Anda di halaman 1dari 6

Pangeran Muhammad Noor

Menteri Pekerjaan Umum Indonesia 13


Masa jabatan : 24 Maret 1956 – 10 Juli 1959

Informasi pribadi
Lahir : 24 Juni 1901 Martapura, Hindia Belanda
Meninggal dunia : 15 Januari 1979 (umur 77) Jakarta, Indonesia
Kebangsaan : Indonesia
Pasangan : Gusti Aminah

Setelah lulus HIS tahun 1917, ia meneruskan ke jenjang MULO dan lulus tahun
1921, lalu lulus dari HBS tahun 1923, dan pada tahun 1923 masuk Technische
Hoogeschool te Bandoeng (THS) - sekolah teknik tinggi di Bandung. Pada tahun
1927, ia berhasil meraih gelar Insinyur dalam waktu empat tahun sesuai masa studi,
setahun setelah Ir. Soekarno (presiden RI pertama) lulus sebagai insinyur dari TH
Bandung.

Pada tahun 1935-1939 ia menggantikan ayahnya Pangeran Muhammad Ali sebagai


wakil Kalimantan dalam Volksraad pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Tahun 1939, ia digantikan Mr. Tadjudin Noor dalam Volksraad.

Pangeran Muhammad Noor adalah salah satu pejuang dalam merebutan di tanah
Borneo, sekaligus menjabat Gubernur Borneo (sebelum dimekarkan menjadi beberapa
provinsi) pertama berkedudukan di Yogyakarta pada masa pemerintahan Sukarno. Ia
juga pernah menugaskan Hasan Basry dan Tjilik Riwut berjuang di Kalimantan
merebut kemerdekaan.
Ia juga merupakan tokoh pejuang yang berhasil mempersatukan pasukan pejuang
kemerdekaan di Kalimantan ke dalam basis perjuangan yang diberi nama Divisi IV
ALRI Pertahanan Kalimantan di bawah pimpinan Hassan Basry (1945-1949) dan juga
sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada periode 24 Maret 1956 - 10 Juli 1959, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno
sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Ketika menjabat Menteri Pekerjaan Umum, ia
mencanangkan sejumlah proyek, seperti Proyek Waduk Riam Kanan di Kalimantan
Selatan dan Proyek Waduk Karangkates di Jawa Timur. Selain itu, ia juga menggagas
Proyek Pasang Surut di Kalimantan dan Sumatera. Ia juga menggagas Proyek
Pengembangan Wilayah Sungai Barito yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu PLTA
Riam Kanan dan Pengerukan Muara/Ambang Sungai Barito yang dilaksanakan pada
akhir tahun 1970.

Ia menerima Anugerah Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama karena jasa


dan pengabdian pada tahun 1973.

Saadillah Mursjid

Menteri Sekretaris Negara Indonesia 5


Masa jabatan : 16 Maret 1998 – 21 Mei 1998

Sekretaris Kabinet Indonesia 4


Masa jabatan : 23 Maret 1988 – 16 Maret 1998

Informasi pribadi
Lahir : 7 September 1937 Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan
Meninggal dunia : 28 Juli 2005 (umur 67) Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Almamater : Universitas Gadjah Mada The Netherlands Economic Institute
(Rotterdam) Universitas Harvard.

Sebelum mengambil posisi menteri, lulusan Universitas Gadjah Mada, The


Netherlands Economic Institute (Rotterdam), dan Universitas Harvard ini pernah
bertugas di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada tahun 1992,
ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana. Sejak tahun 2003, ia
adalah general manager Taman Mini Indonesia Indah.[2]
Ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara ketika pengunduran diri mantan
Presiden Soeharto. Saat itu Soeharto menunjuk ia mempersiapkan naskah final
Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi dan Keputusan Presiden tentang
Pembentukan Kabinet Reformasi. Ia dikenal sebagai politisi pengikut Soeharto yang
loyal dan tetap mendampingi Soeharto di saat banyak orang berpaling dari Soeharto
pasca kejatuhannya.[3]

Dari pernikahannya dengan Halimah Ratna Mursjid, ia memperoleh tiga anak dan
enam cucu. Ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Dr. KH. Idham Chalid


Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 4
Masa jabatan : 28 Oktober 1971 – 1 Oktober 1977

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat 6


Masa jabatan : 28 Oktober 1971 – 1 Oktober 1977

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia 3


Masa jabatan : 6 Juni 1968 – 28 Maret 1973

Wakil Perdana Menteri Indonesia


Masa jabatan : 24 Maret 1956 – 9 April 1957
Menjabat bersama Mohamad Roem

Masa jabatan : 9 April 1957 – 9 Juli 1959


Menjabat bersama Johannes Leimena dan Hardi

Masa jabatan : 22 Februari 1966 – 28 Maret 1966


Menjabat bersama Soebandrio, Johannes Leimena, Chaerul Saleh dan Roeslan
Abdulgani

Masa jabatan : 28 Maret 1966 – 25 Juli 1966


Menjabat bersama Johannes Leimena, Adam Malik, Hamengkubuwono IX dan
Soeharto

Menteri Sosial Indonesia (ad-interim)


Masa jabatan : 12 Desember 1970 – 11 September 1971
[[Ketua Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia]] 7
Masa jabatan : 1978 – 1983

Informasi pribadi
Lahir : 27 Agustus 1921 Hindia Belanda
Meninggal dunia : 11 Juli 2010 (umur 88) Jakarta, Indonesia
Partai politik : Nahdlatul 'Ulama
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik
Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru, pecahan Rp.
5.000,-.

Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR ia
langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian
berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat
politik.

Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada


tahun 1922. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan,
mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan
ilmu pengetahuan umum. Kemudian Idham melanjutkan pendidikannya ke Pesantren
Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga
dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.

Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibukota,


kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat
kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa
pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab
dengan tokoh-tokoh utama NU.

Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung
ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia
Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan,
ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke
Serikat Muslim Indonesia.

Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia


Kalimantan, yang dipimpin Hasan Basry yang juga muridnya saat di Gontor. Usai
perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI
mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili
Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih
bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi
internal ke daerah-daerah.

Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat


sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan.
Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua
tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham
memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.

Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan
Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Hasbullah
berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.

Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan
Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada
pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, NU mendapat
jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU
diserahkan kepada Idham Chalid. Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan
Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU. Saat
dipercaya menjadi orang nomor satu NU ia masih berusia 34 tahun. Jabatan tersebut
dijabatya hingga tahun 1984 dan menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua
umum PBNU selama 28 tahun.

Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet


Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai
Dekret Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.

Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun
posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam Kabinet Ampera I, Kabinet
Ampera II dan Kabinet Pembangunan I yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya
menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat. Kemudian, di akhir tahun 1970 dia juga
merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial untuk melanjutkan tugas dari mendiang
A.M. Tambunan yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970 sampai dengan
terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I
pada tahun 1973.

Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses


dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi
hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP dan NU tergabung di dalam PPP.

Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga
terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang
diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Dalam bidang pendidikan, Idham mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama/


UNNU (Sekarang Universitas Islam Nusantara) pada 30 November 1950 bersama
K.H Subhan Z.E. (Alm.), K.H. Achsien (Alm.), K.H. Habib Utsman Al-Aydarus
(Alm.), dan lain-lain dengan K.H.E.Z Muttaqien (Alm.).

Anda mungkin juga menyukai