Anda di halaman 1dari 14

PERANAN TAMANSISWA

DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

Indonesia pada abad XX mengalami kebangkitan Nasional.


Timbulnya rasa perjuangan melawan penjajah ini didasari atas
rasa nasionalisme. Pergerakan ini muncul karena adanya reaksi
dari masyarakat Indonesia terhadap perlakuak kolonial Belanda.
Dalam kehidupan sosial di masyarakat, ada perbedaan mencolok
dari kehidupan Belanda dengan rakyat Indonesia. perbedaan itu
sangat terlihat pada bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Masyarakat Indonesia selalu berada di bawah pemerintah
kolonial. Dalam struktur masyarakat pun rakyat Indonesia
menempati urutan paling bawah, urutannya sebagai berikut,
orang-orang Eropa (Belanda), Orang Timur Asing (Cina dan
Arab), dan Pribumi. Secara jelas dapat dilihat yang melatar
belakangi pergerakan pada abad XX,

antara lain:

 Faktor Ekonomi
Dalam hal ekonomi, Belanda menerapkan sistem dualisme
ekonomi. Yaitu sistem ekonomi modern (kapitalis) dan Sistem
ekonomi tradisional.

 Faktor sosial dan Budaya

Adanya struktur masyarakat yang di pakai oleh Belanda. Dengan


struktur masyarakat menjadikan kedudukan rakyat Indonesia
berada di bawah orang-orang asing.

 Faktor Politik

Adanya refitalisme yairu mempertanyakan kembali kedudukan


Indonesia. Pergerakan melalui jalan diplomasi ini digunakan
untuk memprjuangkan kebebasan yang dilakukan secara damai.

Dalam hal pendidikan rakyat Indonesia tidak mendapat


pengajaran yang sesuai. Paling tidak sama dengan pengajaran
yang diterima oleh Belanda. Apalagi rakyat Indoneaia yang kelas
ekonomi bawah. Di sini pendidikan di Indonesia umumnya dan
di Yogyakarta khususnya mulai membaik dengan didirikannya
Tamansiswa. Sejarah Tamansiswa adalah sejarah kebangasaan
Indonesia. Tamansiswa adalah gerakan dalam bidang pendidikan.
Bapak penggerak pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara (R.M.
Suwardi Suryaningrat). Tamansiswa bersikap nonkooperatif
terhadap pemerintahan Belanda.
BERDIRINYA TAMANSISWA

Tamansiswa dibentuk salah satunya bertujuan untuk memberi


kesempatan rakyat Indonesia yang tidak bisa mengenyam
pendidikan di sekolah milik Belanda. Pada permulaan abad ke-
XX, perhatian masyarakat Indonesia terhadap pengajaran sangat
besar, sampai departemen pengajaran kewalahan untuk
mengatasinya. Ini dikarenakan banyaknya orang yang ingin
sekolah, tetapi tempatnya tidak mencukupi. Banyak masyarakat
yang ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan yang
diterapkan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang diajarkan
Belanda adalahpelajaran Bahasa Belanda dengan kurikulum
Belanda. Semua orang ingin belajar bahasa Belanda, karena
bahasa ini adalah satu-satunya alat untuk mendapat jabatan yang
baik, sedangkan usaha untuk meningkatkan kebudayaan bangsa
belum terpikirkan.

Anak-anak yang mengenyam pendidikan dari sekolah


Belanda, banyak yang kehilangan tabiat kerakyatannya dan
merasa lebih tinggi derajatnya dari pada saudara-saudara yang
tidak pandai berbahasa Belanda. Seandainya anak-anak Indonesia
setiap hari dididik demikian, mereka itu tidak akan mencintai
bangsa dan kebudayaannya. Dalam hal pendidikan pemerintah
tidak dapat memberi kepuasan rakyat. Sistem pendidikan ala
Eropa itu menghasilkan anak-anak yang bertabiat kasar, kurang
memiliki rasa kemanusiaan sehingga tumbuh rasa
individualisme dan melupakan kebudayaan bangsa. Sistem dan
pola semacam ini tidak sesuai dengan keinginan rakyat.

