Anda di halaman 1dari 15

1

Hidup dan Pemikiran Soedjatmoko

Soedjatmoko, seperti pengakuan George McT. Kahin1, adalah salah seorang


intelektual terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia.2 Ia adalah pemuda yang bergejolak
di masa prarevolusi, sangat kritis pada era Soekarno, serta pemikir yang cukup
diperhitungkan pada masa Orde Baru, meski gayanya saat itu berubah menjadi konformis
dan pragmatis.

Riwayat Hidup
Dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat, Koko (panggilan Soedjatmoko)
lahir di Sawahlunto 10 Januari 1922, saat ayahnya dr. Saleh Mangoendiningrat bertugas
sebagai dokter di sana. Ayah dan ibunya, Isnadikin, sama-sama terlahir dari keluarga
bangsawan Jawa dan karenanya mempunyai keistimewaan dalam hal pendidikan.
Saat umurnya 5 tahun ia berangkat ke Belanda mengikuti sang ayah yang
melanjutkan studi kedokterannya dalam spesialisasi bedah di sana. Karena itulah Koko
dapat dengan fasih berbicara bahasa Belanda. Saat ia menginjak kelas 3 sekolah dasar,
Koko dan keluarganya kembali ke Hindia, tepatnya tempat ayahnya bertugas di Menado,
Sulawesi Utara. Koko melanjutkan sekolahnya di sebuah sekolah Belanda di sana sampai
menyelesaikan kelas 6. Kemudian, ayahnya ditugaskan di Surabaya dan di sana ia
kembali menyelesaikan kelas 7 di sebuah sekolah Belanda.
Kemudian, pada usia 14, Saleh, ayah Koko, berkata ia akan menjamin pendidikan
yang berkualitas bagi Koko, namun takkan meninggalkan warisan. Karenanya Koko tidak
menjalani sekolah lanjutan yang umum, melainkan ke sebuah Gimnasium baru di

1
George McT. Kahin (1918-2000), pakar Asia Tenggara ternama dari Universitas Cornell, Amerika
Serikat. Selain sebagai akademisi yang otoritatif dengan buku-buku yang ditulisnya, ia juga dikenal sangat
kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara Asia Tenggara. Saat perang
Vietnam, misalnya, ia aktif mempromosikan anti-Perang Vietnam. Pemerintah Orde Baru sempat
melarangnya datang ke Indonesia karena kritisismenya, walau di sisi lain memberinya penghargaan
Bintang Jasa Pratama (1991) atas prakarsanya dalam studi tentang Indonesia di Amerika Serikat..
2
George McT. Kahin, “In Memoriam Soedjatmoko, 1922-1989,” Indonesia 49 (1999): 133,
<http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107012386>.
2

Surabaya—sekolah khusus untuk anak-anak luar biasa atau berbakat—yang menawarkan


program enam tahun dalam bidang seni dan sains, termasuk di dalamnya program empat
tahun bahasa Latin dan Yunani.
Di sekolah ini, seorang guru bahasa dan sastra, Marie Fracken, yang mengajar
Sejarah Seni Eropa, mengenalkannya pada kebudayaan Eropa di luar aspek kolonialisme
yang melekat padanya. “Dia [Marie Fracken] membuat saya menyadari bahwa ada Eropa
lain; bahwa ada wujud lainnya dalam peradaban manusia ketimbang hanya pengalaman
tipe kolonial. Saya selalu berterimakasih padanya untuk itu. Bahkan ketika ia ditahan
pada masa pendudukan Jepang, saya tetap berkomunikasi dengannya,” kata
Soedjatmoko.3
Koko lulus dari sekolah lanjutan ini tahun 1940, kemudian melanjutkan ke
sekolah kedokteran di Jakarta. Namun, pada 1943 saat Indonesia dikuasai Jepang, Koko
dikeluarkan dari sekolah dokter karena memberontak atas perintah seikerei atau
membungkuk hormat pada Kaisar Jepang. Koko juga ketahuan berhubungan dekat
dengan tokoh nonkooperasi, seperti Amir Syarifudin dan Sutan Sjahrir. Juga ada
peristiwa yang paling menentukan; Koko dan kedua temannya Subadio dan Sudarpo
kedapatan oleh Jepang menemui Soekarno, pemimpin politik nasional Indonesia yang
berkooperasi dengan Jepang. Koko dan kedua temannya menemui Soekarno untuk
menyampaikan keberatan mereka atas kooperasi Soekarno.
Karena berhenti sekolah, ia pun kembali ke rumah orangtuanya di Solo. Ayahnya
saat itu bekerja sebagai dokter Sultan Solo. Saat itu di Solo, rumah-rumah orang
Belanda—banyak di antaranya misionaris—dijarah oleh massa dengan dukungan tentara
Jepang. Dengan pedih, Soedjatmoko mengenang, “Saya berutang sebagian pendidikan
saya pada perampasan itu karena koleksi perpustakaan semuanya berakhir di pasar loak
dan saya jadi bisa membaca. Dari sini saya berkenalan dengan filsuf dan teolog Eropa
seperti Kierkegaard, Karl Jaspers, serta filsuf dan eksistensialis lain dari Jerman.”4
Selain Fracken, gurunya di masa sekolah, tentu sang ayahlah yang membimbing
intelektualitasnya; ia yang mengenalkannya pada buku-buku sejarah, filsafat dan sains.

