Anda di halaman 1dari 8

RESUME TUGAS MATA KULIAH PANCASILA

Resume ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila

Dosen Pengampu : Dhoni Fajar Fauzi, SH., M.H.

Disusun oleh : Kelompok 3 MBS 1 C

1. Sinta Nila Duriyatun H. (215211091)

2. Selly Pramudita (215211092)

3. Friska Aisyah Bella (215211097)

4. Erika Aurora (215211109)

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA 2021


TIGA TOKOH PANITIA 8 YANG TIDAK DIIKUTSERTAKAN DALAM PANITIA
SEMBILAN

1. Otto Iskandar Dinata


Otto Iskandar Dinata lahir di Bojongsoang, Dayeuhkolot, Bandung pada tanggal 31
Maret 1879. Ayah Otto Iskandar Dinata bernama Nataatmaja. Setelah melakukan rukun islam
yang ke lima (naik haji) namanya diubah menjadi Raden Haji Adam Rachmat dan menjabat
sebagai kepala Desa Bojong Soang. Ibunya bernama Nyi Raden Siti Hatijah.1
Saudara Otto Iskandar Dinata ada dua orang, yaitu Ating Atmadinata dan Pandu
Prawiradinata. Otto sendiri adalah anak ke tiga. Diwaktu masih kecil Otto Iskandar Dinatas
sangat disayangi tetapi ia tidak bersikap manja dan kolokan.2
Dalam buku ini menyebutkan bahwa Otto Iskandar Dinata adalah anak ketiga dari
delapan bersaudara.3 Keluarga Otto Iskandar Dinata ini termasuk keluarga bangsawa, tetapi ia
sendiri tak pernah angkuh dan sombong. Ia tidak pernah memilih teman dalam bermain. Ia
menganggap semua teman-temannya itu sama.
Setelah Otto Iskandar dinata berumur 7 tahun, ayahnya memasukkannya di HIS yang
terletak di Bandung. HIS itu suatu sekolah dasar pada jaman Hindia Belanda, Otto Iskandar
Dinata termasuk anak yang pintar, tetapi ia tidak mementingkan dirinya sendiri saja. Otto
memberi bimbingan kepada teman-temannya yang tidak begitu pandai.
Otto Iskandar Dinata belajar dengan giat disekolah, Otto Iskandar Dinata juga pandai
menabuh gamelan dan menari Sunda, kebudayaan daerah juga perlu dipelajari karena
merupakan dari kebudayaan Indonesia. Dengan mempelajari kebudayaan daerah dengan baik
dan sempurna, maka dapat mengembangkan dan memupuk kebudayaan nasional Indonesia,
kebudayaan nasional Indonesia itu sendiri merupakan gabungan dari kebudayaan-kebudayaan
daerah.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar Otto Iskandar Dinata melanjutkan ke sekolah
guru di Bandung pada tahun 1917. Sekolah guru menjadi pilihannya kerena menurutnya
menjadi guru itu mulia. Pada tahun 1920 Otto lulus dari sekolah guru. Mula-mula Otto
ditugaskan sebagai guru sekolah sekolah dasar di Banjarnegara. Hubungan dengan guru-guru
HIS di Banjarnegara berjalan baik. Beliau pandai bergaul dan memikat hati orang lain dengan
menanamkan rasa kebersamaan diantara sesama rekannya.
Pada tahun 1924 Otto Iskandar Dinata di pindahkan ke Pekalongan, Jawa Tengah.4
Kemudian pada tahun 1928 Otto Iskandar Dinata dipindahkan ke Jakarta. Sejak itu perhatian
itu betul-betul tercurah ke lapangan politik.
Otto Iskandar Dinata memiliki banyak organisasi baik semasa perjuangan menentang
kolonial Belanda ataupun sesudah Indonesia merdeka tahun 1945. Kegiatan di bidang politik

