Anda di halaman 1dari 7

Ruang 6 : Ruang Indonesia Raya

1. Profil W. R. Soepratman

Wiege Rudolf Soepratman lahir di Jatinegara Jakarta, pada tanggal 9


Maret 1903. Ia adalah jurnalis pergerakan nasional yang bekerja untuk surat
kabar Kaum Muda, Kaum Kita dan Sin Po. W. R. Soepratman juge
merupakan seorang komponis yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia
Raya. la memperdengarkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kali pada
momen penutupan Kongres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1828 di gedung
Indansische Clubgebouw Kemudian WR. Soepratman merilis partitur dan lirik
lagu Indonesia Raya melalui surat kabar Sin Po atas perkenan bagian redaksi
yang dipimpin oleh Kwee Kek Beng dan Ang Yen Goan.
Untuk menghormati jasa-jasanya, pada 17 Agustus 1900 Pamerintah
Republik Indonesia memberikan anugerah Bintang Mahaputra Anumerta III
kepada WR. Soepratman. Setelah itu, melalui Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No.16/SK/1971 tanggal 20 Mei 1971, W.R. Soepratman
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Selanjutnya, dikeluarkan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.017/TK/Tahun 1974 tanggal 19
Juni 1974 yang berisi penganugrahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra
Utama kepada Almarhum W.R. Soepratman.
2. Biola W.R. Soepratman

Biola ini dipergunakan oleh W.R. Supratman saat memperdengarkan lagu


"Indonesia Raya" untuk pertama kalinya pada malam penutupan Kongres
Pemuda Kedua, 28 Oktober 1928 di gedung Indonesische Clubgebouw,
Kramat 106, Weltevreden, (Batavia). Biola ini termasuk model amatus,
berukuran 4/4 atau standar, dengan panjang badan 36 cm, lebar badan pada
bagian terlebar 20 cm, dan 11 cm pada bagian tersempit. Tebal tepian biola
4,1 cm dan tebal bagian tengah 6 cm. Pada bagian badan terdapat dua lubang
di sisi kanan dan sisi kiri berbentuk "S" terbalik yang disebut "f hole". Adapun
fungsi lubang tersebut adalah untuk membuang gema dari dalam.
3. Panitia lagu Indonesia Raya tahun 1944

Pada masa awal pendudukan jepang, lagu Indonesia Raya dilarang


dimainkan. Ketika Jepang pertama kali kalah deri sekutu pada 144, tentara
Jepang berusaha merebut hati rakyat Indonesia dengan mengizinkan lagu
Indonesia Raya dikumandangkan. Hal ini dimanfaatkan oleh Ir. Soekarno
untuk membentuk panitia lagu Indonesia Raya. Panitia ini diketuai oleh Ir.
Soekarno dengan beranggotakan K.H. Dewantara, Achiar Bintang Soedibio,
Darmawidjaja, Koesbini, KH. M Mansjoer, Mr. Sastramoeljono, Sanoesi
Pane. Simandjoentak, Mr. A. Soebardjo, Mr. Oetojo, dan Mr. M. Yamin.
Perubahan lirik yang dibuat oleh Tim Lagu 1944, menyempurnakan syair
yang dibuat oleh W.R. Soepratman. Seloka pertama merupakan seloka
pembuka, berisi tentang perasaan luhur terhadap nenek moyang negara
Indonesia merdeka seperti “Tumpah darah, jiwa, dan badan rakyat” yang
merupakan Tujuan akhir dari seluruh bangsa. Dalam seloka kedua,
dimaksudkan untuk mengajak berdoa dan bersyukur terhadap Indonesia
sebagai pusaka yang gturun temurun diwariskan oleh nenek moyang.
Sementara seloka ketiga merupakan sumpah perjuangan bangsa Indonesia.
Hasil dari Panitia lagu 1944 dilaporkan pada 8 September 1944 dengan
keputusan sebagai berikut:
1. Apabila Indonesia Raya dilantunkan satu stanza, maka bagian ulangan
harus dinyanyikan dua kali; Apabila dilantunkan tiga stanza, ulangannya
dilantunkan satu kali, kecuuali pada stanza ketiga, ulangannya dilantunkan
dua kali;
2. Ketika menaikan bendera merah putih, Indonesia Raya harus
diperdengarkan dengan kecepatan 104 mm.
Lagu Indonesia Raya pertama kali dinyanyikan