3
The 1978 Ramon Magsaysay Award FOR International Understanding, “Biography of Soedjatmoko,”
<http://www.rmaf.org.ph/awardees/biography/biographysoedjatmoko.htm>.
4
The 1978 Ramon Magsaysay Award for International Understanding.
3

Itu semua didapatnya meski sang ayah sebetulnya lebih akrab dengan sufisme; corak
religiusitas yang kerap dianut keluarga bangsawan Jawa yang memadukan filsafat Jawa
dengan Islam.
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan
kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Sutan Sjahrir kemudian menjadi perdana menteri.
Sjahrir mengambil jalan diplomasi karena yakin bahwa Indonesia perlu pengakuan
internasional untuk benar-benar merdeka. Tentu saja deklarasi kemerdekaan bukan
berarti Indonesia sudah terbebas dari segala ancaman. Belanda kembali dengan tentara
Sekutu yang memenangi Perang Dunia II.
Jakarta dengan cepat dikuasai oleh tentara Sekutu (Inggris). Untuk mengimbangi
terbitan Belanda Het Uitzicht (Outlook), Koko bersama kawannya, Sudarpo dan Sanjoto,
diminta Perdana Menteri Sjahrir menerbitkan Het Inzicht (Insight) pada tahun 1946.
Setahun kemudian, Koko dan temannya, menggunakan modal pinjaman, menerbitkan
jurnal sosialis yang berpengaruh, Siasat. Di masa ini, Koko memutuskan untuk
menanggalkan nama belakangnya, Mangoendiningrat, dan selalu memakai hanya
Soedjatmoko saja dalam identitasnya. Ia menganggap nama yang mengandung kata
„ningrat‟ itu terdengar feodal dan tak sesuai dengan semangat zaman saat Indonesia ingin
merdeka dari segala bentuk ketidaksetaraan karena kolonialisme maupun feodalisme.
Untuk sementara, karir jurnalistiknya berhenti di tahun 1947 sampai dengan 1950,
karena Sjahrir memintanya menjadi delegasi republik sebagai pengamat pada
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia sempat diterima dan bahkan mendapat beasiswa di
Harvard's Littauer School of Public Administration, namun itu hanya berlangsung
setahun. Sebab lainnya, ia juga harus menyiapkan pergantian Duta Besar Indonesia
untuk Amerika yang tadinya ditempati Duta Besar Hindia Belanda di Washington.
Perpanjangan waktu dua bulanyang diberikan Harvard untuk menyusul ujian tengah
semester berakhir, karena kondisi di Washington mengharuskannya tinggal selama tiga
bulan. Ia kemudian harus menyiapkan bagian politik di kedutaan, selain menjadi
perwakilan tetap Indonesia di PBB yang berkantor di New York. Saat itu dia menyerah
atas studinya karena tidak mungkin bolak-balik antara Washington, New York, dan
Harvard.
4

Tahun 1951, Koko mendengar kabar bahwa di Indonesia semangat revolusi telah
menyusut, dan semakin banyak pegawai pada masa kolonial mendapat posisi yang
berpengaruh di pemerintahan. Koko ingin segera pulang ke Indonesia, tetapi ia bingung
akan posisi politiknya. Menggunakan tabungannya, ia pun memutuskan untuk melakukan
perjalanan ke Eropa untuk mempelajari dan merasakan situasi politik di sana. Perjalanan
itu membawanya pada kesadaran bahwa tidak ada satupun narasi atau ideologi dari Eropa
menyediakan jawaban komplit untuk menyelesaikan masalah negara Indonesia. Setelah
menemukan posisi untuk dirinya, bahwa ia bukanlah seorang sosialis kanan maupun kiri,
apalagi seorang komunis, ia kembali ke Indonesia pada 1952.
Ia langsung bergabung kembali dengan jurnal Siasat dan Pedoman, koran yang
juga diterbitkan oleh grup yang sama dengan Siasat. Tahun 1954 ia mendirikan
penerbitan buku bernama Pembangunan. Nama ini dapat diselaraskan dengan kritiknya
atas pemerintahan Soekarno yang terlena dengan aspek nasionalisme, namun melupakan
pembangunan. Menurut Kahin, Koko kemudian bergabung secara resmi dengan Partai
Sosialis Indonesia (PSI) pada 1955, dan tahun berikutnya menjadi anggota Dewan
Konstituante sampai 1959 mewakili PSI.
Pada 1956, Koko untuk pertama kalinya bertemu dengan Ratmini Subranti
Gandasubrata, seorang pelukis dan pengajar desain. Dua tahun kemudian, saat Koko
berusia 36, mereka bertemu lagi dan memutuskan untuk menikah. Koko dan Ratmini
mempunyai 3 putri, yakni Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, and Galuh Wandita.
Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang salah satunya
membubarkan konstituante. Pemerintahan Soekarno yang mulai 1957 berkuasa dengan
otoriter dengan judul Demokrasi Terpimpin semakin mendapat momentumnya.
Soedjatmoko sempat diminta Soekarno untuk bergabung dengan kabinetnya, dan ia
menolak. Soekarno sangat marah padanya.
Setelah Konstituante dibubarkan, Soekarno kemudian membreidel Pedoman dan
Siasat, juga membubarkan Partai Sosialis Indonesia pada 1960. Semua ini berhubungan
dengan terlibatnya beberapa tokoh teras PSI dan beberapa orang Masyumi dalam
pemberontakan PRRI/Permesta 1957-58. Salah satu yang terlibat adalah Sumitro
5