1
Sutrisno Kutojo, Riwayat hidup Dan Perjuangan Otto Iskandar Dinata, (Jakarta : mutiara, 1974) p.5
2
Sutrisno Kutojo, Riwayat hidup Dan Perjuangan Otto Iskandar Dinata, (Jakarta : mutiara, 1974) p.10
3
Sutrisno Kutojo, Riwayat hidup Dan Perjuangan Otto Iskandar Dinata, (Jakarta : mutiara, 1974) p.5
4
Sutrisno Kutojo, Riwayat hidup Dan Perjuangan Otto Iskandar Dinata, (Jakarta : mutiara, 1974) p.48
itulah yang membawa Otto menjadi salah seorang pemimpin pergerakan nasional daripada
seorang guru.
Mula-mula Otto aktif di organisasi Budi Utomo diBanjarnegara, pekalongan dan
bandung ditingkat pengurus cabang. Budi Utomo atau sebuah organisasi sosial yang didirikan
oleh para siswa STOVIA (School Tot Opleiding ) Voor Incandsche Artsen, sekolah dokter
untuk pribumi di Jakarta Tanggal 20 Mei 1908, Organisasi yang beorientasi etnis dan
kebudayaan Jawa ini untuk pertama kalinya oleh Soetomo, siswa STOVIA, tetepi kemudian
menjadi organisasi kalangan Madya.
Otto Iskandar Dinata sadar dan yakin bahwa Indonesia pasti akan merdeka, dan oleh
karena itu Otto mendesak kepada pemerintah Hindia-Belanda supaya dibentuk milisi atau
wajib militer di kalangan bangsa Indonesia. Pendapat Otto Iskandar Dinata ini tolak oleh
pemerintah Hindia-Belanda karena mereka khawatir dan was-was terhadap usulan Otto.
Tanggal 13-14 September 1941 di Yogyakarta diadakan konverensi GAPI, konverensi ini
dihadiri oleh pemimpin-pemimpin terkemuka waktu diantaranya : Abi Kuno, Soekarjo
Wiryopranata, Otto Iskandar dinata, Mr. Satono dan I.Y Kasisno yang kemudian dibentuklah
suatu parlemen Tar diluar Volksraad yaitu Majlis Rakyat Indonesia. Badan ini didirikan pada
Tanggal 14 Desember 1941 Otto Iskandar Dinata duduk dalam majlis ini sebagai wakil
GAPI.
Badan ini di anggap sebagai “Badan Perwakilan Rakyat Indonesia”. Namun
pemerintah belanda tidak mengakui badan ini secara resmi namun mereka tidak dapat berbuat
apa-apa Belanda sedang sibuk menghadapi musuh yang lebih besar di Eropa yakni Nazi
Jerman dan Asia Jepang telah siap menyerang hingga akhirnya pemerintah Hindia-Belanda
mulai memperhatikan tuntutan pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia, dan pendapat Otto
Iskandar Dinata mulai dibenarkan dan siap berniat mengadakan milisi di indonedia, jepang
telah siap-siap menyerebu Indonesia.Tatkala semua organisasi dibubarkan oleh penguasa
penduduk Jepang pada waktu itu Otto terpilih menjadi anggota Volkasraad (Dewan Rakyat)
yang mewakili Paguyuban Pasundan. Dewan rakyat kira-kira sama DPR sekarang, pada
waktu itu anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda, Indonesia, Arab, Cina, ketua
Volkasaad adalah orang Belanda, sedangkan dewan perwakilan rakyat sekarang seluruhnya
terdiri dari orang-orang Indonesia. Suara Paguyuban Pasundan dalam Volksraad makin keras
terdengar. Otto Iskandar Dinata tetap berani menentang kekuasaaan Hindia-Belanda, Otto
mengecam peraturan-peratuan yang merugikan bangsa Indonesia (PPKI).
PPKI ialah satu gabungan dari perkumpulan perkumpulan politik Indonesia
yang bertujuan menghimpun kekuatan yang cita-citanya ialah bersama mencapai Indonesia
merdeka. Otto menyadari betapa pentingnya suatu alat untuk menyebar luaskan cita-cita
perjuangan itulah sebabnya pada tahun1931 diterbitkan dibandung suatu warta harian
berbahasa sunda yang bernama “Sifatahunan” surat kabar ini sering kali mengecam hal-hal
yang tidak baik, manual kepincangan, pemerintah hindia belanda dan juga berguna bagi
kemajuan rakyat dalam bidang ekonomi, pertanian, dan pendidikan.5

