Anda di halaman 1dari 23

PEMIKIRAN SOEDJATMOKO TENTANG PEMBANGUNAN

INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Meskipun telah merampungkan usianya 29 tahun lalu, pemikiran Koko-

panggilan akrab Soedjatmoko-masi relevan hingga kini. Pemikiran Koko lahir dari

rahim dan khazanah Indonesia. Pemikiran dan perenungannya lahir dari keadaan

negerinya dan kemudian pada keadaan dunia. Berbagai bidang tak lewat dari

sentuhan dan pemikirannya, agama, sejarah, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan

lainnya.

Intelektualitasnya lahir bukan dari rahim pendidikan formal. Ia membuktikan

bahwasannya pendidikan tidak selalu dibatasi dengan sekat-sekat dan tembok-

tembok besar yang angkuh dan terpisah dari masyarakat, pengajaran harus menjadi

bagian dari partisipasi dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat. Pesan ini

masih relevan dengan keadaan pendidikan di tanah air kita ini.

Oleh karena itu, belajar dari Soedjatmoko adalah belajar tentang Indonesia

pada masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Pemikiran Soedjatmoko tidak

lepas dari latar belakang sosialnya. Selain menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia,

ia sempat terlibat dalam kegiatan internasional seperti menjadi delegasi PBB, serta

mendapatkan gelar doctor honoris causa bidang hukum dari Cedar Cest College

Pennisylvania, dan pada tahun 1970 doktor untuk bidang humaniora dari Universitas

Yale, Connecticut, AS.

1
Rektor universitas PBB (1980-1987) ini terkenal dengan perhatiannya pada

masalah-masalah kemanusiaan sehingga pada tahun 1978, ia mendapat hadiah (Rp

8.000.000) dari Yayasan Ragmon Magsaysay. Pendapat-pendapatnya dinilai sebagai

sumbangan berharga kepada pemikiran internasional untuk menaggulangi salah satu

tantangan besar masa kini, yaitu bagaimana meningkatkan martabat hidup 40%

rakyat Asia Tenggara dan Selatan yang merupakan lapisan paling miskin.

Pemikiran Koko di bidang ekonomi dan pembangunan pada waktu itu patut

dijadikan renungan untuk melihat Indonesia saat ini. Ia mengatakan bahwa

hakikatnya ciri pokok usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri,

dan bukan investasi modal asing. Hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu

sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Dan hal itu hanya mungkin jika

ada perubahan dan perkembangan pada masyarakat itu sendiri.

Lebih lanjur Koko berpesan bahwa yang kita perlukan adalah suatu pola

pembangunan yang emplovment yang mengutamakan keadilan sosial dan

memperkuat kesanggupan berdiri di atas kaki sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri

tidak mungkin dilakukan jika kita masih menggantungkan diri pada negara lain

maupun investor asing terus-menerus.

Jika demikian halnya, maka ekonomi nasional kita sudah bergeser dari nilai-

nilai kerakyatan menuju ekonomi kapitalis. Merenungi dan mengilhami kembali

pesan-pesan Soedjatmoko membuat kita berpikir ulang, bahwa kita perlu menata dan

mengatur ulang negeri ini di semua bidang.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah

yang dikaji dalam penulisan karya ilmiah kali ini adalah bagaimana peran

Soedjatmoko dalam pembangunan Indonesia?

1.3 Tujuan Penilitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam karya ilmiah ini adalah, sebagai berikut :

1. Untuk mengungkapkan fakta-fakta tentang peranan Soedjatmoko dalam

pembangunan Indonesia, serta pemikiran dan pendapat Soedjatmoko dalam

lingkup nasional dan internasional.

2. Secara pedagogis, tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan wawasan

keilmuan mengenai sejarah perkembangan pembangunan Indonesia terutama

Soedjatmoko dan pemikiran serta pendapatnya yang berpengaruh bagi Indonesia

di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Riwayat Hidup

Dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat, Koko (panggilan

Soedjatmoko) lahir di Sawahlunto 10 Januari 1922, saat ayahnya dr. Saleh

Mangoendiningrat bertugas sebagai dokter di sana. Ayah dan ibunya, Isnadikin,

sama-sama terlahir dari keluarga bangsawan Jawa dan karenanya mempunyai

keistimewaan dalam hal pendidikan.

Saat umurnya 5 tahun ia berangkat ke Belanda mengikuti sang ayah yang

melanjutkan studi kedokterannya dalam spesialisasi bedah. Karena itulah Koko dapat

dengan fasih berbicara bahasa Belanda. Saat ia menginjak kelas 3 sekolah dasar,

Koko dan keluarganya kembali ke Hindia, tepatnya tempat ayahnya bertugas di

Manado, Sulawesi Utara. Koko melanjutkan sekolahnya di sebuah sekolah Belanda

sampai menyelesaikan kelas 6. Kemudian ayahnya di tugaskan di Surabaya dan di

sana ia kembali menyelesaikan kelas 7 di sebuah sekolah Belanda.