Djojohadikusumo.5 Dalam merespons pembubaran, pembreidelan, dan otoritarianisme


Soekarno, Koko mendirikan Liga Demokrat untuk mengalihkan pertalian antara
Soekarno dan PKI. Namun upayanya gagal, sehingga pada 1961-1962 Koko menerima
undangan Universitas Cornell untuk menjadi dosen tamu Southeast Asian History and
Politics.
Pada 1962 Saat Koko di Cornell, beberapa tokoh PSI dipenjara termasuk Sutan
Sjahrir yang sakit-sakitan dan izin Soekarno untuk mengobati Sjahrir di Swiss terlambat
sehingga ia meninggal di sana.6 Sumitro sendiri berhasil melarikan diri ke luar negeri.7
Koko kemudian pulang dan menemui perdana menteri saat itu, Soebandrio, menanyakan
apakah dia akan menangkap Koko juga. Namun Soebandrio menampik, “Tidak,
gelombangnya sudah berakhir.”8 Peristiwa G30S dan kematian Sjahrir memberi dampak
yang dalam bagi Soedjatmoko. Sjahrir, baginya adalah guru, teman dan kawan
seperjuangan. Dari situ, ia tidak lagi berkecimpung dalam politik praktis.
Setelah pemerintahan Soeharto, Indonesia kembali bergabung di PBB dan Koko
tahun 1966 menjadi wakil ketua delegasi Indonesia dan pada 1967 menjadi penasehat
delegasi. Sejak 1968 sampai 1971 ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika
Serikat. Ia juga berperan sebagai penasehat pribadi Adam Malik, Menteri Luar Negeri
Indonesia, dari 1967 sampai 1977. Sekembalinya dari Amerika Serikat tahun 1971, ia
menjadi penasehat Bappenas. Ia juga menjadi penasehat Lemhanas dan Wanhamkamnas
dari 1973-74. Pada 15 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka
berkunjung, pecah kerusuhan yang disebut peristiwa Malari. Beberapa tokoh PSI dituding

5
Sumitro Djojohadikusumo adalah mantan menteri keuangan, perdagangan di masa Soekarno maupun
Soeharto. Ia ayah dari Prabowo Subianto. Sumitrolah yang meminta bantuan dana pada Amerika dan
bantuan militer CIA dalam operasi PRRI. Namun tentara republik berhasil memukul mundur PRRI bahkan
helikopter Amerika yang sedianya membantu pemberontak pun jatuh.
6
Kondisi Sjahrir sebenarnya membaik setelah menjalani perawatan di Swiss. Namun kondisi Sjahrir—yang
antimiliterisme sejak awal revolusi dan selalu memilih jalan diplomasi—menurun drastis setelah melihat
berita di televisi Jerman, penyerahan surat perintah sebelas Maret (Supersemar) 1966 dari Soekarno ke
Soeharto. Tekanan darah yang amat tinggi membuatnya mengalami perdarahan otak dan meninggal 9 april
1966. Lihat Tempo Edisi Khusus 100 Tahun Sjahrir, 9-15 Maret 2009, 91.
7
Bertahun-tahun di pengasingan, Sumitro berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Kelak, saat
Soekarno jatuh dan Soeharto berkuasa, Sumitro dipanggil kembali oleh Soeharto dan menjadi menteri pada
masa orde baru.
8
The 1978 Ramon Magsaysay Award for International Understanding.
6