5
Sutrisno Kutojo, Riwayat hidup Dan Perjuangan Otto Iskandar Dinata, (Jakarta : mutiara, 1974) p.42
2. Mas Sutardjo Kertohadikusumo 

Mas Sutardjo Kertohadikusumo (22 Oktober 1892 – 20 Desember 1976) adalah


gubernur pertama Jawa Barat. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu
menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, tetapi ia tidak
berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini
diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten
Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap
kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga
sebagai Ketua DPA.

Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo lahir di Desa Kunduran, sebuah desa yang berada
Blora, 22 Oktober 1890. Ayahnya bernama Mas Kartoredjo adalah wedana Bancar,
Kabupaten Tuban, keturunan keluarga pemerintahan dari Madura. Sedangkan ibunya
bernama Mas Ayu Kartoredjo keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.6

Soetardjo mengawali pendidikan formalnya dari ELS (Europeesche Lagere School).


Setelah tamat dari ELS, Soetardjo melanjutkan ke Opleiding School voor Indlandsche
Ambtenaren (OSVIA, sekolah menegah pamong praja bumiputra) di Magelang.

Soetardjo mengawali karier sebagai birokrat saat menjadi hulpschriver (pembantu


juru tulis) di Rembang pada 1911. Pada tahun yang sama ia diangkat menjadi juru tulis jaksa
kemudian mantri kabupaten. Pada 1913, Soetardjo menjabat sebagai asisten wedana.

Pada 1915, ia menyandang jabatan jaksa di Rembang. Kinerja yang baik membawa
Soetardjo ke Batavia untuk sekolah di Bestuurschool antara 1919 dan 1921. Di sana, ia
memimpin redaksi kalawarta Oud Osviaan. Pada 1919, Soetardjo membuat tulisan dalam
pamflet yang berisikan keluhan dan diskriminasi yang dialami pamong praja bumiputra.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Soetardjo kembali ke Rembang hingga menjadi


wedana. Pada 1929, saat menjadi patih di Gresik, ia terlibat dalam pembentukan
Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) dan terpilih sebagai wakil ketua,
sedangkan Bupati Bandung R. A. A. Wiranatakusuma V menjadi ketuanya.

6
Setiadi Kartohadikusumo, Sutardjo: “Petisi Sutardjo” dan Perjuangannya (Jakarta: Sinar Harapan, 1990),
hlm. 125
Dari PPBB, Soetardjo melenggang ke Volksraad.7 Pada 1931, ia bertolak ke Batavia,
bertugas mewakili PPBB dan pemerintahan Jawa Timur. Dalam sidang pertama Volksraad, ia
terpilih sebagai anggota College van Gedelegeerde Volksraad atau Badan Pekerja Dewan
Rakyat. PPBB berhaluan moderat progresif dan tergolong beroposisi terhadap pemerintah

Pada 1932, Soetardjo mendukung pengajuan petisi Husni Thamrin kepada pemerintah
untuk menggunakan sebutan “orang Indonesia” mengganti kata inlander alias ‘pribumi’
dalam tata hukum, badan-badan di bawahnya, dan dokumen-dokumen resmi pemerintah.