Kemudian pada usia 14 tahun, Saleh, ayah Koko berkata ia akan menjamin

pendidikan yang berkualitas bagi Koko, namun takkan meninggalkan warisan.

Karenanya Koko tidak menjalani sekolah lanjutan yang umum, melainkan sebuah

Gimnasium baru di Surabaya-sekolah khusus untuk anak-anak berbakat atau luar

biasa-yang menawarkan program enam tahun dalam bidang seni dan sains, termasuk

di dalamnya program empat tahun bahasa Latin dan Yunani.

4
Di sekolah ini, seorang guru bahasa dan sastra, Marie Fracken, yang

mengajar Sejarah Seni Eropa, mengenalkannya pada kebudayaan Eropa di luar aspek

kolonialisme yang melekat padanya. “Dia [Marie Fracken] membuat saya menyadari

bahwa ada Eropa lain; bahwa ada wujud lainnya dalam peradaban manusia

ketimbang hanya pengalaman tipe kolonial. Saya selalu berterimakasih padanya

untuk itu. Bahkan ketika ia ditahan pada masa pendudukan Jepang, saya tetap

berkomunikasi dengannya,” kata Soedjatmoko.

Koko lulus dari sekolah lanjutan ini tahun 1940, kemudian melanjutkan ke

sekolah kedokteran di Jakarta. Namun, pada 1943 saat Indonesia dikuasai Jepang,

Koko dikeluarkan dari sekolah dokter karena memberontak atas perintah seikerei

atau membungkuk hormat pada Kaisar Jepang. Koko juga ketahuan berhubungan

dekat dengan tokoh nonkooperasi, seperti Amir Syarifudin dan Sutan Sjahrir. Juga

ada peristiwa yang paling menentukan; Koko dan kedua temannya Subadio dan

Sudarpo kedapatan oleh Jepang menemui Soekarno, pemimpin politik nasional

Indonesia yang berkooperasi dengan Jepang. Koko dan kedua temannya menemui

Soekarno untuk menyampaikan keberatan mereka atas kooperasi Soekarno.

Karena berhenti sekolah, ia pun kembali ke rumah orangtuanya di Solo.

Ayahnya saat itu bekerja sebagai dokter Sultan Solo. Saat itu di Solo, rumah-rumah

orang Belanda-banyak di antaranya misionaris-dijarah oleh massa dengan dukungan

tentara Jepang. Dengan pedih, Soedjatmoko mengenang, “Saya berutang sebagian

pendidikan saya pada perampasan itu karena koleksi perpustakaan semuanya

berakhir di pasar loak dan saya jadi bisa membaca. Dari sini saya berkenalan dengan

filsuf dan teolog Eropa seperti Kierkegaard, Karl Jaspers, serta filsuf dan

eksistensialis lain dari Jerman.”

5
Selain Fracken, gurunya di masa sekolah, tentu sang ayahlah yang

membimbing intelektualitasnya; ia yang mengenalkannya pada buku-buku sejarah,

filsafat, dan sains. Itu semua didapatnya meski sang ayah sebetulnya lebih akrab

dengan sufisme; corak religiusitas yang kerap dianut keluarga bangsawan Jawa yang

memadukan Jawa dengan Islam.

Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan

kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Sutan Sjahrir kemudian menjadi perdana menteri.

Sjahrir mengambil jalan diplomasi karena yakin bahwa Indonesia perlu pengakuan

internasional untuk benar-benar merdeka. Tentu saja deklarasi kemerdekaan bukan

berarti Indonesia sudah terbebas dari segala ancaman. Belanda kembali dengan

Sekutu yang memenangi Perang Dunia II.

Jakarta dengan cepat dikuasai oleh tentara Sekutu (Inggris). Untuk

mengimbangi terbitan Belanda Het Uitzichi (Outlook), Koko bersama kawannya,

Sudarpo dan Sanjoto diminta perdana menteri Sjahrir menerbitkan Het Inzicht

(Insight) pada tahun 1946. Setahun kemudian, Koko dan temannya, menggunakan

modal pinjaman, menerbitkan jurnal sosialis yang berpengaruh bernama Siasat. Di

masa itu, Koko memutuskan untuk menanggalkan nama belakangnya,

Mangoendiningrat dan selalu memakai hanya Soedjatmoko saja dalam identitasnya.

Ia menganggap nama yang mengandung kata ‘ningrat’ itu terdengar feodal dan tidak

sesuai dengan semangat zaman saat Indonesia ingin merdeka dari segala bentuk

ketidaksetaraan karena kolonialisme maupun feodalisme.

Untuk sementara, karir jurnalistiknya berhenti di tahun 1947-1950 karena

Sjahrir memintanya menjadi delegasi republik, sebagai pengamat pada Perserikatan

Bangsa-Bangsa. Ia sempat diterima dan bahkan mendapat beasiswa di Harvard’s

6
Littauer School of Public Administration, namun itu hanya berlangsung setahun.

Sebabnya adalah, ia harus menyiapkan pergantian Duta Besar Indonesia untuk

Amerika yang tadinya ditempati Duta Besar Hindia Belanda di Washington.