berada di belakang peristiwa ini, termasuk Koko yang kemudian dicekal selama 2,5 tahun
sampai 1976.
Sejak saat itu, Koko kemudian terus aktif dalam berbagai lembaga think tank
dunia yang sudah dimulainya sejak awal Orde Baru. Ia memusatkan perhatiannya kepada
masalah-masalah negara dunia ketiga sehingga pada 1978 dianugerahi Ramon
Magsaysay Award for International Understanding. Tahun 1980 sampai dengan 1987 ia
menjadi Rektor Universitas PBB di Jepang. Tahun 1987 itu ia sebenarnya menjadi calon
Direktur Jenderal Unesco, akan tetapi gagal. Setelah itu, ia pulang kembali ke Indonesia
dan mengisi waktu kepulangannya dengan ceramah-ceramah. Pada suatu hari, tepatnya
21 Desember 1989, Soedjatmoko meninggal akibat serangan jantung saat mengisi
ceramah di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Universitas Gadjah Mada.

Pemikir
Selama hidupnya, Soedjatmoko tidak pernah menyelesaikan pendidikan tinggi
formal. Ia gagal menjadi dokter karena saat pendudukan Jepang bersikap antikolaborasi
dengan Jepang sehingga dikeluarkan dari sekolah kedokteran. Di Harvard, ia kesulitan
menjalani studi karena harus mengurusi kedutaan Indonesia yang baru di Washington
serta menjadi delegasi Indonesia untuk PBB di New York, sehingga akhirnya
memutuskan keluar.
Dikeluarkan dari sekolah kedokteran, Soedjatmoko justru malah menyadari
bahwa dirinya tidak ingin menjadi dokter. Ia akhirnya membaca banyak buku filsafat
yang didapatnya dari pasar loak di Solo; buku-buku yang dijarah massa dari orang-orang
Belanda pada masa pendudukan Jepang.
Sejak itu Koko lebih terlibat pada ilmu yang memberinya wawasan tentang
manusia. Pada masa Soekarno, misalnya, ia sangat memperhatikan soal sejarah
Indonesia. Ia juga sangat kritis terhadap Demokrasi Terpimpin ala Soekarno. Kemudian,
setelah masa Orde Baru, Koko mengalihkan perhatiannya pada masalah pembangunan
negara-negara dunia ketiga. Ia juga mengkritik pembangunan yang berorientasi ekonomi
dan melupakan aspek nonekonomi.
7

Keseriusan dan keprihatinan yang mendalam atas berbagai masalah membawa


Koko menjadikannya seorang intelektual Indonesia yang terkemuka. Koko tidak
menciptakan sebuah sistem pemikiran, tidak juga ia menulis buku yang utuh dalam
sebuah disiplin ilmu tertentu. Ia bukan sejarawan, bukan sosiolog, bukan filsuf maupun
teolog, ia adalah semuanya. Banyak yang merujuknya sebagai pemikir sosial atau
intelektual saja.
Tetapi keseriusannya sulit mendapat tandingan. Ia tak hanya menjadikan luasnya
bacaannya sebagai bahan refleksi hidup, melainkan menurunkannya ke dalam praksis.
Salah satunya ia menanggalkan nama Mangoendiningrat-nya dengan alasan tak sesuai
semangat zaman saat itu. Mungkin ini salah satu sebab mengapa Goenawan Mohamad
dalam obituarinya menulis bahwa Soedjatmoko merupakan seorang teladan laku atau
dalam praksis hidup.9 Sejajar dengan cara pandang Nietzsche terhadap Sokrates yang tak
menulis sistem pemikiran, Goenawan melihat Koko bukanlah seorang tipe pemikir yang
membangun pemikiran sistematisnya dalam sebuah karya atau buku.

Tentang Sejarah Indonesia


Desember 1957, Soedjatmoko berbicara di depan 800 akademisi dan penulis pada
Seminar Sejarah Nasional di Universitas Gadjah Mada. Saat itu, sedang gencar-
gencarnya Soekarno dan Muhammad Yamin yang ingin membuat sejarah yang lahir dari
bingkai nasionalisme, sebuah versi yang sama sekali lain dari sejarah versi kolonial.
Soedjatmoko di sini mengambil sikap lain. Bagi Koko, sejarah haruslah netral, tidak
didasarkan xenophobia dan sikap defensif-agresif yang dihasilkan sikap mental bangsa
terjajah sebagai counter kolonialisme.
“[I]lmu sejarah sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan bukannya seperti
seorang abdi dan tidak dapat menjadi abdi dari suatu ideologi, selama ia setia pada
sifatnya sebagai ilmu pengetahuan dan meskipun mau tak mau ideologi politik si ahli