Sistem pendidikan yang sesuai dengan rakyat Indonesia


adalah sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang
dimaksud adalah suatu sistem pendidikan baru berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia, medeka dan mengutamakan
kepentingan masyarakat. Dari sini mulailah timbul keberanian
beberapa orang Indonesia untuk mendirikan sekolah-sekolah
sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. Alasan-alasan tersebut
yang mendorong pendirian Tamansiswa pada 3 Juli 1922 oleh Ki
Hadjar Dewantara yang pada mulanya bernama “National
Onderwijs Institut Taman Siswa”. Pilihan Ki Hadjar Dewantara
untuk mengambil perjuangan melalui pendidikan didorong oleh
hasrat untuk turut bertanggung jawab atas nasib bangsa serta
kemanusiaan umumnya berdasarkan faktor-faktor objektif yang
ada dan terjadi dalam masyarakat kolonial, serta faktor-faktor
subjektif yaitu hasrat dan tekad bangsa Indonesia untuk terus
berjuang mencapai kemerdekaan.
Semboyan yang digunakan oleh Tamansiswa adalah “Ing
Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri
Handayani.” Sementara inti dalam asas 1922 ialah sebagai
berikut:

1. Pasal Pertama: dasar kemerdekaan bagi tiap-tipa orang untuk


mengatur dirinya sendiri. Kebebasan itu bukanlah suatu
kebebasan yang leluasa, tetapi kebebasan yang terbatas dan herus
menginget tertib damainya hidup bersama.

2. Pasal kedua: dasar-dasar kemerdekaan tersebut hendaknya


dikenakan terhadap caranya anak-anak berfikir.

3. Pasal ketiga: Harus diperhatikan kepentingan-kepentingan sosial


ekonomi dan politik.

4. Pasal keempat: Dasar kerakyatan. Mempertinggi pengajaran


dianggap perlu, namun jangan menghambat tersebarnya
pendidikan dan pendidikan untuk seluruh masyarakat murba.

5. Pasal kelima: asas kemerdekaan. Jangan menenerima bantuan


yang dapat mengikat diri kita.

6. Pasal keenam: Keharusan untuk membelanjai sendiri segala


usaha Tamansiswa.
7. Pasal ketujuh: Keikhlasan lahir dan Batin untuk mengorbankan
segala kepentingan kita kepada selamat bahagianya anak-anak
yang kita didik.
PERKEMBANGAN TAMANSISWA SEBELUM MASA KEMERDEKAA
A. Tamansiswa Pada Masa Pendudukan Belanda

Pemerintah Belanda menganggap bahwa Tamansiswa bisa


dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia
di masa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula
untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Karena itulah,
pemerintah Belanda berusaha untuk mengahlang-halangi
perkembangan Tamansiswa khususnya dan sekolah-sekolah
partikelir umumnya. Kegelisahan Belanda ini dijawab dengan
dikeluarkannya “ Ordonsis Pengawasan” yang dibuat dalam
Staatsblad No. 494 tanggal 17 September 1932.

Ordonasi Pengawasan ini dinyatakan mulai berlaku pada 1


Oktober 1932. isi dan tujuan ordonasi tersebut ialah memberi
kuasa pada alat-alat pemerintah untuk mengurus ujud dan isi
sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri.
Sekolah partikelir tersebut harus meminta ijin lebih dulu sebelum
dibuka dan guru0gurunya harus mempunyai ijin mengajar.
Rencana pelajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah
negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonasi ini
menimbulkan berbagai protes dari masyarakat Indonesia.
Menanggapi Ordonasi tersebut, Ki Hadjar Dewantara
mengirimkan maklumat melalui telegram kepada Gurbenur
Jendral di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932. Banyak yang
mendukung Ki Hadjar untuk memprotes Ordonasi tersebut.

Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan masyarakat


Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan
mengadakan pertemuan dengan Ki Hadjar, akhirnya dengan
keputusan Gubernur Jendral tanggal 13 Februari 1933 Ordonasi
Sekolah Liar diganti dengan ordonasi baru. Dengan adanya
persatuan yang kuat antara tokoh-tokoh dan masyarakat
Indonesia dalam melawan pemerintahan Belanda akhirnya dapat
berhasil.