Perpanjangan waktu dua bulan yang diberikan Harvard untuk menyusul ujian tengah

semester berakhir, karena kondisi di Washington mengharuskannya tinggal selama

tiga bulan. Ia kemudian harus menyiapkan bagian politik di kedutaan, selain menjadi

perwakilan tetap Indonesia di PBB yang berkantor di New York. Saat itu dia

menyerah atas studinya karena tidak mungkin bolak-balik antara Washington, New

York, dan Harvard.

Tahun 1951, Koko mendengar kabar bahwa di Indonesia semangat

revolusinya telah menyusut, dan semakin banyak pegawai pada masa kolonial

mendapat posisi yang berpengaruh di pemerintahan. Koko ingin segera pulang ke

Indonesia, tetapi ia bingung akan posisi politiknya. Menggunakan tabungannya, ia

pun memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Eropa untuk mempelajari dan

merasakan situasi politik di sana. Perjalanan itu membawanya pada kesadaran bahwa

tidak ada satupun narasi atau ideologi dari Eropa menyediakan jawaban komplit

untuk menyelesaikan masalah negara Indonesia. Setelah menemukan solusi untuk

dirinya, bahwa ia bukanlah seorang sosialis kanan maupun kiri apalagi seorang

komunis, ia kembali ke Indonesia pada tahun 1952.

Ia langsung bergabung kembali dengan jurnal Siasat dan Pedoman, koran

yang juga diterbitkan oleh grup yang sama dengan Siasat. Tahun 1954 ia mendirikan

penerbitan buku bernama Pembangunan. Nama ini dapat diselaraskan dengan

kritiknya atas pemerintahan Soekarno yang terlena dengan aspek nasionalisme,

namun melupakan pembangunan. Menurut Kahin, Koko kemudian bergabung secara

7
resmi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 1955 dan tahun berikutnya

menjadi Dewan Konstituante sampai 1959 mewakili PSI.

Pada 1956, Koko untuk pertama kalinya bertemu dengan Ratmini Subranti

Gandasubrata, seorang pelukis dan pengajar desain. Dua tahun kemudian saat Koko

berusia 36 tahun, mereka bertemu lagi dan memutuskan untuk menikah. Koko dan

Ratmini mempunyai 3 putri, yakni Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, dan Galuh

Wandita.

Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang salah satunya

membubarkan konstituante. Pemerintahan Soekarno yang mulai 1957 berkuasa

dengan otoriter dengan judul Demokrasi Terpimpin semakin mendapat

momentumnya. Soedjatmoko sempat diminta Soekarno untuk bergabung dengan

kabinetnya dan ia menolak. Soekarno sangat marah padanya.

Setelah konstituante dibubarkan, Soekarno kemudian membreidel Pedoman

dan Siasat, juga membubarkan Partai Sosialis Indonesia pada 1960. Semua ini

berhubungan dengan terlibatnya beberapa tokoh teras PSI dan beberapa orang

Masyumi dalam pemberontakkan PRRI/Permesta 1957-1958. Salah satu yang

terlibat adalah Sumitro Djojohadikusumo. Dalam merespons pembubaran,

pembreidelan, dan otoritarianisme Soekarno, Koko mendirikan Liga Demokrat untuk

mengalihkan pertalian antara Soekarno dan PKI. Namun upayanya gagal, sehingga

pada 1961-1962 Koko menerima undangan Universitas Cornell untuk menjadi dosen

tamu Southeast Asian History and Politics.

Pada 1962 saat Koko berada di Cornell, beberapa tokoh PSI dipenjara

termasuk Sutan Sjahrir yang sakit-sakitan dan izin Soekarno untuk mengobati Sjahrir

di Swiss terlambat sehingga ia meninggal di sana. Sumitro sendiri berhasil melarikan

8
diri ke luar negeri. Koko kemudian pulang dan menemui perdana menteri saat itu,

Soebeandrio menanyakan apakah dia akan menangkap Koko juga. Namun

Soebandrio menampik, “Tidak gelombangnya sudah berakhir.” Peristiwa G30S dan

kematian Sjahrir memberi dampak yang dalam bagi Soedjatmoko. Sjahrir, baginya

adalah guru, teman dan kawan seperjuangan. Dari situ, ia tidak lagi berkecimpung

dalam politik praktis.

Setelah pemerintahan Soeharto, Indonesia kembali bergabung di PBB dan

Koko tahun 1966 menjadi wakil ketua delegasi Indonesia dan pada 1967 menjadi

penasehat delegasi. Sejak 1968-1971 ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk

Amerika Serikat. Ia juga berperan sebagai penasehat pribadi Adam Malik, Menteri

Luar Negeri Indonesia dari 1967-1977. Sekembalinya dari Amerika Serikat tahun

1971, ia menjadi penasehat Bappenas. Ia juga menjadi penasehat Lemhanas dan

Wanhamkamnas dari 1973-1974. Pada 15 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang

Kakuei Tanaka berkunjung, pecah kerusuhan yang disebut peristiwa Malari.