9
Goenawan Mohamad, “Soedjatmoko „PSI‟, Inteligensia,” dalam Mengenang Soedjatmoko. Kumpulan
Berita dan Obituari (Jakarta: LP3ES, 1990), 174.
8

sejarah dalam batas-batas tertentu, turut mempengaruhi cara dan hasil penyelidikannya
itu.”10
Menurut Kahin, Koko kuatir bahwa sejarah Indonesia yang ditulis dengan
semangat nasionalisme yang berlebihan yang menampik sejarah yang sudah ditulis secara
Eropasentris. Ia beranggapan bahwa itu akan membuat sejarah sulit dijauhkan dengan
kepentingan politik yang menggunakan sejarah sebagai alat sehingga menghalalkan
propaganda dan mitos di dalamnya. “Kupikir, aku harus berkonsentrasi dalam upaya
melindungi studi sejarah dari tuntutan nasionalisme,” tulis Koko pada Kahin.”11
Koko memperlihatkan kesungguhannya dalam studi sejarah ini dengan
memperbaiki naskahnya pada seminar dan kemudian diterbitkan dengan judul An
Approach to Indonesia’s History: Towards an Open Future oleh Cornell‟s Modern
Indonesia Project. Selanjutnya, bersama Kahin, Koko menjadi editor sekumpulan tulisan
termasuk tulisannya dalam karya klasik tentang sejarah Indonesia, yakni buku An
Introduction to Indonesian Historiography. Karya ini merupakan karya yang otoritatif di
bidangnya dan masanya.

Tentang Politik dan Titik Baliknya


Seperti dijelaskan pada bagian riwayat hidup, Koko merupakan salah seorang
tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menurut pengakuannya, ada tiga orang yang
dianggapnya mentor dalam bidang politik. Mereka adalah Amir Syarifudin, Soekarno,
dan Sutan Sjahrir.12
Hubungannya dengan Amir terjalin lebih dekat saat ia dan temannya Sudarpo
Sastrosatomo mengelola harian Independent dan mingguan Het Inzicht, di mana Amir
merupakan Menteri Penerangan pada kabinet pertama RI. Ia mendapat wawasan dari
Amir melalui perbincangan di antara keduanya. Amir merupakan seorang sosialis yang

10
Soedjatmoko, “Meluruskan Dasar Filsafat Sejarah Kebangsaan,” dalam Kebudayaan Sosialis (Jakarta:
Melibas, 2001), 46.
11
Kahin, 135.
12
Soedjatmoko, “Choices and Circumstances. The indonesian Revolution 45 Years on: Some Personal
Reflections,” dalam Cornelis A. van Minnen, ed., The Decolonization of Indonesia. International
Perspectives (Middelburg: Roosevelt Study Center, 1988), 11-2.
9

condong pada komunisme. Di kemudian hari, Amir terlibat pemberontakan PKI di


Madiun tahun 1948 sehingga ia dihukum mati.
Dengan Soekarno, Koko banyak berdiskusi tentang revolusi, mistisisme Jawa,
Marxisme, dan politik nasional serta internasional. Walaupun Koko sangat kritis terhadap
Soekarno dengan segala perbedaan pandangan mereka, hubungannya dengan Soekarno
terjalin lama dan hangat.
Sutan Sjahrir, kemudian, adalah mentor terpenting bagi Koko. Tak hanya karena
Sjahrir memimpin PSI, tapi juga menjadi kakak iparnya (Sjahrir menikahi Siti Wahjunah
atau Poppy, kakak sulung Koko). Bagi Sjahrir, seharusnya tak ada pertentangan antara
kaum revolusionis dan demokrat, seperti antara sosialis dengan humanis. Itulah mengapa
Soedjatmoko sebagai sosialis mengalir dari hulu Marxisme yang mengedepankan
materialisme menuju ke hilir sosialisme yang humanis, yang mementingkan dimensi
manusia.
Soekarno dan Sjahrir membawa Soedjatmoko pada pemahaman bahwa masalah
politik bukan sekedar kepentingan benar atau salah secara moral, melainkan juga strategi.
Pada kasus Soekarno, misalnya, Koko mengecam Soekarno karena berkolaborasi atau
mempercayai Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno yakin Jepang
akan memenangi Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia II, dan akan segera membantu
Indonesia merdeka setelahnya.
Soedjatmoko, pemuda antifasis dan otomatis anti-Jepang itu menentang
kolaborasi Soekarno. Akan tetapi, setelah peristiwa itu tahun berlalu, Koko merenung;
kalau saja Soekarno tidak berkolaborasi dengan Jepang, Soekarno tidak akan punya
kesempatan leluasa berdialog dengan rakyat, membakar mereka dengan semangat
revolusi kemerdekaan. Bagaimanapun juga, Koko mengakui semangat rakyat untuk
merdeka sebagian faktornya karena Soekarno berkolaborasi dengan Jepang.
Dengan Sjahrir, Koko memahami bahwa jalan diplomasi setelah kemerdekaan
dideklarasikan adalah suatu keharusan, karena negara yang baru berdiri selalu perlu
dukungan internasional; terutama dari negara-negara Sekutu yang baru saja menang
perang. Dengan Sjahrir juga, Koko mengenang suatu peristiwa yang membuatnya
kecewa. Pada suatu hari di bulan November 1945, koresponden perang majalah
10

