi pemuda.

Suatu kali, pernah ia berkesempatan menggunakan posisinya sebagai perawat untuk melepaskan para pejuang
yang ditawan Belanda. Sebuah tindakan yang berbahaya namun ketakutan pun diterobosnya agar para pejuang
tersebut bebas. Pada bulan Juli 1946, ia menggabungkan diri dengan pasukan Laskar Pemberontak Rakyat
Indonesia Sulawesi atau LAPRIS di bawah pimpinan Ranggong Daeng Romo yang meneruskan perjuangan gerilya
di hutan-hutan. Mana kala satuan-satuan Belanda menyerang kasi-kasi, Emmy Saelan turut melemparkan granat
ke arah Belanda yang hendak menangkapnya. Alhasil delapan Belanda tewas dan 1 pejuang tewas. 1 pejuang itu
adalah Emmy Saelan sendiri. Emmy adalah salah satu pejuang muda lulusan sekolah SMP Nasional di Kota
Makasar. Didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Makassar yang tidak bersepakat dengan rencana
dibukanya sekolah NICA. Guru-guru yang mengajar di kala itu adalah para tokoh republik. Sekolah ini hingga
sekarang masih berdiri di Jl. Dr. Sam Ratulangi Makasar. Sekolah ini sendiri telah banyak melahirkan tokoh
pejuang republik yang terletak di sekitar belakang stadion Mattoanging.

Di saat agresi militer ke dua Belanda terjadi, para pelahar sekolah tersebut membentuk laskar perjuangan dan
bergerilya. Laskar perjuangan tersebut diberi nama Harimau Indonesia. Laskar pejuang tersebut dikepalai oleh
Robert Wolter Monginsidi dengan anggota Emmy Saelan, dan Maulwi Saelan yang adalah adik Emmy Saelan.
Maulwi Saelan inilah yang kemudian dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan mantan kiper SPSI. Adik
Emmy Saelan yang lain, yaitu Elly Saelan yang kemudian dikenal dengan nama Elly Yusuf, istri Jendral M. Yusuf,
mantan Menhankam Pangab. Aksi laskar perjuangan Harimau Indonesia tidak main-main, dari menembak hingga
melempar granat ke rumah-rumah pembesar Belanda. Karena gerah dengan aksi-aksi laskar pejuang ini, Belanda
pun mendatangkan Kapten Weterling yang terkenal kejam.

Kedatangan Kapten Wasterling ke Makasar memmpersempit ruang gerak kaum muda pejuang di SMP Nasional.
Penangkapan pun dilakukan secara besar-besaran. Sebelum kehadiran Westerling, proses belajar mengajar
berlangsung dengan baik namun kedatangan Westerling membuat sekolah itu terpaksa ditutup.

Di laskar Harimau Indonesia, Emmy berperan memimpin laskar perempuan yang sekaligus juga bertugas di palang
merah. Kulitnya yang putih membuat dia mendapat nama sandi "Daéng Kébo’. Daeng adalah panggilan sapaan di
Makasar yang berarti “Kak”. Emmy lah yang menentukan aturan penggunaan sandi untuk mengenal sesama
pejuang. Misal, bila ia memegang rambut dan orang yang dijumpai juga memegang rambut, maka berarti orang
itu adalah sesama teman pejuang. Mantan komandan pasukan perempuan Makasar, Sri Mulyati juga
mengisahkan bahwa Emmy Saelan adalah seorang yang hali menggunakan sandi.

Menjadi laskar pejuang di usia teramat muda benar-benar membutuhkan keberanian besar. Mana kala di usia
remaja kita lebih senang berjalan-jalan dan bersenda gurau. Sosok Emmy Saelan justru bergabung dengan
perjuangan yang penuh mara bahaya. Berterimakasihlah kita kepada para pejuang yang mengorbankan masa
mudanya untuk kemerdekaan dari penjajah yang kini bisa kita rasai. Kisah perjuangan Emmy Saelan akan kita
lanjutkan kembali, masih bersama saya Dias, setelah tembang manis yang satu ini. (lagu dan iklan)