Beberapa tokoh PSI dituding berada di belakang peristiwa ini, termasuk Koko yang

kemudian dicekal selama 2,5 tahun sampai 1976.

Sejak saat itu, Koko kemudian terus aktif dalam berbagai lembaga think tank

dunia yang sudah dimulainya sejak awal Orde Baru. Ia memusatkan perhatiannya

kepada masalah-masalah negara dunia ketiga sehingga pada 1978 itu ia sebenarnya

menjadi calon Direktur Jenderal Unesco akan tetapi gagal. Setelah itu ia pulang

kembali ke Indonesia dan mengisi waktu kepulangannya dengan ceramah-ceramah.

Pada tanggal 21 Desember 1989, Soedjatmoko meninggal akibat serangan jantung

saat mengisi ceramah di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK)

Universitas Gadjah Mada.

9
2.2 Sosok yang Pemikir

Selama hidupnya, Soedjatmoko tidak pernah menyelesaikan pendidikan

tinggi formal. Ia gagal menjadi dokter karena saat pendudukan Jepang ia bersikap

antikolaborasi dengan Jepang sehingga dikeluarkan dari sekolah kedokteran. Di

Harvard, ia kesulitan menjalani studi karena harus mengurusi kedutaan Indonesia

yang baru di Washington serta menjadi delegasi Indonesia untuk PBB di New York,

sehingga akhirnya memutuskan keluar.

Dikeluarkan dari sekolah kedokteran, Soedjatmoko justru malah menyadari

bahwa dirinya tidak ingin menjadi dokter. Ia akhirnya membaca banyak buku filsafat

yang didapatnya dari pasar loak di Solo, buku-buku yang dijarah massa dari orang-

orang Belanda pada masa pendudukan Jepang.

Sejak itu Koko lebih terlibat pada ilmu yang memberinya wawasan tentang

manusia. Ia juga sangat kritis terhadap Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Kemudian, setelah masa Orde Baru, Koko mengalihkan perhatiannya pada masalah

pembangunan negara-negara dunia ketiga. Ia juga mengkritik pembangunan yang

berorientasi ekonomi dan melupakan aspek nonekonomi.

Keseriusan dan keprihatinan yang mendalam atas berbagai masalah

membawa Koko menjadikannya seorang intelektual Indonesia yang terkemuka.

Koko tidak menciptakan sebuah sistem pemikiran, tidak juga ia menulis buku yang

utuh dalam sebuah disiplin ilmu tertentu. Ia bukan sejarawan, bukan sosiolog, bukan

filsuf maupun teolog, ia adalah semuanya. Banyak yang merujuknya sebagai pemikir

sosial atau intelektual saja.

10
Tetapi keseriusannya ini sulit mendapat tandingan. Ia tak hanya menjadikan

luas bacaannya sebagai bahan refleksi hidup, melainkan menurunkannya ke dalam

praksis. Salah satunya ia menanggalkan nama Mangoendiningrat-nya dengan alasan

tak sesuai semangat zaman saat itu. Mungkin ini salah satu sebab mengapa

Goenawan Mohamad dalam obituarinya menulis bahwa Soedjatmoko merupakan

seorang teladan laku atau dalam praksis hidup sejajar dengan cara pandang

Nietzsche terhadap Sokrates yang tak menulis sistem pemikiran, Goenawan melihat

Koko bukanlah seorang tipe pemikir yang membangun pemikiran sistemasinya

dalam sebuah karya atau buku.

2.3 Tentang Sejarah Indonesia

Desember 1957, Soedjatmoko berbicara di depan 800 akademisi dan penulis

pada Seminar Sejarah Nasional di Universitas Gadjah Mada. Saat itu, sedang gencar-

gencarnya Soekarno dan Muhammad Yamin yanng ingin membuat sejarah yang

lahir dari bingkai nasionalisme, sebuah versi yang sama sekali lain dari sejarah versi

kolonial. Soedjatmoko di sini mengambil sikap lain. Bagi Koko, sejarah haruslah

netral, tidak didasarkan pada xenophobia dan sikap defensif-agresif yang dihasilkan

sikap mental bangsa terjajah sebagai counter kolonialisme.

“Ilmu sejarah sebagai salah satu disilplin ilmu pengetahuan bukannya seperti

seorang abdi dan tidak dapat menjadi abdi dari suatu ideologi, selama ia setia pada

sifatnya sebagai ilmu pengetahuan dan meskipun tak mau ideologi politik si ahli

sejarah dalam batas-batas tertentu, turut mempengaruhi cara dan hasil

penyelidikannya itu.”

Menurut Kahin, Koko kuatir bahwa sejarah Indonesia yang ditulis dengan

semangat nasionalisme yang berlebihan menampik sejarah yang sudah ditulis secara

11
Eropa sentris. Ia beranggapan bahwa itu akan membuat sejarah sulit dijatuhkan

dengan kepentingan politik yang menggunakan sejarah sebagai alat sehingga

menghalalkan propaganda dan mitos di dalamnya. “Kupikir, aku harus

berkonsentrasi dalam upaya melindungi studi sejarah dari tuntutan nasionalisme,”

tulis koko pada Kahin.