Newsweek, Harold Isaac, datang ke Indonesia menyampaikan surat dari Ho Chi Minh,
pemimpin Vietnam. Ho menyarankan agar Indonesia dan Vietnam sama-sama
mendeklarasikan kemerdekaan.13 Namun, di luar dugaan Koko, Sjahrir hanya menyimpan
surat itu dan tidak berencana menanggapinya. Koko bertanya mengapa, dan Sjahrir sesuai
ingatan Koko menjawab:

“Selama kita bisa mencegah Inggris membawa pasukan lebih banyak, kita akan
memenangkan perjuangan ini. Belanda tidak punya kemampuan mengadakan
perang. Mereka itu negara kecil, dan kalaupun mereka bisa memenangkan perang,
selama potensi militer kita tidak seluruhnya hancur, kita tetap akan menang. Tapi
Vietnamnya Ho Chi Minh dihadapkan dengan situasi lain. Perancis, betapapun
kalah pada peperangan di Eropa, tetap merupakan kekuatan militer besar. Juga,
gerakan nasional kita dipimpin oleh nasionalis—mereka [Vietnam] oleh komunis.
Sehingga mereka dikelilingi lebih banyak musuh ketimbang kita. Ini berarti kita
akan merdeka lebih cepat dari Vietnam. Dan ketika kita sudah menjadi negara
yang merdeka, kita dapat menolong mereka dengan lebih efektif dibanding segala
yang bisa kita lakukan sekarang.”14

Koko kecewa bukan main mendengar jawaban itu. Namun terbukti analisis dan
keputusan Sjahrir benar. Jangankan merdeka penuh, Vietnam bahkan masih berperang
sampai 20 tahun kemudian. Hanya saja ucapan Sjahrir bahwa Indonesia dapat membantu
Vietnam tidak terlaksana karena setelah Indonesia merdeka (secara de facto), Sjahrir
tidak lagi menjadi perdana menteri. Dari peristiwa-peristiwa itu, Koko berpendapat
kemerdekaan Indonesia adalah soal mengambil pilihan dalam menghadapi keadaan-
keadaan sulit.
Pada babak selanjutnya, Koko mengalami peristiwa yang menyentaknya.
Peristiwa itu adalah kudeta 30 September-1 Oktober. Ia menulis surat pada Kahin tentang

13
Hanna Papanek, “Note on Soedjatmoko's Recollections of A Historical Moment: Sjahrir's Reaction to Ho
Chi Minh's 1945 Call for A Free Peoples Federation,” Indonesia 49 (1999): 141-143, 142.
<http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107012386>.
14
Soedjatmoko, “Choices and Circumstances. The Indonesian Revolution 45 Years on: Some Personal
Reflections,” 17.
11

refleksinya atas peristiwa itu dan berkesimpulan bahwa tak ada gunanya ia melawan arus
utama atas apa yang telah terjadi.15 Kemudian, beberapa bulan setelah kudeta dan sebulan
setelah Supersemar, Sutan Sjahrir meninggal di Swiss. Ia menulis lagi untuk Kahin:

“Ini adalah kehilangan yang menyakitkan. Hidupnya [Sjahrir] dan sakitnya serta
kematiannya dengan jelas membawaku pada aspek tragis dari hidup, terutama
orang dalam politik. Ia adalah seorang manusia hebat, dan dimensi hidupnya juga
hebat, dalam kemenangannya maupun kesengsaraannya. Aku benar-benar
menyadari bahwa kegagalannya dalam politik menentukan kebesarannya sebagai
laki-laki dan manusia. Bukan hanya sebuah ironi hidup bahwa kematiannya kini
dalam panggung sejarah mengesankan nilai-nilai yang ia coba tegakkan, bahkan
dengan harga bahwa kekuasaan yang ada tetap berkuasa.16

Dari peristiwa G30S dan kematian Sjahrir, Koko mengalami titik balik. Ia tidak
lagi kritis dalam politik praktis, dan menjauhkan hidupnya sehingga lebih terlibat pada
masalah internasional. Pada masa Orde Baru, ia memilih aktivitas di luar, baik sebagai
delegasi PBB, duta besar, dan segenap kegiatan think tank internasional lain. Koko
berubah dari seorang politikus yang kritis, menjadi seorang pemikir sosial yang berjarak;
yang lebih berpikir bagaimana mengentaskan masalah-masalah negara dunia ketiga dan
pada bagian Indonesia, memikirkan bagaimana pembangunan bisa berjalan.