Bersiap menghadapi Belanda, Laskar Pejuang Harimau Indonesia kemudian mempersiapkan sebuah operasi
melawan Belanda. Kala itu, menurut kisah Maulwi Saelan, adik dari Emmy Saelan, ia ditugaskan menjemput
Emmy yang masih berada di Polombangkeng. Keberadaan Emmy sangat penting sebagai pimpinan Palang Merah
untuk menyertai gerakan operasi. Namun, ternyata Emmy tidak sabar menunggu jemputan dan mendahului turun
ke Makasaar untuk bergabung dengan pasukan Harimau Indonesia. Sehingga ketika tiba di Polombangkeng,
Maulwi tidak bersua dengan sang kakak dan sempat tinggal beberapa hari di Polombangkeng, baru kemudian
turun ke Makasar. Sesampainya di Makasar, ia mendapati pasukan Harimau Indonesia sedang bersiap hendak
meluaskan operasi ke utara yaitu Pankajene dan Tanete Baru. Di sinilah, Maulwi sempat bertemu dengan Emmy
namun Emmy tidak turut ke utara. Kala itu, 23 Januari 1947, Emmy memimpin 40 orang bertempur di Kampung
Kasi Kasi. Dari 40 orang yang dipimpin oleh Emmy, hanya 1 regu yang bersenjata api, lainnya masih menggunakan
senjata tradisional Pertempuran itu sendiri dikoordinasikan oleh Wolter Monginsidi yang sedang berada di
Kampung Tidung. Emmy dan rombongan terkepung oleh pasukan tank Belanda dan dihujani tembakan, sehingga
saat itu Monginsidi pun memerintahkan anak buahnya supaya mundur, termasuk Emmy Saelan, meski Monginsidi
terletak di tempat terpisah. Dikisahkan, Monginsidi memerintahkan Emmy untuk mundur ke Kasi-Kasi setelah
musuh semakin gencar menyerang dengan tank-tank, padahal Emmy juga sedang membawa korban-korban luka.
Emmy pun memimpin rombongannya untuk mundur, namun apa mau dikata, itu sudah terlambat. Emmy semakin
terdesak dan terkepung. Tentara Belanda memerintahkannya untuk menyerah, apalagi semua teman Emmy
sudah tewas tertembak kecuali Emmy sendiri. Emmy tak peduli dengan perintah Belanda, untuk terakhir kalinya,
Emmy melemparkan granat ke tengah-tengah tentara Belanda, sejumlah tentara Belanda tewas terbunuh,
termasuk Emmy sendiri. Jenazah Emmy lalu dikuburkan oleh Belanda saat itu juga di lokasi pertempuran. Namun,
Emmy beserta lima kawannya yang gugur dikuburkan di tempat terpisah. Lima orang lainnya dikubur dalam satu
lubang di Kasi- Kasi. Serdadu-serdadu KNIL sendiri sebelumnya tidak mengetahui bahwa yang meledakkan granat
ke arah mereka adalah Emmy Saelan, seoran perempuan yang sedang mereka kejar. Mereka tidak menyadarinya
karena Emmy mengenakan pakaian lelaki dengan celana panjang. Setelah mengetahui bahwa yang tewas itu
adalah Emmy, para sedadu KNIL bersorak gembira.
Wolter Monginsidi yang kemudian mendapat kabar bahwa Emmy gugur di medan pertempuran pun seakan tidak
percaya. Sore itu, 23 Januari 1947, kabar tewasnya Emmy dirasakan sebagai pukulan keras bagi Wolter
Monginsidi. Karena itulah, Wolter Monginsidi memerintahkan agar segera dilakukan serangan balasan untuk
menghancurkan musuh. Keputusan itu sebenarnya tidak tepat, karena situasi medan sangat tidak
menguntungkan. Namun setelah diperingatkan oleh teman-teman seperjuangannya, Wolter Monginsidi akhirnya
berubah pikiran.

Tgl 23 Januari 1947 pun segera diumumkan sebagai hari berkabung seluruh pasukan dalam lingkungan operasi III
yang dipimpin oleh Wolter, karena hari itulah gugurnya seorang perempuan pejuang tanpa kenal takut
memimpiin pasukannya bertempur.

Seusai situasi di Makasar pulih, kuburannya digali kembali. Pihak keluarga masih bisa mengenali jenazahnya dari
konde dan giginya yang cacat. Dari kemeja dan celana panjangnya yang lusuh tercabik, baju yang kerap ia kenakan
kala bergerilya. Tewasnya Emmy Saelan membuat seluruh keluarga terpukul. Rumah yang terletak di Jalan Ali
Malaka 20, Makasar pun dirundung duka. Rumah tersebut terletak sekitar 2 km dari Pantai Losari, yang terkenal
keindahannya. Amin Saelan, sang tuan rumah tak henti-hentinya melantunkan doa bagi sang anak. Amin Saelan
adalah seorang tokoh pejuang dan tokoh Taman Siswa Makasar. Dari pengalamannya sebagai pejuanglah, Emmy
Saelan mendapatkan elan semangat juang. Amin Saelan di jalan revolusi juga merupakan penasihat organisasi
Pemuda Nasional Indonesia di Makasar yang diketuai oleh Manai Sophiaan (ayah dari aktor Sophan Sophiaan).