Koko memperlihatkan kesungguhannya dalam studi sejarah ini dengan

mempebaiki naskahnya pada seminar dan kemudian diterbitkan dengan judul An

Approach to Indonesia’s History: Towards an Open Future oleh Cornell’s Modern

Indonesia Project. Selanjutnya, bersama Kahin, Koko menjadi editor sekumpulan

tulisan termasuk tulisannya dalam karya klasik tentang sejarah Indonesia, yakni buku

An Introduction to Indonesian Historiography. Karya ini merupakan karya yang

otoritatif di bidangnya dan masanya.

2.4 Tentang Politik dan Titik Baliknya

Seperti dijelaskan pada bagian riwayat hidup, Koko merupakan salah seorang

tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menurut pengakuannya, ada tiga orang yang

dianggapnya mentor dalam bidang politik. Mereka adalah Amir Syarifudin,

Soekarno, dan Sutan Sjahrir.

Hubungannya dengan Amir terjalin lebih dekat saat ia dan temannya Sudarpo

Sastrosatomo mengelola harian Independent dan mingguan Het Inzicht, di mana

Amir merupakan Menteri Penerangan pada kabinet pertama RI. Ia mendapat

wawasan dari Amir melalui perbincangan di antara keduanya. Amir merupakan

seorang sosialis yang condong pada komunisme. Di kemudian hari, Amir terlibat

pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 sehingga ia dihukum mati.

12
Dengan Soekarno, Koko banyak berdiskusi tentang revolusi, mistisisme

Jawa, Marxisme, dan politik nasional serta internasional. Walaupun Koko sangat

kritis terhadap Soekarno dengan segala perbedaan pandangan mereka, hubungannya

dengan Soekarno terjalin lama dan hangat.

Sutan Sjahrir, kemudian adalah mentor terpenting bagi Koko. Tak hanya

karena Sjahrir memimpin PSI, tapi juga menjadi kakak iparnya (Sjahrir menikahi

Siti Wahjunahatau Poppy, kakak sulung Koko). Bagi Sjahrir, seharusnya tak ada

pertentangan antara kaum revolusionis dan demokrat, seperti antara sosialis dengan

humanis. Itulah mengapa Soedjatmoko sebagai sosialis mengalir dari hulu Marxisme

yang mengedepankan materialisme menuju ke hilir sosialisme yang humanis, yang

mementingkan dimensi manusia.

Soekarno dan Sjahrir membawa Soedjatmoko pada pemahaman bahwa

masalah politik bukan sekedar kepentingan benar atau salah secara moral, melainkan

juga strategi. Pada kasus Soekarno misalnya, Koko mengancam Soekarno karena

berkolaborasi atau mempercayai Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia.

Soekarno yakin Jepang akan memenangi Perang Pasifik, bagian dari Perang Dunia

II, dan akan segera membantu Indonsia merdeka setelahnya.

Soedjatmoko, pemuda antifasis dan otomatis anti-Jepang itu menentang

kolaborasi Soekarno. Akan tetapi, setelah peristiwa itu tahun berlalu, Koko

merenung; kalau saja Soekarno tidak berkolaborasi dengan Jepang. Soekarno tidak

akan punya kesempatan leluasa berdialog dengan rakyat, membakar mereka dengan

semangat revolusi kemerdekaan. Bagaimanapun juga, Koko mengakui semangat

rakyat untuk merdeka sebagai faktor karena Soekarno berkolaborasi dengan Jepang.

13
Dengan Sjahrir, Koko memahami bahwa jalan diplomasi setelah

kemerdekaan dideklarasikan adalah suatu keharusan, karena negara yang baru berdiri

selalu perlu dukungan internasional, terutama dari negara-negara Sekutu yang baru

saja menang perang. Dengan Sjahrir juga, Koko mengenang suatu peristiwa yang

membuatnya kecewa. Pada suatu hari di bulan November 1945, koresponden perang

majalah Newsweek, Harold Isaac, datang ke Indonesia menyampaikan surat dari Ho

Chi Minh, pemimpin Vietnam. Ho menyarankan agar Indonesia dan Vietnam sama-

sama mendeklarasikan kemerdekaan. Namun, di luar dugaan Koko, Sjahrir hanya

menyimpan surat itu dan tidak berencana menanggapinya. Koko bertanya mengapa,

dan Sjahrir sesuai ingatan Koko menjawab:

“Selama kita bisa mencegah Inggris membawa pasukan lebih banyak, kita

akan memenangkan perjuangan ini. Belanda tidak punya kemampuan

mengadakan perang. Mereka itu negara kecil, dan kalaupun mereka bisa

memenangkan perang, selama potensi militer kita tidak seluruhnya hancur,

kita tetap akan menang. Tapi Vietnamnya Ho Chi Minh dihadapkan dengan

situasi lain. Perancis, betapapun kalah pada peperangan di Eropa, tetap

merupakan kekuatan militer besar. Juga gerakan nasional kita dipimpin oleh

nasionalis mereke [Vietnam] oleh komunins. Sehingga mereka dikelilingi

lebih banyak musuh ketimbang kita. Ini berarti kita akan merdeka lebih cepat

dari Vietnam. Dan ketika kita sudah menjadi negara yang merdeka, kita dapat

menolong mereka dengan lebih efektif dibanding segala yang dapat kita

lakukan sekarang.”

