Anda di halaman 1dari 2

Mr.

Assaat
adalah pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta (27 Desember 1949
- 15 Agustus 1950). Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam
Negeri Indonesia (6 September 1950 – 27 April 1951).

Asaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat


Presiden, beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, lebih
memilih panggilan Saudara Acting Presiden yang menjadi agak
canggung pada waktu itu.

Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala
pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara
dipegang teguh. Beliau taat melaksanakan ibadah, tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Dan
adalah pemimpin yang sangat menghargai waktu, seperti juga Bung Hatta.

Pendidikan dan karir


Mr. Assaat lahir di Dusun Pincuran Landai, Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 18
September 1904. Ia belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia
keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melanjutkan studinya
ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta).

Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, dalam gerakan
pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karier
politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar "Perhimpunan Pemuda Indonesia".
Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih menjadi
Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".

Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke dalam politik "Partai Indonesia" atau
Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti: Adenan Kapau
Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dll. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui
oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti
ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia dan pergi ke
Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana Hukum.

Pada tahun 1939 Mr. Assaat kembali ke tanah air dan berpraktik sebagai advokat hingga masuknya
Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang beliau diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana
Mangga Besar di Jakarta.
Peran di KNIP dan RIS

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya (BP-KNIP) pada masa revolusi dua kali
mengadakah hijrah Karena situasi dianggap terlalu riskan, dan agar Revolusi Indonesia tetap berjalan.
Berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung
Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar
tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke Purworejo, Jawa
Tengah. Sampai saat situasi Purworejo dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke
Yogyakarta.

Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan
penulis oleh Soepeno dan beranggotakan 28 orang. Pada tanggal 14 November 1945, Sutan Syahrir
diangkat menjadi Perdana Menteri, sehingga BP-KNIP diketuai oleh Soepeno dan penulis dr. Abdul
Halim. Pada tanggal 28 Januari 1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda
pada Kabinet Hatta I, sehingga ketua adalah Mr. Assaat Datu Mudo, dan penulis tetap dr. Abdul Halim.
Sehingga tahun 1948-1949 (Desember) ia menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat). Ia terpilih menjadi ketua KNIP terakhir. Hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi
sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.

Diasingkan

19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung
Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau
Bangka.

Wafat

Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya
sering terserang sakit. Dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam penjara
"Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah
munculnya Orde Baru.

Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta
Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan
dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.

Assaat meninggal di Jakarta pada tanggal 16 Juni 1976 saat berusia umur 71 tahun, meninggalkan
seorang isteri bernama Roesiah dari Sungai Puar, Agam yang dinikahinya di Rumah Gadang Kapalo
Koto pada tanggal 12 Juni 1949 dan dua orang putra dan seorang putri.

Anda mungkin juga menyukai