Perjuangan Emmy Saelan pun dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional. Jasanya diabadikan dalam bentuk
monumen dan nama jalan. Setelah tembang manis satu ini, kita akan melangkah menyusuri berbagai peninggalan
jejak perjuangan Emmy Saelan. Masih bersama saya Memey, kita dengarkan dulu yuk tembang satu ini. (Lagu dan
iklan) Jenazah Emmy Saelan kemudian dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang. Disana ia dimakamkan
sebagai pahlawan yang gugur di medan juang. Emmy dinyatakan sebagai pahlawan nasional sebagaimana tertulis
di Taman Makam Pahlawan itu.

Pengabadian nama Emmy Zaelan Untuk mengenang kepahlawanannya, jalan yang sering dilalui Emmy ketika
bergerilya diabadikan sebagai nama Jalan Jalan Emmy Saelan ini terletak di Jalan Sam Ratulangi Makasar. Bahkan,
pernah diusulkan untuk membangun patung Emmy. Namun usul itu ditolak keluarga karena dianggap
bertentangan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai gantinya, lokasi tempat Emmy gugur juga dibadikan
dengan dibangunnya Monumen Emmy Saelan. Monumen ini terletak di kota Makasar di Jalan Toddopuli. Namun
sayang, kondisi monumen tersebut sekarang tidak terawat. Seperti gambar Garuda Pancasila yang telah rusak dan
ditumbuhi banyak rumput liar.Monumen Emmy Saelan terletak di Jl. Hertasning Timur, yang bertuliskan
“Monumen Maha Putera Emmy Saelan”. Awalnya monumen ini dibangun lengkap dengan taman berisi
permainan anak. Pada tahun 1985, Menko Polkam Sudomo meresmikan monumen ini. Bentuk monumen
tersebut runcing di bagian atasnya, dan terdiri dari tiga pilar asimetris. Di tempat inilah, Emmy bersama pejuang
lainnya termasuk Wolter Robert Monginsidi melakukan aksi long march menju Polongbangkeng, di daerah Gowa
–Takalar. Emmy Saelan akhirnya tewas.
Sayang, keramik di monumen itu kotor dan rusak. Menunjukkan bahwa monumen ini tidak dirawat dengan baik.
Padahal tempat bersejarah ini adalah warisan kekayaan yang patut dilestarikan. Di tempat inilah Emmy Saelan
gugur melawan serdadu Belanda. Monumen ini penting untuk mengingat sejarah kita sendiri sebagai bangsa.

Pajonga Daeng Ngalie Karaeng Polongbangkeng


Pajonga Daeng Ngalle (lahir di Takalar, Sulawesi Selatan, 1901; meninggal dunia di Takalar, Sulawesi Selatan, 23
Februari 1958) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia dan juga seorang Karaeng (kepala
pemerintahan distrik) Polongbangkeng pada tahun 1934.

Pada bulan Oktober 1945 bersama bangsawan lain seperti : (Andi Mappayuki) Bone, Andi Jemma dari Lawu, Andi
Bau Massape (Sup pare-pare) Andi Pengeran Pellarani mengikuti konprensi raja-raja se-Sulawesi Selatan di Yogya,
konprensi merumuskan satu resolusi mendukung pemerintah RI di Sulawesi sebagai satu-satunya pemerintah
yang sah dibawah Gubernur Ratulangi. Raja Pajonga Daeng Ngalie mengumumkan polombangkeng sebagai
wilayah De Fakto Negara RI, hal ini menunjukan Karaeng Pajonga sebagai seorang nasionalis.

Menghadapi pemerintah Belanda yang ingin mengembalikan pemerintah jajahannya karaeng pajonga menjadikan
plombangkeng sebagai pusat gerakan menggantikan posisi makasar yang pada saat itu sudah tidak aman,
polombangkeng menjadi pusat bersatunya para tokoh pemuda perjuangan dari makassar, takalor, gowa, banteng.

Untuk mempertahankan proklamasi, Pajonga Daeng Ngalie membentuk Laskar Gerakan Muda Bajoang sebagai
wadah perjuangan bersenjata yang diketuainya sendiri. Hal ini menunjukkan beliau memiliki karakter pejuang
yang tidak mau kompromi dengan penjajah Belanda.

Pada bulan Juli 1946 ketika Van Mook melakukan Konferensi Maleno untuk membentuk negara boneka Indonesia
Timur (NIT), maka laskar lipan bajoang Pajonga Daeng Ngalle melaksanakan konferensi antar laskar se-Sulawesi
Selatan, guna menyatukan, visi strategis dan kekuatan perjuangan yang hadir 19 laskar membentuk LAPRIS
(Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) dengan panglimanya Ranggong Daeng Romo Sekretaris Jenderal
Robert Walter Monginsidi.

Perjuangan dan pengabdian Karaeng Pajonga Daeng Ngalle mengundang nilai-nilai persatuan dan berskala
nasional. Atas jasa-jasa beliau, pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahalawan Nasional dengan Keputusan
Presiden RI Nomor : 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 November 2006 dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra
Adipradana.

Anda mungkin juga menyukai