14
Koko kecewa bukan main mendengar jawaban itu. Namun terbukti analisis

dan keputusan Sjahrir benar. Jangankan merdeka penuh, Vietnam bahkan masih

berperang sampai 20 tahun kemudian. Hanya saja ucapan Sjahrir bahwa Indonesia

dapat membantu Vietnam tidak terlaksana karena setelah Indonesia merdeka (secara

de facto), Sjahrir tidak lagi menjadi perdana menteri. Dari peristiwa-peristiwa itu.

Koko berpendapat kemerdekaan Indonesia adalah soal mengambil pilihan dalam

menghadapi keadaan-keadaan sulit.

Pada babak selanjutnya, Koko mengalami peristiwa yang menyentaknya.

Peristiwa ini adalah kudeta 30 September-1 Oktober. Ia menulis surat pada Kahin

tentang refleksinya atas peristiwa itu dan berkesimpulan bahwa tak ada gunanya ia

melawan arus utama atas apa yang telah terjadi. Kemudian, beberapa bulan setelah

kudeta dan sebulan setelah Supersemar, Sutan Sjahrir meninggal di Swiss. Ia

menulis lagi untuk Kahin:

“Ini adalah kehilangan yang menyakitkan. Hidupnya [Sjahrir] dan sakitnya

serta kematiannya dengan jelas membawaku pada aspek tragis dari hidup,

terutama orang dalam politik. Ia adalah seorang manusia hebat, dan dimensi

hidupnya juga hebat, dalam kemenangannya maupun kesengsaraannya. Aku

benar-benar menyadari bahwa kegagalan dalam politik menentukan

kebesarannya sebagai laki-laki dan manusia. Bukan hanya sebuah ironi hidup

bahwa kematiannya kini dalam panggung sejarah mengesankan nilai-nilai

yang ia coba tegakkan, bahkan dengan harga bahwa kekuasaan yang ada

tetap berkuasa.”

15
Dari peristiwa G30S dan kematian Sjahrir, Koko mengalami titik balik. Ia

tidak lagi kritis dalam politik praktis, dan menjauhkan hidupnya sehingga lebih

terlibat pada masalah internasional. Pada masa Orde Baru, ia memilih aktivitas di

luar, baik sebagai delegasi PBB, duta besar, dan segenap kegiatan think tank

internasional lain. Koko berubah dari seorang politikus yang kritis menjadi seorang

pemikir sosial yang berjarak; yang lebih berpikir bagaimana mengentaskan masalah-

masalah negara dunia ketiga dan pada bagian Indonesia, memikirkan bagaimana

pembangunan bisa berjalan.

2.5 Tentang Pembangunan

Sejak masa Soekarno, Soedjatmoko sudah menekankan bahwa pembangunan

penting. Dengan kata lain, retorika politik dan persatuan saja tidak cukup; negara ini

perlu pembangunan. Jadi, dalam hal kenegaraan, Koko sudah meletakkan dasar yang

kelak dilakukan Orde Baru, yakni penekanan akan pembangunan. Tentu saja Koko

punya dasar kuat. Pada masa Soekarno, harga-harga bahan pokok menjulang tinggi.

Rakyat kelaparan tapi pemerintah tetap memberi angan-angan bahwa Indonesia ini

negara kaya. Kelaparan selalu dijawab oleh retorika politik.

Soeharto yang menjatuhkan Soekarno lantas memimpin Indonesia dengan

menekankan aspek ekonomi dan pembangunan. Saran-saran yang dilakukan

Soedjatmoko pada masa Orde Baru adalah dalam surat-surantnya yang dibukukan

dengan judul Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jenderal)

Soeharto, dapat dilihat bahwa Koko juga mempelajari konstelasi politik Amerika

Serikat, misalnya pertentangan antara kelompok konservatif dengan kelompok

radikal. Juga soal perdebatan tentang Vietnam dan China di Amerika Serikat. Hal

penting lain, ia mempelajari soal-soal kemungkinan bagaimana Indonesia

16
memperoleh pembiayaan pembangunan melalui utang luar negeri yang saat itu

dikoordinasi Belanda melalui IGGI (Inter-Governmental Groupfor Indonesia). Koko

menganalisis dan melaporkan pada Soeharto soal tentangan kaum muda radikal di

negara-negara donor soal pinjaman dari negara mereka kepada Indonesia.

Dengan alasan utang itulah Soedjatmoko berkali-kali mengingatkan Soeharto

tentang perlunya memikirkan ulang keputusan menahan orang-orang kiri Indonesia.