Dalam Kongres Pemuda II di Batavia pada 28 Oktober 1928, untuk


pertama kalinya lagu "Indonesia Raya" diperdengarkan ke khalayak.
Gayung bersambut. Lagu tersebut mendapat sambutan hangat. Sugondo, yang
waktu itu memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, awalnya
mengizinkan Supratman membawakan lagu tersebut pada jam istirahat.
Namun, ketika Sugondo membaca lebih teliti lirik lagu itu, ia menjadi ragu.
Ia takut pemerintah memboikot acara Kongres. Akhirnya Sugondo
meminta Supratman membawakan lagu tersebut dengan instrumen biola saja.
Ketika jam istirahat tiba, Supratman maju, membawakan lagu 'Indonesia
Raya' versi instumental. Semua peserta kongres tercengang.
Mereka terharu mendengar gesekan biolanya. Itulah kali pertama lagu
'Indonesia Raya' berkumandang. Wage Rudolf Soepratman memainkan lagu
ciptaannya itu di depan peserta kongres dengan gesekan biolanya yang
mendayu-dayu. Setelah selesai memainkan "Indonesia Raya" -yang kelak
menjadi lagu kebangsaan Indonesia- para hadirin meminta agar lagu tersebut
dinyanyikan. Setelah melalui diskusi, akhirnya "Indonesia Raya" dinyanyikan
dengan sedikit perubahan lirik demi keamanan karena kongres diawasi oleh
aparat kolonial Hindia Belanda.
Kata “merdeka” dalam lirik lagu itu dihilangkan dan diganti dengan kata
“mulia. Adapun orang yang pertama kali melantunkan lagu "Indonesia Raya"
dalam Kongres Pemuda II itu adalah Dolly Salim yang tidak lain merupakan
putri kesayangan Haji Agus Salim. Lagu itu kembali berkumandang di akhir
bulan Desember 1928 saat pembubaran panitia kongres kedua. Pada
kesempatan itu, untuk kali pertama, lagu tersebut dinyanyikan dengan iringan
paduan suara. Ketiga kalinya, lagu 'Indonesia Raya' dinyanyikan saat
pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1929.
Para peserta berdiri dan bernyanyi mengikuti kur dan iringan biola
Supratman sebagai tanda penghormatan kepada Indonesia Raya. Lagu
'Indonesia Raya' semakin populer. Ini membuat resah pihak Belanda. Mereka
takut jika lagu tersebut mampu membangkitkan semangat kemerdekaan.
Karena itu, pada 1930, lagu itu dilarang dan tak boleh dinyanyikan dalam
kesempatan apa pun, Alasan pemerintah kolonial: lagu tersebut dapat
"mengganggu ketertiban dan keamanan."
Selaku pencipta, Supratman tak luput dari ancaman. Ia sempat ditahan
dan diinterogasi soal maksud lirik “merdeka, merdeka, merdeka”. Tetapi
kekangan itu cuma sebentar. Setelah diprotes dari pelbagai kalangan,
pemerintah Hindia Belanda mencabutnya dengan syarat hanya boleh
dinyanyikan di ruang tertutup. Supratman kemudian menciptakan lagu
"Matahari Terbit". Lagu ini membuatnya kembali merasakan tahanan
pemerintah Hindia Belanda. Otoritas kolonial menafsirkan bahwa Supratman
ikut memuji Dai Nippon.
Berkat bantuan van Eldik, Supratman dibebaskan dari tuduhan tersebut.
Keluar dari masa tahanan, Supratman jatuh sakit. Di masa itu ia berkenalan
akrab dengan kakak iparnya, Oerip Kasansengari. Supratman berkata, “Mas,
nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia
Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya sudah beramal,
berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti
merdeka.”
Pada 17 Agustus 1938, Supratman tutup usia setelah jatuh sakit.
Jenazahnya dimakamkan di Kuburan Umum di Jalan Kejeran Surabaya,
dengan jumlah pelayat tak lebih dari 40 orang. Supratman telah tiada. Tapi
fobia terhadap lagu 'Indonesia Raya' tak kunjung reda. Maka, ketika Jepang
menduduki kawasan Hindia Belanda pada Maret 1942, lagu tersebut kembali
dilarang. Lagu itu baru bebas dicekal di ambang kejatuhan pendudukan
Jepang pada medio 1945. Lagu 'Indonesia Raya' kembali bergema setelah
Sukarno membacakan teks Proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Sebagai bentuk penghormatan, pada 16 November 1948, dibentuklah Panitia
Indonesia Raya.
Hasilnya adalah Peraturan Pemerintah RI tentang Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya pada 26 Juni 1958. Peraturan yang berisikan 6 bab ini
mengatur tata tertib dalam penggunaan lagu 'Indonesia Raya' dilengkapi pasal-
pasal penjelasan. Tentang penting dan nilai luhur 'Indonesia Raya', Presiden
Sukarno pernah mengatakan: “... Setia kepada Indonesia Raya, setia kepada
lagu Indonesia Raya yang telah kita ikrarkan bukan saja menjadi lagu
perjuangan, tetapi menjadi lagu kebangsaan. Bukan saja lagu kebangsaan,
tetapi pula menjadi lagu Negara kita. Permintaan batin kita ialah Allah S.W.T.
menjadikan lagu Indonesia menjadi lagu Kebangsaan, lagu bangsa kita sampai
akhir zaman pula. Jangan ada sesuatu golongan memilih lagu baru,
setialah kepada lagu Indonesia Raya, setialah kepada Pancasila.”
Sumber: https://tirto.id/sejarah-lirik-lagu-indonesia-raya-dalam-hari-sumpah-
pemuda-ekvL

Anda mungkin juga menyukai