B. Tamansiswa Pada Masa Pendudukan Jepang

Pada akhir pemerintahan Belanda jumlah cabang Tamansiswa


ada 199 dengan 207 perguruan, tersevar di seluruh nusantara, di
Sumatra terdapat 49 cabang, Jawa Barat 28, Jawa Tengah 42,
Jawa Timur 70, Bali 4, Kalimantan 2, Sulawesi 2, ambon dan
Ternate masing-masing satu cabang. Kedatangan Jepang
dianggap sebagai pembebas oleh sebagian pemimpin Indonesia,
demikian juga oleh sebagian kalangan Tamansiswa sendiri.
Pada masa Jepang banyak perguruan yang ditutup karena
ditinggalkan oleh guru-gurunya untuk bekerja pada sekolah-
sekolah negeri, sebagian lagi ditutup oleh Jepang. Mereka
beranggapan dengan kedatangan Jepang Indonesia sudah
merdeka, sehingga mereka menginginkan pengurusan
Tamansiswa deserahkan peda pemerintah.

Pendidikan Tamansiswa sangat maju ketika awal Jepang


datang, keadaan ini hanya di Tamansiswa Yogyakarta. Pada
perkembangannya pada masa jepang pada umumnya sekolah
swasta dilarang. Sesuai dengan garis kebijaksanaan pada waktu
itu yang mengutamakan sekolah kejuruan, maka dibuka sekolah
Taman Tari dan Taman Rini (keputrian). Jepang hanya
memperbolehkan sekolah-sekolah kejuruan, Jepang
memerintahkan penutupan sekolah-sekolah partikelir, terutama
tingkat menengahnya. Seolah-olah Jepang menghendaki adanya
golongan masyarakat yang berdarah dan berkulit Indonesia, tetapi
rasa, pendapat, moral dan kecerdasannya serba Jepang.

Secara organisatori zaman Jepang merupakan kemunduran


bagi Tamansiswa. Hilangnya cabang-cabang yang ada di
Kalimantan, sulawesi, Ambon, Ternate dan kemudian Bali
menyebabkan perjuangan Tamansiswa dalam memupuk kader
bangsa terbatas di Sumatra dan Jawa. Sampai pada akhirnya
tercapainya kemerdekaan nasional. Banyak bekas guru dan murid
Tamansiswa yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.

PERKEMBANGAN
TAMANSISWA PASCAKEMERDEKAAN

Ki Hadjar Dewantara sejak hari proklamasi ada di Jakarta.


Kabinet pertama dibentuk pada tanggal 19 Agustus, beliau
menduduki kursi menteri pangajaran hingga penggantian kabinet
tanggal 15 November 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan
diadakan Rapat Besar (Konferensi) yang ke 9 di Yogayakarta.
Dalam rapat tersebut terdapat tiga pendapat:

1. pendapat bahwa tugas Tamansiswa telah selesai dengan


tercapainya Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung
pendapat ini peranan Tamansiswa sebagai penggugah keinsyafan
nasional sudah habis dan faktor melawan pemerintah jajahan
tidak ada lagi.

2. Tamansiswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik


dapat mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi kebutuhan
rakyat.
3. sekolah partikelir yang mempunyai dasar tersendiri tetap
diperlukan walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan
isinya juga sudah nasional.

Pada periode 1954-1965/1968, setelah Indonesia merdeka


sedikit-sedikit tamansiswa dibuka kembali. Tahun 1946
Tamansiswa di Babad, Teluk Bentung dibuka kembali, tahun
1947 Tamansiswa di Malang, Sukabumi Galang, Lubuk Paham,
Juwana, Bin Jai dibuka kembali. Tanggal 1 September 1951
Persatuan Tamansiswa telah berbadan hukum. Pada tanggal 15
november 1955 didirikan Taman Sarjana (Khursus B-1) oleh
K.H. dewantara dengan jurusan Alam Pasti, Bahasa dan Ilmu
Sosial. Taman Sarjana ini disebut Yayasan Sarjana Wiyata.