Disana, desakan kaum muda New Left yang juga mempengaruhi kaum tengah dan

kanan berkumandang di mana-mana. Koko yang humanis pastilah tidak setuju atas

penahanan orang-orang politik atau eks-PKI dengan alasan yang lebih mendasar,

namun dalam surat-suratnya pada Soeharto ia menggunakan alasan pragmatis:

penahanan akan mengakibatkan sulitnya pencairan utang dari negara-negara anggota

IGGI.

Namun, tekanannya atas pentingnya pembangunan ekonomi tidak

membuatnya melupakan aspek penting pembangunan nonekonomi. Sejak era

Soekarno, ia mengingatkan aspek penting manusia dalam pembangunan. Bagi

Soedjatmoko, pembangunan ekonomi tidak sebatas pembangunan ekonomi, tetapi

merupakan tahap perubahan sosial secara menyeluruh. Dengan demikian,

pembangunan ekonomi merupakan perubahan atas tanggapan jiwa dan penyesuaian

kreatif dari kebudayaan. “Pembangunan ekonomi ialah suatu proses perubahan yang

meliputi kehidupan seluruh bangsa seluruhnya,” tulis Koko.

Sikap Koko ini paralel dengan perkembangan wacana di dunia saat semakin

banyak pihak mengkritisi kapitalisme dan industrialisasi. E.F. Schumacher dengan

Smallis Beautiful-nya, misalnya, berpendapat teknologi yang perlu dikembangkan

manusia adalah teknologi madya; teknologi yang masih menggunnakan akal dan

17
tenaga manusia. Pada era 70-an itupun Soedjatmoko semakin menekankan

pentingnya teknologi yang berkearifan lokal.

2.6 Tentang Kebudayaan

Perhatian Soedjatmoko terhadap masalah kebudayaan tidak terlepas dengan

konsentrasinya dalam memikirkan persoalan pembangunan, khususnya yang terjadi

dimegara-negara berkembang. Sejak setelah kemerdekaan Indonesia, Koko

menyadari tidak adanya suatu narasi atau ideologi apapun yang dapat menjawab

semua persoalan bangsa Indonesia. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa setiap

negara baru harus mengadakan pembangunan yang selaras dengan kebudayaannya

serta kemauan menyerap budaya asing.

Jadi, bagi Soedjatmoko, pandangan esensialisme kebudayaan, atau

pandangan bahwa budaya Indonesia dapat berdiri sendiri, terisolasi dari budaya lain,

tidak mampu membuat bangsa ini berkembang. Ini dapat dilihat dari pendapat

Soedjatmoko yang menekankan pentingnya keterbukaan, selain pendidikan dan

pembangunan, menuju Indoensia modern. Koko percaya bahwa kemajuan sebuah

bangsa pada zaman tertentu terjadi akibat pertemuan budaya-budaya yang tadinya

asing.

Seni dan agama juga berperan penting dalam kebudayaan manusia. Kritik

besar-besaran pada dekade 60-70an yang menjamur di seluruh dunia agaknya

mempengaruhinya. Kiritik terhadap industrialisasi dan kapitalisme dari segi

teknologisasi memperlihatkan manusia telah menjadi mesin dalam budaya kerja.

Koko lantas menanggapinya dengan menekankan pentingnya peran agama dan seni

yang dapat menyeimbangkan manusia dalam aspek jiwa pada hidupnya.

18
2.7 Tentang Intelektual dan Pendidikan

Soedjatmoko mengungkapkan pentingnya peran cendekiawan di negara-

negara berkembang. Pentingnya cendekiawan terutama adalah menempatkan

negaranya pada arah pembangunan yang benar, bukan pada analisis politik, mana

partai yang akan menang atau hal-hal serupa itu. Baginya, peran cendekiawan juga

menentukan dalam peran sebagai penghubung antara realitas negerinya dan

perkembangan dunia.

Dalam hal pendidikan, Koko mempunyai gagasan khususnya tentang

pendidikan di perguruan tinggi. Menurut Koko, selama ini penelitian di perguruan

tinggi berorientasi pada masalah (problem oriented), yakni bagaimana cara atau

solusi menghadapi masalah yang sedang terjadi atau akan terjadi, yang cakupannya

hanya berjangka pendek. Jadi, fokus akademikus di perguruan tinggi berada pada

riset borongan atau problem oriented itu, bukan penelitian yang benar-benar

diprakarsai universitas. Seharusnya ini tidak terjadi. Ini pula yang dipikirkannya saat

menjadi Rektor Universitas PBB. Universitas yang ‘mengumpulkan’ ilmuwan dari

berbagai negara ini diarahkan Koko menjadi lembaga riset. Namun bukan riset yang

ditujukan untuk menambah kemudahan atau kesenangan hidup manusia, melainkan

riset yang dapat mencegah bencana-bencana yang dapat terjadi di bumi.