Memasuki paruh kedua 1930, para tokoh politik seperti Soekarno, Mohammad Hatta,


dan Sutan Sjahrir diasingkan ke pelosok Hindia demi stabilitas politik. Efek depresi ekonomi
global juga menyebabkan penghematan besar-besaran oleh pemerintah kolonial yang
berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Soetardjo protes menyaksikan keadaan yang
merugikan masyarakat, seperti pengurangan gaji, pemecatan, pembatasan kesempatan
pendidikan dan kebijakan pemerintah yang bersifat mencurigai. Kebijakan pemerintah
Belanda pada saat itu menyebabkan Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari 1933.

Pada Juli 1936, Soetardjo merancang petisinya yang kemudian dikenal sebagai Petisi
Soetardjo. Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara
wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Petisi itu
akhirnya diputuskan lewat pemungutan suara. Hasilnya diterima dengan 26 suara setuju, 20
suara menolak. Keputusan Kerajaan baru diperoleh dua tahun kemudian, tepatnya pada 16
November 1938 yang mengukuhkan penolakan terhadap Petisi Soetardjo. Kerajaan
berpendapat bahwa rakyat Hindia Belanda belum matang untuk mempersiapkan sebuah
pemerintahan sendiri.

Pada masa pendudukan Jepang, 1942, Soetardjo Kartohadikoesoemo memimpin


departemen dalam negeri atau Naimubu Sanyo.8 Ia menjadi anggota badan perwakilan
bentukan Jepang, Tjhoeo Sangi-in dan anggota Poetera (Pusat Tenaga Rakyat).9

Setahun kemudian, tepatnya 10 November 1943, Soetardjo menjadi residen


(syucokan) Jakarta.10 Soetardjo acapkali berurusan dengan pejabat dari kalangan militer.
Dalam hal kebutuhan logistik pangan untuk kebutuhan perang, Daerah kekuasaan

7
Susan Abeyasekere, “The Soetardjo Petition,” Indonesia, No. 15, 1973, hlm. 81
8
Gert Mak, Abad Bapak Saya (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2009), hlm. 297
9
Rudolf Mrazek, Engineer of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni
(Jakarta: Yayasan Obor, 2006), hlm. 256
10
M. P. B. Manus, dkk, Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
Jilid 1 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), hlm. 72
keresidenan Jakarta kala itu meliputi daerah Karawang, Cikampek, Sukamandi, Tangerang,
dan Purwakarta yang terkenal sebagai gudang padi. 11

Soetardjo menyiasatinya dengan program kerja yakni politik beras. Beras tidak boleh
dikuasai seluruhnya oleh pedagang Tionghoa. Maka, di wilayah keresidenan Jakarta
dilakukan penertiban distribusi beras yang lebih mementingkan penduduk lokal.

Salah satu hal yang dilakukannya sebagai residen yaitu mengembalikan tanah
partikelir kepada rakyat untuk menghasilkan sumber pangan. Persoalan lahan terpecahkan
dengan mengadakan pembagian sawah dan tanah kering ke tiap-tiap desa yang terdaftar serta
dihitung dan ditetapkan pajaknya. Selanjutnya, produksi padi untuk rakyat dan angkatan
perang Jepang. Dengan memanfaatkan jasa seorang ahli pertanian Jepang dan seorang ahli
pertanahan lokal, Soetardjo memprakarsai gerakan menanam padi berlarik dan pembersihan
sawah. Kebutuhan pangan rakyat Jakarta dan angkatan perang Jepang dapat terpenuhi. 12

3. Ki Bagus Hadikusumo

11
Benedict R. O'G. Anderson, Java in a Time of Revolution (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1972),
hlm. 45
12
Manus, dkk., Tokoh-tokoh, hlm. 72, 158
Ki Bagus Hadikusumo lahir di Yogyakarta pada hari Senin tanggal 11 Rabi’ul-akhir
1308 H bertepatan dengan 24 November 1890, dan wafat di Yogyakarta Jumat 5 Muharam
1374 H atau 3 September 1954 dalam usia 64 tahun.13 Ki Bagus adalah putra ketiga dari lima
bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di
Kraton Yogyakarta.

Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang ulama pejuang, mubaligh, penulis buku dan
pemimpin umat yang disegani. Ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tabligh lalu Ketua Majelis
Tarjih Muhammadiyah, Wakil Ketua dan kemudian Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
periode tahun 1942 – 1953. Ki Bagus Hadikusumo aktif dalam usaha pembentukan partai
Masyumi tahun 1945 yang didirikan sebagai satu-satunya partai bagi seluruh umat Islam
Indonesia. Majelis Syura Masyumi periode pertama diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan
Wakil Ketua Ki Bagus Hadikusumo sampai tahun 1950.

Pada 1922, Ki Bagus diangkat oleh Gubernur Belanda menjadi anggota Komisi
Perbaikan Pengadilan Agama seluruh Jawa dan Madura, serta bersama Prof. Dr. Husein
Djajadiningrat ditugaskan menyusun Mahkamah Islam Tinggi. Pengurus Yayasan Badan
Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mencatat nama Ki Bagus Hadikusumo
sebagai salah satu tokoh pendiri UII.

Pada zaman Jepang, beliau diangkat menjadi anggota Tyuo Sangi In mewakili
golongan Islam bersama K.H.A. Wahid Hasjim, K.H.A. Kahar Mudzakkir, dan Abikusno
Tjokrosujoso. Ki Bagus Hadikusumo adalah salah satu di antara sedikit ulama yang berani
menentang perintah Pemerintah Dai Nippon agar melakukan Saikirei, yaitu membungkukkan
badan ke arah Istana Diraja Tenno Heika di Timur Laut sebagai simbol penghormatan kepada
Tenno Heika (Kaisar Jepang) yang dianggap keturunan dewa matahari. Selain Ki Bagus,
tokoh Muhammadiyah Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) juga menolak Saikirei
karena berlawanan dengan akidah Islam.

Peran Ki Bagus Hadikusumo dalam masa persiapan kemerdekaan Indonesia adalah


sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejak
terbentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Ki Bagus Hadikusumo menjadi
anggota KNIP mewakili Masyumi. Ki Bagus juga pernah menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Sewaktu Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Muhammadiyah
13
H. Djarnawi Hadikusuma, Dalam Derita Seorang Pemimpin: Riwayat Hidup, Perjuangan dan Buah Pikiran Ki
Bagus Hadikusumo, (Yogyakarta: PERSATUAN, 1979)
membentuk Kesatuan Laskar Angkatan Perang Sabil dengan penasihatnya yaitu Ki Bagus
Hadikusumo.

Sejarah mencatat sebelum Ir Soekarno menyampakan pidato tentang dasar negara


tanggal 1 Juni 1945, sidang BPUPKI telah mendengarkan pidato anggota BPUPKI lainnya,
salah satunya Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia
berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Al Quran dan Hadits, agar menjadi
negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ia mengingatkan sudah enam abad Islam
menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah disini, hukum
Islam sudah berlaku di Indonesia. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, sepuluh kali
menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo. Soekarno sangat segan kepada Ki Bagus walau
dalam banyak hal prinsipil keduanya berlainan pendapat dan pandangan.

Menyangkut rumusan dasar negara, sidang BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk
mencapai konsensus antara golongan Islam dan golongan kebangsaan dalam merumuskan
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam rancangan dasar negara “Pancasila”
yang diusulkan Bung Karno, prinsip Ketuhanan merupakan sila kelima. Ki Bagus
Hadikusumo-lah yang dengan gigih berdebat dengan Soekarno sampai di luar sidang hingga
Soekarno menangis di hadapan Ki Bagus. Prinsip Ketuhanan akhinya menjadi prinsip
pertama yang diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI. Mr. Muhammad Yamin
menyebutnya Piagam Jakarta. Mengutip dari Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan
fundamen Pancasila, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya.
Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahan memperoleh dasar yang
kokoh.

Anda mungkin juga menyukai