Tentang Pembangunan
Sejak masa Soekarno, Soedjatmoko sudah menekankan bahwa pembangunan
penting. Dengan kata lain, retorika politik dan persatuan saja tidak cukup; negara ini
perlu pembangunan. Jadi, dalam hal kenegaraan, Koko sudah meletakkan dasar yang
kelak dilakukan Orde baru, yakni penekanan akan pembangunan. Tentu saja Koko punya
dasar kuat. Pada masa Soekarno, harga-harga bahan pokok menjulang tinggi. Rakyat

15
Kahin, 137.
16
Kahin, 137.
12

kelaparan tapi pemerintah tetap memberi angan-angan bahwa Indonesia ini negara kaya.
Kelaparan selalu dijawab oleh retorika politik.
Soeharto yang menjatuhkan Soekarno lantas memimpin Indonesia dengan
menekankan aspek ekonomi dan pembangunan. Saran-saran yang dilakukan
Soedjatmoko pada masa Orde Baru adalah dalam kapasitasnya sebagai duta besar di
Amerika Serikat (1968-1971). Dalam surat-suratnya yang dibukukan dengan judul Surat-
surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jenderal) Soeharto, dapat dilihat bahwa
Koko juga mempelajari konstelasi politik Amerika Serikat, misalnya pertentangan antara
kelompok konservatif dengan kelompok radikal. Juga soal perdebatan tentang Vietnam
dan Cina di Amerika Serikat. Hal penting lain, ia mempelajari soal-soal kemungkinan
bagaimana Indonesia memperoleh pembiayaan pembangunan melalui utang luar negeri
yang saat itu dikoordinasi Belanda melalui IGGI (Inter-Governmental Group
for Indonesia). Koko misalnya menganalisis dan melaporkan pada Soeharto soal
tentangan kaum muda radikal di negara-negara donor soal pinjaman dari negara mereka
kepada Indonesia.
Dengan alasan utang itulah Soedjatmoko berkali-kali mengingatkan Soeharto
tentang perlunya memikirkan ulang keputusan menahan orang-orang kiri di Indonesia. Di
sana, desakan kaum muda New Left yang juga mempengaruhi kaum tengah dan kanan
berkumandang di mana-mana. Koko yang humanis pastilah tidak setuju atas penahanan
orang-orang politik atau eks-PKI dengan alasan yang lebih mendasar, namun dalam
surat-suratnya pada Soeharto ia menggunakan alasan pragmatis: penahanan akan
mengakibatkan sulitnya pencairan utang dari negara-negara anggota IGGI.17
Namun, tekanannya atas pentingnya pembangunan ekonomi tidak membuatnya
melupakan aspek penting pembangunan nonekonomi. Sejak era Soekarno, ia
mengingatkan aspek penting manusia dalam pembangunan. Bagi Soedjatmoko,
pembangunan ekonomi tidak sebatas pembangunan ekonomi, tetapi merupakan tahap
perubahan sosial secara menyeluruh. Dengan demikian, pembangunan ekonomi
merupakan perubahan atas tanggapan jiwa dan penyesuaian kreatif dari kebudayaan.

17
Soedjatmoko, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jenderal) Soeharto (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), 149.
13

“Pembangunan ekonomi ialah suatu proses perubahan yang meliputi kehidupan seluruh
bangsa seluruhnya,”18 tulis Koko.
Sikap Koko ini paralel dengan perkembangan wacana di dunia saat semakin
banyak pihak mengkritisi kapitalisme dan industrialisasi. E.F. Schumacher dengan Small
is Beautiful-nya, misalnya, berpendapat teknologi yang perlu dikembangkan manusia
adalah teknologi madya; teknologi yang masih menggunakan akal dan tenaga manusia.
Pada era 70-an itupun Soedjatmoko semakin menekankan pentingnya teknologi yang
berkearifan lokal.

Tentang Kebudayaan
Perhatian Soedjatmoko terhadap masalah kebudayaan tidak terlepas dengan
konsentrasinya dalam memikirkan persoalan pembangunan, khususnya yang terjadi di
negara-negara berkembang. Sejak setelah kemerdekaan Indonesia, Koko menyadari tidak
adanya suatu narasi atau ideologi apapun yang dapat menjawab semua persoalan bangsa
Indonesia. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa setiap negara baru harus mengadakan
pembangunan yang selaras dengan kebudayaannya serta kemauan menyerap budaya
asing.
Jadi, bagi Soedjatmoko, pandangan esensialisme kebudayaan, atau pandangan
bahwa budaya Indonesia dapat berdiri sendiri, terisolasi dari budaya lain, tidak mampu
membuat bangsa ini berkembang. Ini dapat dilihat dari pendapat Soedjatmoko yang
menekankan pentingnya keterbukaan, selain pendidikan dan pembangunan, menuju
Indonesia modern. Koko percaya bahwa kemajuan sebuah bangsa pada zaman tertentu
terjadi akibat pertemuan budaya-budaya yang tadinya asing.
Seni dan agama juga berperan penting dalam kebudayaan manusia. Kritik besar-
besaran pada dekade 60-70an yang menjamur di seluruh dunia agaknya
mempengaruhinya. Kritik terhadap industrialisasi dan kapitalisme dari segi teknologisasi
memperlihatkan manusia telah menjadi mesin dalam budaya kerja. Koko lantas
menanggapinya dengan menekankan pentingnya peran agama dan seni yang dapat
menyeimbangkan manusia dalam aspek jiwa pada hidupnya.