Peran pengajaran universitas dikaitkan Soedjatmoko dengan ‘kemampuan

belajar suatu bangsa.’ Tanpa peningkatan kemampuan ini, kualitas pengajaran

universitas tidak akan bertambah baik. Soal fungsi, universitas menurut Soedjatmoko

harus mampu “lebih efektif daripada yang dibuktikannya selama ini, mengaitkan

studi ilmu manusia dan budaya kepada masalah-masalah moral baik yang ‘kecil’

atau mikro maupun yang besar atau makro, yaitu perihal tujuan-tujuan sosial dan

19
nasional, termasuk keadilan sosial, didalam konteks nasional, regional, dan global;

juga masalah-masalah pembangunan yang menyangkut usaha mencari bentuk

masyarakat yang lebih insani di dalam lingkungan yang juga di Dunia Ketiga

semakin dikuasai oleh teknologi.

20
BAB III

PENUTUP

Kerangka pemikiran Soedjatmoko mengenai sejarah dan historiografi makin

memperkaya pengetahuan kita akan ketajaman pemikiran dan visi Soedjatmoko.

Tema-tema yang dikemukakan Soedjatmoko terkait hubungan sejarawan, masa dan

masyarakatnya; subyektifitas dan obyektifitas serta kesadaran sejarah yang

dikemukakan pada dasawarsa 1950-an itu tetap relevan dalam konteks kekinian. Hal

itu disebabkan karena usaha penulisan sejarah baik penulisan dengan mengambil

tema-tema baru atau penulisan ulang peristiwa sejarah terus dilakukan. Kajian

terhadap arah penulisan sejarah yang nasionalistik perlu diperbincangkan dalam

hubungannya dengan perkembangan permasalahan dan kebutuhan masyarakat saat

ini. Dengan demikian, permasalahan-permasalahan sejarawan yang dikemukakan

Soedjatmoko itu pun masih dirasakan oleh para sejarawan.

Euforia reformasi 1998 telah membuka kesempatan sejarawan untuk

membuka sisi lain dari sejarah Orde Baru. Selain itu, terjadi peningkatan perhatian

terhadap istilah “daerah” ataupun “lokal” yang sering disertai dengan munculnya

kembali sentimen identitas kelokalan. Permasalahan ketimpangan pusat dan

pinggiran juga masih relevan. Kondisi itu menghasilkan wacana mengenai identitas

nasional, persatuan dan keberagaman identitas kelokalan dalam konteks kekinian.

Kita perlu mengambil keteladanan Soedjatmoko dan tokoh-tokoh lain yang

begitu menghayati kebhinekaan identitas, etnisitas, religiusitas sebagai bagian dari

Indonesia. Soedjatmoko mengedepankan kesadaran sejarah dan kesadaran

keberagaman identitas dalam konsensus nasional. Perlu diingat bahwa kesadaran

manusia memiliki rasionalitas. Rasionalitas mendasari kemampuan memahani

21
perbedaan dan saling memahami serta mencapai kehidupan bersama yang lebih baik.

Dengan demikian, kesadaran sejarah dan kesadaran identitas perlu dikembangkan

yaitu sebagai landasan interaksi sosial serta pembentuk ikatan-ikatan kultural

kehidupan berbangsa dan bernegara.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kahin, George McT. and Milton L. Barnett. “In Memoriam Soedjatmoko,1922-


1989”
Indonesia 49 (1999):133-339.
<http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107012386>.
Papanek, Hanna. “Note on Soedjatmoko’s Recollections of A Historical Moment:
Sjahrir’s Reactions to Ho Chi Minh’s 1945 Call for A Free Peoples
Federation.”
Indonesia 49 (1999):141-143.<http://cip.cornell.edu/seap.indo/1107012386>.
The 1978 Ramon Magsaysay Award for International Understanding. “Biography of
Soedjatmoko.”
<http://www.rmaf.org.ph/awardess/biography/biographysoedjatmoko.htm>
Tempo. “Zurich, Detik-detik Terakhir.” Tempo 9-15 Maret 2009, 90-1.
Goenawan Mohamad. “Soedjatmoko ‘PSI’, Inteligensia.” Mengenang Soedjatmoko.
Kumpulan Berita dan Obituari. Jakarta LP3ES, 1990. 173-76.
Soedjatmoko. Kebudayaan Sosialis. Jakarta: Melibas, 2001.---, “Choices and
Circumstances. The Indonesian Revolution 45 Years on: Some Personal
Reflections.” dalam Cornelis A. van Minnen, ed.. The Decolonization of
Indonesia.
International Perspectives. Middleburg: Roosevelt Study Center, 1988. 9-22.
---, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepadda Presiden (Jenderal) Soeharto.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
---, Etika Pembebasan. Jakarta:LP3ES, 1984.
Artikel Media. “Pemikiran Soedjatmoko untuk Indonesia Kini”
< http://artikel-media.blogspot.com/2010/12/pemikiran-soedjatmoko-untuk-
indonesia.html>.
Maulida Handayani. “Hidup dan Pemikiran Soedjatmoko”
< http://www.academia.edu/9318460/Hidup_dan_Pemikiran_Soedjatmoko>.
Nur Fatah Abidin. “Refleksi Pemikiran Soedjatmoko: Sejarah dan Historiofrafi
Indonesia”
<http://www.academia.edu/16498930/Refleksi_Pemikiran_Soedjatmoko_Sej
arah_dan_Historiografi_Indonesia>.

23

Anda mungkin juga menyukai