Sebelum kemerdekaan Tamansiswa mendidik untuk sadar dan


aktif dalam pembelaan negara. Setelah kemerdekaan,
kewajibannya sama dengan pemuda-pemuda yang lain. Di
Tamansiswa sendiri tidak mengajarkan gemblengan fisik secara
khusus. Tapi ada juga di Tamansiswa pelajaran beladiri.

Tamansiswa lebih berkembang dari sebelumnya. Sebelum


kemerdekaan mendapat tentangan dari Belanda. Badan-badan
pendidikan yang lain setelah kemerdekaan juga berkembang.
Pada akhirnya perkembangan Tamansiswa tidak terlihat karena
kalah dengan yang lain. Sehingga tampaknya Tamansiswa
mengalami stagnasi.

Pada dasarnya struktur dan organisasi di Tamansiswa antara


sebelum dan setelah kemerdekaan masih sama. Struktur
organisasi di lembaga pendidikannya menyesuaikan ketentuan
pemerintah. Pada era globalisasi mau tidak mau Tamansiswa
harus menjalin kerjasama baik nasional maupun internasional.
Adanya kerjasama dengan luarnegri untuk studi lanjut di luar
negeri dan mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari
luarnegeri, adanya tukar pelajar ke luar negeri dll. Maka harus
menerima kebudayaan asing dan menjaga kebudayaan asli
Indonesia.

Museum Tamansiswa tersebut terletak di Jalan Tamansiswa,


yang bernama Museum Dewantarakirti Museum tersebut adalah
rumah Ki Hadjar Dewantara yang terletak dilingkungan
Tamansiswa. sampai sekarang museum tersebut berfungsi dalam
membantu penelitian pendidikan.

Untuk menunjang pendidikan yang lebih tinggi didirikan


perguruan tinggi Tamansiswa yang diberinama, Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa yang didirikan yada tahun 1955.
asrama Rini yang dulu digunakan sebagai asrama putri berubah
menjadi Kos-kosan Putri Mahasiswa UST pada masa sekarang.
Tamansiswa sampai sekarang masih eksis.
KESIMPULAN

Tamansiswa pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara yang


pada mulanya bernama “National Onderwijs Institut Taman
Siswa”didirikan dengan alasan kurang puasnya masyarakat
Indonesia terhadap pendidikan yang diterapkan ala Belanda.
Pendirian Tamansiswa ini sangat membantu pendidikan di
Indonesia umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Dengan
semboyannya Ing Ngarso Sung tuladha Inh Madya Mngun
karso dan Tutwuri handayani.

Tamansiswa memiliki banyak cabang baik di Jawa maupun di


luar pulau Jawa. Pada masa penjajahan Jepang dan Belanda di
Indonesia Tamansiswa mengalami banyak halangan, Tapi dengan
semangat pendidikan nasional yang merdeka semua itu dapat
diatasi. Sampai setelah kemerdekaan pun Tamansiswa masih
tetap berjalan. Dengan partisipasinya dalam pendidikan bersama
dengan pemerintah mewujudkan pendidikan nasional. Untuk
Jasa-jasanya K.H. Dewantara dijadikan bapak pendidikan
Nasional dan hari tanggal kelahirannya yaitu 2 Mei diperingati
sebagai hari pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Buku Peringatan Tamansiswa 30 Tahun 1922-1952. Yogyakarta: Majelis Luhur

Tamansiswa. 1952.

Anonim. Pendidikan di Indonesia Dari Jaman ke Jaman. Yogyakarta: Depdikbud. 1979.

Anonim. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: CV Tumatiti. 1976/1977.

Barnadib, Sutari Imam. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset. 1983.

Suratmin, Suhartono, Suharyanto dan Suhatno. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan

Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek IDSN, CV. Tumatiti. 1990.
Surjomihardjo, Adurrachman. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sedjarah Indonesia

Modern. Jakarta: PT. Sinar Harapan. 1986.

Anda mungkin juga menyukai