18
Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan,” dalam Kebudayaan Sosialis, 187.
14

Tentang Intelektual dan Pendidikan


Soedjatmoko mengungkapkan pentingnya peran cendekiawan di negara-negara
berkembang. Pentingnya cendekiawan terutama adalah menempatkan negaranya pada
arah pembangunan yang benar, bukan pada analisis politik, mana partai yang akan
menang atau hal-hal serupa itu.19 Baginya, peran cendekiawan juga menentukan dalam
peran sebagai penghubung antara realitas negerinya dan perkembangan dunia.
Dalam hal pendidikan, Koko mempunyai gagasan khususnya tentang pendidikan
di perguruan tinggi. Menurut Koko, selama ini penelitian di perguruan tinggi berorientasi
pada masalah (problem oriented), yakni bagaimana cara atau solusi menghadapi masalah
yang sedang terjadi atau akan terjadi, yang cakupannya hanya berjangka pendek. Jadi,
fokus akademikus di perguruan tinggi berada pada riset borongan atau problem oriented
itu, bukan penelitian yang benar-benar diprakarsai universitas. Seharusnya ini tidak
terjadi. Ini pula yang dipikirkannya saat menjadi Rektor Universitas PBB. Universitas
yang „mengumpulkan‟ ilmuwan dari berbagai negara ini diarahkan Koko menjadi
lembaga riset. Namun bukan riset yang ditujukan untuk menambah kemudahan atau
kesenangan hisup manusia, melainkan riset yang dapat mencegah bencana-bencana yang
dapat terjadi di bumi.
Peran pengajaran universitas dikaitkan Soedjatmoko dengan „kemampuan belajar
suatu bangsa.‟ Tanpa peningkatan kemampuan ini, kualitas pengajaran universitas tidak
akan bertambah baik. Soal fungsi, universitas menurut Soedjatmoko harus mampu “lebih
efektif daripada yang dibuktikannya selama ini, mengaitkan studi ilmu manusia dan
budaya kepada masalah-masalah moral baik yang „kecil‟ atau mikro maupun yang besar
atau makro, yaitu perihal tujuan-tujuan sosial dan nasional, termasuk keadilan sosial, di
dalam konteks nasional, regional, dan global; juga masalah-masalah pembangunan yang
menyangkut usaha mencari bentuk masyarakat yang lebih insani di dalam lingkungan
yang juga di Dunia Ketiga semakin dikuasai oleh teknologi.”20

19
Soedjatmoko, “Intelektual Negara Berkembang,” dalam Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1984), 246.
Soedjatmoko, “Pikiran tentang Perguruan Tinggi,” dalam Etika Pembebasan, 265.
15

Daftar Pustaka

Kahin, George McT. and Milton L. Barnett. “In Memoriam Soedjatmoko, 1922-1989.”
Indonesia 49 (1999): 133-39. <http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107012386>.
Papanek, Hanna. “Note on Soedjatmoko's Recollections of A Historical Moment:
Sjahrir's Reaction to Ho Chi Minh's 1945 Call for A Free Peoples Federation.”
Indonesia 49 (1999): 141-143. <http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107012386>.
The 1978 Ramon Magsaysay Award for International Understanding. “Biography of
Soedjatmoko.”
<http://www.rmaf.org.ph/awardees/biography/biographysoedjatmoko.htm>.
Tempo. “Zurich, Detik-detik Terakhir.” Tempo 9-15 Maret 2009, 90-1.
Goenawan Mohamad. “Soedjatmoko „PSI‟, Inteligensia.” Mengenang Soedjatmoko.
Kumpulan Berita dan Obituari. Jakarta: LP3ES, 1990. 173-76.
Soedjatmoko. Kebudayaan Sosialis. Jakarta: Melibas, 2001.
---, “Choices and Circumstances. The Indonesian Revolution 45 Years on: Some Personal
Reflections.” dalam Cornelis A. van Minnen, ed.. The Decolonization of
Indonesia. International Perspectives. Middelburg: Roosevelt Study Center,
1988. 9-22.
---, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jenderal) Soeharto. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
---, Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES, 1984..

Anda mungkin juga menyukai